Sistem kebudayaan penduduk , lekat pada orang yang tidak gigih dalam melakukan pekerjaan , dan ongkang kaki. Guna mencapai kepentingan itu, maka ganti nama serta budaya pun dikerjakan, sebut saja gereja Batak itu. Menarik sekali, ternyata mengetahui bahwa mereka itu malas bekerja Jawa – Marpaung itu.
Hidup sebagai hasil seksualitas, dan asimilasi budaya Batak – Jawa, dan pada rancangan pendidikan, dan seksualitas yang diterima, menurut hasil genetika mereka hidup selama di Pontianak, menerangkan hal ini mengenai kontribusi mereka, hanya selaku numpang ngentot Bahasa kasar dalam metode politik seksualitas selama hidup mereka di Pontianak – Jakarta.
Berbagai kepentingan itu, hidup dibalik tembok gereja, dan pendidikan yang mereka terapkan, dari kebobrokan sebagai insan, dan kebodohan mereka selama hidup berpindah – pindah di Lokal, Indonesia.
Hal ini, menjelaskan bagaimana mereka hidup hasil ekonomi sebelumnya, dan tiba mengacau dalam suatu kota, dan menerangkan saat pekerjaan, mereka dan hidup pada lingkungan sekolah, dan agama 1990an – 2022.
Menutur dengan jelek, tidak memiliki budbahasa, hidup dengan usaha kelas sosial, yang dihasilkan dengan hasil kebodohan mereka selaku insan. Jika tidak menganggu kampung, kota, maka, sistem pendidikan yang di ganggu, kemudian dilanjutkan dengan seksualitas, Sihombing Pontianak, seorang dosen tidak berbobot, kumpalan orang setempat.
Hidup seperti itu di Kota Pontianak, menjadi catatan kepada pembangunan insan, dan ekonomi mereka terima selama hidup pada pembangunan di Indonesia, dan setempat Pontianak.
Tidak memiliki aib, demikian orang Tionghoa – Batak (Siregar), konflik disengaja (dokter – perawat) dalam hal ini menerangkan sebagai orang Imigran, yang tidak patuh pada aturan, dan berbagai kepentingan anutan agama Dayak – Tionghoa, mengenai konflik sosial yang terjadi.
Ketika berada di Kota ini, maka terang bagaimana mereka hidup dengan seksualitas mereka, dan aneka macam aspek simpati yang memanggil tanpa mempunyai aib di hadapan penduduk , baik itu disengaja dan tidak. Hal ini, dimulai dari kesengajaan mereka selaku orang yang hidup orang Kapal yang brutal, dan kelas sosial rendah Lokal – Indonesia.
Tidak mempunyai malu terhadap keadaan seksualitas dan kehidupan sosial budaya mereka di tengah masyarakat, dengan melihat banyak sekali hal terkait insan di hadapan aneka macam jabatan penting di penduduk jelas sekali, harus malu sebagai orang renta dalam kehidupan sosial budaya mereka di masyarakat Indonesia Batak – Jawa – Dayak, secara khusus menjelaskan.
Dengan berani, dan ngotot hidup di tengah masyarakat, menjelaskan dalam hal ini bagaimana kelas sosial mereka, dan hasil ekonomi mereka terima selama din Pontianak, menjadi cerita terhadap kehidupan dan mata pencaharian mereka selama pembangunan insan, denban kebodohan dan kebebalan di agama, sengaja dan tidaknya.