close

Tanggung Jawab Pengasuhan dan Pendidikan Anak

Menjelang hari anak nasional tahun ini, kita dikejutkan dgn info booming yg sungguh memprihatinkan. Seorang anak SD dipaksa sobat-temannya untuk bers*t*b*h dgn kucing lantas direkam.

Tentu saja anak itu mengalami stress berat jago kemudian meninggal. Diagnosis dokter, anak itu mengalami suspect typhoid & ensefalopati, serta suspect episode frustasi atau gangguan kejiwaan.

Membayangkannya saja kita telah ngeri. Entah apa yg merasuki belum dewasa yg masih usia SD itu untuk melakukan perundungan (bullying) di luar batas kemanusiaan. Namun, ini menunjukkan bahwa tantangan yg dihadapi anak-anak kita di periode digital sungguh-sungguh berat. Apa yg mereka hadapi tak sama dgn apa yg dahulu kita hadapi. Persis mirip pesan tersirat Ali bin Abu Thalib, “Anak-anak kita lahir untuk zaman yg berlawanan dgn zaman kita.”

Tentu kita tak bisa memproteksi bawah umur dr dunia luar. Yang mampu kita kerjakan adalah memilihkan ‘dunia’ untuk belum dewasa kita. Dan yg lebih penting yaitu membangun imunitas anak tatkala bergaul dgn dunia luar. Keduanya merupakan tanggung jawab kita selaku orang bau tanah.

Memilihkan ‘dunia’ untuk bawah umur maksudnya adalah menawarkan lingkungan yg baik untuk bawah umur kita. Positive vibes, istilah trennya. Sebab bagaimana pun juga, interaksi seseorang dgn lingkungan itu ada dua; kalau tak mempengaruhi ya dipengaruhi. Masalahnya, tatkala ia masih belum dewasa, lingkungan akan banyak mempengaruhinya. Sebab anak-anak itu seperti spon yg menyerap seluruh apa yg ia dengar & ia lihat. Persis mirip kata Imam al-Ghazali, “Setiap anak akan mendapatkan semua bentuk kecenderungan yg disodorkan kepadanya ataupun yg dikatakan kepadanya.”

Positive vibes harus dimulai dr keluarga. Ayah & ibu yg sarat kasih sayang & mempertahankan fitrah kepercayaan. Ayah & ibu yg menjadi teladan dlm bersikap & berucap. Keluarga yg mendatangkan situasi ibadah. Rumah yg nyaman & senantiasa ia rindukan meskipun sekolah menjadi istana barunya.

Kedua yaitu sekolah. Pada dasarnya semua sekolah itu baik. Namun jikalau mampu menentukan, pilihlah yg lebih baik. Yang bukan hanya konsentrasi mengejar-ngejar nilai akademis tetapi yg lebih penting adalah mengokohkan dogma. Yang guru-gurunya bukan hanya pintar mengajar namun pula mendidik siswanya supaya berakhlak mulia. Dan inilah yg dilaksanakan oleh orang tua andal di masa kemudian. Mereka menyadari keterbatasannya dlm mendidik anak, maka mereka memilihkan guru terbaik untuk buah hati mereka. Lalu tercetaklah Imam Syafi’i, Imam Al-Ghazali, & hampir semua ulama yg namanya kita kagumi.

Kendati demikian, tanggung jawab pengasuhan & pendidikan anak tetap ada di pundak kita selaku orang renta. Kitalah yg kelak akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan yg menarik, tatkala Rasulullah mensabdakan ihwal pendidikan keimanan anak, dia menyebut orang bau tanah dgn istilah abawaih. Memberikan aksentuasi bahwa yg paling bertanggung jawab adalah ayah. Bukan seperti kini, seluruhnya ibu. Yang mengantar sekolah, ibu. Pertemuan wali murid, ibu. Mengambil raport, ibu. Bahkan yg saban hari mengajari & mendidik anak ialah ibu.

Kelalaian ayah inilah yg diingatkan para ulama semenjak usang. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, “Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, penyebab terutama yaitu ayah.”

Mengapa? Apakah ayahnya kurang pandai tak bisa mengajari anak? Tidak. Ayahnya terpelajar, terbukti bisa menduduki jabatan tinggi atau menghasilkan banyak duit. Namun sebab ayah tak perhatian. Ayah tak memiliki waktu untuk anak. Tidak peduli anak shalat atau tidak. Bahkan tak peduli anaknya beriman atau tidak.

Maka betapa indahnya Al-Qur’an menawarkan instruksi. Sarah binti Halil al Muthairi menerbitkan hasil penelitiannya dlm Hiwar al Aba’ ma’al Abna fil Quranil Karim wa Tathbiqotuhut Tarbawiyah. Ternyata dialog orang tua dgn anak dlm Al-Qur’an itu mayoritasnya yakni ayah & anak, sebanyak 14 kali. Ibu & anak hanya ada dua kali. Dan anonim (entah ayah atau ibu) satu kali.

  Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab Masuk Islam

Belum telat, wahai para Ayah. Jadikan momen hari anak nasional ini untuk memperbaiki korelasi kita dgn anak. Peluk belum dewasa, sayangi belum dewasa, berikan waktu & pendidikan terbaik untuk mereka. Dan jangan lupa, senantiasa doakan mereka. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]