A.Pendahuluan
Modernisme dalam agama baru diketahui pada masa ke-18 dan ke-19 di Eropa. Dalam Encyclopedia Americana (1972), modernisasi agama diartikan fatwa agama yang berangkat dari akidah bahwa kemajuan-pertumbuhan sains dan kebudayaan modern menuntut adanya reinterpretasi terhadap pedoman agama klasik sesuai pemikiran filsafat. Dengan demikian, keyakinan modernisasi ialah, teks wahyu dibawah sains, teks agama harus ditafsir ulang semoga sesuai dengan zaman. Ini sama saja dengan liberalisasi.
Istilah ini dinisbatkan terhadap gerakan protes Gereja Kristen Roma terhadap otoritas Gereja konserfatif. Gerakan yang berupa protes ini juga dipakai untuk gerakan liberalisme dalam Nasrani Protestan. Sebelumnya, gerakan liberalisasi agama lebih dulu dipelopori oleh Yahudi, hanya saja Yahudi tidak memakai perumpamaan modernisme. Istilah ini dikenal oleh Nasrani. Kaprikornus pada ketika itu, modernisasi yakni perumpamaan lain dari liberalisasi.
Munculnnya modernisasi di Eropa bukan tanpa dilema bagi orang Yahudi. Menurut Karen Amstrong, tidak ada yang lebih menderita di dunia terbaru di bandingkan orang Yahudi, saat mereka pertama kali berjumpa dengan masyarakat Nasrani Barat yang sedang memodernkan dirinya pada tamat kala ke -15. Perjumpaan ini menciptakan sebagian orang Yahudi mulai mengantisipasi kelicikan, kecurangan, dan prinsip-prinsip yang lalu menjadi lazimdi dunia terbaru.
Karen Amstrong juga menyampaikan bahwa Etos terbaru dianggap memusuhi Yahudi. Dengan segala pembicaraan mereka ihwal toleransi, para pemikir pencerahan masih memandang rendah kaum Yahudi. Fancois-Marie Voltaire (1694-1778) dalam dictionnaire Philoshophique (1756) menyebut kaum Yahudi “bangsa yang sungguh ndeso”, kaum yang memadukan “kesengsaraan dan takhayul dengan kebencian terhadap semua negara yang menerima mereka”. Barond’holbach (1723-1789), salah seorang ateis Eropa, menyebut kaum Yahudi selaku “musuh umat manusia” Kant dan Hegel menilai Yahudi selaku agama hina yang berlawanan dengan rasionalitas.
Pada sisi lainnya, perpindahan orang Yahudi ke bagian Eropa lainnya, mirip Venice, Hamburg, London. Belanda menyebabkan mereka bisa hidup damai dan bahkan sebagian besar kembali memeluk agama Yahudi. Kaum Yahudi dalam diaspora (pembuanngan) diberbagai negara Eropa juga bersentuhan dengan modernisme. Inkuisisi telah memaksa mereka menerima Katolik, sementara mereka membencinya, alasannya adalah orang-orang Katoliklah yang menciptakan mereka sengsara. Sebaliknya, mereka juga dilarang melaksanakan agama Yahudi. Seiring berjalannya waktu, pengetahun mereka tentang ajaran Yahudi semakin dangkal, agama Yahudi tinggal hanya kenangan kurun silam.
Sampai sekarangpun orang Yahudi, khususnya yang tinggal di Jerman dan Eropa Timur, memiliki reaksi yang berbeda-beda kepada modernisasi dan sekularisasi Eropa yang diakibatkan oleh Pencerahan itu. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis reaksi orang Yahudi terhadap modernisme yaitu kaum Yahudi Reformis yakni Yahudi yang akan membaur dengan kebudayaan terbaru, melebur diri dalam kultur negara di mana mereka tinggal, kaum Yahudi ultra-Orhtodoks, dan kaum Yahudi neo-orthodox. Reaksi orang Yahudi yang berlawanan-beda kepada modernisasi dan sekularisasi Eropa inilah yang menjadi pembahasan makalah ini.
B. Asal-ajakan Nama Yahudi
Menurut Ahmad Salabi, Nama Yahudi berasal dari keturunan Nabi Ya’kub bin Ishak bin Ibrahim as. Dari perkawinannya dengan Liah inilah Nabi Ya’kub mempunyai empat orang anak yang salah satunya bernama Yahuza (dari namanyalah diambil kata Yahudi). Sebelumnya, Nabi Ibrahim as. berhijrah dari kota Aur disebelah selatan Mesopotamia, menuju ke Khurran di Syiria. Disinilah ayah Nabi Ibrahim meninggal dunia. Kemudian nabi Ibrahim as berpindah lagi menuju bumi Khan’an sekitar tahun 2000 SM. Diantara keturunan ia yaitu nabi Ya’kub, yang diberi gelar Israel, sehingga anak cucunya kelak diundang dengan Bani Israel. Diantara keturunan Ya’kub (Israel) adalah nabi Yusuf yang pernah menjabat semacam menteri Pertanian Mesir, sehingga anak cucu Ya’kub (Bani Israel) berdiam di Mesir hingga masa Nabi Musa a.s. Dialah yang mengajak Bani Israel keluar dari Mesir, untuk menyelamatkan diri dari penindasan Fir’aun menuju negeri Palestina.
Ketika Nabi Musa as. wafat, mereka belum bisa memasuki pintu kawasan Palestina. Pada kurun Nabi Daud, mereka mampu memasuki tanah Palestina dari Sinai, dan menguasai Yerussalem kira-kira pada tahun 2000 SM. Namun mereka juga belum bisa menguasai seluruh wilayah Palestina. Pada periode pemerintahan Nabi Sulaiman putra Daud, kerajaan mereka terbagi menjadi kerajaan kecil-kecil. Dan kerajaan purba inilah yang sekarang dijadikan argumentasi historis untuk mengkalim sahnya negara Yahudi di Palestina kini. Padahal kerajaan Yahudi dalam sejarah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman tidak lebih dari suatu kota dan desa-desa disekelilingnya. Hanya karena kebiasaan saja, bangsa Yahudi mengundang pemimpinnya dengan istilah Raja.
Di antara kerajaan tersebut yang terkenal adalah kerajaan Samaria dan kerajaan Yahuda. Raja Sargaus dari Yunani pernah menyerbu negeri Samaria pada tahun 576 SM. Sedangkan Raja Nebuchadnessar II dari Babilonia menyerbu kerajaan Israel yang ibu kotanya Yerusalem, kemudian menghancurkan Kuil Sulaiman. Orang-orang Yahudi ditawan dan digiring ke Babilonia. Kemudian disinilah para tokoh Yahudi membesarkan hati kaumnya dengan konsep Janji Tuhan dan Bumi Nenek Moyang. Sejak itu, dalam perjalananya mereka selalu berusaha untuk kembali ke Palestina dengan banyak sekali cara dan upaya. Namun mereka senantiasa menemui kegagalan, meskipun sudah mencoba berkali-kali. Bahkan jadinya justru menciptakan mereka bertambah ketat dibawah pengawasan penguasa. Tidak jarang kekejaman penguasa menjadi penderitaan rutin yang mereka alami, dan menimbulkan aktivitas-aktivitas eksodus dan diaspora orang-orang Yahudi semakin meluas keseluruh penjuru bumi untuk menyelamatkan diri. Dari tanah Babilonialah para pemuka Yahudi memperoleh pandangan baru dan desain Bumi Yang Dijanjikan dan konsep Bangsa Pilihan Tuhan, dengan cita-cita inspirasi semacam itu akan mampu melestarikan persatuan dan kemurnian Ras Yahudi, dan untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Yahudi.
Dari kilasan fakta diatas kita bisa melihat, bagaimana bangsa Yahudi sepanjang sejarah menertibkan perkumpulan rahasia, yang dikembangkan dengan getol untuk mewujudkan impian mereka. Makin usang asosiasi rahasia itu meningkat seperti dengan pemerintahan terselubung, yang dikendalikan oleh tokoh-tokoh Yahudi Internasional, yang berdiam diberbagai penjuru dunia. Bangsa Yahudi mempunyai doktrin bahwa bangsa lain yakni ‘Goya’, atau Gentle dalam bahasa arabnya ‘Umamy’ yang bermakna bangsa lain itu diciptakan Tuhan untuk kebutuhan/kepentingan bangsa Yahudi belaka, sebagai bangsa pilihan Tuhan.
Kemudian, pada tahun 160 M Palestina dan daerah Syam yang lain dikuasai oleh kerajaan Romawi. Rajanya, adalah raja Herod Agung (40-4 SM) membangun istana dan juga membangun Kuil Sulaiman kembali, disamping menawarkan keleluasaan terhadap masyarakatYahudi. Namun pada tahun 77 M raja Titus bertindak keras kepada orang Yahudi, karena mereka mengadakan pemberontakan dan kekacauan di Negeri itu, sehingga kota Yerusalem hancur. Kemudian raja mengeluarkan peraturan yang melarang orang Yahudi berdiam di Yerusalem atau berziarah ke kuil Sulaiman. Sampai beberapa kurun lalu bangsa Romawi itu tetap bercokol sampai ditaklukan oleh kaum Muslimin. Kemudian penduduk orisinil setempat masuk agama Islam. Mereka ialah bangsa Arab yang ialah mayoritas masyarakatbumi Palestina, sampai awal masa ke 20 ini.
C. Prinsip Ajaran Agama Yahudi
Agama Yahudi cuma mempercayai satu Tuhan ialah “Yahweh” yang artinya Yang Maha Esa. Kata Yahweh berasal dari asumsi agama Yahudi bahwa ada empat huruf mati yaitu “YHWH”, yang dinamakan “Tetra Gramaton” yang dipandang suci dan cuma dipakai untuk mengundang nama Tuhan Yang Maha Esa itu. Makara, Yahweh adalah Tuhan bagi agama Yahudi. Menurut kepercayaan mereka beliau Maha Esa dan cuma merupakan Tuhan bagi bangsa Israel semata. Sedang bawah umur Israel yaitu bangsa pilihan Tuhan di antara bangsa-bangsa yang lain. Selain itu, bangsa Yahudi juga berkeyakinan bahwa Tuhan membuat alam semesta ini untuk mereka. Dia menciptakan bangsa-bangsa lainnya, semata-mata biar bangsa lain tersebut mengabdikan diri kepada mereka. Mereka sajalah yang pada hakikatnya ialah insan, sedangkan yang lainnya sejatinya hanyalah budak dan pramusaji yang sederajat dengan hewan.
Yahweh, Tuhan Israel berfirman terhadap bangsa pilihan-Nya:
“Kamu akan menjadi bagi-Ku Kerajaan Imam dan Bangsa yang Kudus. “Keluaran 19:6. Dia juga tidak lupa berpesan terhadap mereka: “Engkau akan diberkati lebih dari segala bangsa…Engkau haruslah melenyapkan segala bangsa yang diserahkan kepadamu oleh Tuhan Allahmu, janganlah engkau merasa sayang kepada mereka. “Ulangan 7:14-16. Kemudian Sepuluh Perintah Tuhan yang salah satunya berisi: “Jangan menyebut Nama Yahweh dengan tidak berguna”, menyebabkan bangsa Yahudi takut untuk mengundang Tuhan Yang Maha Esa itu dengan menggunakan empat abjad mati tersebut.
Akhirnya lama kelamaan penggunaan Tetra Gramaton tersebut menjadi hilang, dan mereka kemudian mengubahnya dengan istilah “Elohim”, atau “Eli” atau kadang-kadang dengan istilah “Adonai”. Dan ini berlaku hingga kini. Namun pada era ke-19, ke empat abjad mati tersebut, kembali dipanggilkan oleh orang Barat Katolik dengan istilah “Yehovah”.
Adapun perihal sepuluh perintah, ini merupakan asas pokok dalam iman dan ibadah Yahudi. Sepuluh perintah diterima oleh Musa dari Yehovah di atas Bukit Sinai melalui dua loh watu (lempengan kerikil bertulis atau prasasti), yang berbunyi :
1. Jangan menyembah kepada selain Yahweh.
2. Jangan menyembah patung atau berhala atau gambar.
3. Jangan menyebut Nama Yahweh dengan sia-sia.
4. Muliakan dan sucikan hari Sabat (Sabtu).
5. Hormati Ibu Bapak, maka dipanjangkanlah umurmu.
6. Jangan membunuh saudaramu.
7. Jangan berzinah.
8. Jangan mencuri.
9. Jangan bersumpah imitasi.
10.Jangan menginginkan kepunyaan saudaramu tanpa hak.
Agama Yahudi memiliki kitab suci yang berjulukan “Bib-Lia” atau “Alkitab” (penamaan barat) atau “Al-Kitab” (penamaan arab). Keseluruhan isi Al-Kitab ini yang disebut oleh pihak Nasrani dengan “Old Testament” atau “Perjanjian Lama”, terbagi dalam tiga bahagian besar adalah 1) Torah/ Taurat, yang artinya ajaran atau pengajaran, berisi lima buah kitab; 2) Nebiim, artinya Nabi-Nabi, yang terbagi menjadi 2 bab; dan 3) Khetubiim, artinya Kidung Pujian untuk kebaktian, hikmah, bimbingan dan saran. Terdiri dari 12 Kitab.
Kemudian tambahannya yaitu Tanna, adalah keterangan dan klarifikasi perihal aturan-hukum sebagai hasil penafsiran Torah. Tanna itu kemudian dikumpulkan dalam suatu himpunan, yang disebut Mishna. Setiap Tanna yang terdapat dalam Mishna itu, diulas dan ditafsirkan lagi secara panjang lebar serta di beri tinjauan dari banyak sekali sisi. Penafsiran dan ulasan ini disebut Gemara. Kumpulan dari Mishna dan Gemara, disebut Kitab Talmudz. Terdapat dua versi Talmudz adalah Palestinian Talmudz (Talmudz Palestina), Babylonia Talmudz (Talmudz Mesopotamia). Seluruh kitab-kitab tersebut, oleh kalangan Ortodoks Yahudi dianggap selaku kitab suci, serta dipandang sebagai sumber-sumber yang sah, dan di namakan Canonical Books. Sedangkan golongan Reformis Yahudi, hanya mengakui sebagiannya, dan menolak sebagian lainnya serta menamakannya sebagai Apocriphal Books. Kitab Taurat, pada awalnya belum dihimpun sebagai sebuah catatan tertulis. Ia hanya merupakan fatwa yang disampaikan dari ekspresi ke mulut (secara verbal) bebuyutan selama hampir 800 tahun. Hal ini berjalan semenjak zaman Musa (periode 12 SM) sampai pertengahan abad ke-5 SM ketika Nabi Ezra mengumpulkannya dalam bentuk Himpunan Naskah (Manuskrip).
Sedangkan aspek watak yang terdapat di dalam Taurat ialah unsur-komponen yang telah usang terdapat dalam agama Yahudi, yang kemudian menimbulkan agama Yahudi selaku agama yang mempunyai dimensi adab dan juga menyebabkan monotheisme Yahudi selaku monotheisme yang memiliki nuansa sopan santun. Namun hal itu tidak berjalan usang sebab perkembangan agama Israel sehabis nabi Musa tidak lagi mengamati etika dan anutan agama nabi Musa, hal demikian disebabkan beberapa aspek; agama Yahudi karam dalam problem-duduk perkara ritual dan seremonial, terutama setelah didirikan dan dikembangkan lembaga kependetaan yang pelan-pelan mulai memaksakan kekuasaannya terhadap kehidupan keagamaan Israel yang kemudian mengakibatkan agama nabi Musa sebagai agama kependetaan. Oleh karena itu aturan-aturan agamapun mengalami kejumudan dan materi-materi budbahasa hanya menjadi aspek pendukung keutamaan Israel. Terdapat beberapa level dalam interaksi moral Israel; pertama, interaksi tabiat dalam korelasi antara sesama orang-orang Israel; kedua, interaksi adab antara orang-orang Israel dengan orang non-Israel. Oleh alasannya adalah itulah dilihat dari sudut ras yang mulai berkembang dalam agama Yahudi yang kemudian pada kesudahannya mengganti menjadi agama ras yang tidak mengandung arah arah universal.
D. Modernisasi Yahudi: karakteristik lazim
Modernisasi dalam Agama Yahudi secara tidak pribadi berakar dari periode pencerahan adalah gerakan pedoman yang timbul pada era XVIII di bagian Eropa. Gerakan ini sangat mengagungkan anggapan, bersifat liberal, kemanusiaan, dan menjunjung tinggi ilmu wawasan dan banyak inovasi-penemuan ilmiah. Inilah sebuah gerakan terbaru dalam agama Yahudi.
Menurut Karen Amstrong, munculnya modenisasi agama Yahudi di mulai sejak penaklukan pemerintahan Islam Granada oleh Ferdinand dan Isabella. Ferdinand dan Isabella memberlakukan inkuisisi kepada umat Islam dan Yahudi Spanyol. Mereka diberi pilihan untuk memeluk agama Katolik atau minggat dari Spanyol. Konversi besar-besaran pun terjadi antara tahun 1449-1499 di mana ex-muslim disebut dengan Morisco, dan ex-Yahudi disebut dengan Marrano. Meski telah berpindah agama, namun mereka tetap dalam kesengsaraan dan ketidakadilan. Harta mereka dijarah, keluarganya dibantai dan mereka diusir dari kota-kota. Kaum Marrano lalu pindah ke bab lain Eropa, seperti Venice, Hamburg, London. Belanda adalah tempat prospektif bagi mereka karena negara ini yaitu negara terbaru yang liberal. Mereka mampu hidup hening dan bahkan sebagian besar kembali memeluk agama Yahudi. Kaum Yahudi dalam diaspora (pembuanngan) diberbagai negara Eropa juga bersinggungan dengan modernisme yang berjalan di sana sekaligus dengan imbas-efek buruk yang dibawa oleh dunia terbaru mirip musim yang lebih memprioritaskan rasio dari agama, tergolong sekularisme. Jauh sebelum sekularisme, ateisme dan perbedaan agama merebak di Eropa, sikap-sikap terbaru ini sebetulnya sudah ada pada orang-orang Yahudi Marrano di Iberia. Ini ialah konsekwensi logis dari inkuisisi. Inkuisisi sudah memaksa mereka mendapatkan Nasrani, sementara mereka membencinya, alasannya adalah orang-orang Katoliklah yang membuat mereka sengsara. Sebaliknya, mereka juga tidak boleh mengerjakan agama Yahudi. Seiring berjalannya waktu, pengetahun mereka wacana pemikiran Yahudi makin dangkal, agama Yahudi tinggal cuma ingatan periode silam. Hidup selaku insan yang bukan Yahudi dan bukan pula Kristen tulen membuat mereka tidak memberikan perhatian pada agama, mereka terpaksa menggantungkan diri pada nalar rasional. Kaum marrano sudah menyebarkan keyakinan yang sepenuhnya rasional, iktikad yang seperti dengan Deisme yang timbul pada kurun pencerahan.
Menurut Akhmad Sahal, salah satu tanggapankaum yahudi Eropa terhadap Pencerahan dan modernitas ialah dengan lahirnya zionisme yang di gagas oleh Theodor Herzl (1860-1904), wartawan Yahudi kelahiran Hungaria, seorang pemeluk asimilasionis, pembauran Yahudi ke dalam masyarakat Eropa terbaru. Istilah Zionisme berasal dari akar kata Zion atau Sion yang pada awal sejarah Yahudi merupakan sinonim dari perkataan Yerussalem. Zion berasal dari bahasa Inggris, dalam bahasa latin artinya Sion, dan bahasa ibraninya yaitu Tsyon. Arti dari istilah ini yaitu bukit yaitu bukit suci Jerusalem. Zion juga ditunjukan bagi Kota Jerusalem selaku kota yang tidak kentara, kota Allah daerah tinggal Yahweh. Zion menurut para sarjana merupakan suatu nama bukit yang diceritakan dalam perjanjian lama.
Zionisme adalah suatu gerakan dan ideologi yang terkait dengan sejarah orang-orang Yahudi di negara pembuangan untuk kembali ke negeri nenek moyang mereka, Palestina. Sebelumnya, ungkapan Zionisme pernah digunakan untuk menyebutkan komunitas bangsa Yahudi penganut Yudaisme yang menghendaki datangnya seorang juru selamat, yang mau membawa mereka terhadap kerajaan Tuhan yang hendak dipusatkan ditempat terjadinya kisah-kisah yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Musa.
Theodor Herzl, meyakini, sebagaimana sebagian besar Yahudi Eropa saat itu, bahwa satu-satunya jalan menuju emansipasi buat Yahudi, pembebasan dari diskrimnasi dan keterkungkungannya dalam kehidupan ghetto, ialah dengan mengadopsi semangat Pencerahan dan the idea of progress yang dilantunkan oleh modernitas.
Caranya dengan mengikuti undangan Napoleon Bonaparte. Penaklukan Napoleon di pelbagai penjuru Eropa pada era 18 menolong penyebaran wangsit-ilham Revolusi Perancis yang didasarkan pada proyek Pencerahan, utamanya ihwal kesetaraan “Hak-Hak Manusia dan Warga Negara.” Menurut Karen Amstrong, Napoleon meminta kepada komunitas Yahudi di Eropa Barat saat itu, jikalau mereka menerima hak-hak aturan dan politik yang setara dengan warga Nasrani dan sekular, mereka harus bersedia keluar dari ghettonya yang eksklusif dan melepaskan identitas primordial ke-Yahudi-an untuk menjadi individu-individu terbaru dan mereka harus melepaskan diri dari loyalitas mereka terhadap otoritas rabbi dan sepenuhnya loyal kepada negara Perancis yang sekular.
Dengan tawarannya itu, Napoleon mungkin saja punya maksud melenyapkan identitas ke-Yahudi-an dengan cara melebur mereka ke dalam penduduk Eropa entah dengan menjadi sepenuhnya sekular atau berkonversi ke Katolik. Seperti yang dibilang oleh sejarawan Amerika, Norman Cantor, Napoleon membaeri kaum Yahudi sebuah “tawaran ala Faust”: mereka harus menukarkan jiwa Yahudinya dengan kebebasan. Akan tetapi, tanggapankaum Yahudi justru sungguh bersemangat . Buat mereka, Napoleon telah membuka jalan bagi emansipasi untuk kaum Yahudi. Mereka meyakini Pencerahan bukan cuma tidak bertentangan dengan ke-Yahudi-an, melainkan justru menguntungkan Semboyan mereka yang populer: lihyot yahudi ba bait, wa adam ba khutz (menjadi Yahudi di rumah dan insan di luar). Kaum Yahudi di Perancis, contohnya, memperlihatkan justifikasi peleburan identitas ke-Yahudi-an dan ke-Perancis-an dengan menyaksikan Revolusi Perancis 1789 sebagai insiden mesianik dalam sejarah Yahudi terbaru, dengan menilai liberte, egalite, fraternite selaku aturan Sinai kedua. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai “Israelites de France.”
Hal yang sama juga terjadi di Jerman, daerah di mana gerakan Pencerahan Yahudi (Haskalah) yang dipelopori oleh Moses Mandelssohn justru berkembang dengan subur. Para aktivis Reform Judaism di Jerman yang berusaha memposisikan agama Yahudi selaku kredo etika universal begitu loyal terhadap tanah kelahirannya dan menyebut Berlin sebagai Jerusalem baru, “tanah air tempat di mana kita menautkan diri dengan ikatan cinta yang keras kepala.” Ungkapan doa yang diwariskan turun temurun, l’shana habaa b’Yerushalaim (tahun mendatang di Yerusalem) dilihat hanya sebagai bab dari istilah ritual yang serupa sekali tidak menampung acara politik untuk memulihkan kembali tatanan politik di Yerusalem.
Dengan menjadi pemeluk teguh ilham-ide Pencerahan seperti individualisme, rasionalisme dan sekularisme, mereka percaya bisa “masalah Yahudi” yang mendera mereka selama ratusan tahun hidup dalam diaspora di Eropa akan bisa dipecahkan secara tuntas. Kini identitas keyahudian tidak lagi mereka definisikan dalam kerangka tradisional, yakni berdasar pada kepatuhan terhadap halakhah (aturan Yahudi), melainkan menurut Pencerahan, yaitu sebagai individu dengan kebebasan dan kekhasannya sendiri.
Selain itu, Pencerahan ternyata juga melahirkan masalah baru buat kaum Yahudi. Karena, selain melahirkan individualisme, beliau juga memunculkan ilham perihal nasionalisme modern. Tapi di situlah letak masalahnya. Ketika orang-orang Yahudi di pelbagai negara Eropa bertransformasi menjadi individu-individu modern dengan identitas menurut ilham-ide kosmopolitan dan universal dari Pencerahan, penduduk Eropa justru sibuk membangun nation-statenya sendiri-sendiri. Meskipun orang Yahudi telah berupaya sepenuh hati menjadi bagian dari Eropa, dia tetaplah the other, orang luar di mata publik Katolik Eropa.
Dalam karya masyhurnya yang terbit pada 1896, Der Judenstaat (Negara Yahudi), Herzl menyatakan bahwa akar masalahnya yahudi terletak pada kehidupan diaspora Yahudi itu sendiri: kaum Yahudi hidup terpencar–pencar di pelbagai belahan dunia, tanpa punya negara yang menjadi “rumah” mereka sendiri. Diaspora yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, berdasarkan Herzl, mengindikasikan bahwa Yahudi terus hidup dalam apa yang dia sebut selaku “keganjilan.” Kondisi aneh inilah yang mengakibatkan mereka rentan kepada serangan antisemitisme, bahkan pada era modern sekalipun. Bagi Herzl, solusi untuk melenyapkan antisemitisme tidak mampu lain yakni dengan menyudahi ketaknormalan kehidupan diaspora tersebut melalui proses normalisasi kehidupan bangsa Yahudi. Caranya dengan keluar dari Eropa dan mendirikan negaranya sendiri.
Menarik untuk dicatat, terdapat perbedaan pertimbangan di golongan Zionis sendiri tentang penyelesaian Herzl: apakah yang ia maksud yakni membangun “negara Yahudi” sebagaimana lazim diketahui, atau “negara untuk orang Yahudi.” Perbedaan persepsi ini menyangkut buku Herzl sendiri, Der Judenstaat, yang memang lebih sempurna diartikan “negara untuk orang Yahudi.” Pada yang pertama, negara yang dimaksud haruslah berkarakter yahudi dan berlokasi di Palestina. Sedangkan pada yang kedua, negara yang dibayangkan Herzl tidak harus berkarakter Yahudi dan tidak mesti berlokasi di Palestina. Itulah sebabnya ia setuju dengan anjuran pemerintah kolonial Inggris pada permulaan era 20 untuk menyebabkan Uganda sebagai kawasan bagi negara Zionis (tetapi tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh kalangan Zionis lainnya).
Lepas dari itu, mampu kita simpulkan bahwa Zionisme bertolak dari kehendak Yahudi untuk melakukan penolakan kepada diaspora (shelilat hagalut), alasannya kehidupan diaspora dianggap abnormal. Zionisme yaitu upaya menormalkan kehidupan bangsa Yahudi semoga menjadi bangsa wajar , yakni bangsa yang punya negaranya sendiri sebagaimana bangsa-bangsa lain. (Dalam arti tertentu, normalisasi bangsa Yahudi yang mendasari Zionisme yaitu pemberontakan terhadap fikiran bangsa Yahudi selaku bangsa terpilih, kaeran Zionisme justru mengharapkan bangsa Yahudi selaku bangsa lazimsebagaimana bangsa-bangsa lain)
E. Gerakan-gerakan Agama Yahudi Modern
Umat Yahudi, utamanya yang tinggal di Jerman dan Eropa Timur (lazimdisebut dengan Yahudi Ashkenazim), mempunyai reaksi yang berlainan-beda terhadap modernisasi dan sekularisasi Eropa yang diakibatkan oleh Pencerahan itu. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis reaksi kepada modernisme yaitu kaum Yahudi Reformis, Kaum Yahudi ultra-orthodoks, dan neo-orthodoks.
1. Gerakan Yahudi Reformis
Kemunculan gerakan ini ialah tanggapanatas hak-hak yang diberikan oleh revolusi Perancis dan kesempatan yang terbuka bagi bergabunya kaum Yahudi mesti memasukan beberapa kebiasaan serta tradisi Yahudi untuk menghadapi tantangan-tantangn masa yang dijalani kaum yahudi dan menghadapi pergantian yang melanda penduduk secara umum. Menurut Akhmad Sahal, Prinsip utama Yahudi Reform yaitu ke-yahudi-an dipandang selaku metode etika, dibandingkan dengan sistem hukum agama (Halakhah). Kaum Reformis beropini, yang sakral hanyalah “Torah tertulis” (Perjanjian Lama), selebihnya yakni formulasi manusia. Artinya, di mata Yahudi Reformis, hukum dan tradisi Yahudi, yang dasarnya “Torah Lesan” (Talmud) mampu direvisi, atau diubah sesuai zaman. Atas dasar itu, kaum Reformis melancarkan pembaruan agama Yahudi, misalnya mengganti bahasa Hebrew/Ibrani dalam ibadah dengan bahasa Jerman. Aturan-hukum makanan minuman (Kashrut), khitan, pernak-pernik Sinagog dan lain-lain juga direvisi, semoga sesuai dengan modernitas.
Menurut Karen Amstrong, Revolusi Prancis membuat kaum Yahudi sangat bergirang hati. Para rabi menyatakan Revolusi Parancis sebagai “aturan kedua dari gunung Sinai”. “hijrah dari Mesir, Paskah Modern”, Zaman Messianis sudah datang dengan hadirnya masyarakat baru yang berlandaskan liberte, egalite, franternite”. Ketika pasukan Napoleon merambah Eropa, dia memperkenalkan prinsip-prinsip persamaan ini ke setiap negara yang ia duduki: Belanda, Italia, Spanyol, Portugal, dan Prusia. Satu demi satu Negara tersebut dipaksa untuk membebaskan kaum Yahudi.
Karen Amstrong juga mengatakan bahwa Yahudi Reformis pada mulanya ialah gerakan yang sangat pragmatis, dan jadinya, gerakan ini sepenuhnya berlandaskan pada prinsip-prinsip logos dan bertujuan untuk menyingkirkan mitos Yahudi. Gerakan reformis di Yahudi di wakili oleh Moses Mendelssohn (1729-1786), anak jenius dari spesialis Taurat di Dessau, Jerman, yang pada usia 14 tahun telah mengikuti gurunya ke Berlin. Di sana, dia jatuh cinta terhadap sistem berguru secular dan, dengan pesatnya, bisa menguasai bahasa Jerman, Prancis, Inggris, Latin, Matematika, dan Filsafat. Kaum ortodoks Yahudi penamai fatwa refomis Yahudi ini dengan istilah Haskalah (Pencerahan Yahudi) dan dianggap kafir oleh kaum ortodoks mirip Hasidim dan kaum Misnagdim.
Mendelssohn menganggap eksistensi Tuhan selaku sesuatu yang lumrah dan tetap bersikukuh bahwa rasio mesti mendahului kepercayaan. Kita cuma dapat mendapatkan otoritas Bibel sehabis menerangkan kebenarannya secara rasional. Mendelssohn juga mendukung pemisahan antara gereja dan Negara, serta privatisasi agama –sebuah solusi menawan bagi kaum Yahudi yang sungguh ingin mendobrak pembatasan-pembatasan ghetto dan turut terbenam dalam arus utama kebudayaan Eropa modern. Dengan menjadikan agama selaku urusan langsung, mereka bisa tetap menjadi Yahudi sekaligus orang Eropa. Mendelssohn beropini bahwa Yahudi yaitu rasional yang sangat cocok dengan perubahan zaman; ajarannya didasarkan pada rasio. Usahanya ialah yang pertama untuk menciptakan agama Yahudi mampu diterima oleh dunia modern dengan memaksakan pemikiran rasional yang gila ke dalamnya –sebuah anutan yang juga gila, bagi kebanyakan agama yang lain.
Selain terlibat dalam dunia Pencerahan beberapa maskilim (orang-orang tercerahkan) Yahudi mulai mempelajari warisan budaya mereka dari sudut pandang yang lebih sekuler. Diantara pergantian-perubahan yang digariskan gerakan ini termasuk meringkas do’a Yahudi, memakai bahasa setempat sebagai bahasa untuk berbicara, bahkan diizinkan penggunaannya dalam khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah keagamaan. Orang-orang Yahudi yang mengikuti gerakan ini memboikot banyak tradisi-tradisi Yahudi dan menentang banyak pedoman-aliran yang digariskan Talmud.
Selian Mendelssohn, Yahudi Reformis lainnya adalah Israel Jacobson (1708-1828). Ia percaya bahwa bila Yahudi mampu tampil lebih erat bagi penduduk Jerman, maka potensi pembebasanpun menjadi lebih besar. Jacobson yaitu seorang humanis yang mendirikan suatu sekolah di Seesen,bersahabat pegunungan Garz. Di sekolah ini, para siswa mempelajari mata kuliah sekular dan agama Yahudi, Jacobson juga membuka suatu sinagog dimana jemaahnya berpenampilan lebih sebagai orang Protestan dibandingkan sebagai orang Yahudi. Doa-doa diucapkan dalam bahasa setempat, dan bukan bahasa Ibrani. Di sana juga terdapat madah berbahasa Jerman, paduan bunyi adonan, dan khotbah di Jerman yang –kalau dibandingkan sebelum-sebelumnya- lebih memusatkan diri pada penyelenggaraan ibadah. Ritus tradisional dikurangi secara drastis.
Yahudi reformis sepenuhnya berasal dari dunia modern. Ia sungguh rasional, pragmatis, dan sungguh mendukung privatisasi agama. Para pembaharu sudah siap –dan sangat berkeinginan—untuk membuat pemutusan radikal dengan masa lampau dan rela menyingkirkan kepercayaan serta ibadah tradisional. Menurut Rudavky, yang dikutip oleh Karen Amstrong, menyampaikan bahwa orang Yahudi menilai pengucilan itu bukan sebagai bahaya terhadap keberadaan, para pembaharu malah merasa sangat nyaman di dalam diaspora. Semua mengiklankan Yahudi sebagai agama yang penuh dengan nilai-nilai modernitas : agama Yahudi rasional, liberal, manusiawi, serta siap meninggalkan partikularisme arkaiknya dan menjadi agama universal. Para pembaharu itu tak punya waktu buat hal-hal yang berbau irasional, mistis, dan misterius. Jika akidah dan nilai-nilai usang menghalangi kaum Yahudi untuk ikut serta secara produktif dalam dunia modern, maka kesemuanya itu mesti di musnahkan. Pada periode-kala permulaan, perhatian mereka sangatlah berbau mudah. Namun, pada tahun 1840-an, Reformasi mulai menarik minatpara ilmuan dan rabi yang melakukan kajian kritis terhadap sejarah Yahudi. Leopold Zunz (1794-1886), Zachariah Frankel (1801-1875), Nachman Krochmal (1785-1840), dan Abraham Geiger (1810-1874), memberlakukan metode observasi ilmiah terbaru terhadap sumber-sumber suci Yahudi. Mereka membentuk mazhab ‘Sains Yahudi”, yang sangat terperinci dipengaruhi filsafat Kant dan Hegel . Mereka berpendapat bahwa Yahudi bukanlah sebuah agama yang diturunkan secara tuntas di periode lampau. Yahudi meningkat pelan-pelan, dan dalam proses itu, agama ini menjadi lebih rasional dan sadar-diri. Pengalaman religious, yang dulunya selalu diekpresikan dalam bentuk visi, sekarang bisa dikonseptualisasikan serta diketahui dengan intelegensia kritis. Dengan kata lain, mitos kini diubah menjadi logos.
2. Gerakan Yahudi Ultra-Orhtodox
Secara harafiah, orthodoks yaitu pedoman atau doktrin yang benar, berasal dari kata Yunani “orthodoxos”. “Orthos” artinya lurus atau lempang. “Doxa” artinya pendapat atau akidah. Lawan dari ortodoksi ialah heterodoksi, yaitu pendapat atau kepercayaan “lain” (hetero) yang dianggap menyimpang dari pemikiran yang benar dan lempang. Dalam hampir setiap agama senantiasa ada ketegangan, bahkan kerapkali juga konflik dan perang, antara ortodoksi dan heterodoksi.
Pemakaian istilah Ortodox tersebar setelah munculnya gerakan reformasi di Eropa Barat, dan pemakaian nama ini merupakan bentuk ungkapan kontradiksi dari pihak Yahudi Ortodox terhadap pergantian yang dimasukan para pendukung gerakan reformis kedalam kepercayaan Yahudi. Kelompok ekstrim dari kalangan Yahudi Ortodox yaitu kaum Yahudi Timur yang menolak setiap upaya pembaharuan dan reformasi pada sisi manapun dari segi kehidupan Yahudi, utamanya kehidupan beragama.
Menurut Akhmad Sahal, anutan ultra-orthodoks, yang juga disebut Haredim (mereka yang gemetar kalau menzikirkan Yahweh) ini menekankan kepatuhan terhadap hukum Yahudi secara ketat, dan mempesona garis batas dengan modernitas. Kaum ultra-orthodox bersemboyan “hadash asur min ha Torah” kebaruan itu dihentikan dalam Torah. Kaum ultra-Orthodox, banyak di Hungaria dan Eropa Timur lain, menegaskan identitas ke-Yahudi-an lewat pakaian, bahasa Hebrew. Singkatnya, dalam rangka menolak Yahudi Reformis, kaum Yahudi ultra-orthodox menegaskan pentingnya identitas keyahudian berbasis Halakhah.
Karen Amstrong menyampaikan bahwa, kalangan Yahudi ultra-orthodox ini di wakili oleh kaum Hasidim yang didirikan oleh Israel ben Eliezer (1700-1760), yang lebih populer dengan sebutan “Besht”, akronim dari Baal Shem Tov yang arti harfiahnya “Penguasa Nama-Nama Baik”. Hasidisme yakni gerakan pembaharuan konservatif. Spritual Hasidisme bersifat mitologis, yaitu dengan melandaskan diri pada symbol Lurianik tentang percikan cahaya ketuhanan yang terperangkap dalam materi, pada era peristiwa besar. Namun Besht kemudian mengganti visi tragis ini menjadi sesuatu nyata perihal kemahahadiran Tuhan. Percikan cahaya ketuhanan mampu ditemukan di segala hal. Tak ada tempat di mana Tuhan tidak ada: kaum Hasidim yang paling taat menjadi sadar akan adanya dimensi ketuhanan tersembunyi ini dengan cara melakukan latihan-latihan fokus dan pendekatan (devekut) kepada Tuhan setiap saat.
Dalam berbagai hal, Hasidisme yakni antitesis dari semangat pencerahan Eropa yang sedang memasuki Eropa Timur pada simpulan kehidupan Besht. Jika para filsuf dan ilmuwan yakin bahwa rasio saja telah cukup untuk mencapai kebenaran, maka Besht mengajukan intuisi mistis di samping rasionalitas. Hasidisme menolak pemisahan modernitas –antara agama dengan politik, yang sakral dengan yang profan- dan menggunakan visi holistik yang memungkinkan mereka melihat sakralitas di mana saja. Jika sains terbaru telah membebaskan dunia dan memperoleh bahwa alam semesta tidak bertuhan, maka Hasidisme mengakui imanensi sakral. Meskipun Hasidisme merupakan gerakan massa, gerakan itu tidaklah demmokratis. Besht percaya bahwa seorang Hasid lazimtidak akan mampu menyatu dengan Tuhan secara langsung. Tuhan cuma mampu ditemukan dalam bentuk pribadi seorang Zaddik (orang yang lurus) yang mengusai devekut, kesadaran mistis perihal Tuhan yang jatuh di luar jangkauan orang. Karenanya, seorang Hasid sangat tergantung terhadap Zadduknya, suatu perilaku yang dihujat Kant sebagai pelajaran jelek. Karenanya, Hasidisme sangat berlawanan dengan pencerahan. Akibatnya, banyak kaum Hasidim menolak masuknya pencerahan ke Eropa Timur.
Pada permulaan abad ke-19, juga muncul Kaum Yahudi ultra-ortodok yang masih menjaga ajaran usang dengan senantiasa menenggelamkan dirinya dengan mempelajari Taurat dan Zabur serta bersikukuh bahwa modernitas mesti dihancurkan. Mereka berpendapat bahwa studi-studi non-Yahudi tidak sesuai dengan Yahudi. Salah satu juru bicara utamanya ialah Rabi Moses Sofer dari Pressburg (1963-1839) yang menentang segala perubahan atau fasilitas terhadap modernitas. Menurutnya, Tuhan tidak berganti. Dia melarang anak-anaknya membaca buku-buku karangan Mendelssohn dan tidak membolehkan mereka mengikuti pendidikan sekular ataupun ikut serta dalam penduduk terbaru. Intinya, responsya terhadap modernisasi adalah mengalah. Namun, kaum tradisional lainnya merasa perlu berkreasi dalam mengatasi ancaman dampak rasionalisasi sekular.
Selain Rabi Moses Sofer, Rabi Hayyim Volozhiner tergolong kaum Yahudi ultra-ortodok yang bisa menirikan yeshiva (semacam seminari bagi kaum Yahudi) pada tahun 1803. Di periode lampau, suatu Yeshiva (kata yang diturunkan dari bahasa Ibrani yang mempunyai arti ‘duduk’) dalah sederet ruangan kecil di belakang sinagog, di mana para siswa mempelajari taurat dan Talmud. Yeshiva menjadi institusi yang menegaskan Ultra-ortodoks yang berkembang pada abad ke-20. Yeshiva ialah salah astu perwujudan awala tipe religiusitas militan itu. Kaum ultra-ortodoks terkadang merespon modernitas dengan membuat suatu kantong agama sejati, yakni semacam yeshiva. Hal ini melambangkan penarikan diri dari dunia tak bertuhan, adalah mempesona diri ke dalam penduduk swasembada di mana orang-orang beriman berupaya mencari kembali eksistensinya di tengah-tengah pergantian yang terjadi di luar. Karenanya, pada pada dasarnya, respon ini ialah suatu gerakan deensif. Namun, gerakan mundur ini mempunyai peluanguntuk melancarkan serangan akhir.
3.Gerakan Yahudi Neo-Orthodox
Gerakan ini ialah fase pertengahan antara gerakan Yahudi ultra-Ortodox dan gerakan Yahudi Reformis. Gerakan ini menerima seluruh rancangan-rancangan agama yang tradisionalis dan berusaha memahaminya dengan pengertian kontemporer. Oleh sebab itu dia mencampur adukkan antara yang lama dan yang baru dalam rangka menggabungkan di antara keduanya. Dalam persepsi Akhmad Sahal, Aliran neo-orthodoks mempunyai semboyan: Torah im derekh Eretz, Artinya, Torah dengan jalan atau cara dunia. Torah memang mengendalikan semua aspek hidup. Tak ada pemisahan agama dan dunia, namun cara hidup yang berbasis Torah tersebut harus juga mengakomodasi cara hidup duniawi yang terbaru juga, Dengan kata lain, kaum neo-orthodox tidak menolak modernitas secara serta merta, namun modernitas tersebut harus diberi muatan religius, neo-orthodox patuh kepada halakhah, dan tidak menolak modernitas, namun modernitas tersebut diberi cita rasa Yahudi.
Gerakan Yahudi neo-orthodox ini, dalam pandangan Karen Amstrong, timbul dari gerkan kaum Yahudi reformis. Krochmal, contohnya, yaitu seorang Yahudi yang sangat memegang teguh ritus usang yang dihapuskan oleh gerakan reformasi. Frankel dan Zunz sama-sama percaya bahwa penghapusan tradisi secara besar-besaran menyimpan bahaya besar. Pada tahun 1849, Zunz menulis sebuah artikel yang menampilkan ritual Yahudi sebagai tanda lahiriah kebenaran dasar. Zunz mengakui pentingnya sekte yang membuat mitos dan iktikad agama lebih gampang diketahui. Frankel juga mengakui pentingnya ritual dalam membantu insan menemukan perilaku spritualnya yang bagus. Dia cemas para pembaru menjadi begitu rasional, sehingga mereka kehilangan sentuhan emosinya. Rasio saja tidak mampu memuaskan emosi atau menawarkan kebahagiaan yang selalu bisa diberikan oleh Yahudi tradisional. Beberapa pergantian memang perlu, namun para pembaharu adakala kurang peka akan pentingnya peranan emosi dalam penyembahan. Zunz dan Frankel sangat memahami adanya komponen mitologis agama, sehingga mereka tidak sepenuhnya mengikuti alur ajaran terbaru yang menjadikan rasio selaku satu-satunya pintu menuju kebenaran. Geiger yakni rasionalis tulen yang membela gerakan reformasi. Namun, sehabis beberapa tahun berlalu, kaum Yahudi Reformis mengakui kebenaran dalam pendapat Zunz dan Frankel. Para pembaharu itu kemudian membangkitkan kembali beberapa praktek tradisional, karena mereka menyadari bahwa tanpa unsure mistis dan emosi, agama akan kehilangan ruhnya.
Gerakan kaum neo-orthodox lainnya datang dari Frankfurt. Pada tahun 1851, sebelas anggota komunitas Frankfurt, yang didominasi oleh gerakan Reformasi, meminta izin terhadap pemerintah setempat untuk menciptakan perkumpulan religiusnya sendiri. Mereka memanggil Samuel Raphael Hirsch (1808-1888) untuk menjadi rabinya. Kemudian, dengan segera Hirsch mendirikan sekolah dasar dan menengah di mana diajarkan pelajaran secular dan Yahudi, dengan santunan financial dari keluarga Rothschild. Seperti yang ditunjukkan Hirsch, hanya di ghetto sajalah kaum Yahudi melalaikan studi filsafat, kedokteran, dan matematika. Di era lampau, para pemikir Yahudi mengambil peranan penting dalam dunia intelektual popular, utamanya si dunia Islam. Di dalam ghetto, kaum Yahudi terisolasi dari alam dan, karenanya, mengabaikan studi-studi ilmu alam. Hirsch berpendapat bahwa Yahudi tidak butuhtakut untuk bekerjasama dengan kebudayaan lain. Kaum Yahudi seharusnya merangkul sebanyak mungkin kemajuan terbaru, pastinya dengan tetap mempertahankan semoga mereka tidak menjadi ikonoklatis mirip kaum pembaharu.
Dari Penjabaran yang panjang ini, kita bisa menyaksikan kompleksitas dan nuansa perilaku Yahudi terhadap modernitas yang tiba dari Barat. Kita akan lihat bahwa banyak umat beragama di dunia modern yang juga memiliki respon yang serupa terhadap modernitas tersebut. Pada ketiga agama monoteis, senantiasa saja ada ancaman bahaya. Ketakutan akan hancurnya agama merupakan salah astu kecemasan manusia paling mendasar, dan hadirnya gerakan-gerakan keagamaan di dunia terbaru kebanyakan adalah karena ini. Seiring dengan kian berkuasanya semangat sekular dan semakin bertentangannya rasionalisme dengan agama, umat beragama menjadi sangat defensif dan spritualitas mereka menjadi sungguh militan.
F. PENUTUP
Dari beberapa penjelasan di atas, maka mampu ditarik kesimpulan bahwa agama Yahudi yaitu agama yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Musa, yang diajarkan terhadap Bani Israel dengan Taurat selaku kitab sucinya yang esensinya terletak pada perintah sepuluh Tuhan. Kitab tersebut oleh orang Yahudi diberi berjulukan “Bib-Lia” atau “Bibel” (penamaan barat) atau “Al-Kitab” (penamaan arab). Keseluruhan isi Al-Kitab ini yang disebut oleh pihak Katolik dengan “Old Testament” atau “Perjanjian Lama”, terbagi dalam tiga bahagian besar yaitu 1) Torah/ Taurat, 2) Nebiim, artinya Nabi-Nabi, yang terbagi menjadi 2 bagian; dan 3) Khetubiim, artinya Kidung Pujian untuk kebaktian, hikmah, tutorial dan nasehat. Terdiri dari 12 Kitab.
Munculnnya modernisasi di Eropa pada kala XVIII memunculkan sikap bermacam-macam bagi umat Yahudi. Dalam Agama Yahudi mempunyai reaksi yang berlainan-beda terhadap modernisasi. Sekurang-kurangnya ada tiga jenis reaksi kepada modernisme yakni kaum Yahudi Reformis, Kaum Yahudi ultra-orthodoks, dan neo-orthodoks.
Kaum Yahudi Reformis muncul karena mereka menilai bahwa ke-yahudi-an dipandang sebagai sistem adat, ketimbang metode hukum agama (Halakhah). Kaum Reformis beropini, yang sakral hanyalah “Torah tertulis” (Perjanjian Lama), selebihnya ialah formulasi manusia. Artinya, di mata Yahudi Reformis, hukum dan tradisi Yahudi, yang dasarnya “Torah Lesan” (Talmud) mampu direvisi, atau diubah sesuai zaman. Kaum Yahudi reformis ini di wakili oleh Moses Mendelssohn (1729-1786) dan Israel Jacobson (1708-1828).
Sementara pedoman Yahudi ultra-orthodoks, yang juga disebut Haredim (mereka yang gemetar bila menzikirkan Yahweh) ini menekankan kepatuhan kepada aturan Yahudi secara ketat, dan menarik garis batas dengan modernitas. Kaum ultra-orthodox bersemboyan “hadash asur min ha Torah” kebaruan itu tidak boleh dalam Torah. Tokoh dalam pedoman Yahudi Ultra-Orthodoks ini yakni Israel ben Eliezer (1700-1760), Rabi Moses Sofer dari Pressburg (1963-1839), dan Rabi Hayyim Volozhiner.
Gerakan neo-orthodoks juga ialah respon kepada modernisasi di Eropa pada abad XVIII tersebut. Gerakan ini mendapatkan seluruh konsep-konsep agama yang tradisionalis dan berusaha memahaminya dengan pengertian kontemporer. Aliran ini mempunyai semboyan: Torah im derekh Eretz, Artinya, Torah dengan jalan atau cara dunia. Torah memang mengontrol semua aspek hidup. Tak ada pemisahan agama dan dunia. Dengan kata lain, kaum neo-orthodox tidak menolak modernitas secara serta merta, namun modernitas tersebut mesti diberi muatan religius, neo-orthodox patuh terhadap halakhah, dan tidak menolak modernitas, tetapi modernitas tersebut diberi cita rasa Yahudi. Tokoh dalam gerakan ini yaitu Leopold Zunz (1794-1886), Zachariah Frankel (1801-1875), dan Samuel Raphael Hirsch (1808-1888).
BIBLIOGRAPHY
Amstrong, Karen. 2002. Berperang Demi Tuhan, Bandung: Mizan
Abdallah Ulil, Abshar, Ortodoksi sebagai suatu konstruksi, (sumber : )
———————-, “Zionisme Dalam Perspektif Yahudi Orthodoks”(sumber: )
Salabi, Ahmad. 1990. Perbandingan Agama: Agama Yahudi, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
Tafsir, Ahmad. 2005. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
Vriezen, Th.C. 1983. Agama Israel Kuna, Jakarta: BPK Gunung Mulia