Strategi Pendidikan Berbasis Imajinasi Kolektif
Dewasa ini, pembahasan konseptual maupun mudah perihal sistem pendidikan nasional kerap kali disederhanakan menjadi suatu diskusi atau wacana dengan membulak-balik dan membedah silabus dan kurikulum. Sudah menjadi kebiasaan pada dewasa ini, kurikulum menjadi lahan intervensi para stakeholders dengan membongkar pasang kurikulum setiap terjadi pergeseran menteri. Terkesan sukses tidaknya proses pendidikan cuma bergantung pada satu instrumen teknik operasional semata, yaitu kurikulum, yang terkesan dirancang secara mutakhir, tetapi pada dasarnya cuma mengadopsi kurikulum negara-negara barat yang kita anggap jauh lebih maju dan modern. Manusia Indonesia selaku subyek dari tata cara pendidikan dengan latar belakang keanekaragaman budaya yang unik, yang acapkali terombang-ambing oleh persoalan multidimensional yang tengah dihadapinya, justru posisinya selaku subyek sering kali terabaikan.
Kurikulum telah menjadi ‘lampu aladin’ yang terkadang dibanggakan sanggup memoles siswa bimbing sedari bangku taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, agar mereka menjadi makhluk individualis yang kelak akan cekatan mengisi berbagai jenis pekerjaan di sektor bisnis maupun di sektor publik. Padahal tanpa disadari, kita semua sebagaitenaga pendidik dan orang bau tanah, tergolong juga siswa bimbing, dibesarkan dalam suasana kehidupan kolektif-kultural dengan balutan tradisi yang teramat pekat. Hal ini sejalan dengan keragaman lingkungan penduduk Indonesia yang lebih bercorak agraris dan bahari, ditambah alasannya permintaan pembangunan, sebagian dari aktivitas penduduk terserap juga kedalam bidang pekerja tambang, manufaktur maupun jasa, selaku transisi memasuki masyarakat industri.
Sementara pada kelompok politikus, intelektual, wirausahawan, industrialis dan aristokratik yang berlatar belakang bangsawan atau aristokrat, atau mereka yang mujur mengenyam pendidikan relatif tinggi di kurun lalu, balasan persentuhan dengan bangsa aneh khususnya belanda, sebagian besar telah terbiasa bahkan fasih memakai bahasa belanda yang kemudian digunakan untuk menguatkan simbol status sosialnya dalam percakapan keseharian mereka, meskipun dalam kehidupan sehari-harinya para ambtenaar ini sama sekali tidak menanggalkan akar tradisi contoh sikap kolektif kulturalnya, dengan ikatan korelasi atau teladan persaudaraan (n’affiliation) yang termat berpengaruh. Kuatnya ikatan tradisi kultural yang mengendap dalam bawah sadar masyarakat Indonesia, sering juga mengakibatkan problematika, ialah terjadinya disfungsionalitas pandangan kepada pranata terbaru yang kadang dimaknai oleh kaidah-kaidah tradisional, sehingga di masa lalu pengambilan keputusan dengan cara “vooting” contohnya, condong disingkirkan, dan lebih memprioritaskan keputusan secara musyawarah kekeluargaan. Sisi negatifnya yaitu maraknya praktek-praktek KKN sampai detik ini. Sementara segi positifnya masih melekatnya budaya gotong-royong dalam sebagian penduduk Indonesia, yang didorong oleh ikatan tradsional kolektif, disadari atau tidak.
Sehingga tidak salah dalam mempersatukan seluruh bangsa Indonesia, pendiri republik ini mengumandangkan semboyan bhineka tunggal ika selaku esptit de corps persatuan bangsa. Dalam rangka memburu aneka macam ketinggalan di berbagai bidang kehidupan, pemerintah Indonesia setelah melalui beberapa masa pergeseran kepemimpinan menyadari betul akan pentingnya pendidikan untuk mencerdaskan segenap warga Indonesia semoga memiliki mutu yang sejajar dengan bangsa lain. Namun hasil yang diperoleh dari penerapan kurikulum yang berbasis pada kelebihan individualis selama ini, ternyata tidak mampu mengangkat peringkat pendidikan kita dan juga tidak bisa mencegah merosotnya kualitas SDM anak bangsa secara keseluruhan, meskipun telah ditunjang oleh berbagai fasilitas fisik maupun non-fisik yang cukup memadai. Selain itu terdapat kesan besar lengan berkuasa, bahwa para konseptor dunia pendidikan di tanah air kita mayoritas oleh corak gagasan pendidikan yang bersifat ke barat-baratan – melalui aktualisasi tata cara pendidikan nasional (SISDIKNAS) yang kurang membumi yakni lebih mengedepankan perangkat kurikukulum yang berbasis pada aspek individualisme ketimbang faktor kolektivisme, tanpa melakukan penyesuaian faktor empirik psikologik kepada ciri kekhasan sosio-kultural penduduk kita secara cermat dan jeli, sehingga sering melahirkan akumulasi duduk perkara yang berulang, yang sering menghantui siswa ajar dikala mereka menghadapi proses evaluasi, seperti dalam masalah cobaan nasional yang terjadi tamat-tamat ini.
Wajarlah jikalau di benak siswa asuh terjadi ambivalensi persepsi dalam memaknai suasana kurikuler belajar mengajar di sekolah atau di kampus yang bersifat individualis, dengan situasi kehidupan di lingkungan sobat, keluarga, dan masyarakat yang bersifat kolektif korelasi. Tak dapat disangkal bahwa suasana kebatinan insan Indonesia dengan segala ragam kekayaan etnis dan budayanya – perlu dihadirkan dan diselaraskan di lingkungan dimana dia berada, tergolong dalam konteks dunia pendidikan.
Dengan latar belakang ini seyogyanya suatu seni manajemen pendidikan diawali, dan sebuah kurikulum dibungkus . Tentunya berlainan dengan penduduk barat, yang makna kebahagiaan eksistensialnya diperoleh saat tengah berada dalam penghayatan individualitasnya, sementara bagi penduduk Indonesia makna kebahagiannya didapat lewat koeksistensi dalam penghayatan kolektif. Sampai ketika ini penduduk Indonesia tidak mampu melepaskan kebahagiannya lepas dari keluarga, sahabat, kerabat dan seterusnya. Sehingga kehidupan majelis talim, klub-klub asosiasi, komunitas, ormas, LSM dan aktivitas sosial lainnya semakin marak cukup umur ini, tidak lain sekedar untuk memelihara keinginan kebahagiaan koeksistensinya yang bercorak kultural-kolektif.
Jika ambivalensi pemaknaan yang menghinggapi anak ajar terus dibiarkan, maka pada gilirannya mampu memicu ketidakseimbangan kejiwaan disadari atau tidak terjadi keterasingan kultural sikap generik siswa asuh kepada perangkat sistemik pendidikan formal yang meresahkan, yang pada risikonya akumulasi dari banyak sekali kerisauan tersebut akan menjebol kendali pertahanan ego nya. Salah satu balasan yang mampu ditimbulkannya ialah meletupnya energi agresif tak terkendali baik di ruang kelas maupun di jalanan yang sering meletup secara tiba-tiba dengan aneka macam modusnya, mirip langkah-langkah vandalisme, tawuran, dan perilaku eksplosif lainnya yang mengarah pada tindakan kriminalitas. Sebaliknya bila letupan agresif tersebut tidak tersalurkan, para siswa akan menawan diri dari kehidupan sosialnya, dengan menawarkan perilaku apatis, sulit bergaul dan meyesuaikan diri, tidak inginpeduli dan perilaku yang lain, sehingga sebuah ketika mereka akan mencari pengganti kebahagiaan koeksistensialnya dengan kenikmatan obat bius atau narkoba, baik sebagaipengguna maupun selaku pengedar.
Di bawah kendali pemerintahan orde reformasi remaja ini, kebebasan lisan masyarakat lebih diberi fleksibilitas, sehingga kegiatan demo misalnya, sebagai verbal kebebabasan tersebut menjadi sebuah fenomena keseharian. Bukan saja ekspresi ketidakpuasan kepada lingkungan pendidikan, akan namun juga meluas ke berbagai sektor kehidupan masyarakat lainnya. Namun demikian arena berekspresi tersebut masih terasa dibatasi di lingkungan kawasan kampus dengan diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), serta dilarangnya kampus dijadikan ajang aktivitas politik praktis yang berjalan efektif sejak pemerintahan orde gres sampai kini. Dengan demikian acara dan aspirasi kolektif mahasiswa mulai bergeser ke luar kampus, dengan maraknya kemajuan forum swadaya masyarakat (LSM) dibarengi berbagai komunitas khas kepemudaan yang tumbuh menjamur. Adanya saluran verbal di luar sekolah atau kampus berupa wadah LSM, ORMAS, dan komunitas lainnya telah mendorong aspirasi kolektivitas para aktivitis mahasiswa untuk menggeluti pribadi di luar kampus, sehingga apa yang terjadi di lingkungan sekolah atau kampus yang bernuansa kompetitif-individualistik untuk merebut prestasi, berbalik arah dengan kegiatannya yang bersifat kolektif di penduduk . Seiring dengan perjalanan waktu, para siswa atau mahasiswa sudah didewasakan oleh kondisi untuk bisa membedakan, mana aktivitas berguru- mengajar yang bersifat akademik dengan kegiatan yang bersifat politik praktis dalam ranah dan konteks yang berlainan.
Secara tidak sengaja, para siswa atau mahasiswa telah dihadapkan eksklusif untuk bersosialisasi dengan realitas kehidupan yang bekerjsama dimana mereka berada, melalui akses aspirasi yang telah tersedia atau bahkan tidak tersedia dalam penduduk . Sehingga kritik dan aspirasi mahasiswa lebih proporsional dan kontekstual ketika menghadapi info-isu kritikal spesifik, mirip problem lingkungan, pencemaran, dan gosip kenaikan harga BBM baik di tingkat tempat maupun nasional. Maka pada akhir-final ini jarang terdapat demo yang berskala besar yang secara masif dilaksanakan oleh sejumlah golongan siswa atau mahasiswa dari pelbagai sekolah atau kampus. Terkuaknya sekat-sekat penyumbat akses aspirasi ini, merupakan medan magnit bagi munculnya era baru kurun renaissance, berupamunculnya keterbukaan dan verbal yang disokong oleh keleluasaan media untuk mengoreksi dan merapikan SISDIKNAS kita. Salah satu pemikiran mempesona dan kontroversial yang muncul tamat-tamat ini adalah datangnya ihwal publik yang mengarahkan SISDIKNAS dengan kurikulum berbasis isi (KBI) ke kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Sejarah kembali berulang! Jarang disadari bahwa kompetensi, meskipun ialah pemikiran yang bagus dan mulai meningkat di kalangan pengusaha barat di kala 70-an, pada hakikatnya masih mengedepankan hegemoni faham individualisme berlandaskan seting psiko-industrial masyarakat barat yang memerlukan pekerja cekatan dengan tingkat presisi tinggi, semoga bisa menjadi operator mesin-mesin mutakhir di pabrik atau pun untuk mempercepat berputarnya roda bisnis mereka.
Fokus pada kompetensi umumnyadibangun melalui pelatihan, akan namun bukan di lingkungan pendidikan formal seperti di sekolah atau pun di kampus. Dalam dunia pendidikan formal, bangsa barat tetap konsisten dengan aktualisasi sistem pendidikannya yang berpijak pada basis khayalan dan individualistik, utamanya di negara-negara G7, terkecuali Jepang yang nyatanya berhasil mengkombinasikan talenta khayalan tanpa kehilangan budaya kolektivitas bangsanya. Negara-negara barat secara empirik sudah terbukti mampu menerapkan kemajuan teknologi, kesejahteraan ekonomi, kemakmuran sosial, berikut hegemoni peradabannya di seantero penjuru dunia dengan mulus. Oleh sebab itu, tak aneh bila kita menjumpai kurikulum berikut atmosphere sekolah atau kampus di negara-negara barat yang sangat membanggakan sekaligus mementingkan pegajaran kesusastraan sebagai sebuah stimulus penting dalam mendorong pengembaraan khayalan seseorang semoga melayang hinggap di awan kreativitas, dan risikonya mengantar kesadaran penduduk , bangsa, dan negara tersebut menjadi pelahap buku yang sangat rakus. Keterpukauan pada keberhasilan ala pendidikan negara-negara barat dalam mencetak sumber daya insan (SDM) yang berkualitas, menggambarkan adanya kemandekan dalam berkhayalyang disertai oleh adanya rasa inferioritas terselubung, tanpa menimbang adanya realitas perbedaan nuansa budaya antara alam kehidupan ketimuran di Indonesia di satu sisi, dan alam kehidupan budaya di negara barat yang sudah menempel dan turun menurun, di segi lain. Dalam konteks demikian, sering ditemui fenomena pendidikan yang menggelikan sekaligus menggelisahkan, antara lain saat siswa Sekolah Menengan Atas, SMP,Sekolah Dasar, dan bahkan tingkat Taman Kanak-kanak atau prasekolah di kota-kota besar di tanah air diajari pihak sekolah maupun orang tuanya untuk berbahasa Inggris atau bahasa asing yang lain. Padahal keahlian berbahasa Indonesia keseharian mereka masih sangat terbatas. Rupanya anak Indonesia dengan latar belakang kekayaan ragam etnik yang berkulit sawo matang, bermata hitam, hendak ‘disulap’ menjadi anak kulit putih bermata biru, yang menyiratkan pamor simbolis keberhasilan perkembangan era depan mereka.
Kembali ke duduk perkara pendidikan di tanah air kita, layak kiranya dikaji kembali wacana ide aneka macam kelompok konseptor pendidikan yang memprovokasi publik dengan ide sistem pendidikan berbasis kompetensi. Sangat dikhawatirkan makna kompetensi yang latah didengungkan itu, alih-alih hanyalah bentuk baru dari imperialisme pendidikan yang mau makin memiskinkan imajinasi dan mengisolasi manusia Indonesia dari akar sosio-budayanya, sehingga memperparah ketergantungan kita kepada kompetensi ala bangsa barat yang sudah jauh lebih maju dan bersenyawa dengan laju budaya dan peradaban mereka.
Tentunya hal ini ibarat hendak mengejar laju kereta api dengan berlangsung kaki.Berdasarkan paparan di wajah, telah saatnya kita besama-sama memberanikan diri mengembangkan suatu terobosan pemikiran strategik dalam merumuskan dan mengelola SISDIKNAS, yang walaupun menjiplak versi metodologi barat dalam sisi pegembangan aspek imajinasi para siswa atau mahasiswanya, namun muatan tata cara pengajarannya tetap berakar di bumi sendiri dengan menghargai dan mengukuhkan terciptanya ruang kolektif bagi mereka, yang dapat kita sebut selaku rancangan pendidikan berbasis imajinasi kolektif. Artinya walupun ada upaya menjiplak pendidikan barat namun dilaksanakan dengan kreativitas yang berlainan, alasannya makna mulut imajinatif yang mau digugah pada para siswa atau mahasiswanya adalah dengan pementingan atas proses mencar ilmu mengajar yang bersifat kolektif, ialah olah khayalan secara berkelompok (gestalt), dan bukannya penjumlahan dari individual. Adapun rincian terapan kurikulernya dapat diperbincangkan kemudian gotong royong dengan berbagai stakeholders terkait. Bisa saja kurikulum baku yang sudah berjalan kini ini diubah secukupnya saja, tanpa harus merombaknya secara total, alasannya hakikat masalahnya bukan pada isi kurikulum, namun lebih substansif berupa pembangunan atmosphere kemerdekaan aspiratif dalam menyintesiskan gairah imajinasi dan kolektifitas di sekolah atau kampus secara alami.
Dua karakteristik tadi, yakni gairah berimajinasi yang tinggi dan semangat atau tabiat kerja kolektif yang kuat, yang sudah mengendap selama beberapa generasi, kini perlu kiranya dihargai, dihidupkan kembali (rebirth) sebagai daya inspiratif bagi pembenahan dunia pendidikan ala Indonesia. Hanya dengan berlandaskan pada prosedur psikologik yang direkayasa (social engineering), ialah dengan melaksanakan perubahan strategi metode pendidikan nasional, diprediksi akan bisa secepatnya meneguhkan integritas kepribadian para siswa atau mahasiswa, dalam mendorong pergeseran sikap kolektif yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan konatifnya.
Keseluruhan dialektika tadi mengantarkan pada upaya dan kesadaran penduduk , bangsa, dan negara secara impulsif untuk seintensif mungkin berbenah diri menerobos jalan baru semoga sesegera mungkin memajukan mutu manusia Indonesia secara utuh, diiringi oleh daya juang optimal yang menggelora demi mengejar-ngejar ketertinggalan maupun dalam upaya mengungguli kemajuan penduduk , bangsa, dan negara lain. Pengekangan kepada imajinasi seseorang sama halnya dengan merampas kemerdekaan kodrati manusia, yang mau berpengaruh pada perkembangan penduduk , bangsa, dan negara dalam membuatkan kreatifitas kolektifnya. Hal ini terjadi alasannya adalah mereka mampu kehilangan kemampuan abstraksi sosialnya tatkala merumuskan ragam langkah alternatif dalam mencari penyelesaian atau resolusi atas datangnya masalah atau pun tantangan pendidikan yang semakin hari makin kompleks.
Sekaligus kehilangan sensitivitas dan kreativitasnya sewaktu menyaksikan kesempatan berpeluang pendidikan yang terpampang dimasa mendatang. Melalui paparan singkat di atas kita berharap, jangan sampai sejarah terus menerus mencatat dengan tinta kelabu perihal mutu dan originalitas intelektualitas anak bangsa yang kian merosot. Tidakkah rasa malu selalu menyelinap dalam hati sanubari kita tatkala rasa putus asa dan inferiorita menjebak pada situasi kebuntuan, sehingga kita pasrah saja menerima rasa bersalah dan penyesalan sebagai bangsa pengekor, nepotis, dan seabreg stigma yang lain tanpa daya sama sekali.