Dalam suatu perjalanan, Ibrahim bin Adham rahimahullah menyaksikan panorama gila. Seorang laki-laki yg tak memiliki tangan & kaki berada di pinggir jalan. Sesekali, orang-orang yg melalui di sana menyuapkan kuliner pada laki-laki tersebut.
“Alhamdulillah atas nikmat-nikmat yg agung & karunia yg besar,” demikian kalimat itu terdengar oleh Ibrahim bin Adham.
Ia tertarik, lantas menghampiri laki-laki tersebut. Ia perhatikan laki-laki yg ternyata tak cuma tak memiliki tangan & kaki, tetapi pula terkena kusta & buta.
Setelah mengucap salam, Ibrahim bin Adham kemudian bertanya.
“Apa yg tadi kau-sekalian katakan?”
“Aku bersyukur dgn menyampaikan Alhamdulillah atas nikmat-nikmat yg agung & karunia yg besar.”
“Apa yg terjadi dgn tangan & kakimu?”
“Terpotong”
“Apa yg terjadi dgn kulitmu?”
“Kena kusta”
“Di mana penglihatanmu?”
“Aku buta”
“Di mana rumahmu?”
“Di pinggir jalan seperti yg kau lihat ini”
“Bagaimana ananda makan?”
“Lewat tangan-tangan insan yg Allah kirimkan selaku nikmatNya”
Baca juga: Kisah Umar bin Khattab
Sampai di sini Ibrahim bin Adham terheran. Laki-laki tersebut mendapatkan cobaan yg bertumpuk. Tidak bisa jalan, tak bisa beraktifitas wajar , bahkan tak bisa menyaksikan. Tapi ia justru banyak bersyukur. Nikmat apa yg ia syukuri?
Ibrahim bin Adham kembali bertanya.
“Lalu di mana lezat-nikmat yg agung & karunia yg besar itu wahai Saudaraku?”
“Ya Ibrahim, bukankah Allah masih memberikan gue lisan untuk berdzikir & hati untuk bersyukur?”
Jawaban itu laksana petir di siang hari. Sungguh mengagetkan. Namun pula sungguh fantastis.
“Ya Ibrahim, bukankah Allah masih memberikan gue verbal untuk berdzikir & hati untuk bersyukur? Lalu nikmat yg mana lagi yg lebih agung ketimbang ini?”
Allaahu akbar. Rupanya ada orang yg seperti ini. Mampu bersyukur dgn syukur yg sempurna. Bukan sekedar level syukur biasa atas lezat sehat & rezeki dunia berupa uang atau harta. Namun ia bersyukur sebab dikaruniai ekspresi yg berzikir & hati yg bersyukur.
Bersyukur atas nikmat Allah mirip ini pula melahirkan hubbullah & mahabbatullah.
“Jika kau-sekalian mempertimbangkan nikmat-nikmat agung & banyak yg diberikan Allah kepadamu maka hal itu akan mengakibatkan yg namanya cinta pada Allah,” kata Habib Ali Aljufri saat menceritakan kisah Ibrahim bin Adham itu. Sebab tabiat insan, ia menyayangi siapa yg berbuat baik kepadanya.
Maka yg perlu kita tanamkan yaitu kesadaran akan nikmat-nikmatNya yg bahu-membahu sangat banyak tak terhingga. Maka Allah pun mengingatkan dlm Surat Ibrahim ayat 34: “Jika kau-sekalian mengkalkulasikan nikmat Allah, tidaklah kau-sekalian bisa menghitungnya.”
Baca Juga: Kisah Nyata
Namun kadang kala asumsi kita dibatasi oleh perspektif materialisme. Bahwa yg namanya nikmat itu cuma berbentukharta, uang, kekuasaan & sejenisnya. Maka kita pun baru bersyukur saat mendapatkan keuntungan banyak, peningkatan gaji, jabatan yg lebih tinggi, atau harta benda baru.
Sedangkan kesehatan, kadang kita lupa bahwa itu ialah lezat & kita pun lupa mensyukurinya. Saat sakit, gres terasa. Nikmat bernafas tanpa membayar & tanpa usaha keras, gres disadari ketika mesti dibantu dgn alat pernafasan.
Apalagi nikmat akidah & kesehatan ruhiyah yg bahwasanya merupakan lezat paling besar. Namun tak banyak orang yg bisa mensyukurinya. Padahal semuanya menjadi tidak berguna dikala kepercayaan hilang & hati rusak.
Mensyukuri lezat iktikad & kesehatan ruhiyah inilah bahwasanya level syukur yg paling tinggi. Maka Ibrahim bin Adham pun terkagum dgn argumentasi pria tanpa tangan & kaki serta buta itu: “Ya Ibrahim, bukankah Allah masih memperlihatkan gue ekspresi untuk berdzikir & hati untuk bersyukur? Lalu lezat yg mana lagi yg lebih agung dibandingkan dengan ini?” [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]