close

Tafsir Bil Ma’Tsur Dan Tafsir Bil Ra’Yi

BAB I
PENDAHULUAN
TAFSIR BIL MA’TSUR DAN TAFSIR BIL RA’YI
A.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an ialah kalamullah yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, dan Nabi Muhammad SAW menyampaikannya terhadap umatnnya. Oleh alasannya itu para teman yang hidup bersama Nabi tidak kesulitan dalam mengerti Al-Qur’an. Disamping karena Al-Qur’an menggunakan bahasa mereka, juga sebab mereka sering menerima pengajaran dan penjelasan dari Nabi[1]. Sehingga usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sobat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H), Abdullah ibn Abbas (w. 68 H), Abdullah Ibn Mas’ud (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) yaitu di antara para sobat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an ketimbang sahabat-sobat yang lain[2].
Syariat Islam adalah norma-norma aturan yang tiba dari Allah untuk dipedomani insan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Norma-norma itu disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad melalui wahyu-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua ayat al-Qur’an yang ketentuan hukumnya sudah siap pakai, karena di dalamnya masih banyak terdapat hal-hal yang global dan perlu penjelasan lebih lanjut. Karena banyak ayat-ayat al-Qur’an yang perlu penjelasan dalam penerapannya, maka Rasulullah diberikan saran untuk menjelaskan apa yang ada dalam al-Qur’an lewat perkataan, tindakan maupun taqrirnya[3].
Pada kurun pasca Rasulullah duduk perkara-persoalan umat menjadi lebih banyak dan komplek,Setelah nabi wafat, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para teman pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan; Kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan fungsi dia selaku mubayyin kepada ayat-ayat Al-Qur’an; Ketiga, bila mereka tidak mendapatkan informasi ihwal ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah SAW, para teman berijtihad dengan santunan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan kepada tradisi arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan akal sehat mereka sendiri[4]. Baru yang terakhir, sebagian sobat ada pula menanyakan beberapa persoalan, terutama sejarah nabi-nabi atau kisah-dongeng yang tercantum dalam Al-Qur’an terhadap tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salam (w. 43 H), Ka’ab Al-Ahbar (w. 32 H).
Dengan mengamati semakin maju pesatnya pertumbuhan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana kalau dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang ketika ini kita rasakan yaitu rasio (logika) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka jika dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih mempunyai hadits nabi dan juga qoul teman dan tabi’in yang menjelaskan atau menunjukan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Tafsir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari informasi diatas pemakalah membicarakan “tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi”.
B.  Rumusan Masalah
1.    Pengertian tafsir
2.    Pengertian tafsir bil ma’tsur
3.    Pengertian tafsir bil ra’yi
4.    Perbedaan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
5.    Pendapat ulama’ tentang tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
6.    Contoh tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
C.  Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahuai pemahaman tafsir
2.    Untuk mengetahuai pemahaman tafsir bil ma’tsur
3.    Untuk mengetahuai pemahaman tafsir bil ra’yi
4.    Untuk mengetahuai perbedaan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
5.    Untuk mengetahuai pertimbangan ulama’ tentang tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
6.    Untuk mengetahuai Contoh tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi
1.    Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan Taf’il, keduanya berasal dari akar bahasa, adalah : Pertama : Berasal dari akar kata ” al-Fasr ” yang artinya Al-Bayan : penjelasan atau keterangan. Kata kerjanya mengikuti wazan ( dharaba, yadhribu, dharban ) atau mengikuti wazan ( nashara, yansuru, nasran ), yang mempunyai arti Al-Ibanah : penjelasan. Kedua : Berasal dari akar kata ” At-Tafsir ” mengikuti wazan fa’ala ditambah tasydid pada Ain Fi’ilnya, yang mengikuti wazan ( Fassara, Yufassiru, Tafsiran ) yang mempunyai arti Al-Ibana dan Al-Kasyfu, yang artinya ; menerangkan atau mengungkap. Dengan demikian, dari dua kata tafsir tersebut, dapat diartikan juga, bahwa tafsir dari akar Al-Fasr mempunyai arti memiliki kata Kasyful Mughatta’, yakni : mengingkap sesuatu yang abstrak. Sedangkan yang berasal dari akar kata At-Tafsir, memiliki arti memiliki kata ( Kasyful Murad Anil Lafadz Al-Musykil ), yang artinya : menyelisik suatu lafazd yang musykil ( pelik ) Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Qur’an sebagaimana tercantum di dalam QS. Al-Furqan : 33   وَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرًا ٣٣ yang artinya “Tidaklah orang-orang kafir itu tiba kepadamu menenteng sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar  dan klarifikasi (tafsir) yang terbaik”. Maksudnya : paling baik klarifikasi dan perinciannya[5]. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “Kasyf Al-Mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup).
Sedangkan tafsir menurur Ibn Manzhur yakni membuka dan menerangkan maksud yang sulit dari sebuah lafadz[6]. Sebagian ulama pun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur yakni menerangkan dan pertanda.
2.    Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur
Sebagaimana diterangkan oleh Al-Farmawi, tafsir bil ma’tsur disebut pula tafsir bi-riwayah dan an-nagl adalah penafsiran yang mendasarkan pada klarifikasi al-qur’an itu sendiri, klarifikasi rasul, klarifikasi para teman lewat ijtihatnya dan aqwan tabi’in[7]. Tafsir bil ma’tsur yaitu tata cara penafsiran dengan cara mengutip atau mengambil acuan pada Al-Qur’an, hadist nabi, kutipan sobat serta tabi’in[8]. Kaprikornus, jikalau merujuk pada definisi diatas, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran. Pertama: Al-Alquran yang dipandang selaku penafsir terbaik terhadap Al-Alquran itu sendiri. Kedua: otoritas hadist nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas Al-Quran. Ketiga: otoritas pejelasan shahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Quran[9]. Keempat: otoritas penjelasan tabii’in yang dianggap orang yang berjumpa eksklusif dengan sobat, Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya. Tafsir Bil Ma’tsur sudah ada semenjak zaman sahabat. Pada zamannya Tafsir Bil Ma’tsur dikerjakan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari teman oleh teman, serta dari teman oleh tabi’in dengan metode yang jelas periwayatannya, cara mirip ini umumnya dilakukan secara ekspresi. Setelah itu ada masa dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang sudah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab-kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku-buku yang menampung khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad terhadap nabi muhammad SAW, para teman, tabi’in al tabi’in[10].
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bil ma’tsur diantaranya, berdasarkan Manna’ Al-Qaththan,  tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk menerangkan Kitab Allah, dan juga dengan perkataan teman alasannya merekalah yang lebih mengenali kitab Allah atau dengan apa yang dibilang tokoh-tokoh besar tabi’in alasannya pada umumnya mereka menerimanya dari para sobat[11].
Menurut Muhammad Al-Zarqani, tafsir bil ma’tsur yakni penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi, dan para teman[12]. Sedangkan menurut  Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran yang bersumber ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Quram, dengan Hadits nabi, perkataan sobat dan juga tabiin, tergolong dalam kerangka tafsir riwayat walaupun mereka tidak secara eksklusif menerima tafsir dari Rasullullah SAW[13]
3.    Pengertian Tafsir bil ra’yi
Kata al-Ra’y berarti fatwa, usulan dan ijtihad. Sedangkan berdasarkan definisinya, Tafsir bir-ra’yi ialah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pertimbangan eksklusif mufassir[14]. Secara etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqod), analogi (Qiyas dan Ijtihat[15]. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir yaitu ijtihad[16]. Dengan demikian, tafsir bil ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah) sebagaimana didefinisikan Husen Adz Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil menurut ijtihad dan ajaran mufassir sesudah dahulu mengetahui bahasa arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran mirip asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan sebagainya.[17]Sedangkan menurut Al-Farmawi yakni mentafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dulu mengenali kosa kata bahasa arab dikala dipakai berbicara beserta muatan-muatan artinya[18]. Untuk menafsirkan Al-Qura’an denfan Ijtihat, mufassir pun dibantu oleh syi’ir Jahiliyah, asbabun nuzul, nasikh mansukh[19] sebagaimana dijelaskan tentang syarat-syarat menjadi mufasir.
Adapun syarat-syarat mufassir bi al-Ra’yi ini diantaranya:
1.    Memiliki wawasan bahasa Arab dan seluk beluknya.
2.    Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an.
3.    Menguasai ilmu-ilmu yang berafiliasi dengan ilmu al-Qur’an, mirip Hadits dan Ushul Fiqh.
4.    Beraqidah yang benar.
5.    Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.
6.    Menguasai ilmu yang bekerjasama dengan pokok-pokok agama Islam.
7.    Menuasai ilmu yang bekerjasama dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Kriteria-persyaratan diatas haruslah dipenuhi para mufassir, supaya tidak mengakibatkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sementara itu Dr. Ali Hasan al-‘Aridh menyertakan perihal 6 hal yang mesti dikesampingkan oleh Mufassir bi al-Ra’yi yaitu:
1.    Memaksakan diri mengenali makna yang diinginkan oleh Allah pada sebuah ayat, sedangkan ia tidak menyanggupi syarat untuk itu.
2.    Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya cuma diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata).
3.    Menafsirkan diikuti hawa nafsu dan perilaku istihsan (menganggap bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.    Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya.
5.    Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung sebuah mazhab, dengan cara menjadikan faham mazhab selaku dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham mazhab tersebut.
6.    Menafsirkan dengan dibarengi menentukan, bahwa makna yang diinginkan Allah yakni demikian, tanpa disokong oleh dalil.
Selama mufassir bi al-Ra’yi menyanggupi tolok ukur dan menjauhi keenam hal tersebut, disertai pula dengan niat dan tujuan yang tulus alasannya adalah Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dibilang rasional. Namun jikalau ia tidak menyanggupi patokan diatas mempunyai arti dia sudah menyimpang dan oleh alasannya itu penafsirannya ditolak.
Di samping tolok ukur diatas, tafsir bi al-Ra’yi juga harus sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar pada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh as-Suyuthi bahwa sandaran yang mesti dipedomi tersebut yakni:
a.    Naql dari Rasulullah, berpegang pada hadits-hadits yang bersumber dari Rasulullah SAW, dengan ketentuan dia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan maudhu’ (artifisial).
b.    Perkataan teman, berpegang pada ucapan sobat nabi, alasannya adalah yang mereka ucapkan menurut peristilahan hadits, hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), utamanya yang berkaitan dengan asbab an nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri oleh ra’yu.
c.    Berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus senantiasa berhati-hati untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz yang seharusnya.
Selain ketiga sandaran diatas, Subhi as-Shalih juga menambahkan: berpegang teguh pada maksud ayat, dan terjamin kebenarannya menurut aturan dan aturan syara’.
Dari uraian diatas terlihat terperinci kompleksnya kualifikasi yang mesti dimiliki oleh para mufassir bi al-Ra’yi, sehingga mampu dikatakan bahwa mereka harus memiliki nilai lebih dari mufassir biasa, sebab selain harus memiliki keahlian dibidang ilmu tafsir mereka juga harus mempunyai daya logika yang tinggi.
B.  Perbedaan Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi
Ilmu tafsir Al-Qur’an terus menerus mengalami kemajuan sesuai dengan permintaan zaman. Perkembangan ini ialah sebuah kewajiban agar Al-Qur’an dapat berarti bagi umat Islam di segala waktu dan segala daerah. Pada kemajuan modern mulai diadopsilah metode-metode gres guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa sistem dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur’an maka dihasilkanlah cara-cara gres dalam memaknai Al-Qur’an. Melihat sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran Al-Qur’an secara estafet, adalah tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Untuk menghemat perdebatan perihal bentuk kedua jenis tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya  tidak sebagai sebuah tata cara ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang timbul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an [20]
1.    Tafsir bil ma’tsur
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang didapatkan yakni pada aspek pemahaman redaksional kepada ayat-ayat Al-Qur’an. Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.[21]sehingga masuk akal ditemukan perbedaan. Sebagai sebuah acuan dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada periode itu mengungkapkan maksud suatu kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufassir lainnya dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berlawanan tetapi maksud seluruhnya ialah sama. Seperti penafsiran kepada kata Shirat Al-Mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai Al-Qur’an dan sebagian lainnya menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda tetapi senada alasannya Islam didasari oleh Al-Qur’an cuma saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh lainnya.
2.    Tafsir Bir-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi timbul selaku suatu jenis tafsir pada kala final perkembangan tafsir bil-ma’tsur sebagai kurun awal kemajuan tafsir. Pada abad ini, islam makin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan pemikiran dikalangan umat Islam. Masing-masing kalangan berusaha meyakinkan umat dalam rangka berbagi paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, kemudian mereka tafsirkan sesuai dogma yang mereka anut.[22]
Meskipun sudah terdapat upaya sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka sudah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan tabi’in selaku tonggak hadirnya ijtihad tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa semenjak zaman Nabi, benih-benih tafsir bir-ra’yi telah berkembang dikalangan umat Islam. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa bekerjsama tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari akal sehat nalar, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak[23]. akan namun lebih pilih-pilih kepada riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan memakai akal seluas-luasnya, namun tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berbentuksyair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai insiden yang terjadi pada periode Rasul menyangkut usaha, perlawanan, perselisihan, hijrah, dan peperangan yang dia lakukan disamping itu juga menyangkut aneka macam fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi dikala itu, yang mewajibkan adanya aturan-hukum dan diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi ialah tafsir dengan cara mengerti banyak sekali kalimat Al-Qur’an melalui pengertian yang ditunjukkan oleh aneka macam informasi yang dimiliki spesialis tafsir mirip bahasa dan berbagai insiden.
C.  Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bil Ra’yi
Secara garis besar, penafsiran pada kala ini kukuh beracuan pada faktor riwayat-riwayat yang menerangkan ayat-ayat al-Qur’an alasannya dianggap sebagai jalan wawasan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam mengetahui al-Qur’an. Namun bukan mempunyai arti tidak terjadi ijtihad alasannya hal ini mampu dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang dipakai selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak membutuhkan ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut selaku keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi sudah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani[24] yang telah masuk Islam[25]. Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur (1) Banyak didapatkan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui info yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya. (2) Banyak ditemukan usaha-perjuangan penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh ajaran-fatwa yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah. (3) Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah. (4) Banyak didapatkan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung kisah-kisah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan[26]
Semua kitab tafsir ini biasanya memuat cuma wacana tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang Ibn Jarir yang menambahkan pertimbangan dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat Al-Qur’an. Pada pertumbuhan berikutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan cuma mengemukakan usulan-pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatan yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi-studi kritis yang sukses memperoleh dan menyelisik sebagian riwayat imitasi sehingga para mufasir mampu waspada. Hal ini kita temukan dikala menafsirkan Al-Qur’an pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Qur’an yang mutlaq dengan ayat Al-Qur’an yang muqayyad[27].
Setelah berakhir masa salaf sekitar kurun ke-3 H. Dan peradaban Islam kian maju dan meningkat , maka berkembanglah aneka macam mazhab dan aliran di kalangan umat Islam. masing-masing golongan berupaya meyakinkan umat dalam rangka membuatkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis hadis Nabi SAW, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan doktrin yang mereka anut. Ketika inilah meningkat apa yang disebut dengan tafsir bir ra’yi ( tafsir melalui aliran atau ijtihad)[28]. Pendek kata, banyak sekali corak tafsir bir ra’yi muncul di golongan ulama-ulama mutaakhirin, sehingga di era modern lahir lagi tafsir berdasarkan tinjauan sosiologis dan sains seprti tafsir Al-Manar dan Al-Jawahir. melihat perkembangan tafsir bir ra’yi yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang dibilang Manna’ Al-Qathtan bahwa tafsir bir ra’yi mengalahkan pertumbuhan al-ma’tsur.
Meskipun tafsir bir ra’yi berkembang dengan pesat, tetapi dalam menerimanya para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Tapi seletah diteliti, ternyata pendapat yang bertentangn itu hanya bersifat lafzi (redaksional). maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’yi ( pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kisah yang berlaku. penafsiran inilah yang diharamkan oleh Ibn Taimiyah. sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an denagn ijtihad yang menurut al-Qur’an dan sunnah rasul serta kaedah-kaedah yang mu’tabarat (diakui sah secara bersama)[29]
Sedangkan tafsir bi ra’yi terdapat banyak perdebatan (pro dan kontra) mengenai boleh atau tidaknya menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan Al-Ra’yi (nalar). Diantara sekian banyak ulama yang ada, secara umum dikuasai ulama enggan menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan Al-Ra’yi. Karena hal ini menurut pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jundab yang artinya : barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya kebetulan sempurna, niscaya beliau sudah melakukan kesalahan.
Dari perdebatan yang ada, tidak bermakna pendekatan tafsir Al-Qur’an dengan Ra’yu tidak mendapat kawasan dikalangan ulama. Sebagian ulama yang menerima menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan al-Ra’yu ini menunjukkan syarat-syarat dan kaidah-kaidah yang ketat. Diantara syarat-syaratnya yakni : (1) Menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabangnya (2) Menguasai Ilmu-ilmu Al-Qur’an (3) Berakidah yang baik dan benar (4) Mengetahui prinsip-prinsip pokok-pokok agama Islam dan menguasai imu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan[30].
D.  Contoh Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bil Ra’yi
1.    Contoh Tafsir Bil Ma’tsur
a)        Al- Qur’an dengan Al-Qur’an
1)   Penafsiran bab ayat Al-Qur’an dengan bab ayat lain dalam satu ayat dan surat yang sama, terdapat pada Q.S.al-Baqarah ayat 187:
 أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧ 
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan mulia bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka yaitu busana bagimu, dan kamupun adalah busana bagi mereka. Allah mengetahui bahu-membahu kamu tidak dapat menahan nafsumu, sebab itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka kini campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah sampai terperinci bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kau mendekatinya. Demikianlah Allah mengambarkan ayat-ayat-Nya terhadap insan, agar mereka bertakwa (Q.S.al-Baqarah ayat 187)
Kata Al-Fajr pada ayat di atas menerangkan maksud dari perumpamaan Al-Khaith Al-Aswad pada ayat yang sama[31]
2)   Penafsiran ayat yang satu dengan ayat yang lain yang terdapat pada surat yang sama yakni terdapat pada Q.S al-Fatihah ayat 7:
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧.
Artinya (adalah) jalan orang-orang yang telah Engkau beri lezat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat
Ayat tersebut menafsirkan ayat sebelumnya, (Q.S Al Fatihah ayat: 6)[32]
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ 
Artinya : Tunjukilah Kami jalan yang lurus
3)   Penafsiran ayat dengan ayat dalam surat yang berlawanan ada pada Q.S al-A’raf ayat 23[33]:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٢٣ 
Artinya :keduanya berkata: “Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan kalau Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, pasti pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.
Doa Nabi Adam dan Hawa di atas merupakan jawaban atas kata Kalimatin pada ayat Fatalaqqa Adamu Min Rabbihi Kalimatin Fa Taba ‘Alaih Innahu Huwa At Tawwabu Ar Rahim, yang terdapat pada Q.S al-Baqarah ayat 37:
فَتَلَقَّىٰٓ ءَادَمُ مِن رَّبِّهِۦ كَلِمَٰتٖ فَتَابَ عَلَيۡهِۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ٣٧ 
Artinya : Kemudian Adam mendapatkan beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah mendapatkan taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
b)       Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah          
Penafsiran al Qur’an dengan Sunnah yang dimaksud yakni penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits Nabi Muhammad[34]. Misalnya, Nabi menafsirkan kata Al-Maghdlub dengan orang-orang Yahudi dan Al-Dhallin dengan orang-orang Kristen, yang terdapat pada Q.S Al-Fatihah ayat 6-7:
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ 
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧ 
Artinya :Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yakni) jalan orang-orang yang telah Engkau beri lezat terhadap mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
c)        Tafsir Al Qur’an dengan pendapat Sahabat
Para sahabat, dimana mereka melihat wahyu dan turunnya ayat Al-Qur’an, mereka juga mengenali Asbabun Nuzul suatu ayat, mereka telah mempunyai kemampuan dalam mengerti kalam Allah dan mengetahui belakang layar Al-Qur’an. Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak mengatakan bahwa tafsir sahabat yang menyaksikan proses turunnya wahyu al-Qur’an pantas untuk diposisikan selaku Hadits Marfu’.
Contoh yang dapat dirujuk di sini di antaranya ialah penafsiran terhadap ayat Idza Ja’a Nashr Allah. Beberapa sahabat menerangkan makna ayat tersebut, ialah: ”Bahwa kita diperintah untuk memuji Allah dan meminta ampun terhadap-Nya tatkala Ia telah membantu kita menaklukan (Makkah)” Beberapa sahabat yang lain tidak memberi komentar apa-apa. Namun, menurut Ibnu Abbas, ayat tersebut menunjukkan kepada para sahabat akan dekatnya kematian nabi[35].
d)       Kitab-Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur.
Adapun kitab- kitab Tafsir bial-Ma’tsur antara lain[36]
1)        Tafsir ibn Abbas, dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dengan judul Tanwir al-Miqyas min Tafsir ibn Abbas
2)        Tafsir Ibnu Jarir, karya Abu Ja’far Muhammad Ibnu Yazid al-Thabar
3)        Tafsir Abu Laits al-Samarqandi, karya Abu Laits al-Samarqandi
4)        Tafsir Ibnu Katsir, karya Imamuddin Abu al-Fida Ismail Ibnu al-Khatib Abu Hafsh Umar Quraisy al-Dimisyqi al-Syafi’i
5)        Tafsir al-Baghawi, karya Abu Muhammad al-Husain Ibnu Mas’ud al-Baghawi al-Syafi’i
6)        Tafsir Baqi’ bin Makhlad, karya Baqi’ bin Makhlad bin Yazid bin Abdir Rahman al-Andalusi al-Qurthuby.
2.    Contoh Tafsir bil Ra’yi
a)    Tafsir ayat Al-Qur’an dengan pendekatan Ra’yu adalah pada
(Q.S. al Isra : 72) وَمَن كَانَ فِي هَٰذِهِۦٓ أَعۡمَىٰ فَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ أَعۡمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلٗا ٧٢ 
jikalau memahami ayat tersebut secara tekstual, tentunya akan terdapat kekeliruan dalam memahaminya. Sebab dalam ayat itu menerangkan bahwa setiap orang yang buta ialah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud dengan buta pada ayat tersebut adalah bukanlah buta mata, akan tetapi buta hati. Hal ini kemudian didukung dengan penjelaasan ayat yang lain. Yakni Q.S. Al Hajj : 46. pada ayat ini diterangkan dengan tegas ”bukanlah matanya yang buta, akan namun yang buta adalah buta hati. Terkait dengan tafsir Al Qur’an dengan pendekatan Ra’yu ini tidak luput dari adanya keunggulan dan kelemahan. Adapun kelebihannya yaitu sebagai berikut :
b)   Contoh tafsir bir-ra’yi, dari tafsir Jalalain Surat Al-Fatihah:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الحمد لله جملة خبرية قصد بها الثناء على الله بمضمونها على أنه تعالى : مالك لجميع الحمد من الخلق آو مستحق لأن يحمدوه والله علم على المعبود بحق رب العالمين أي مالك جميع الخلق من الإنس والجن والملائكة والدواب وغيرهم وكل منها يطلق عليه عالم يقال عالم الإنس وعالم الجن إلى غير ذلك وغلب في جمعه بالياء والنون أولي العلم على غيرهم وهو من العلامة لأنه علامة على موجده
Artinya:
(Segala puji bagi Allah) Lafal ayat ini ialah kalimat informasi, dimaksud sebagai istilah kebanggaan terhadap Allah berikut pengertian yang terkandung di dalamnya, yakni bahwa Allah Taala yaitu yang memiliki semua pujian yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya. Atau makna yang dimaksud adalah bahwa Allah Taala itu yaitu Zat yang mesti mereka puji. Lafal Allah ialah nama bagi Zat yang berhak untuk disembah. (Tuhan semesta alam) artinya Allah adalah yang mempunyai kebanggaan semua makhluk-Nya, ialah terdiri dari insan, jin, malaikat, binatang-binatang melata dan lain-yang lain. Masing-masing mereka disebut alam. Oleh akibatnya ada alam insan, alam jin dan lain sebagainya. Lafal ‘al-`aalamiin’ merupakan bentuk jamak dari lafal ‘`aalam’, ialah dengan menggunakan abjad ya dan aksara nun untuk menekankan makhluk pandai/akil atas yang yang lain. Kata ‘aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat beliau yakni tanda bagi adanya yang menciptakannya
الرحمن الرحيم أي ذي الرحمة وهي إرادة الخير لأهله
(Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) adalah yang mempunyai rahmat. Rahmat ialah menghendaki kebaikan bagi orang yang mendapatkannya.
مالك يوم الدين أي الجزاء وهو يوم القيامة وخص بالذكر لأنه لا ملك ظاهرا فيه لأحد إلا لله تعالى بدليل لمن الملك اليوم ؟ لله ومن قرأ مالك فمعناه مالك الأمر كله في يوم القيامة أو هو موصوف بذلك دائما كغافر الذنب فصح وقوعه صفة لمعرفة
(Yang menguasai hari pembalasan) di hari kiamat kelak. Lafal ‘yaumuddiin’ disebutkan secara khusus, alasannya di hari itu tiada seorang pun yang mempunyai kekuasaan, kecuali cuma Allah Taala semata, sesuai dengan firman Allah Taala yang menyatakan, “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini (hari kiamat)? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (Q.S. Al-Mukmin 16) Bagi orang yang membacanya ‘maaliki’ maknanya menjadi “Dia Yang mempunyai semua masalah di hari kiamat”. Atau Dia yaitu Zat yang memiliki sifat ini secara kekal, perihalnya sama dengan sifat-sifat-Nya yang lain, yaitu seperti ‘ghaafiruz dzanbi’ (Yang mengampuni dosa-dosa). Dengan demikian maka lafal ‘maaliki yaumiddiin’ ini sah menjadi sifat bagi Allah, alasannya adalah sudah ma`rifah (dikenal).
إياك نعبد وإياك نستعين أي نخصك بالعبادة من توحيد وغيره ونطلب المعونة على العبادة وغيرها
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan cuma terhadap Engkaulah kami memohon pertolongan) Artinya kami beribadah cuma kepada-Mu, mirip mengesakan dan lain-lainnya, dan kami memohon bantuan hanya kepada-Mu dalam menghadapi semua hamba-Mu dan lain-lainnya.
اهدنا الصراط المستقيم أي أرشدنا إليه ويبدل منه
(Tunjukilah kami ke jalan yang lurus) Artinya bimbinglah kami ke jalan yang lurus, lalu dijelaskan pada ayat berikutnya, adalah:
صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ بالهداية ويبدل من الذين بصلته غَيْرِ المغضوب عَلَيْهِمْ وهم اليهود وَلاَ وغير الضالين وهم النصارى ونكتة البدل إفادة أن المهتدين ليسوا يهوداً ولا نصارى والله أعلم بالصواب، وإليه المرجع والمآب وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا دائما أبدا، وحسبنا الله ونعم الوكيل، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
(Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan lezat kepada mereka), yakni lewat petunjuk dan hidayah-Mu. Kemudian diperjelas lagi maknanya oleh ayat berikut: (Bukan (jalan) mereka yang dimurkai) Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. (Dan bukan pula) dan selain (mereka yang sesat.) Yang dimaksud adalah orang-orang Nasrani. Faedah adanya klarifikasi tersebut tadi mempunyai pemahaman bahwa orang-orang yang mendapat hidayah itu bukanlah orang-orang Yahudi dan bukan pula orang-orang Katolik. Hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui dan hanya kepada-Nyalah dikembalikan segala sesuatu. Semoga selawat dan salam-Nya dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. beserta keluarga dan para sahabatnya, selawat dan salam yang banyak untuk selamanya. Cukuplah bagi kita Allah selaku penolong dan Dialah sebaik-baik penolong. Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan hanya berkat pinjaman Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.[37]
c)    Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
1)   Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam
2)   Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
3)   Tafsir Abdul Jabbar
4)   Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
5)   Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib
6)   Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
7)   Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
8)   Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
9)   Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
10)         Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
3.    Al-tafsir bi al-ra’yi terbagi dalam dua bagian yakni
a.    Tafsir mahmud (terpuji)
Tafsir mahmud yakni tafsir yang tepat dengan tujuan syara’, jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam mengetahui teks Al-Qur’an. Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yunya dengan mengamati ketentuan-ketentuan tersebut dengan berpegang pada makna-makna Al-qur’an maka penafsirannya dapatdiambil serta patut dinamai dengan tafsir mahmud atau tafsir masyru (berdasarkan syari’at)
b.   Tafsir mazmum (tercela)
Tafsir mazmum ialah kalau Al-Qur’an ditafsirkan tanpa ilmu atau menurut sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat, atau Kalam Allah ditafsirkan berdasarkan usulan yang salah dan sesat. Ash-shaabuuny menyampaikan; Bila seseorang tidak mengetahui kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya, ia akan berlangsung sebagaimana unta buta yang otaknya miring dan pemahamannya picik. Begitu pula orang yang tidak mengetahui tujuan syara’, ia pun akan terjerumus dalam lembah kejahatan dan kesesatan.
Contohnya orang yang mengambil kesimpulan ayat secara lahir dari firman Allah:
ومن كان فى هذه اعمى فهو فى الاخرة اعمى واضل سبيلا (الاسراء 🙂
Artinya;
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di alam baka (nant)i ia akan lebih buta (pula) dan lebih kesasar dari jalan yang benar”.(QS. Al-Isra: 72)
Ia memutuskan bahwa setiap orang yang buta ialah celaka dan rugi serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimaksud buta disini bukanlah buta mata, tetapi buta hati, berdasarkan alasan firman Allah:
فانها لا تعمى الابصار ولكن تعمى القلوب التى فى الصدور (الحج🙂
Artinya;
“… Karena sebenarnya bukanlah mata itu yang buta, namun yang buta ialah hati dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Tafsir bil ma’tsur diartikan sebagai tafsir yang dikerjakan dengan jalan riwayat, yaitu tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadits, pendapat teman, atau tabi’in. Tafsir bir ra’yi didefinisikan selaku upaya menelisik isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi logika.
2.    Dalam tafsir bil ma’tsur, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau haidts dan sahabat tidak ada beda usulan wacana kevalidannya di kalangan ulama’, tetapi tafsir para tabi’in ada perbedaan usulan dikalangan ulama’. sebagain ulama’ berpendapat, tafsir itu tergolong ma’tsur alasannya para tabi’in berjumpa dengan para teman. Ada pula yang beropini, tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra’yi (penafsiran dengan usulan). Artinya, para tabi’in itu memiliki kedudukan yang serupa dengan mufassir yang cuma menfsirkan menurut kaidah bahasa Arab
3.    Tafsir bi al-Ra’yi yakni  upaya untuk mengetahui nash al-Qur’an atas dasar ijtihad spesialis tafsir (mufassir ) yang mengerti betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, memahami syair syair Arab selaku dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengetahui nasikh dan mansukh di dalam al-Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir
4.    Tafsir dibedakan menjadi 2: (1) Tafsir bir ra’yi mahmudah (terpuji) ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat aturan (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan engan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam mengetahui nash al-Qur’an (2) Tafsir bir ra’yi madzmumah ialah tafsir dianggap tercela kalau menafsirkan qur’an berdasarkan selera penafsir sendiri, disamping tidak mengenali kaidah bahasa dan hukum, atau menjinjing firman Allah terhadap mazhabnya yang menyimpang atau rusak, atau terhadap bid’ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya namun tidak mengenali kaidah bahasa Arab
5.    Tafsir bir-ra’yi bukanlah sekedar menurut pertimbangan atau ide semata, atau hanya sekedar ide yang terlintas dalam pikiran seseorang, terlebih hanya semaunya saja. Jika menfsirkan al-Qur’an dengan ra’yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang otentik yakni haram, dilarang dijalankan, oleh alasannya adalah itu para ulama’ beda pertimbangan ihwal penggunaan tafsir bir ra’yi ada yang menerima dan ada yang menolak.
B.     Sikap Pemakalah dalam menanggapi Tafsir bil Ma’tsur dan bir Ra’yi
1.    Bahwa harus diketahui tafsir hanyalah tafsir, banyak sudut pandang yang mesti di ketahui, berlawanan dengan Al-Qur’an, tingkat kebenarannya yang mutlak dan mampu menjawab dalam keadaan zaman.
2.    Penulis sependapat dengan argumen yang menyampaikan hadis bil ma’tsur derajatnya lebih tinggi dari pada hadis bir ra’yi alasannya adalah hadis bil ma’tsur ini lebih mengedepankan riwayat dan tidak mengedepankan logika.
3.    Dalam menanggapi usulan yang menyampaikan tafsir bil ma’tsur para tabi’in ada yang kurang baiklah, penulis kira hal itu perlu di kaji dan di teliti lebih dalam, karena penulis berasumsi tentunya para tabi’in tidak serta menerta menafsrikan al-Qur’an kalau tidak ada dasar yang berpengaruh dan pastinya juga mengacu kepada pendahulunya adalah sobat, karena dalam era tabi’in ini juga masih mampu menjumpai masa-kala sobat
4.    Tafsir bir Ra’yi pastinya tidak hanya mengandalkan rasio belaka sebab pastinya hasil tafsirnya tidak diterima, tetapi dalam hal ini tafsir bir ra’yi selain juga memakai logika juga dikuatkan beberapa dasar mirip al-Qur’an, hadis, usulan sabahat dan lain-lain
5.    Penggunaan tafsir bir ra’yi pun mesti pilih-pilih, karena ini mampu dimungkinkan isi dari tafsirnya terdapat subjektifitas dari penulis sehingga perlu dilaksanakan telaah dan kajian yang mendalam terdahap isi tafsir bir Ra’yi tersebut.
6.    Penulis berpendapat antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bir Ra’yi ada titik temunya karena dikala tafsir itu di tinjau dari riwayatnya tidak valid dan ada keragu-raguan, tentunya bisa digunakan penafsiran dengan jalan ijtihad (tafsir bir ’ra’yi) namun ijtihad tersebut di dukung dengan dasar yang menguatkan, seperti al-Qur’an, hadis, dan lain-lain
C.    Daftar Pustaka                                                                       
1.      Nashruddin Baidan, Wawasan gres Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
2.      Abdul Qadir Muhamad Shaleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun Fi Ash Al-Hadits, ( Beirut : Dar Al-Ma’rifah, 1424H/ 2003 M, Cet. Ke-1
3.      Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Humaniora, 2007)
4.      Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir.
5.      Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005)
6.      Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994)
7.      Basuni faudah, tafsir-tafsir al-qur’an,terj,. Pustaka Bandung,1987, adz-dzahabi, At-Tafsir,
8.      E-book Terjemah Tafsir Jalalain di kompilasi oleh Dani Hidayat. http://myface-online.blogspot.com
9.      Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan BIntang, 1972)
10.  Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980)
11.  Mahmud Basuni Faudah, Tafsir- tafsir al Qur’an (Bandung: Pustaka, 1987),
12.  Manna’ Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.terjemah Muzakkir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 1996)
13.  Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. 
14.  Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun (Mesir:Dar Al-Kutub wa Al-Hadits,1996)
15.  Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan : Bandung, 1996)
16.  Muhammad Zaini, Ulumul Quran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda Aceh,2005)
17.  Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an,
18.  Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
19.  Q.S. al-Hasyr (59):7 dan al-Nahl (16):44
20.  Siti Amanah, Pengantar Ilmu al Qur’an dan Tafsir (Semarang: asy-Syifa, 1993)
21.  Supriana, dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002)
22.  Tim Penyusun STAIN Jember, Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jember: STAIN Jember Press, 2010
23.  Yunahar Ilyas “Kuliah Ulumul Qur’an”( Yogyakarta: ITQAN Publishing)Al-Hafizh Jalâl ad-Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003), juz 1.


[1] Muhammad Zaini, Ulumul Alquran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda Aceh,2005), hal.109

[2] Yunahar Ilyas “Kuliah Ulumul Qur’an”( Yogyakarta: ITQAN Publishing)Al-Hafizh Jalâl ad-Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi, AlItqân fiUlum Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003), juz 1 hlm. 187.

[3] Lihat Q.S. al-Hasyr (59):7 dan al-Nahl (16):44

[4] Ibid, Hal 271

[5] Abdul Qadir Muhamad Shaleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun Fi Ash Al-Hadits, ( Beirut : Dar Al-Ma’rifah, 1424H/ 2003 M, Cet. Ke-1 h. 80-81.

[6] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 33

[7] Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir. Hal 25

[8] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 227

[9] Terdapat banyak indikasiyang menunjukkan keluasan ilmu wawasan teman, terutama berhubungan dengan Al-Quran. Ali bin Abi Thalib, misalnya, pernah berkata, “bertanyalah kalian kepadaku. Demi Allah, pasti aku akan menjawabnya. Bertanyalah kalian kepadaku ihwal kitab Allah. Demi Allah! Tidak ada satu ayat pun kecualii aku mengetahui waktu dan daerah turunnya, malam hari atau siang hari:didataran atau pegunungan” perkataan serupa diutarakan ibnu mas’ud (w.33/653)demi zat yang tidak ada ilahi selainnya, tidak ada suatu ayatpun yang turun kecuali aku mengetahui untuk siapa dan dimana ayat itu turun. Bila ada seseorang yang lebih mengetahuai kitab Allah dari pada ku, aku pasti akan mendatanginya, “juga terdapat tradisi dikalangan mereka untuk tidak mempelajari ayat lain, bila sedang ayat ynag dipelajari belum benar-benar difahami dan diamalkan. . lihat Al_qothan, Op.Cit hlm.343-347. Meskipun demikian tidak semua arti-arti tata al-quran dimengerti kata, misalnya Al-Abb pada surat abasa. Lihat Al-Arid, op.cit hlm 43

[10] Ibid, hlm 226-236

[11] Manna’ Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.terjemah Muzakkir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), hal.482-483

[12] Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an, hal.12

[13] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun (Mesir:Dar Al-Kutub wa Al-Hadits,1996), hal. 45

[14] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488

[15] Basuni faudah, tafsir-tafsir al-qur’an,terj,. Pustaka Bandung,1987, Hlm 62, adz-dzahabi, At-Tafsir, hlm 254

[16] Ibid, 62 dan 254

[17] Ibid, 62 dan 254

[18] Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir. Hal 26-27

[19] Op.cit hal 265

[20] Ibid. hlm. 49

[21] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. hlm. 34.

[22]Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an… hlm. 46.

[23] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 113

[24] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. hlm. 37

[25] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan : Bandung, 1996), hlm. 71

[26] Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan BIntang, 1972), hlm. 220

[27] ‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994) hlm. 42

[28] Nashruddin Baidan, Wawasan gres Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hlm 446

[29] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002), hlm 46

[30] Supriana, dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002)hal. 308

[31] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Humaniora, 2007),hal. 58

[32] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir- tafsir al Qur’an (Bandung: Pustaka, 1987),hal. 25

[33] Op.Cit hal. 61

[34] Op.Cit hal. 64

[35] Tim Penyusun STAIN Jember, Studi Islam di Perguruan Tinggi (Jember: STAIN Jember Press, 2010), hal. 85.

[36] Siti Amanah, Pengantar Ilmu al Qur’an dan Tafsir (Semarang: asy-Syifa, 1993),hal. 313

[37] E-book Terjemah Tafsir Jalalain di kompilasi oleh Dani Hidayat. http://myface-online.blogspot.com