Syi’Ah (Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat)

A.   Pendahuluan
Perbedaan usulan, pandangan dan pedoman yakni suatu yang fitrah dan lumrah. Tentunya perbedaan tersebut mesti dilandasi oleh azas kebenaran. Al-Qur’an sebagai kalam Allah diyakini oleh umat Islam selaku sumber kebenaran yang sewenang-wenang. Ternyata Al-Qur’an tidak tiba dalam bentuk yang rinci seperti layaknya peraturan lalu lintas. Hal ini membuka potensi ijtihad yang seluas-luasnya untuk merinci klarifikasi tersebut. Bahkan dalam sebuah kasus tidak didapatkan nashnya baik didalam

Al-Qur’an maupun di dalam Hadits, tentu manusia berupaya untuk mencari penyelesaian yang terbaik melalui ijtihad. Berangkat dari pandangan di atas lumrah kiranya jikalau di dalam sejarah umat Islam terjadi perdebatan dalam memandang sebuah persoalan. Keberagaman pendapat tersebut memupuk subur pertumbuhan dinamika peradaban umat Islam sehingga menuai banyak sekali mazhab dan aliran, termasuk syi’ah.

Syi’ah pada dasarnya lahir sebagai mazhab politik yang menyuarakan Ali Ibn Abi Thalib selaku Khalifah. Perkembangan dinamika keberagaman pedoman syi’ah  melahirkan aneka macam sekte yang inti ajarannya berkisar pada dilema imamah. Dalam pertumbuhan berikutnya ternyata dari ajaran imamah inilah mereka berangkat menuju teologi. Walaupun dalam realitasnya ada sekte yang masih berpegang pada prinsip-prinsip Islam dan ada pula sekte yang sudah keluar dari prinsip-prinsip Islam, ada yang masih tetap bertahan sampai kini, dan ada pula yang sudah  hilang ditelan sejarah.
Tulisan ini menjajal mengkaji beberapa persoalan wacana syi’ah yaitu: Pengertian syi’ah, asal seruan, pemikiran pokok, sekte Zaidiyyah, Imamiyyah, dan Ghulat dan ajarannya, serta menyuguhkan analisa perbandingan ketiga pedoman sekte tersebut. Meskipun amat disadari bahwa topik-topik ini hayalah segelintir pembahasan perihal syi’ah, namun penulis berharap pembahasan ini representatif untuk dijadikan materi diskusi.
B.    Pengertian
Secara bahasa syi’ah mempunyai arti pengikut dan penolong.[1] Ada juga yang mengartikan dengan kalangan, jama’ah, dan kalangan.[2] Sehingga dapat dibilang bahwa setiap kalangan atau kelompok yang mempunyai pengikut dan menawarkan pertolongan terhadap imamnya disebut dengan syi’ah. Lebih lanjut, sebagaimana yang dikutip oleh al-Qifariy, Al-Azhariy mengartikan syi’ah dengan kelompok yang mengikuti sebagian yang lain dan tidak semua mereka setuju dengan apa yang diikutinya.[3] Artinya dalam hal tertentu mereka sependapat, tetapi dalam hal lain mereka berlawanan pertimbangan , sehingga terdapat sekte-sekte dalam satu kelompok. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat kata syi’ah yang pada pada dasarnya berarti kelompok atau kalangan, misalnya firman Allah dalam surat al-‘An’am ayat 159:
ان الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا……
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah agamanya mereka terpecah menjadi beberapa kelompok.”         
Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah telah dikenal kata syi’ah. Akan tetapi penyebutan syi’ah tidak saja ditujukan pada golongan Ali tetapi golongan mu’awiyyah juga disebut dengan syi’ah,[4] tetapi dalam agama Islam kata syi’ah identik dengan pengikut Ali. Nama syi’ah digunakan untuk golongan yang mengagungkan Ali ibn Abi Thalib dan jago al-bait.[5]
          Penggunaan makna syi’ah secara bahasa sebetulnya tidak sempurna, walaupun al-Zabidiy sudah menerangkan bahwa syi’ah identik dengan kalangan yang mengagungkan Ali ibn Abi Thalib dan mahir al-bait, alasannya adalah jika ada orang yang menyampaikan bahwa Abu Bakar lebih utama dari pada Ali, maka beliau disebut dengan syi’ah (dalam pemahaman pengikut Abu Bakar). Akan namun realitas sejarah telah merubah makna kamus, sehigga kalau disebut syi’ah, maka pengertiannnya mengacu pada pengikut Ali dan andal al-bait. Sehingga Al-Syarastaniy juga mendefenisikan syi’ah dengan pengikut Ali saja.[6]
C.   Asal Usul Syi’ah
Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa syi’ah yaitu mazhab politik tertua di dalam Islam yang lahir pada final pemerintahan Utsman ibn Affan dan berkembang pesat pada periode pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib[7]. Harun Nasution menyebutkan bahwa syi’ah lahir dari kejadian arbitrase, dimana kejadian ini memunculkan dua persepsi yang berlawanan dari pihak Ali. Pertama golongan yang menolak arbitrase yang disebut dengan Khawarij (keluar dari kalangan Ali). Kedua kelompok yang tetap dalam barisan Ali yang disebut dengan syi’ah. Sehingga peristiwa arbitrase ini sudah melahirkan tiga golongan Islam, yaitu Khawarij, syi’ah, dan mu’awiyyah.[8]. Dua pendapat di atas harus dianalisa kembali, alasannya mengenai asal-permintaan kelahiran syi’ah terdapat bermacam-macam usulan, baik usulan yang berasal dari pengikut syi’ah sendiri maupun pertimbangan selain syi’ah, berikut uraiannya:
1.     Pendapatan pengikut syi’ah
a.      Pendapat yang menyampaikan bahwa syi’ah telah lahir sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Abi Hasan menyampaikan bahwa kepemimpinan Ali telah tertulis di dalam mushhaf para nabi sebelumnya: “tidak diutus seorang Rasul kecuali Muhammad SAW dan mewasiatkan Ali as sebagai khalifah.[9] Sebagaimana diterangkan di sebagian ayat al-Qur’an bahwa para Nabi terdahulu diutus untuk menyeru terhadap mentauhidkan Allah SWT dan tidak ada satu ayat pun yang menerangkan wacana wasiat Ali selaku khalifah. Seperti firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 59:
لقدارسلنا نوحاالى قومه فقال يا قوم اعبدوا الله مالكم من اله غيره
Artinya: “Sesungguhnya kami sudah menyuruh Nuh terhadap kaumnya kemudian ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah sesunggunya tidak ada Tuhan bagimu selain Ia…”.[10]
b.  Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah ada pada zaman Nabi SAW, dengan argumentasi bahwa pada kurun Nabi telah banyak para sahabat  menjadi pengikut Ali (tasyi’). Al-Qimiy mengatakan bahwa: syi’ah Ali telah ada semenjak zaman Nabi dan setelahnya, adapun para teman yang mengakui keimaman Ali di antaranya yaitu: al-Miqda ibn Aswad, Salman al-Farisi, bubuk zar Jundib ibn Janadah al-Gaffariy, dan Ammar ibn Yasar al-Madzhajiy. Salman al-Farisi yakni Amil kahlifah Umar di Kuffah dan Ammar ibn Yasar di beberapa kota, diartikan sebagai pengikut setia Ali dan menolak kekhalifan sebelumnya (al-Rafidhah), maka tentu kedua sahabat di atas tidak akan menjadi amil pemerintahan Umar ibn Khattab.
c.      Pendapat yang menyampaikan bahwa syi’ah sudah lahir pada waktu pertempuran Jamal. Ibn Nadim berkata: “Ali memerangi Thalhah dan Zubair untuk membunuh keduanya, maka orang yang ikut menolong Ali dalam peperangan itu disebut dengan syi’ah”[11] Disini kata syi’ah dimaknai oleh ibn Nadim dengan pengikut atau penolong Ali, maka pemberian pertama yang diberikan oleh pengikut Ali yakni pada peperangan Jamal.
2. Pendapat selain Syi’ah
a. Pendapat yang menyampaikan bahwa syi’ah timbul sehabis wafatnya Nabi, saat mencuat berita bahwa Ali-lah yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi. Ahmad Amin mengatakan bahwa benih pertama kelahiran syi’ah yakni saat wafatnya Nabi bahwa mahir al-bait ialah orang-orang yang utama untuk menggantikan Nabi, dan yang utama dari kelompok andal al-bait ialah Ali ibn Abi Thalib.[12]
b. Syi’ah timbul sehabis terbunuhnya Utsman dan hadirnya Abdullah ibn Saba’[13]. Abdullah ibn Saba’ yakni orang yang pertama kali menanamkan benih syi’ah. Ia yaitu orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam pada akhir pemerintahan Utsman. Dialah yang pertama kali mengisukan bahwa yang berhak menggantikan Nabi adalah Ali, dan dia juga yang mengobarkan api pertempuran antara Ali dan Mu’awiyyah (perang Siffin), dan Aisyah (perang Jamal).[14]
Di antara pendapat-pendapat di atas, secara biasa mampu diurutkan sesuai dengan perjalanan sejarah, adalah: (1) sebelum diutusnya Nabi, (2) pada abad Nabi, (3) setelah wafatnya Nabi, (3) pada periode Nabi final kekhalifahan Ustman. Dan pertimbangan ketiga mampu pula dibagi menjadi tiga, adalah: (a) pada peperangan jamal (b) pada peristiwa arbitrase (perang Siffin), dan (c) munculnya Abdullah ibn Saba’.
Jika disimak secara objektif dan konferhensif, bahwasanya kajian perihal asal-undangan syi’ah mampu dilihat dari dua faktor, pertama syi’ah selaku sebuah pandangan (syi’isme) dan kedua syi’ah selaku sebuah mazhab atau ajaran (dalam arti sudah terbentuknya mazhab syi’ah). Dari perjalanan sejarah, pandangan yang mengarah pada pengagungan Ali sudah ada semenjak zaman Rasulullah – tetapi persepsi perihal adanya aba-aba syi’ah sebelum diutusnya Rasulullah amat sukar diterima, mirip yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan alasan[15], bahwa:
1.     Ali Ibn Thalib yaitu orang yang menunjukkan dukungannya kepada Nabi tatkala Nabi menerima cemoohan.
2.     Ali ialah sosok figur yang sudah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah dilakukannya. Seperti, dia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAW di malam insiden lailatul mabit dikala Rasulullah SAW hendak berhijrah ke Madinah, dan kepahlawanannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar.
3.     Ali pernah diangkat oleh Nabi selaku wakilnya di Madinah ketika Nabi melakukan ekspansi ke Tabuk. Dan lain-lain.
Semua kejadian di atas terjadi pada abad Nabi sehingga dia menjadi sebagian alasan bagi segelintir golongan untuk memprioritaskan Ali. Selain itu Ali adalah keturunan bersahabat Nabi. Sehingga keutamaan Ali menjadi legitimasi atas hadirnya syi’isme. Dan tidak salah kiranya persepsi ini meningkat dan menuntut realisasi setelah Nabi wafat. Sesaat setelah Nabi wafat terjadi peristiwa saqifah bani sa’idah. Peristiwa ini menjadi event penting yang perlu digarisbawahi sebab pengangkatan khalifah Abu bakar oleh kaum anshar dan Muhajirin, dianggap sebagai perampasan hak Ali. Ini menunjukkan bahwa sehabis Nabi wafat gres lahir syi’ah sebagai suatu persepsi.
Kelahiran syi’ah selaku sebuah mazhab tidak terlepas dari persepsi di atas, oleh alasannya adalah itu kita bisa mengklaim satu usulan yang benar. Pendapat biasa mengatakan bahwa syi’ah sebagai sebuah mazhab lahir pada abad akhir pemerintahan Utsman ibn Affan, hal ini pun masih diperselisihkan. Jika ibn Nadim menyampaikan bahwa syi’ah selaku sebuah mazhab lahir pada waktu pertempuran Jamal, juga mampu dibenarkan, dimana ibn Nadim mengerti syi’ah sebagai pengikut atau penolong Ali, maka santunan pertama yang diberikan oleh pengikut Ali yaitu pada pertempuran Jamal. Namun tidak semua pengikut dan penolong Ali pada peperangan Jamal setuju dengan kejadian tahkim. Pengikut dan penolong Ali yang setia pasti yang sependapat dengannya. Jika demikian, maka insiden tahkimlah yang menetapkan hitam dan putihnya kelahiran syi’ah selaku suatu mazhab. Sedangkan kehadiran Abdullah ibn Saba’ yaitu pewarna bagi kemajuan syi’ah serta telah melahirkan corak teologi syi’ah yang ekstrim.
D.   Ajaran Syi’ah
Pengikut syi’ah menyampaikan bahwa masalah Imamah dan khilafah mestilah ditetapkan menurut pencalonan dan penunjukan baik terbuka maupun tertutup. Mereka meyakini bahwa duduk perkara Imamah haruslah berasal dari keluarga Ali, kalau Imamah itu pernah berada dari selain keluarga Ali hal itu merupakan kekeliruan yang dijalankan oleh pihak lain di pihak imam yang benar. Imamah bukanlah duduk perkara sipil yang mampu teratasi melalui pemilihan yang dijalankan oleh publik, akan namun ia yaitu duduk perkara yang pokok; dia ialah rukun agama. Oleh akibatnya dilarang bagi Rasul menyepelekannya terlebih menyerahkan pada publik, beliau bahkan wajib bagi Rasul menentukannya.[16]
Selain itu syi’ah berkeyakinan bahwa para Nabi dan imam ma’sum terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, demikian juga dengan imam-imam sesudahnya. Ali ditunjuk oleh Nabi selaku penggantinya lewat wasiat, oleh alasannya adalah itu syi’ah meyakini bahwa imam diseleksi lewat wasiat imam sebelumnya.[17] Secara tegas dapat dikatakan bahwa imam adalah perantaraan Tuhan dan manusia. Ia berfungsi selaku pemimpin agama (spiritual) dan nagara (politik).[18] Oleh karena itu, bagi syi’ah, imam diletakkan selaku salah satu rukun kepercayaan yang wajib di ikuti dan ditaati.
E.    Sekte-sekte Syi’ah dan Ajarannya
Menurut al-Syahrastaniy, syi’ah berisikan lima sekte, adalah: Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah.[19] Dalam sub-bab ini, sesuai dengan silabus, penulis hanya akan membicarakan tiga sekte adalah: Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghulat.
1.     Zaidiyyah
Golongan Zaidiyyah merupakan pengikut Zaid Ibn Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Mereka berpegang bahwa Imamah menjadi milik keturunan Fathimah dan dihentikan dipegang oleh orang lain. Tetapi mereka mengakui semua kalangan Fathimah yang berilmu shaleh, berani dan senang memberi selaku imam yang wajib ditaati, apakah beliau dari keturunan Hasan ataupun Husain. Oleh sebab itu golongan Zaidiyyah juga mengakui keimaman Imam Muhammad dan Imam Ibrahim anak dari Abdullah ibn Hasan yang memberontak pada pemerintahan Mansur. Mereka juga menolak kemunkinan dua imam pada dua daerah yang berbeda, kecuali kedua imam tersebut memiliki syarat di atas.[20]
Zaid memandang bahwa ada kemungkinan seseorang yang kurang utama (al-mafdhul) untuk menjadi Imam, meskipun ada orang yang lebih utama (afdhal) darinya. Zaid berpendapat bahwa Ali Ibn Abiy Thalib yaitu orang yang lebih utama dari para sahabat, namun khalifah pertama dipercayakan kepada Abu Bakar, hal ini sebab pertimbangan mashlahah, dan kaedah agama yang mereka perpegangi, adalah untuk membendung timbulnya fitnah, serta untuk menenangkan hati rakyat. Peperangan diikuti Ali pada zaman Nabi, masih terniang di anggapan orang Quraisy dan orang kafir yang lain, maka dikhawatirkan akan adanya penuntutan balas kepada Ali, sehingga walaupun Ali lebih utama dari yang lain sukar untuk diterima secara politik, maka amat sangat bijaksana kiranya jika jabatan Imam diberikan terhadap Abu Bakar selaku orang yang dikenal dan diterima penduduk baik hati, paling awal masuk Islam serta bersahabat dengan Nabi. Ketika Abu Bakar menyerahkan jabatan Imam terhadap Umar, sementara Ali dalam keadaan sakit, prosesi transisi tersebut dianggap suatu hal yang bijaksana. Singkat kata, syi’ah Zaidiyyah mengakui khalifah Abu Bakar dan Utsman. Ketika pertimbangan Zaid di atas didengar oleh pengikut syi’ah di Kuffah mereka menolak Zaid sepanjang hayat. Dan sebab argumentasi inilah dia disebut dengan penganut Rafidhah.[21]
Aliran Zaidiyyah berkeyakinan bahwa seorang imam tidak ditunjuk pribadi oleh Nabi, akan tetapi ditentukan oleh Nabi sifat-sifatnya saja, diantaranya berasal dari Bani Hasyim, wara’, (saleh, menjauhkan diri dari dosa), bertakwa, membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka sehingga rakyat mengakui beliau selaku imam. Oleh alasannya adalah argumentasi inilah bahwa Ali lah yang berhak menjadi imam, karena Ali menyanggupi sifat-sifat tersebut. Dan adapun yang berhak menjadi imam sesudah Ali diisyaratkan pula mesti berasal dari keturunan Fathimah.[22] Selain itu, bagi Syi’ah Zaidiyyah, Imamah tidak boleh bersifat anak-anak dan tidak pula bersifat ghaib. Ia harus mempunyai kemampuan dalam memimpin perang suci, menjaga penduduk , dan seorang mujtahid.[23] Ketaatan kepada imam hanyalah dalam kebaikan. Imam yang bagus, taat, dan adil wajib ditaati.[24]
Zaid Ibn Ali pernah berguru teologi terhadap Washil ibn Atha’, seorang pemuka mu’tazilah, konon pengikutnya Zaid menjadi orang mu’tazilah. Hubungan Zaid dan Washil menciptakan kemarahan pengikutnya, sebab Washil sangsi dalam menentukan posisi Ali dalam perang Jamal. Washil tidak sepenuhnya percaya bahwa Ali berada dalam pihak yang benar.[25] Oleh alasannya itu anutan Zaid banyak dipengaruhi oleh gurunya. Contoh keyakinannya yakni bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, Al-Qur’an yakni makhluk, dan tidak mendapatkan takdir begitu saja.[26] Orang yang melaksanakan dosa besar tidak awet di dalam neraka, selama mereka belum bertaubat dengan taubat sebenar-benarnya.[27]
Dalam pertumbuhan berikutnya syi’ah Zaidiyyah terpecah menjadi empat golongan, adalah: Jarudiyyah pengikut Abu al-Jarud Ziyad ibn Abu Ziyad, Sulaimaniyyah pengikut Sulaiman ibn Jarir, Shalihiyyah pengikut Hasan ibn Shalih ibn Hayy, dan Bitriyyah pengikut Katsir al-Hawa al-Abtar.[28]
Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa Zaidiyyah dalam perkembangannya terbagi menjadi dua, pertama para penganut Zaidiyyah generasi pertama, dipandang tidak ekstrim karena mengakui keimaman Abu Bakar dan Umar, kedua pengikut Zaidiyyah generasi belakangan, dipandang ekstrim alasannya tidak mengakui keimaman Abu Bakar dan Umar.[29]
2.     Imamiyyah
Disebut Imamiyyah alasannya adalah yang menjadi paham dasar aqidah mereka adalah imamah. Sekte ini juga diketahui dengan syi’ah istna al-asyariah (syi’ah 12), sebab mereka meyakini imam yang dua belas,[30] sebagaimana terdapat dalam silsilah di atas. Selain itu, dia juga dinamakan dengan Ja’fariyyah yang dinisbatkan pada ja’far al-Shadiq (imam ke enam).[31]
Ada beberapa pemikiran pokok syi’ah imamiyyah, di antaranya:
a.     Imamah
     Golongan ini percaya bahwa sehabis Nabi Imamah menjadi hak Ali atas dasar nash yang jelas dan penunjukan konkret. Mereka mengatakan bahwa tidak ada yang lebih penting dari pada penunjukan Imam dalam agama dan dalam Islam. Rasul diutus untuk meghilangkan pertengkaran dan mencipkatan keselarasan. Nabi tidak boleh memecah persatuan umat dan meninggalkan mereka dalam perselisihan pendapat. Oleh alasannya itu, Nabi mesti menunjuk penggantinya dan penggantinya itu adalah Ali Ibn Abi Thalib.[32]
Mereka berdalil, dengan sabda Nabi yang berbunyi:
أقضاكم علي
(hakim yang paling baik di antara kau yaitu Ali). Berdasarkan hadits di atas, mereka mengatakan bahwa Imamah yakni hakim utama dalam setiap kasus, dan hakim menjadi penengah bagi orang yang berselisih. Maka ini ialah implementasi dari firman Allah:
وأطيعو الله واطيعو الرسول و اولى الامر منكم ….
Mereka menerangkan bahwa ulil amri dalam ayat di atas adalah orang yang dipercayakan kepadanya pengadilan dan pemerintahan.[33]
Keberadaan imam berfungsi selaku penjaga syari’at, pertanda dan memeliharanya dari penyimpangan dan kesesatan. Seorang imam ialah hujjah Allah yang berlaku sampai akhir zaman. Ali menyampaikan bahwa bumi ini tidak pernah kosong dari hujjah Allah baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi.[34]
Imam bagi syi’ah Imamiyyah ialah suatu hal yang prinsip dan pokok. Bagi mereka imamah bagaikan kalimat syahadat yang apabila diingkari sama saja mengingkari kalimat syahadat.[35] Sehingga mampu dikatakan bahwa kepercayaan kepada imam sederajat dengan Rasul. Tidak heran kalau mereka menganggap bahwa imam yaitu ma’sum, dijaga oleh Allah baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
b.     Ishmah
          Imam menurut syi’ah ialah ma’sum (suci) terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil. Kema’suman seorang imam bagaikan seorang Nabi, beliau terpelihara dari segala bentuk kesalahan dari kanak-kanak sampai selesai hayatnya. Jika tidak demikian maka sebagai pemimpin agama, tentu beliau akan melakukan kesalahan dalam melakukan fungsi dan tugasnya selaku imam.
Para imam berhak untuk melakukan tahksish terhadap nash-nash yang bersifat umum dan melaksanakan taqyid kepada nash-nash yang bersifat mutlaq.[36] Hal ini merupakan implikasi dari kema’suman imam, yang diakui sederajat dengan Nabi, jadi imam memiliki otoritas untuk membuat syari’at seperti layaknya seorang Nabi.
Kema’suman seorang imam berdasarkan syi’ah bersifat lahir dan bathin, sebelum dan sehabis dia menjadi Imam. Kema’suman seorang imam cuma mampu diketahui dari keadaannya sebelum menjadi imam, adalah dari perkataannya yang dapat dijadikan hujjah. Atas dasar ini dia harus ma’sum sebelum menjadi imam. Jika demikian maka dia akan dijauhi.[37]
c.      Mahdiyyah
Mahdi berdasarkan kacamata syi’ah ialah imam yang ke-12, ialah Muhammad ibn Hasan al-Azkariy yang disebut dengan Muhammad Mushthafa dengan nama al-Mahdiy al-Munthazar yang lahir pada tahun 255 H, dan wafat 260 H, mereka berkeyakinan bahwa ia tidak meninggal dan sewaktu-waktu akan kembali ke bumi guna menegakkan keadilan, menghukum orang-orang yang zhalim terhadap ahli al-bait.[38]
Keyakinan akan adanya mahdi didasari oleh ajarannya yang disebut dengan raj’ah. raj’ah mempunyai arti kembali, mereka berkeyakinan bahwa sebagian insan yang telah meninggal dapat dihidupkan kembali oleh Allah, alasannya adalah suatu pesan tersirat. Kemudian di hidupkan kembali bersama manusia dihari kiamat.
d.     al-Taqiyyah
               Di antara prinsip aliran syi’ah Imamiyyah ialah taqiyyah. Taqiyah artinya bantuan, orang syi’ah demi untuk melindungi dirinya boleh berbohong.[39] Dalam kata lain taqiyyah yakni seseorang menunjukkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dirahasiakannya (di dalam hatinya). Bagi mereka taqiyyah yakni rukun agama, bahkan tiang agama dan dengan tiang itu agama dapat berdiri.[40]
لا دين لمن لا تقية له
  “Tidak beragama seseorang tanpa taqiyyah”
Muhammad Kamil al-Hasyimiy mengatakan taqiyyah memiliki arti bohong. Bohong dan taqiyyah adalah dua hal yang tidak berbeda. Karena syi’ah lahir berdasarkan kebohongan demi kebohongan. Kaum syi’ah sudah menciptakan kebohongan terhadap kebenaran dan kesucian. Karena syi’ah memperlihatkan kedustaan terhadap sesuatu yang mereka simpan.[41]
3.     Ghulat
Ghulat, dalam bahasa Indonesia mempunyai arti berlebih-lebihan atau ekstim. Sehingga syi’ah Ghulat sering juga disebut dengan syi’ah ekstrimis. Atau dalam bahasa al-Syahrastaniy ialah orang-orang yang berlebih-lebihan di dalam menilai imam-imam mereka sehingga penilaian tersebut keluar dari batas-batas sifat penciptaan, dan menganggap imam-imam mereka mempunyai sifat ke Tuhanan. Kadangkala mereka menyamakan seorang imam dengan Tuhan, dan menyamakan Tuhan dengan insan (tasybih), fatwa mereka seperti layaknya ajaran Yahudi dan Kristen, orang yahudi menyamakan Tuhan dengan insan, sedangkan orang Nashrani menyamakan manusia dengan Tuhan.[42]
Keekstriman kelompok ini didasarkan pada empat keyakinan yang mereka perpegangi, adalah: al-tasybih (antropomorfisme), al-bada’ (pergeseran pikiranTuhan), al-raj’ah, al-tanasuhk (reinkarnasi).[43] Paham tasybih menilai Tuhan serupa dengan mahkluk, dalam arti memiliki anggota badan. Paham bada’ yaitu iman yang mengatakan bahwa Tuhan dapat merubah apa yang diharapkan-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Paham ini menyebabkan kesan adanya kekurangan ilmu Tuhan, padahal Tuhan alim dan khabir. Paham raj’ah yaitu hidupnya sebagian manusia yang sudah meninggal. Sedangkan paham tanasuhk  ialah menjelmanya roh Nabi atau para imam ke dalam orang-orang tertentu, seperti yang dibilang oleh Abdullah ibn Amr Ibn Harb bahwa roh Muhammad ibn Hanifah menjelma dalam drinya.[44]
Kelompok syi’ah ekstrimis, menurut al-Syahrastaniy terbagi menjadi 12 kelompok, adalah: Saba’iyyah, Kalimiyyah, al-Ba’iyyah, Mughiriyyah, al-Mansuriyyah, Khaththabiyyah, Kayyaliah, Hisyamiyyah, Nu’maniyyah, Yunisiyyah, Nusiriyyah, dan Ishaqiyyah. Untuk menyaksikan gambaran keekstrimannya berikut akan penulis paparkan beberapa kalangan dibarengi dengan ciri khas ajarannya yang ekstrim:
a.      Saba’iyyah
Kelompok ini merupakan pengikut Abdullah ibn Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam pada masa khalifah Utsman. Ia berkata terhadap Ali: “Engkau yakni engkau” yaitu “Engkau yakni Tuhan. Dia yaitu orang pertama yang mengatakan bahwa imam yang pertama yang berhak adalah Ali. Dan dari ibn Saba’ inilah golongan ekstrim timbul. Menurutnya Ali masih hidup, dan di dalam diri Ali terdapat komponen ke Tuhanan.[45]
b.     Al-kamiliyyah
            Kelompok ini merupakan pengikut Abu Kamil, ia mengatakan bahwa semua teman kafir karena tidak menawarkan sumpah setia kepada Ali. Imamah merupakan cahaya yang berpindah dari seseorang terhadap orang lain. Cahaya yang satu menjadi nubuwwah dan pada diri lainnya menjadi imamah. Selain itu mereka yakin bahwa Tuhan ada di setiap daerah, berbicara melalui setiap lidah, dan terdapat dalam setiap individu, inilah yang dimaksud dengan hulul.[46]
c.      ‘Alba’iyyah   
     Kelompok ini yaitu pengikut al-‘Alba’ ibn Zira’ al-Dausi, atau oleh sebagian orang disebut juga dengan al-Asdi. Ia menyampaikan bahwa Ali lah yang mewakilkan Muhammad, dan Ali yaitu Tuhan. Muhammad telah salah, sebab sebaiknya Muhammad menyeru kepada Ali, bukan pada dirinya sendiri.[47]
d.     Al-Mughiriyyah
Kelompok ini merupakan pengikut Mughirah ibn Said al-‘Ijli. Mereka percaya akan adanya tasybih, Allah mempunyai bentuk dan badan dan mempunyai bab-bab sebagaimana huruf hijaiyyah. Bentuk Allah mirip bentuk insan yang yang dibuat dari cahaya dan di atas kepalanya terdapat mahkota cahaya. Dan Allah juga memiliki hati yang memancarkan pesan yang tersirat.[48]
e.      Al-Mansuriyyah
Golongan ini adalah pengikut Abu Mansur al-Ijliy. Salah satu ajaran ekstrim yang dipertahankan oleh Abu Mansur ialah bahwa Ali yaitu sesuatu yang jatuh dari nirwana. Dan sesuatu yang jatuh dari surga yakni Allah. Ia juga mempertahankan bahwa rasul tidak akan terputus selamanya. Selain itu dia juga mengatakan bahwa surga ialah seorang manusia, dimana kita diperintahkan untuk bergabung bersamanya, dia adalah imam zaman. Neraka adalah seorang insan dimana kita diperintahkan untuk meninggalkannya, ia ialah musuh imam.[49]
E.          Analisa dan Perbandingan
Persoalan pokok dalam kajian syi’ah ialah masalah Imamah, sehingga dari pemikiran tersebut muncullah banyak sekali fatwa-pedoman yang mengarah pada teologi. Analisa perbandingan yang mampu disimpulkan dari ketiga sekte tersebut ihwal imamah yaitu: Bagi pemikiran Zaidiyyah Imam tidaklah merupakan wasiat dari Nabi kepada seseorang mirip persepsi ajaran Imamiyyah, akan tetapi Nabi menentukan sifat-sifatnya. Selain itu bagi Zaidiyyah, orang yang tidak utama bisa saja menjadi imam, sehingga pandangan ini menimbulkan adanya pengesahan kepada keimaman Abu Bakar, Umar, dan Usman.
Bagi fatwa Imamiyyah, imam ialah wasiat dari Nabi, sebab bila tidak maka rakyat akan terpecah menurut keinginandan pendapatnya masing-masing, oleh alasannya itu Nabi wajib menunjuk penggantinya melalui wasiat. Selain itu mereka berkeyakinan imam memiliki posisi yang amat tinggi, bahkan sederajat dengan nabi. Dari akidah ini menimbulkan persepsi bahwa imam adalah ma’sum mirip layaknya Nabi, baik sebelum atau setelah menjadi imam. Berangkat dari sikap fanatis kepada imam melahirkan anutan raj’ah. Dan dari raj’ah ini pulalah mereka meyakini adanya imam mahdi (ajaran mahdiyyah) yang hendak datang di kiamat. Penulis berasumsi bahwa, adanya fatwa taqiyiah dalam fatwa syi’ah imamiyyah ini disebabkan oleh tidak mampunya mereka menunjukkan alasan yang logis terhadap pertimbangan -pendapat mereka, sehingga mereka menyembunyikan kebenaran. Seperti halnya wasiat, bergotong-royong mereka tahu bahwa wasiat Nabi terhadap Ali tidak ada, tetapi demi untuk mempertahankan hal tersebut mereka harus berdusta insiden ghadir khum.
Syi’ah Ghulat juga berangkat dari duduk perkara imamah. Jika syi’ah imamiyyah menilai bahwa imam sederajat dengan Nabi, maka bagi anutan Ghulat imam sederajat dengan Tuhan, atau imam yakni Tuhan, Tuhan adalah imam. Untuk menjaga iktikad ini maka muncullah pedoman tasybih, ialah menyamakan Tuhan dengan manusia, bada’  Tuhan dapat mengganti apa yang dikehendaki-Nya, raj’ah, hidupnya sebagian insan yang sudah mati, dan tanasuhk, menjelmanya roh nabi atau para imam kedalam orang-orang tertentu.
Dapat dikatakan bahwa pemikiran syi’ah Zaidiyyah ialah pedoman yang moderat, sebab selain alasannya adalah dipandang rasional, dia juga terkontaminasi oleh mu’tazilah. Syi’ah imamiyyah yaitu fatwa yang jumud di dalam berpendapat, sementara syi’ah ghulat adalah aliran yang berlebih-lebihan (ektrimis), ini sesuai dengan namanya, atau dipandang sudah keluar dari prinsip-prinsip anutan Islam.
F.    Kesimpulan
          Dari uraian yang telah digambarkan dan dipaparkan sebelumnya, ada beberapa kesimpulan yang mampu ditarik:
1.        Syi’ah secara bahasa memiliki arti pengikut dan penolong, sedangkan secara ungkapan syi’ah berarti pengikut setia Ali Ibn Abi Thalib secara khusus.
2.        Menurut pendapat umum dan terkuat bahwa syi’ah lahir pada final abad kekuasaan Usman ibn Affan, tepatnya pada waktu terjadinya kejadian tahkim. Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah sudah muncul sebelum Nabi diutus ialah pendapat bathil. Sedangkan usulan yang mengatakan bahwa syi’ah dalam arti pandangan (Syi’isme). Dan usulan yang menyampaikan bahwa syi’ah timbul pada ketika perang Jamal, yaitu syi’ah dalam arti penolong Ali, karena perlindungan yang pertama yang diberikan oleh pengikut Ali pada waktu perang Jamal.
3.        Persoalan pokok dalam kajian syi’ah yakni problem Imamah, sehingga dari pedoman tersebut muncullah berbagai pemikiran-aliran yang mengarah pada teologi sebagai argumen dari masing-masing pemikiran atau sekte. Sekte Zaidiyyah dianggap selaku sekte yang moderat, sekte imamiyyah adalah fatwa yang jumud (ortodok), sementara syi’ah ghulat adalah pemikiran yang berlebih-lebihan (ektrimis).
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Umar dan Kartos Away (Ed.), Mengapa kita Menolak Syari’ah, Jakarta: LIPPI, 1998
Aceh, Abu Bakar, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Semarang: Ramadhniy, 1980
Amin, Ahmad, Fajru al-Islam. Mesir: Maktabah Al-Nahdhah. 1965
Effendi, Muchtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang: Widyadara, 2001
Fachruddin , Fuad Moch., syi’ah Suatu Pengamatan Kritikal, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992
al-Hayimi, Muhammad Kamil, Hakikat Aqidah Syi’ah, Penterjemah: H. M. Rasjidi, Judul Asli: Aqaid Syi’ah fi al-Mizan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989
Jafri, S.H.M, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah: dari Saqifah sampai Imamah, Penterjemah: Meth Keirana, judul orisinil: Origin and Early Development of Shi’a Islam, Bandung: Pustaka Hidayat, 1995
Jaya, Yahya, teologi Agama Islam Klasik. Padang: Angkasa Raya, 2000
Ma’luf, Louis, Munjid fi Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah, Bairut: Dar al-Masyruq, 2000
Munawir, Ahmad Worson, kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap,  Surabaya: Pustaka Proggresif, 1997
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press 2001
al-Nimr, Abdul Mun’in, Syi’ah Imam Mahdi dan Duruz sejarah dan fakta. Jakarta: Qasthi Press, 2003
al-Qifariy, Nashir ibn Abdillah ibn ‘Ali, Masalah al-Taqrib baina jago al-Sunnah wa al-syi’ah Riayadh, Dar Thibah, 1418
————Ushul Mazhab Al-Syi’ah Al-Imamiyah Itsna Asyarairah ‘Ardh wa Naqd Riayadh, Dar Thibah, 1994
Ousthaniah, Wilayah al-Faqih dalam Menjalankan Pemerintahan dalam Islam Menurut Syi’ah Imamiyyah Itsna Asy’ariyyah. tesis, 2005
Al-Syahrastaniy, Abi Al-fath Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad, al-Milal wa al-Nihal, Bairut: Dar al-Fikr, 1997
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam penterjemah: Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, judul  asli : Tarikh Al-Mazdahib al-Islamiyyah, Jakarta: Logos, 1996

  Hakekat Syukur

[1]Ahmad Worson Munawir (berikutnya disebut dengan Munawir), kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Proggresif, 1997) Cet. Ke-16, h. 809

[2]Louis Ma’luf, Munjid fi Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah, (Bairut: Dar al-Masyruq, 2000), h.709

[3]Nashir ibn Abdillah ibn ‘Ali al-Qifariy, Masalah al-Taqrib baina mahir al-Sunnah wa al-syi’ah (selanjutnya disebut dengan al-Qifariy, al-Taqrib). (Riayadh, Dar Thibah, 1418 H), h.119

[4]Umar Abduh dan Kartos Away (Ed.), Mengapa kita Menolak Syari’ah, (Jakarta: LIPPI, 1998), h. 3

[5]Nashir ibn Abdillah ibn ‘Ali al-Qifariy, Ushul Mazhab Al-Syi’ah Al-Imamiyah Itsna Asyarairah ‘Ardh wa Naqd (selanjutnya disebut dengan al-Qifariy, ushul Mazhab), (Riayadh, Dar Thibah, 1994), jilid 1, h.30

[6]Abi Al-fath Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastaniy (berikutnya disebut dengan Al-Syahrastaniy), al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), h. 118

[7]Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (penterjemah: Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, judul  asli : Tarikh Al-Mazdahib al-Islamiyyah), (Jakarta: Logos, 1996), h. 36

[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI-Press 2001), jilid I, h. 89-90

[9] al-Qifariy, Ushul Mazhab, op.cit, h. 57

[10]Al-A’raf ayat 65 menjelaskan tentang Nabi Nuh As. Al-A’raf ayat 73 menerangkan ihwal Nabi Shaleh As. Al-A’raf ayat 85 menerangkan ihwal Nabi Syu’malu As.

[11] Ibid. h. 67

[12] Ahmad Amin, Fajru al-Islam. (Mesir: Maktabah Al-Nahdhah. 1965). h. 266

[13] al-Qifariy, Ushul Mazhab, op.cit., h.71. 71. Lihat: Muhammad Kami al-Hayimi, Hakikat Aqidah Syi’ah, (Penterjemah: H. M. Rasjidi, Judul Asli: Aqaid Syi’ah fi al-Mizan), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989). h. 13

[14] Umar Abduh dan Kartos Away, op.cit., h.4-5

[15] S.H.M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah: dari Saqifah hingga Imamah, (Penterjemah: Meth Keirana, judul orisinil: Origin and Early Development of Shi’a Islam), (Bandung: Pustaka Hidayat, 1995), h. 48-49. Lihat Fuad Moch. Fachruddin, syi’ah Suatu Pengamatan Kritikal, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), 4-5

[16] al-Syarastaniy, op.cit., h.118. lihat juga: Ahmad Amin, h. 267

[17] Ibid

[18] Yahya Jaya, teologi Agama Islam Klasik. (Padang: Angkasa Raya, 2000), h. 89

[19] al-Syahrastaniy, op.cit.

[20] Ibid. h. 164

[21] Ibid. h. 165

[22]Muhammad Abu Zahrah, op.cit,. h.47

[23] Yahya Jaya, op.cit., h. 94

[24] Ibid. h. 95

[25] Al-Syahrastaniy, loc.cit.

[26] Yahya Jaya, loc.cit.

[27] Muhammad Abu Zahrah, loc,cit.

[28]Al-Syahrastaniy, op.cit. h. 157-161

[29] Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 50

[30] Yahya Jaya, op.cit., h. 91

[31] Abu Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. (Semarang: Ramadhaniy, 1980), h.99

[32] Al-Syahrastaniy, loc.cit.

[33] Ibid., h. 132

[34] Muhammad Abu Zahrah, op. cit., h. 68

[35] Muhammad Kamil al-Hasyimiy, op. cit., h. 18

[36] Muhammad Abu Zahrah, op.cit., h. 54

[37] Ibid.,

[38] Abdul Mun’in al-Nimr, Syi’ah Imam Mahdi dan Duruz sejarah dan fakta. (Jakarta: Qasthi Press, 2003), h. 71-72

[39] Muchtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat. (Palembang: Widyadara, 2001), jilid IV, h. 4

[40] Muhammad Kamil al-Hasyimiy, op.cit., h. 135

[41] Ibid.

[42] Al-Syahrastaniy, op.cit., h. 139

[43]Ibid.

[44] Yahya Jaya, op.cit., h. 98

[45] Al-Syahrastaniy, loc .cit., h. 140

[46]Ibid.

[47] Ibid. h. 143-144

[48]Ibid.

[49] Ibid.  h. 143-144