Syekh Muhammad Zainuddin Bawean (1915-2005), Pahlawan Islam Nusantara Di Mekah

Duduk paling tengah adalah Syekh Yasin Isa al-Fadani sebagai mudir atau rektornya, di samping kiri beliau duduk Syekh Zainuddin Bawean.

Syekh Muhammad Zainuddin Bawean atau al-Baweani adalah salah seorang ulama keturunan Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, yang menjadi pengajar di Mesjidil Haram, Mekah. Penulis sejumlah kitab ini juga diketahui selaku salah seorang penyebar ide kebangsaan Indonesia dan islam Nusantara di kalangan para santri dan mahasiswa di Madrasah Darul Ulum Mekah al-Mukarramah.

Syekh Muhammad Zainuddin lahir di Mekah pada tahun 1334 H/1915. Ayahnya yakni Syekh Abdullah bin Muhammad Arsyad bin Ma’ruf bin Ahmad bin Abdul Latif Bawean. Adalah kakeknya yang pertama kali menginjakkan kaki di negeri Hijaz. Orang-orang Bawean memang banyak yang menjadi pengembara, untuk tujuan ekonomi maupun untuk berguru hingga ke Tanah Suci. Syekh Muhammad Hasan Asy’ari (wafat sekitar tahun 1921) yakni di antara orang-orang Bawean yang sukses jadi ulama dan juga guru besar di Mekah.

Sejak kecil Syekh Zainuddin ngaji pertama kali sama ayahnya, kemudian belajar pada ulama-ulama populer di Mekah dan Madinah. Di antaranya Syekh Amin al-Kurdi, Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi, Syekh Muhammad Baqir al-Jugjawi (asal Yogyakarta), dan Syekh Sayid Muhsin al-Musawa (asal Palembang). Beliau juga nyantri dan belajar di Madrasah al-Fakhriyah, lalu di Madrasah Shaulatiyah pada tahun 1351 H/1932. Di tahun awal dia bergabung ke madrasah favorit itu, sudah muncul pertentangan dan ketegangan di antara guru dan mahasiswa asal Indonesia.

Ceritanya, Madrasah Shaulatiyah, yang bangkit di Mekah pada tahun 1875, ialah madrasah favorit belum dewasa Nusantara yang akan mendalami ilmu-ilmu keislaman. Siapa yang ngaji di sini pasti jadi ulama besar di kampungnya. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, hingga Syekh Musthafa Husein Purba, pendiri Pesantren Musthafawiyah, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, adalah di antara alumni Madrasah Shaulatiyah. Tapi, sebuah kali ada seorang guru Arab di Madrasah Shaulatiyah ini yang kurang beradab: mencemooh bahasa Melayu dan menyebut orang Nusantara kurang pandai sehingga mudah dijajah Belanda. Kontan saat itu juga para mahasiswa tersinggung dan murka mengecam perilaku guru tersebut. Lalu muncullah semangat patriotisme orang-orang Indonesia di sana untuk membela agama dan juga bela kebangsaan Indonesia sekaligus. Tidak ketinggalan Syekh Zainuddin Bawean sendiri – waktu itu usianya jelang 20 tahun – ikut dalam semangat itu.

  Nilai Praksis Pancasila

Pada tahun itu juga 1934 para ulama Nusantara kumpul dan bikin madrasah sendiri, dan meninggalkan Madrasah Shaulatiyah. Muncullah Madrasah Darul Ulum di tahun 1353 H/1934 yang berkarakter Islam Nusantara. Mudir atau rektor pertamanya ialah Syekh Muhsin al-Musawa (wafat 1935). Syekh Yasin Isa al-Fadani, ulama populer dari Nusantara dan teman akrab Syekh Zainuddin, juga pernah jadi rektor di sini. Seorang ulama Maghribi kenamaan dan ahli hadis dan nahwu bernama Syekh Ali bin Ibrahim al-Maliki (wafat 1948, gurunya para ulama Betawi dan ulama besar Indonesia lainnya) jadi pelindung dan guru besar di madrasah ini.

Maka Syekh Zainuddin pun pindah dan belajar di Madrasah Darul Ulum yang kemudian menjadi kiblat gres para pelajar Indonesia untuk studi dan menimba ilmu di Mekah. Beliau juga ikut andil dalam pendirian dan pengembangan Darul Ulum, termasuk dipercaya mengajar bertahun-tahun lalu. Sejak itu Madrasah Darul Ulum terus berjaya mendidik dan mengeluarkan banyak ulama, antara lain karena para tenaga pengajarnya yang jago dan alim. Selain untuk menemukan sanad hadis dan kitab-kitab dari Syekh yasin al-Padani, para santri yang datang dari aneka macam negara itu juga berencana mendalami aneka macam ilmu keislaman dan sanad keilmuan dari guru-guru besar yang kebanyakan orang Indonesia itu. Syekh Muhammad Yasin Isa al-Fadani (wafat 1990) ialah rektor terakhir sebelum madrasah ini ditutup oleh pemerintah Arab Saudi dengan argumentasi tertentu.

Selain mencar ilmu dan mengajar di Madrasah Darul Ulum, Syekh Zainuddin juga ngaji dan belajar kepada beberapa ulama di dalam pengajian Masjidil Haram maupun di rumah-rumah ulama yang berada di sekitar Makkah. Di antara pengajian yang ia ikuti yakni pengajian Syekh Muhammad Amin al-Kutbi, Syekh Habib Hasan bin Muhammad Fad’aq, dan Syekh Umar Hamdan al-Mahrusi. Itu ialah bukti ketabahan beliau mencari ilmu dan mencar ilmu terhadap sebanyak mungkin ulama di Mekah-Madinah sampai ke Yaman dan Indonesia – tempat beliau sering berceramah.

  Iklim Junghuhn

Dalam aneka macam lawatan dan kunjungannya di beberapa tempat, beliau tidak lupa untuk selalu silaturrahim ke aneka macam ulama dan mengambil ijazah ammah dari mereka. Ijazah ammah adalah perkenan untuk membaca kitab-kitab atau ilmu–ilmu tertentu dari seorang guru, yang diberikan secara biasa dalam jamaah pengajian, dan tidak spesifik ilmu atau kitab tertentu yang harus dibaca dari awal sampai tamat. Di antara ulama-ulama yang menunjukkan ijazah ammah kepada dia ialah sebagai berikut: Syekh Muhammad Ibrahim al-Mulla, Syekh Ibrahim bin Muhammad Khair bin Ibrahim al-Ghulayaini, Syekh Habib Hamid bin Abdul Hadi bin Abdullah bin Umar al-Jailani, Syekh Sayyid Muhammad bin Hadi as-Saqaf, Syekh Muhammad Abdul Hayy al-Kattani, Syekh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki, Syekh Habib Alwi bin Thohir al-Haddad dan Syekh Muhammad bin Muhammad Idris Ahyad al-Bogori.

Sementara itu, di antara para ulama yang berguru pada beliau dan meriwayatkan ilmu ia yakni Syekh Nabil bin Hasyim Ala Ghamri dan Syekh Sayid Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani (wafat 2004). Yang terakhir ini dikenal selaku ulama Mekah kuat hingga ke Nusantara, dan penulis sejumlah buku, di antaranya Mafahim Yajib an Tushahhah yang mengoreksi pandangan-persepsi fatwa Wahabi di Arab Saudi. Diceritakan bahwa beliau menerima ijazah Syekh Muhammad Zainuddin Bawean sepekan sebelum wafatnya dia di tahun 2004. Setelah berulang-ulang kali meminta dan memohon karenanya, Syekh Zainuddin menawarkan ijazah tersebut. Sepertinya Syekh Sayid Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani enggan menghembuskan nafas terakhir sebelum menerima ijazah ammah dari ulama Bawean ini.

Syekh Zainuddin diketahui punya bunyi yang anggun, tawadhu dan alim. Gurunya, Syekh Amin al-Kurdi, pernah meminta dia untuk melantunkan qashidah yang memuji Rasulullah shallallahualaihiwasallam. Beliau lalu diandalkan menjadi muballigh di beberapa daerah di negeri Hijaz, sampai ke negeri Yaman dan Indonesia.

  Pithecanthropus Robustus

Syekh Zainuddin juga dikenal sebagai penulis beberapa karya kitab. Di antaranya al-Fawaidu-z-Zainiyah ala Manzhumati-r-Rahbiyah dalam soal hukum waris, Faidhu-l-Mannan fi Wajibati Hamili-l-Quran, al-Ulumu-l-Wahbiyah fi Manazili-l-Qurbiyah, Ghayatu-s-Sul liman yuridu-l-Ushul ila barri-l-ushul, musyahadatu-l-lmahbub fi tathhiri-l-qawalibi wa-lqulub, dan Ghayatu-l-Wadad fi ma li Hadza Wujudi mina-l-Murad.

Syekh Zainuddin Bawean menghabiskan masa tuanya di Mekah. Nama ia senantiasa menjadi bahan percakapan di kalangan ulama Mekah dan sekitarnya. Para ulama dan santri jamaah haji Indonesia senantiasa meluangkan diri bersilaturahim terhadap ia, mencari berkat dan membaca sedikit dari kitab suci al-Alquran karena ialah ia merupakan seorang yang hebat qira’at. Ada pula yang meminta memperoleh ijazah ammah dari ia – walau dia diketahui tidak praktis memberi ijazah terhadap orang lain.

Syekh Muhammad Zainuddin Bawean wafat pada tahun 1426 H/2005. Jenazah ia dishalatkan di Masjidil Haram dan dimakamkan di Pemakaman Ma’la kota Mekah. Yang Mahakuasa yarhamhu…
Ini yakni foto para ulama Indonesia pengajar di Madrasah Darul Ulum Mekah pada tahun 1375 H/1955. Duduk paling tengah ialah Syekh Yasin Isa al-Fadani selaku mudir atau rektornya, di samping kiri beliau duduk Syekh Zainuddin Bawean.

Oleh : Ustadz Ahmad Baso