Sumber Hukum Yang Disepakati (Pai A Semester Genap 2019/2020)

Sumber Hukum Islam Yang Disepakatai: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Dan Qiyas.
Aziza Tri Rahmania dan Abdul Bar Mursyid
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “A” 2017  Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail :trirahmaniaazizah@gmail.com
Abstract
This article talks about describes the source of Islamic law of the Qur’an,sunah Ijma and Qiyas. The four sources have been discussed by the scholars.The source of Islamic law is anything that can be used as a reference or guideline in Islamic sharia. More so in this article will display the definition of each source and its blasphemy along with the evidence strengthening of each source of Islamic law. The source of this Islamic law has a orderly or systematic arrangement where it begins with the Qur’an if it can not be resolved then it is continued with Sunnah and if it is not able to complete the use of Ijmaa and Qiyas.
Keywords: Islamic law, Qur'an, sunnah, ijma 'and qiyas.
 
Abstrak
Artikel ini menjelaskan wacana sumber aturan Islam ialah al-Qur’an,sunah, ijma dan qiyas. Di mana ke empat sumber ini telah disepakatai oleh para ulama. Sumber aturan islam ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan pola atau anutan dalam syariat Islam. Lebih jauhnya dalam artikel ini akan akan memaparkan definisi dari masing-masing sumber beserta kehujahannya dan dalil-dalil yang memperkuat dari masing-masing sumber aturan Islam tersebut. Sumber aturan Islam ini memiliki susunan yang terstruktur atau sistematis di mana diawali dengan al-Qur’an jika tidak bisa diselesaikan maka dilanjutkan dengan sunah dan bila belum mampu menyelesaikan maka menggunakan ijma dan qiyas.
Kata kunci : Hukum Islam, Al-Qur’am, Sunnah, Ijma’ Dan Qiyas.
A.    Pendahuluan
Sumber Hukum Islam atau   Mashâdir al-Ahkâm   merupakan suatu yang dijadikan referensi atau dasar yang utama dalam  Islam dengan tujuan pengambilan sebuah aturan. Sumber aturan Islam juga diartikan  selaku segala  sesuatu yang menjadi  dasar, penonggak dalam pokok dari anutan agama islam. Sumber hukum Islam  tersebut bersifat  benar, dan mutlak, serta tidak pernah akan  hancur. Sumber aturan Islam yang wajib  diikuti Allah telah memutuskan dan harus disertai dimana terdapat dalm surah an-Nisa( 4) 59 “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kau. Kemudian jikalau kamu berlawanan usulan perihal sesuatu, maka kembalikanlah beliau kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), bila kamu betul-betul beriman terhadap Allah dan hari lalu. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” dalam ayat ini diperintahkan untuk setiap kali ada persoalan biar kembali pada al-Qur’an dan sunah. Selain al-Qur’an dan sunah para ulama fiqih sependapat bahwa sumber aturan sesudah al-Qur’an dan sunah  yakni ijma dan qiyas. Karena seiring kemajuan zaman munculah berbagai dilema yang mana dalam pengambilan hukum tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan sunah sehingga lahirlah beberapa sumber aturan yang mana dikerjakan oleh  mujtahid dalam memecahkan sebuah masalah yang baru. Dalam hal ini dalam memecahkan problem para mujtahid tetap berlandaskan pada al-Qur’an. Pada artikel ini akan menerangkan sumber hukum yang disepakati ulama adalah al-Qur’an. Sunah, ijma dan qiyas.
B. Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber aturan Islam ialah  hukum Islam yang telah ditetapkan atau diputuskan. Sumber aturan Islamdisebut  jugaMashâdir al-Ahkâm   ialah sebuah yang dijadikan referensi atau dasar yang utama dalam  Islam dengan tujuan pengambilan suatu hukum dengan istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar aturan Islam. Kata sumber yang juga mampu diartikan sebuah daerah yang dari daerah itu mampu didapatkan atau ditimba norma aturan. Dalam artian ini kata “sumber” hanya mampu digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, sebab memang keduanya merupakan kawasan yang dapat ditimba hukum syara’ namun kata ini mustahil dipakai untuk ‘ijma dan qiyas alasannya keduanya bukanlah kawasan yang dapat ditimba norma aturan. Ijma’ dan qiyas keduanya itu yaitu cara dalam mendapatkan hukum. Kata ‘dalil’dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, mampu juga dipakai untuk ijma dan qiyas, alasannya adalah semuanya memang mengarah terhadap penemuan aturan Allah.
1.         Al-Qur’an
a.      Pengertian
   Secara etimologis pertimbangan beberapaulama menafsirkan  kata al-Qur’an ialah bentuk masdar berasal dari kata qa-ra-a (قرأ ) yang mempunyai arti bacaan atau apa yang tertulis didalam kitab tersebut. Seperti yang diterangkan dijelaskan dalam surah al-Qiyamah. Al-Qur’an ialah sumber pokok,dasar aqida, sumber syariat dan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Pengertian al-Qur’an secara terminologi yakni kalam Allah yang berbahasa Arab selaku mukjizat yang ditirunkan kepada Rasulnya ialah nabi Muhammad dan lewat mediator malaikat jibril dan di tulis di lembaran-lembaran periwayatannya dikerjakan secara mutawatir serta membacanya bernilai ibadah.[1]Terdapat perbedaan persepsi dari para ulama dilihat dari segi istiqaqnya  dirumuskan menjadi beberapa definisi diantaranya sebagai berikut:
1.      Kata al-Qur’an merupakan bentuk masdar dari kata qara’a yang memiliki arti bacaan. Sebagaimana kitab ini diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW .
2.       Pandangan berdasarkan al-Zujaj menerangkan bahwa kata sifat dari al-Qur’an sendiri yaitu al-Qar’u dimana mempunyai arti al-jam’u (kumpulan). Dari kata-kata  sifat ini dijadikan nama bagi kitab suci yang diturunkan terhadap nabi Muhammad SAW yaitu al-Qur’an.. Alasan yang dikemukakan tersebut  menurut bahwa al-Quran terdiri dari bermacam-macamkumpulan surah dan ayat, yang didalamnya terdapatnya hikayat atau cerita , perintah maupun larangan.Dan al-Quran juga mengumpukan inti sari dari kitab-kitab terdahulu.
3.      Menurut imam Syafi’i Kata al-Alquran merupakan  isim alam, nama ini adasejak dari permulaan dipakai selaku nama kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW.
Secara terminologi sebagian ulama fiqh mendefinisikan al-Qur’an yaitu “ Kalam Allah yang diturunkan terhadap nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang dinukilkan terhadap generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya ialah ibadah, tertulis dalam mushaf, dimulai dari sural al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Nas.” Ulama fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas al-Qur’an dari definisi di atas yakni:
1.      Al-Qur’an didefinisikan sebagai kitab atau kalam Allah yang kitab ini  diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Apabila kalam tersebut bukan kalam Allah dan bukan diturunkan kepada nabi Muhammad maka tidak dinamakan al-Qur’an. Ketiga kitab sebelumnya yakni Zabur, Taurat, daan Alkitab termaksud diantara kalam Allah tetapi kitab tersebut tidak diturunkan terhadap nabi Muhammad SAW sehingga kitab-kitab tersebut  tidak mampu disebut selaku al-Qu’an.
2.      Bahasa yang dipakai dalam al-Alquran merupakan bahasa Quraisy.Seperti yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an antara  lain yakni Asy-Syu’ara (26) : 192-195, Yusuf (12) : 2, Az-Zumar (39) : 28, dan  An-Nahl (16) :103. Para ulama bersepakat   bahwa tafsiranmaupun terjemahan dari  al-qur’an tidak bisa dinamakan al-Qur’an,  dan juga tidak bernilai ibadah dikala membacanya dan tidak sah sholat dengan membaca terjemahan. Meskipun ulama Hanafiyyah memperbolehkan sholat dengan bahasa Persis tapi kebolehan ini bersifat rukhsah atau keringanan hukum.
3.      Membaca al-Qur’an setiap kata akan menerima pahala baik dari hafalan maupun baca secara eksklusif dari mushaaf al-Qur’an.
4.      Al-Qur’an dimana  dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas.  Urutan yang sudah ada dalam al-Qur’an  disusun sesuai petunjuk Allah dan melalui malaikat Jibril terhadap nabi Muhammad SAW dimana al-Qur’an dihentikan diganti maupun diubah letaknya.[2]
b.      Kehujjahan al-Qur’an
Tidak ada pertikaian yang dipertentangkan oleh kaum muslimin ihwal al-Qur’an selaku hujjah. Dan kehujjahan al-Qur’an adalah bersifat qath’i Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dijadikan selaku sebuah  undang-undang yang harus disertai dan dipatuhi oleh manusia. Dan al-Alquran diturunkan secara mutawatir kepada insan dan kebenaran dalam al-Alquran tidak ada sama sakali  campur tangan insan dalam penyusunan kitab tersebut. Pandangan imam Mazhab tentang kehujjahan al-Qur’an yaitu :
1.      Imam Abu Hanifah
Menurut pandangan Abu Hanifah bareng jumhur ulama bahwasannya al-Quran yaitu sumber aturan. Tetapi sebagian besar  ulama,  antara Abu Hanifah dan Jumhur ulama memiliki perbedaan pertimbangan mengenai al-Alquran itu meliputi lafadz dan maknanya.Dalil diantaranya  yang menununjukkan bahwa  al-Alquran hanya maknanya saja adalah imam  Abu Hanifah memperbolehkan sholat dengan memakai bahasa selain bahasa Arab.
2.      Imam Maliki
Pandangan imam Maliki yakni al-Quran ialah kalam Allah dimana lafadz dan Maknanya dari Allah SWT. Al-Qur’an bukan makhluk alasannya kalam Allah tersebut termaksud sifat Allah.
3.      Imam imam Syafi’i
Imam syafi’i berpandangan bahwa sebagaimana para ulama yang lain dimana al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang paling pokok. Maka dari itu imam Syafi’i selalu mencantumkan nash-nash al-Alquran setiap kali mengeluarkan usulan dan metode yang dipakai imam Syafi’i yaitu sistem deduktif. Selain itu imam syafi’i juga beropini bahwa al-Qur’an tidak mampu dipisah kan dari as-Sunnah karena memiliki keterkaitan yang sungguh akrab. Beda dengan para ulama lainnnya dimana menilai sunnah ialah sumber aturan yang kedua. Sedangkan imam Syafi’i beropini bahwa al-Alquran dan sunnah merupakan sumber hukum yang pertama. Sehingga antara al-Qur’an dan sunnah seakaan-akan berada pada satu martabat.
4.      Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambali
Al-Qur’an ialah sumber hukum islam dan juga tiangnya syari’at dimana didalamnya terdapat kaidah-kaidah yang tidak akan pernah berubah meskipun dengan pergeseran zaman maupun tempat. Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana sama dengan para ulama lainnya beropini bahwa al-Qur’an ialah sumber pokok Islam setelah itu disertai oleh as-Sunnah.Selain itu  imam ahmad beropini semesti halnya yang dikatakan imam Syafi’i bahwa as-Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping al-Qur’an. Sehingga imam Ahmad Ibnu Hambal menyebutkan bahwa sumber hukukm ialah nash , tanpa menyebutkan al-Qur’an dulu atau pun as-Sunnah. Tetapi yang dimaksud nash menurut imam Ahmad yaitu al-Qur’an dan sunnah.[3]
Terdapat bukti-bukti selaku bentuk iktikad bahwa al-Qur’an datangnya dari Allah yakni salah satu misalnya terdapat dalam surah al-Baqarah yang menjelaskan bahwa tidak ada satu andal syair di Jazirah Arab yang bisa melawan tantangan al-Qur’an . Tidak ada satupun manusia yang bisa menyanggupinya. Hal ini menandakan bahwa kelebihan yang ada pada al-Qur’an dimana tidak mampu dibentuk oleh insan tetapi al-Qur’an adalah sungguh-sungguh wahyu yang datang  dari Allah SWT al-Baqarah (2) ayat 23[4]
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan wacana Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, kalau kau orang-orang yang benar[5]
c.       Hukum Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an
Tidak semua ayat dalam al-Qur’an mengandung aturan. Meskipun al-Qur’an yaitu sumber hukum Islam. Terdapat dalam al-Qur’an cuma sebagian isi al-Qur’an yang membahas tentang aturan yaitu menyangkut segala sesuatu yang berafiliasi dengan tindakan mukallaf dalam bentuk tuntutan, opsi berbuat, dan ketentuan yang telah ditetapkan. Dimana aturan-aturan tersebut mengontrol ihwal bagaimana kehidupan insan baik relevansinya dengan Allah SWT, relasi manusia dengansesama  insan, dan kekerabatan dengan alam sekitarnya.[6] Secara garis besar hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dibagi menjadi tiga macam yakni :
1.      Hukum-aturan yang menertibkan relasi manusia dengan Allah atau lazimdisebut hukum i’tiqadiyah merupakan aturan yang berhubungan dengan kepercayaan, selaku bentuk dogma dan larangan mempersekutukan-Nya.
2.      Hukum khuluqiyah (akhlak) ialah aturan yang menertibkan bagaimana kekerabatan pergaulan insan dan   tentang sifat-sifat baik yang harus dimiliki maupun sifat-sifat buruk yang mesti dikesampingkan atau dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum khuluqiyah tersebut dikembangkan lagi menjadi  ilmu budbahasa.
3.      Hukum amaliah  ialah hukum yang menertibkan hubungan hidup lahiriyah antara hubungan dengan Allah SWT maupun hubungan dengan sesama insan. Hukum amaliah ini kemudian dikembangkan dalam ilmu syariah.
Hukum amaliah sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua macam  yakni :
1.      Hukum yang menertibkan relasi dengan Allah SWT berupa tingkah laris lahiriah insan diantaranya mirip sholat, zakat, puasa dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti khusus. Penggunaan arti khusus dikarenakan arti biasa dari ibadah sendiri yaitu meliputi segala relasi insan dengan makhluk yang lain yang dijalankan dalam rangka mencari ridha Allah SWT sebagaimana diterangkan dalam firman Allah SWT (az-Zariah: 56)
2.      Hukum yang menertibkan hubungan antara tingkah laku lahiriyah  manusia dalam menjalankan korelasi dengan manusia atau alam sekitanya. Hukum ini biasa disebut dengan aturan muamalah karena tidak berhubungan dengan ibadah. Misalnya perdagangan, kawin, pembunuhan dan lain sebagainya. Hukum yang mengendalikan kekerabatan antara tingkah laris lahiriyah  manusia dalam mengerjakan korelasi dengan manusia atau alam sekitanya. Hukum ini lazimdisebut dengan hukum muamalah sebab tidak berkaitan dengan ibadah . Misalnya jual beli, kawin, pembunuhan dan lain sebagainya.  Hukum muamalah ini dibagi ilmu yang berdiri sendiri antara lain:[7]
1)      Ahkam al-Ahwal asy-Syahshiyah merupakan aturan yang menjelaskan ihwal aturan perkawinan, aturan waris dan lain sebaagainya. Hukum ini terdapat dalam al-Quran yakni berjumlah lebih kurang dari 70 ayat.
2)      Al-Ahkam al-Madaniyah (hukum perdata) merupakan aturan yang menerangkan bagaimana kekerabatan manusia dalam proses yang berkaitan dengan transaksi perdagangan, gadai, perburuan,koperasi dan bentuk-bentuk perjuangan yang lain, jaminan, gadai, utang-pitang, dan lain sebagainya. Al-Ahkam al-Madaniyah dijelaskan dalam al-Alquran kurang lebih 70 ayat.
3)      Al-Ahkam al-jinaiyah ( aturan pidana) aturan ini berkaitan dengan pelanggaran dan kejahatan yang dikerjakan oleh insan. Adanya aturan pidana ini selaku bentuk untuk melindungi keamanan jiwa, harta bendanya, kehormatan, akal, dan agamanya. Al-Ahkam al-jinaiyah dijelaskan dalam al-Qur’an lebih kurang dari 30 ayat.
4)      Al-Ahkam al-Murafaat ( aturan program) merupakan hukum yang berhubungan dengan peradilan, kesaksian, dan sumpah. Adanya hukum ini sebagai bentuk untuk mengatur prosedur pelaksanaan aturan,  tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan di masyarakat. Al-Ahkam al-Murafaat dijelaskan dalam al-Qur’an jumlahnya lebih kurang 13 ayat.
5)      Al-Ahkam ad-Dusturiyah (aturan tata negara) aturan ini berafiliasi dengan system pemerintah, asas-asas maupun prinsipnya. Adanya hukum ini untuk menertibkan relasi pemerintah dengan rakyatnya, berbentukhak dan keharusan masing-masing baik individu maupun kalangan. Hukum tata negara ini dijelaskan dalam al-Qur’an  kurang lebih jumlahnya 13 ayat.
6)      Al-Ahkam ad-Dauliyah (hukum antar bangsa atau hukum internasional) hukum ini berkaitan dengan mengontrol relasi atau pergaulan Negara Islam dan Negara non Islam dan pergaulan antara golongan Muslim dan kelompok non muslim. Adanya aturan ini bermaksud untuk menertibkan perjanjian kolaborasi, dalam kondisi atau keadaan tenang, dan perang antara Negara Islam dan Negara non Islam. jumlah ayat ayang menerangkan ihwal hukum antar bangsa dijelaskan dalam al-Alquran lebih dari 25 ayat.
7)      Al-Ahkam al-Iqtishadiyah wa al-Maliyah (hukum ekonomi dan keuangan) hukum ini berkaitan dengan pendapat dan pengeluaran negara. Selain itu hukum ini juga berkaitan dengan hal mendapat pertolongan keuangan bagi fakir miskin dan lain sebagainya. Adanya hukum ini untuk menertibkan bagaimana korelasi antara orang yang kaya dan orang miskin dan antar negara dengan warganya. Penejelaasan hukum ekonomi dan keuangan ini dijelaskan dalam al-Qur’an jumlah ayat kurang lebih 10 ayat.[8]
d.      Dalalah (petunjuk) ayat-ayat al-Qur’an
Al-Qur’an ditinjau dari segi penugasan hukumnya terbagi menjadi dua macam ialah :
1.      Qat’iy al-dilalah bermakna nash yang memberikan bahwa arti yang jelas dan gampang diketahui. Boleh dikatakan bahwa Qat’iy al-dilalah memberikan makna tertentu atau bukan berarti ganda. Contoh dari qat’iy al-dilalah ialah sebagai mana teladan ayat berikut :
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, bila mereka tidak memiliki anak (QS. an-Nisa (4)12)
Dari ayat di atas telah terperinci bahwa bab waris bagi suami yang ditinggal istrinya  kalau mempunyai anak yakni setengah bagian.
2.      Zhanni al-dilalah merupakan nash yang memperlihatkan sesuatu yang mampu dita’wilkan sehingga bermetamorfosis makna lainnya. Sebagaimana contoh dalam firman Allah berikut :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru(QS. Al-Baqarah (2)228
Kata quru dalam ayat tersubut dalam bahasa Arab mempunyai makna yang lebih dari satu. Kata quru bias diartikan atau dita’wil kepada dua makna ialah makna suci dan makna haid[9]Al-Quran ditinjau dari sisi klarifikasi terhadap aturan ada beberapa cara yang dipakai al-Qur’an ialah :
a.       Secara juz’i (jelas) maksudnya adalah penjelasan yang yang telah sangat jelas, memperlihatkan klarifikasi sangat lengkap sehingga mampu dikerjakan berdasarkan apa adanya yang telah tertera dalam al-Qur’an dan walaupun dalam hal ini  tidak diterangkan oleh  nabi dengan sunnah-Nya. Seperti contoh dalam al-Qur’an ayat-ayat yang bekerjasama dengan  kewarisan contohnya  terdapat dalam surah an-Nisa (4):11 dan 12 yang menerangkan tentang tidak yakin yang diterima kepada kejahatan zina dan surah al-Nur (24):4. Penjelasan dari kedua ayat di atas telah sangat jelas sehingga tidak perlu penafsiran dan tidak menunjukkan potensi adanya kemungkinan untuk ada pengertian lainnya.
b.      Secara kulli atau global tujuannya adalah penjelasan al-Qur’an kepada aturan masih berlaku secara garis besar sehingga dalam hal ini masih membutuhkan beberapa penjelasan maupun penafsiran dan memberi peluang terhadap adanya kemungkinan untuk pemahaman lain. Yang paling berwenang dalam hal ini bagaimana  memberikan sebuah  klarifikasi terhadap ayat-ayat yang masih dalam garis besar ialah nabi Muhamad dengan menggunakan sunnah-Nya.
c.       Secara isyarah tujuannya adalah  al-Qur’an masih memberikan penjelasan apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya secara mirip. Selain dari  itu juga memperlihatkan kode kepada maksud-maksud lainnya. Maksudnya adalah satu ayat al-Qur’an mampu menjelaskan beberapa maksud ayat tersebut. Misalnya dalam firman Allah surat al-Isra ayat 23
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu sudah menyuruh semoga kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kau berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik mungkin. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah terhadap mereka perkataan yang mulia
Dari ayat tersebut secara tersurat menjelaskan haram hukumn ya berkata agresif dan menghardik orang bau tanah. Sedangkan berdasarkan klarifikasi secara tersirat dibalik yang tersurat maksudnya yakni hukum menghantam dan menendang orang tua yakni haram
e.       Prinsip penerapan aturan dalam al-Qur’an
Ada tiga prinsip  yang melandasi penerapan hukum dalam al-Qur’an adalah[10]  :
1.    عَدَمُ الْحَرَج( tidak memberatkan ) prinsip ini menjelaskan bahwa dalam menetapkan hukum al-Qur’an senantiasa mempertimbangkan kesanggupan insan dalam melaksanakannya selain itu dengan dengan adanya prinsip ini selaku bentuk menawarkan fasilitas dan keleluasaan terhadap insan. Prinsip ini secara tegas diterangkan dalam firman Allah :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
Allah tidak menambah beban seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”(QS. Al-Baqarah (2): 286)
                                                                                                                                    يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah mengharapkan akomodasi bagimu, dan tidak menginginkan kesukaran bagimu”(QS. Al-Baqarah (2): 185)
Contoh dari prinsip ini yakni diperbolehkannya bagi orang yang berpuasa sedang berada dalam perjalanan atau sakit pada bulan Ramadhan. Selai itu diperbolehkannya mengqasar dan menjama sholat bagi yang sedang dalam perjalanan dan diperbolehkan makan makanan yang haram dalam kondisi darurat.
2.تقليل الحرج(menyedikitkan beban) maksud dari prinsip ini yakni dalam menetapkan aturan Allah sangat memperhatikan objek yang hendak dikenakan hukumnya dengan cara tidak melakukan penambahan maupun penghematan. Apa yang sudah diperintahkan Allah SWT yakni beban yang sedikit dijalankan manusia. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau menanyakan (terhadap Nabimu) hal-hal yang kalau dijelaskan kepadamu, pasti menyulitkan kau” (QS. Al-Maidah (5): 101)
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإنْسَانُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” . (QS. An-Nisa (4): 28)
  Contoh penerapan dari  aturan prinsip ini adalah Allah mewajibkan haji terhadap umat slam hanya sekali dalam seumur hidup.
3.تَدْرِيْجًا( berangsur-angsur)[11]
Prinsip ini menjelaskan bahwa bagaimana cara penetapan aturan yang tidak dilaksanakan secara sekaligus namun penetapan hukum secara  berangsur-angsur dan bertahap dengan mempertimbangkan kondisi secara psikologis  dan mengamati proses perubahan sosial budaya yang berkembang di masyarakat. Hukum Islam tidak memberatkan dan menunjukkan keleluasaan. Contoh penerapan prinsip ini adalah proses pengharaman khamar secara berangsur-angsur. Yang pertama yaitu dikalaRasulullah SAW ditanya khamar berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya, Rasulullah menjawab sebagaimana kutipan ayat berikut ini :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَ
Mereka mengajukan pertanyaan kepadamu wacana khamar dan judi.Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar danbeberapa faedah bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (QS. Al-Baqarah (2): 219
Yang kedua yakni sesudah ayat ini turun maka turunlah ayat yang mengharamkan khamar teapi sebatas dalam mau melakukan sholat adalah khamar diharamkan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan”(QS. An-Nisa (4): 43)
Setelah dua ayat ini secara berturut-turut. Turunlah ayat yang secara tegas benar-benatr mengharamkan khamar secara mutlah , sebagaimana secara tegas dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 90
2.         As-Sunnah
a.        Pengertian
Secara etimologi sunnah memiliki arti jalan yang umum dilalui atau cara yang selalu dijalankan. Secara etimologi juga sunnah didapatkan dalam sabda Rasulullah barang siapa yang membiasakan sesuatu yang bagus di dalam Islam, maka dia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya ( H.R Muslim). Sedangkan secara terminologi yaitu berdasarkan ulama hadis sunnah ialah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perkataan Rasulullah, perbuatan, ketetapan sifat kemakhlukkan, budpekerti atau perjalanan hidupnya baik ketika Rasulullah masih menjadi Rasul maupun setelah menjadi Rasul. Menurut andal ushul sunnah ialah segala sesuatu yang diriwayatkan nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, tindakan, dan ketetapan yang berhubungan dengan aturan. Sedangkan sunnah berdasarkan hebat fiqh mengandun g pemahaman bahwa tindakan yang jika dijalankan menerima pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa
b.      Kehujjahan sunah
1.  Dalil al-Qur’an
Ada beberapa dalil yang yang dijadikan penjelasan atas kehujjahan sunah selaku ,sumber aturan yakni :
a.       Bentuk konsekuensi doktrin kepada Allah yaitu dengan  taat terhadap-Nya , sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT surah Ali-Imran ayat 179
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيم
“Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; danjika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar” (QS. Ali-Imran(3):179)
b.        Pelaksanaan perintah beriman terhadap rasul sejalan dengan perintah perintah beriman kepada Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepadaAllah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan terhadap Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya” QS. An-Nisa(4):136
c.    Bentuk  kewajiban taat terhadap Rasul karena menyambut perintah Allah SWT
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Dan kami tidak menyuruh seseorang rasul, melainkan untukditaati dengan seizin Allah” (QS. An-Nisa(4):64)
d.        Perintah untuk  taat terhadap rasul secara khusus
           وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Danapa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah(QS. Al-Hasyr(59):7)
      Dari ayat diatas  dapat disimpulkan bahwadiperintahkan  untuk taat terhadap Allah dan Rasunya ialah  sebuah bentuk  keharusan sebagai bentuk dari perwujudan imam kepada Allah SWT dan ayat ini juga menjelaskan bagaimana kedudukan  kedudukan sunnah memiliki posisi yang sangat  penting sebagai dasar hukum keduaa dalam islam.
2.      Dalil hadist
Hadis yang dapat  dijadikan dalil kehujjahan sunah diantaranya sebagaimana hadis  nabi “Aku lewati pada kalian dua masalah, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduannya yakni kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya” (HR. Al-Hakim dan Malik) dan hadis nabi “bantu-membantu pada aku sudah diturunkan al-Qur’an dan yang semisalnya”. (H.R. Bukhari dan Musim ) perkataan semisal  tersebut berdasarkan jumhur ulama yakni sunnah Rasulullah SAW.
c.    Macam-Macam Sunnah
      Terdapat tiga macam sunnah yang menjadi sumber kedua hukum Islam yaitu :
1.      Sunnah fi’liyyah ialah sunnah yang dilakukan atau dikerjakan oleh nabi Muhammad SAW  yang dilihat, diketahui dan hal tersebut disampaikan para sahabat terhadap orang lain. Contoh dari sunnah fi’iliyah yakni bagaimana pelaksanaan metode sholat yang dikerjakan atau dijalankan oleh Rasulullah SAW, lalu hal tersebut disampaikan para  teman yang menyaksikan atau mengenali terhadap orang lain.
2.      Sunnah Qouliyyah ialah sunnah yang beral dari  ucapan nabi Muhammad SAW sebagaimana yang didengar dan disampaikan terhadap seoarang atau beberapa orang. Contoh bentuk dari   sunnah qauliyyah ialah dalam sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “  Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
3.      Sunah taqririyyah yaitu sebuah tindakan atau ucapan  yang dilakukan teman dihadapan nabi atau sepengetahuan nabi  dimana pada sat itu  nabi Muhammad cuma diam dan tidak mencegahnya. Dari sikap ini sebagai bentuk penugasan kesepakatan nabi Muhammad SAW. Misalnya dalam riwayat Ahmad ibnu Hambal dan al-Baihaqi yakni terjadi pada masalah Amr bin Ash dimana dalam kondisi junub pada  suatu malam yang cuacanya jelek (sangat masbodoh). Amar bin Ash tidak mampu mandi sehingga Amr bin Ash ketika itu bertayammum. Lalu Amr bin Ash memberikan terhadap Rasulullah. Rasulullahpun bertanya terhadap Amr bin Ash “engkau melakukan sholat bersama teman-teman engkau sedang engkau masih dalam keadaan junub?” Amr bin Ash kemudian menjawab “aku mengingat firman Allah yang mengatakan jangan kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lalu aku bertayamum kemudian melakukan sholat. Mendengan jawaban dari Amr bin Ash tersebut Rasulullah tertawa dan tidak berkomentar apapun.[12]
d.      fungsi sunnah terhadap al-Alquran
Fungsi sunnah selaku penjelas kepada al-Alquran dapat dilihat ada tiga bentuk adalah :
1.      Memerincikan aturan dalam al-Alquran yang masih global. Seperti yang tertera dalam al-Qur’an tentang perintah untuk melaksanakan sholat. Tetapi tidak dijelaskan secara lengakap bagaimana sistem pelaksanaan, berapa kali dan lain sebagainya. Sehingga peran   Rasulullah yaitu menjelaskanya sebagaimana dalam sabda nabi “sholatlah kau sebagaimana kamu menyaksikan saya melaksanakan sholat ( H.R. al-Bukhari dan Muslim)
2.      Menjelaskan hukum yang telah mutlak yang ada dalam al-Qur’an seperti perintah Allah yang menerangkan perihal pemotongan tangan bagi orang yang melaksanakan tindakan pencurian. Dari perintah Allah ini tidak menerangkan lebih jelas perihal ukuran yang dipotong dan nisab harta yang dicuri yang dikenakan hukuman potong tangan. Maka dari itu peran Rasulullah ialah memperjelas aturan yang mutlak tersebut bahwa tangan yang diiris itu hingga pergelangan tangan dan nisab barang yang dicuri itu seperempat dinar ( H.R. al-Bukhari dan Muslim)
3.      Mengkhususkan aturan-aturan yang ada dalam al-Qur’an  yang masih bersifat lazim. Misalnya dalam pembagian harta yang dijelaskan dalam firman Allah SWT surat al-Nisa 4:11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
Allah mensyariatkan bagimu perihal (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak wanita; dan jikalau anak itu seluruhnya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; kalau anak wanita itu seorang saja, maka dia memperoleh separo harta”
Kalimat anak-anak dalam ayat tersebut masih bersifat biasa ialah seluruh anak. Apakah seorang anak yang membunuh ayahnya berhak mendapatkkan warisan? Oleh sebab itu Rasulullah menerangkan bahwa “ pembunuh tidak mendapat pembagian warisan (H.R. Muslim).
3.         Ijma
a.       Pengertian ijma dan kehujahannya
Ijma merupakan bentuk  akad oleh seluruh mujtahid dari kaum muslimin setelah wafat Rasulullah SAW. Secara  ungkapan ulama ushul beropini mengenai ijma ijma adalah  komitmen para mujtahidin dari kalangan umat nabi Muhammad SAW sesudah Rasulullah SAW wafat pada suatu zaman tertentu dan dan pada saat itu terdapat suatu masalah hukum syar’i.Para ulama ushul fiqh setuju bahwa  ijma dijadikan selaku sebuah  landasan hukum yang dari ini  ialah hujjah yang qot’i dengan berbagai argumentasi-argumentasi sebagaiman  dijelaskan dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرً
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang sudah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-jelek kawasan kembali
 Dijelaskan dalam ayat ini bahwa Allah mengancam orang yang yang berlangsung selain jalan kaum muslimin ialah sesuatu jalan  yang telah disepakati oleh para imam melalui lidah para mujtahid alasannya para mujtahid mempunyai kapasitas atau kemampuan untuk menerangkan hukum syariat tersebut.[13]Dan hadis Rasulullah “ Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atau ia bersabda: umat Muhammad SAW di atas kesesatan, dan tangan Allah bareng jamah. Dan barang siapa yang menyempal maka dia menyempal menuju neraka.” (HR. Imam At-Tirmidzi)
b.      Rukun dan syarat ijma
Yang menjadi rukun ijma yakni hanya satu ialah janji para ulama. Sedangkan syarat menurut Wahbah Zuhaili ada enam yakni :
1)        Orang yang melakukan ijma harus dijalankan dalam jumlah besar. Tidak dikatakan ijma jika hanya dilakukan oleh satu orang ulama. Akan namun bila pada saat terjadinya peristiwa cuma ada satu orang ulama ataupun tidak ada sama sekali tidak mampu dimasukkan  selaku ijma yang dibenarkan oleh syara
2)        Seluruh mujtahid menyetujui aturan syara yang sudah ditentukan bareng  dengan tidak memandang dari  negara, kebangsaan, maupun kelompok mereka sendiri.
3)        Dalam melaksanakan kesepakatan para mujtahid mesti dari banyak sekali tempat Islam. Ijma tidak bias dilaksanakan hanya satu daerah tertentu saja misalnya ulama Iraq atau ualam Mesir saja.
4)        Masing-masing dari para ulama harus melahirkan kesepakatan  terhadap insiden itu baik perkataan maupun tindakan.
5)        Kesepakatan para mujtahid hendaknya bersifat adil menjauhi segala sesuatu yang bersifat bid’ah alasannya adalah nash-nash wacana ijma mensyaratkan hal tersebut.
6)        Dalam melaksanakan Ijma hendaknya bersandar pada sandaran hukum yang disyariatkan baik dari nash maupun qiyas.[14]
Sedangkan syarat-syarat ijma’ diantaranya :
1.        Adanya komitmen para mujtahidin, meskipun mereka berjumlah kecil, asalkan tidak ada dari salah satu dari mereka yang memberikan usulan atau komentar kepada suatu dilema itu.
2.        Berwujud akad seluruh mujtahidin, bahwa kalau sudah disetuji oleh orang banyak maka itu bisa disebut selaku ijma’
3.        Yang disepakati atau yang di ijma’i ialah perkara yang masuk hukum syar’i yang mampu diwujudkan oleh ijtihad. Seperti hal-hal yang bersangkut paut dengan halal, haram, sah dan batal. Contoh hukum jual beli yaitu halal dan hukum riba adalah haram.
4.        Ijma’ berlaku sesudah wafatnya Rasul.[15]
c.       Tingkatan Ijma
1.      Dilihat dari  bagaimana segi dari  cara terjadinya kesepakatan. Dan  para ulama membagikan hal ini  menjadi dua bentuk :
a.       Ijma sharih atau lafzy ialah  suatu betuk dari komitmen para mujtahid  yang dikerjakan baik. Dalam hal itu baik sebuah pertimbangan  maupun sebuah  tindakan kepada aturan problem tertentu. Kesepakatan yang dikemukakan para mujtahid dalam pertemuan tersebut dari masing masing para mujtahid mengemukakan pandangan kepada suatu  dilema yang dibahas. Dalam hal ini ijma  berdasarkan persepsi jumhur alama adalah mampu dijadikan hujjah atau landasan aturan. pola dari ijma sharih ialah  dimana  zaman Rasulullah pada dikala itu terjadi kekosongan kekuasaan disebabkan nabi meninggal maka dari itu para sahabat nabi melakukan perundingan (ijma) pengganti nabi untuk memimpin Islam.
b.      Ijma Sukuti atau ijma i’tibary yakni yakni  pendapat beberapa mujtahid pada sebuah waktu  terjadi  persoalan. Sedangkan sebagaian mujtahid yang lain cuma membisu atau tidak menyatakan bantahan. Terdapat perbedaan pendapat para ulama tenyang ijma sukuti mampu dijadikan hujjah. Jumhur ulama beropini ijma sukuti bukanlah ijma melainkan mampu dijadikan hujjah (landasan aturan).[16]acuan dari ijma sukuti ialah adzan dua kali dan iqomat untuk sholat jumadyang dipelopori oleh teman Usman bin Affan pada dan sahabat yang lainya tidak ada yang menolak ijma tersebut. Dan diamnya para teman menerangkan menerima atas prakarsa tersebut.
2.      Ijma dipandang dari segi dalalah atau petunjuk terhadap aturan terdapat dua macam ialah :
a.       Ijma qat’i dalalah atas hukum yang mana merupakan  aturan yang ditunjuk telah pasti kebenarannya sehingga dalam hal ini  tidak butuhdipersoalkan atau diijtihadkan.
b.      Dzanni dalalah terhadap hukumnya yakni hukum ditinjukkan masih kebenarnya masih disangka . Zanni dalalah ini permasalhannya masih terbuka dan tidak menutupi untuk para mujtahid untuk mengkajinya.
d.        Contoh Ijma
Beberapa acuan berikut ialah hasil yang didasarkan pada proses ijma:
1.      mirip halnya pada keabsahan kesepakatan dalam pemebelian barang yang A’dul Istitsna ( diolah) menurut pada ijma’
2.      Biasanya  pada hukum perdagangan yang barangnya yang belum ada yakni tidak sah kerena barang tersebut belum pasti. Dan para ulama menyepakati untuk memperbolehkan hal tersebut karena bertujuan utuk mendapatkan jalan keluar yang mudah.
3.      Dalam faktor  warisan, juga sudah disepakati jikalau seseorang ditinggal mati oleh  ayahnya, maka kakeknya juga menemukan hak warisan bersamaan dengan anak pria yang bagianya itu diambil dari bab dari ayahnya.
4.       serta dalam duduk perkara aturan keluarga juga sudah disepakati bahwa dilarangannya menikah dengan nenek dan cucu wanita ( sekalipun jaraknya jauh) , dikarenakan dalam Al-qur’an menerangkan ihwal larangan menikah dengan ibu dan anak perempuan, kerana aturan pelarangan tersebut diberlakukan sama.[17]
3.     Qiyas 
1.      Pengertian dan kehujjahanya
Qiyas secara bahasa memiliki arti menerka-ngira atau menyamakan. Sedangkan berdasarkan ungkapan qiyas  umumnya dirumuskan salah satu tips untuk menetapkan aturan  yang mana masalah itu tidak terdapat dalam nash dan cara menyamakan dengan kasus atau persoalan yang terdapat dalam nash disebabkan oleh persamaan illat hukum.[18] Qiyas juga merupakan sesuatu yang sudah dimengerti (ashl) atas sesuatu yang sudah diketahui (far) karena adanya suatu persamaan dalam ilatnya menurut para mujtahid. Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisiskan qiyas dengan “ menenteng aturan yang belum dimengerti terhadap hukum yang dimengerti dalam rangka memutuskan hukum bagi keduanya atau meniadakan hukum bagi keduanya disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya baik hukum maupun sifat” qiyas ialah salah satu tata cara istimbat yang mampu dipertanggungjawabkan alasannya adalah qiyas melalui suatu penalaran dimana disandarkan kepada nas.  Dari definisi tersebut mampu diambil tiga poin penting ialah :
1)      Qiyas berfungsi selaku penjelas dari sebuah perkara dimana belum ada kejelasan aturan baik dari nash maupun ijma.
2)      Illat ialah sebuah pedomanyang dijadikan dasar untuk memutuskan aturan.
3)      Pekerjaan yang dilaksanakan mujtahid ialah menjelaskan hukum di dalam far (secara literal mempunyai arti cabang ) dengan karena adanya sebuah persamaan ilat dianta keduanya ialah far dan ashl.
Ayat al-Qur’an yang menjadi landasan atau dasar berlakunya qiyas  antara lain an-Nisa (4) 59) ayat ini menjelaskan maksud dari ”kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam masalah khilafiah) tidak lain sebagai upaya dalam memeriksa gejala sebuah kecendrungan atau apa  yang sebenarnya yang  diinginkan  oleh Allah dan Rasulnya. Hal ini dapat diperoleh dengan lewat pencarianillat hukum yang ialah tahap dalam melakukan qiyas.Dalam  hal penerimaan qiyas selaku dalil syara terdapat tiga kalangan menurut Muhammad Abu Zahra yaitu :
1)      Kelompok jumhur ulama menjadikan qiyas selaku dalil syara  dimana penggunaan qiyas ini  dilaksanakan dalam hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash atau sunnah dan dalam ijma para ulama. Penggunaan qiyas yang dikerjakan jumhur ulama tidak melebihi suatu batas kewajaran.
2)      Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah merupakan kelompok ulama yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Dan ulama Zhahiriyah juga menolak penemuan suatu illat yang menilai bahwa tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkan sebuah hukum syara.
3)      Kelompok ulama  yang memakai qiyas secara luas dan gampang. Ulama pada kelompok ini berupaya memadukan sesuatu yang kesamaan yang tidak tampakbaik kesamaan illat diantara keduanya.
Dalil yang dipakai jumhur ulama dalam menerima qiyas selaku dalil syara ialah :
1.      Dalil al-Qur’an
Allah memberikan isyarat penggunaan qiyas dalam menyamakan dua hal sebagaimana Terdapat dalam firman Allah 
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
Dan dia membuat ungkapan bagi Kami; dan ia lupa terhadap kejadiannya; beliau berkata: “Siapakah yang mampu membangkitkan tulang belulang, yang sudah hancur luluh?”Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui perihal segala makhluk”Yasin (36) 78-79.
Dalam ayat ini menerangkan bawa Allah SWT menyamakan kemampuannya  adalah dalam hal  menghidupkan suatu tulang belulang yang berantakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam membuat akan  tulang belulang pertama kali. Hal ini merupakan bahwa Allah menyamakan antara  membangkitkan tulang tersebut kepada penciptaan perta kali.
Firman Allah dalam surat an-Nisa (4) ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian kalau kau berbeda usulan perihal sesuatu, maka kembalikanlah beliau kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), kalau kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik alhasil
Penjelasan dari ayat ini  bagaimana bentuk perintah pentaatan kepada Allah dan juga memiliki arti harus mengikuti hukum  yang terdapat dalam al-Qur’an dan perintah untuk mengikuti   Rasul dan juga melakukan aturan yang terdapat dalam sunah-sunah dan mengikuti ulil amri bahwasannya mesti mengikuti hukum  ijma ulama. Pada ayat terakhir surah ini yang mempunyai arti “bila kamu bertikai paham wacana sesuatu, maka kembalikanlah beliau kepada Allah dan Rasul” bahwasannya ayat ini yakni menerangkan sebuah perintah  untuk  mengikuti qiyas dalam hal-hal yang mempunyai perbedaan.
2.      Dalil sunah
Sebagai penunjang dari alasan dalil al-qur’an alah satu hadis yang dijadikan pijakan  sebagai alasan dalam  penggunaan qiyas adalah yang terdapat pada hadissalah satunya adalah  tentang percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal dimana dikala itu Muaz ibn Jabal diutus ke Yaman selaku penguasa di sana. Kemudian nabi bertanya dengan cara apakah engkau menetapkan hukum jika seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Muaz ibn Jabalpun menjawab sata memutuskan hukum tersebut menurut kitab Allah SWT. Nabi kemudian bertanya lagi “ bila engkau tidak menemukan aturan dalam kitab Allah? Muaz menjawab “dengan sunah Rasul”. Nabi mengajukan pertanyaan lagi apabila dalam sunah enagkau tidak menemukannya? Muaz ibn Jabalpun menjawab saya memakai ijtihad dengan akal (ra’yu) aku. Nabi bersabda “segala puji bagi Allah sebagaimana sudah menunjukkan taufik terhadap delegasi Rasul Allah dengan apa yang diridhoi Rasul Allah.[19]
2.             Rukun   dan syarat-syarat qiyas
Qiyas mesti memenuhi empat rukun [20]:
1.      Al-Ashl merupakan sesuatu yang sudah  diketahui hukumnya atau objek yang sudah ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur’an, hadis nabi maupun  Ijma.Contoh dari rukum yang pertama ini yakni pengharaman wisky dengan mengqiyaskan kepada khamar. Maka yang dimaksud ashl yakni khamar dimana hal ini sudah ditetapkan hukumnya lewat nash. Menurut imam Ghazali dan Saifuddin al-Amidi (ahli ushul fiqh Syafi’iyyah) syarat-syarat ashl yaitu :
1)      Hukum ashl ialah aturan diaman ketetapan dari aturan ini tidak mengandung kemungkinan di naskhan (dibatalkan).
2)      Hukum tersebut ditetapkan berdasarkan syara
3)      Ashl bukanlah  merupakan far’u  dari ashl lainya
4)      Menetapkan ilat tersebut pada ashl ialah dalil khusus bukan sesuatu yang  bersifat umum.
5)      Ashl tidak  boleh berganti kalau melaksanakan qiyas
6)      Hukum ashl itu tidak keluar sebagaimana dari kaidah-kaidah qiyas.
2.      Al-Far’
Secara etimologi far’ merupakan cabang. Sedangkan pegertian far’dalam konteks qiyas ialah diartikan selaku kasus yang ingin diserupakan kepada ashl dikarenakan tidak ada nash yang terang menyebut aturan tersebut. Maka dari itu secara substansial  belum ada kejelasan dari far’tersebut atas status hukumnya itu disinyalir memiliki kesamaan-kesamaan dengan ashl. Maka dari itu titik temu dari keduanya yakniashl dan far’ yakni illat. Terdapat beberapa syarat Far’yang harus dipenuhi ialah :
1.      Far’ belum dapat  ditetapkan hukumnya menurut nas maupun ijma. Hal ini disebabkan alasannya adalah  qiyas tidak berlakunnya bagi pada aturan-hukumnya yang sudah terperinci nasnya. Karena prinsip qiyas ialah bagaimana  mempertemukan hukum baru yang belum ada nasnya kepada aturan yang telah ada nasnya.
2.      Ditemukan ‘illat asl pada far’kadar kesamaaan ‘illatiniharusnyalah tepat. Diantara keduanya harus sama-sama baik. Baik dilihat dari segi substansinya maupun  jenisnya.
3.      Kadar ‘illat yang terdapat pada far’ dihentikan kurang dari kadar ‘illatyang terdapat pada asl yakni sekiranyaillatyang terdapat pada far’ sama dengan ‘illat pada asl dengan tiada selisih pada kekurangannya. Sedangkan selisih dalam hal  ini ialah lebih tidak berpengaruh. Sebab kerap kali hukum yang ada pada far’lebih utama dari pada hukum yang terkandung pada ashl.
4.      Dalam Far’tidak ditemukan adanya sesuatu yang lebih berpengaruh atau sepadan yang menentang atau menghalang-halangi untuk disamakan dengan aturan asl.
5.      Hukum pada far’tidak boleh mendahului ketetapan aturan pada asl.[21]
3.      Hukum asl
Dua kata yang digabung menjadi satu susunan ini memiliki pemahaman aturan syara’ yang ada pada asl berdasakan pada legitimasi nas. Hukum aslinilah  akan pada berdampak pada far’ yang belum memiliki sama sekali  legalitas hukum dari syara’ alasannya tidak adanya nas. Dampak dari ini  ialah kesamaan aturan, dikala hukum yang serupa-sama melekat pada keduanya dikarenakan kesamaan pada illat.Ketika   proses pengqiyasan, lalu  ditemukanlah aturan bagi  far’. Maka aturan far’ ini tidaklah  salah satu rukun dari rukun-rukun qiyas. Hukum farialah suatu  buah dari  hasil  proses qiyas. Namunmenurut  imam al asnawiHukum far tersebut  juga merupakan  rukun qiyas. Yang dimaksud dengan buah dari suatu  qiyas ialah pemahaman dari hukum far’ tersebut. Hukum asl mempunyai beberapa syarat diantaranya:
1)      Berupa aturan syara’ yang sudah  ditetapkan oleh nas ataupun ijma. Mengenai ketetapan hukum ini dimana yang berasal dari nas. Para ulama tidak ada pendapat mengenai ini. Sedangkan bagi hukum-aturan yang ditetapkan ijma. Para ulama masih bertikai pendapat.
2)      Diharuskan untuk  berupa aturan yang ma’qul al-ma’na atau hukum yang mampu dicerna oleh nalar. Maksud dari hukum rasional adalah alasannya dan argumentasi penetapannya gampang ditangkap, atau tidak mengandung isyarat alasannya adalah-alasannya adalah itu. Begitu juga dengan hukum yang tidak mampu ditangkap oleh logika contohnya mirip aturan wacana tayamum dan jumlah rakaat sholat, maka dari ini tidak berlaku hukum qiyas.
4.      Al-Illat
Al-illat atau umumsering disebut illat ialah hal terpenting diantara rukun-rukun lainnya. Karena dari penjeasan di atas illat yaitu selaku titik temu antara asl dan far yang mana akan menetukan perkara aturan far sendiri. Secara bahasa illat artinya hujah atau argumentasi. Secara terminologis illat merupakan sifat yang menjadi landasan dari aturan asl. Dalam illat harus mempunyai sifat yang jelas dan mampu dibatasi., alasannya adalah konsekuensi dari illat sendiri dalam penetapan hukum harus terang dan dapat diketahui dan diketahui batasan-batasannya. Mengenai illat terdapat perbedaan usulan para ulama wacana apakah dalam setiap nas al-Qur’an maupun hadis senantiasa terdapat illat didalamnya atau tidak. Kontroversi ulama perihal keterkaitan nash dan illat yaitu :
1.      Golongan pertama yaitu kelompok yang berpendapat bahwa setiap nash hukum didalamnya niscaya memiliki illat. Oleh alasannya itu aturan ashl ada menurut illlat. Sebab illatlah yang menentukan suatu masalah. Pendapat ini diikuti oleh para jumhur ulama
2.      Golongan kedua berpendapat bahwa setiap nash aturan tidak terdapat illat . terkecuali ada dalil yang memperlihatkan hal itu.
3.      Golongan ketiga dikemukakan oleh ulama-ulama yang menolak legaitas qiyas sehingga mereka berpandangan bahwa di dalam nash tidak terdapat illat.
3.        Pembagian Qiyas dan pola-contohnya[22]
Ulama ushul fiqh membagi qiyas menjadi beberapa bab yakni :
1.      Dilihat dari sisi kekuatan illat dan yang terdapat pada furu dibandingakan dengan yang terdapat dalam aturan ashl. Qiyas dibagi menjadi tiga bentuk ialah :
a.       Qiyas al-Aulawi merupakan qiyas dimana hukum pada furu lebih berpengaruh dari hukum ashl. Hal ini memnyebabkan  illat yang terdapat dalam furu itu lebih berpengaruh dari yang ada pada aashl. Contohnya yakni terdapat  dalam mengqiyaskan dalam firman Allah dalam surah al-Isra tentang menghantam terhadap ucapan “ah’. Dari ayat ini ulama ushul fiqh berpendapat bahwa  bahwa illat dari larangan ini adalah menyakiti orang bau tanah. Keharaman menghantam orang tua lebih kuat dari pada sekedar menyampaikan kata ah. Karena pukulan lebih berpengaruh darai pada ucapan ah.
b.      Qiyas al-Musawi ialah qiyas yang dimana mempunyai kesamaan  dari segi kualitas antara aturan yang ada pada ashl dan yang ada pada illat. Contoh dari qiyas al-Musawi terdapat dalam firman Allah al-Nisa, 2:2
وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ
Dan berikanlah terhadap belum dewasa yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kau menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bareng hartamu[23]
Dalam ayat ini menerangkan bahwa dilarang mengkonsumsi harta anak yatim secara tidak wajar. Dari sini para ulama ushul fiqh mengqiyaskan dengan membakar harta anak yatim terhadap para pemakan harta secara tidak wajar sebagaimana yang sudah diterangkan dalam ayat.Di mana dari kedua sikap tersebut sama-sama menghabiskan harta anak yatim secara zalim.
c.       Qiyas al-Adna merupakan illat yang ada pada furu lebih lemah daripada ilat yang terdapat pada ashl. Biasanya  diartikan bahwa ikatan ilat pada furu sungguh lemah dibandingan dengan ikatan illat yang ada pada ashl. Contohnya ialah dalam mengqiyaskan buah apel dan gandum dalam hal berlakunya hukum riba fadhl alasannya antar apel dan gandum mempunyai illat yang sama adalah sama-sama jenis masakan. Terdapat dalam hadis Rasulullah SAW menyampaikan bahwa benda sejenis kalau ditukarkan dengan berlawanan kuantitas maka perbedaan tersebut menjadi riba fadhl. Dalam hadis tersebut di antaranya ialah gandum ( H.R. Bukhari dan Muslim). Maka dari itu imam Syafi’i mengatakan perdagangan apael bias berlaku riba fadhl. Akan namun hukum riba yang diberlakukan apel tersebut lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum.
2.      Dilihat dari sisi kejelasan illat terdapat pada aturan dibagi menjadi dua ialah :
a.       Qiyas al-Jaliy merupakan qiyas illatnya ditetapkan nash dan aturan ashl secara serempak dengan hukum al-ashl atau nash tidak memutuskan illatnya. Tetapi ditentukan bahwa tidak terdapat pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu. Contoh illat yang yang ditetapkan nash serempak dengan ashl yaitu mengqiyaskan menghantam orang renta spade ucapan ah yang terdapat dalam firman Allah surah al-Isra yang sudah diterangkan dimana yang illatnya tersebut sama-sama menyakiti orang renta. Contoh illat yang tidak disebutkan nash dan serempak dengan aturan ashl mirip mengqiyaskan budak perempuan kepada budak pria dalam urusan memerdekakan mereka. Dari sini terdapat perbedaan diantara keduanya terletak pada perbedaan jenis kelamin. Akan namun  perbedaan tersebut mampu dipastikan bahwa tidak dipengaruhi dalam hukum memerdekakan budak. Maka dari itu jika seseorang memerdekakan budak maka pernyataan itu berlaku sama baik budak laki-laki maupun budak wanita.
b.      Qiyas al-Khafiy meripakan qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Contohnya yaitu pengqiyasan terhadap pembunuhan dengan benda berat terhadap pembunuhan dengan menggunakan benda tajam dalam memberlakukan hukum qishas. Karena diantara keduanya mempunyai illat yang serupa adalah sama-sama membunuh dengan sengaja dengan unsur permusuhan. Pada kasus ini pembunuhan dengan benda tajam dilihat dari illat hukum ashl lebih kuat dibandingakan dengan illat yang terdapat pada furu adalah pembunuhan dengan benda keras.
3.      Dilihat dari keharmonisan illat dengan hukum qiyas dibagi menjadi dua adalah :
a.       Qiyas al-Mu’atstsir merupakan qiyas sebagai penghubung antara ashl dan furu yang ditetapkan terhadap nash nash seperti ijma atau qiyas yang ain sifat itu sendiri menghubungkan antara ashl dan furu berpengaruh pada aturan itu sendiri. Contoh dari qiyas al-Mu’atssir yaitu dilihat dari yang ditetapkan ijma adalah mengqiyaskan hak perwalian dalam hal menikahkan anak dibawa umur kepada hak perwalian atas hartanya disebabkan anak tersebut belum remaja. Contoh selanjutnya adalah dilihat dari ain sifat sebagaimana hal tersebut kuat terhadap ain aturan ialah bagaimana mengqiyaskan minuman keras yang dibentuk dari selain anggur tetapi sama-sama memabukkan. Illat mabuk tersebut pada kedua jenis benda ini besar lengan berkuasa pada hukum keharaman meminumnya.
b.      Qiyas al-Mula’immerupakan qiyas yang illat aturan ashlnya  mempunyai relasi yang harmonis. Contoh qiyas al-mula’im yaitu pembunjuhan dengan benda berat dengan benda tajam  yang sudah diterangkan diatas. Dari keduanya memiliki relasi yang harmonis.
4.         Dilihat dari sisi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas tersebut,qiyas mampu dibagi kepada tiga bentuk, adalah:
a.       Qiyas al-ma’na atau qiyas pada makna ashl adalah qiyas yang di dalamnya tidak diterangkan ‘illatnya namun antar ashl dengan furu’ tidak mampu dibedakan,sehingga furu’ seperti ashl. Misalnya mengqiyaskan memperabukan harta anak yatim pada memakannya, yaitu illatnya sama-sama menghabiskan harta anak yatim itu secara zalim.
b.      Qiyas al-Illat yaitu qiyas yang dijelaskan illatnya dan illat itu sendiri merupakan motivasi bagi hukum ashl. Umpamanya, mengqiyashkan nabidz (minuman keras yang terbuat dari perasan anggur) kepada khamar, sebab kedua minuman tersebut sama-sama mempunyai rangsangan yang kuat, baik pada shl, maupun pada furu’.
c.       Qiyas Al-Dalalah ialah qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, namun illat itu sendiri, namun illat itu ialah keharusan yang memberi isyarat adanya illat. Misalnya dalam kasus mengqiyaskan al-nabidz terhadap khamar dengan alasan bacin menyengat yang menjadi balasan eksklusif dari sifat memabukkan.[24]
E.     Penutup
Dari hasil Pemaparan materi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwasannya dalam ushul fiqh bertemakan sumber aturan islam yang disepakati para ulama adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Dimana keempat sumberialahsumber aturan islam itu sendiri dipakai dalam mencari aturan didalam suatu permasalahan yang ada. Al-Qur’an sendiri adalah Kalamullah yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad, dengan secara tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir.
Di dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak pembahasan diantaranya adalah penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum, aturan yang terkandung dalam Al-Qur’an, dan penerapan hukum dalam al-Qur’an. Sedangkan Sunnah yaitu sesutau perkataan, tindakan dan pengesahan Rasulullah saw. yang berposisi selaku petunjuk dan tasyri’. Oleh karena itu, sunnah kepada Al-Qur’an sendiri yaitu memberi klarifikasi atau menguatkan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Ijma’ ialahpersepsi para sobat Nabi dan pencapaian persetujuan dalam banyak sekali keputusan dan dilaksanakan oleh para ulama.Di dalam ijma juga terdapat perbedaan usulan berhubungan dengan adanya mengenai  pembatasan dan standar, baik dari batas-batas dalam pendefinisiannya dan lain sebagainnya. Dan yang terakhir  qiyas yang mana memiliki arti menyamakan suatu problem gres yang tidak memiliki ketentuan hukumnya dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi dengan dilema yang memang sudah ada hukumnya didalam Al-qur’an dan Sunnah yang berdasarkan dengan adanya persamaan illat hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
 Djamil, Faturrahman .Filsafat Hukum IslamJakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Fakhruddin.Intellectual Network : Sejarah dan Pemikiran Empat Imam Mazhab Fiqh . Malang :   UIN-Malang Press,2009.
 Habibi, Muhammad Teungku.Pengantar Ilmu Fiqih.Semarang: PT. Pusta Rizki Putra, 1997.
 Haroen ,Nasrun. Ushul Fiqh I .Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 1997.
 Hasan Khalil, Hasan Rasyad.Tarikh Tasyri : Sejarah Legislasi Hukum Islam .Jakarta:Amzah,      2009.
 Hayatuddin,Amrullah.Ushul Fiqh : Jalan Tengah Memahami Hukum Islam .Jakarta : Amzah,       2019
Masfuful FuadMasfuful  Ahmad,(2016) .Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbat Al-        Hukm,Pemikiran Hukum Islam. Vol.XV.No.1
Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam , Kediri: Purna Siwa Aliyyah Madrasah Hidayatul          Mubtadi’ien PP Lirboyo, 1980
Rahman ,Abdur .Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam.Jakarta: Rineka Cipta 1993.
Sudirman, Fiqh Kontemporer.Yogyakarta :Deepublish, 2018
Suyatno,Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogyakarta :Ar-Ruzz Media,2011.
Syafi’I, Rahmat Ilmu Ushul Fiqh .Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010
Zuhdi,Masjfuk, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta : CV Haji Masagung, 1987.
Sudah cantik


[1]Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam (Kediri: Purna Siwa Aliyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi’ien PP Lirboyo, 2004) hlm 9

[2]Rahmat, Syafi’i Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010) hlm. 49-50

[3]Sudirman, Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta :Deepublish, 2018) hlm. 227-228       

[4]Suyatno,Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta :Ar-Ruzz Media,2011) hlm. 86

[5]Al-Qur’an dan Terjemahan

[6]Ibid., hlm.87

[7]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta : CV Haji Masagung, 1987)hlm. 53-54

[8]Ibid.,hlm.55

[9]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqh : Jalan Tengah Memahami Hukum Islam (Jakarta : Amzah, 2019) hlm. 40-41

[10]Ibid.,hlm. 42

[11]Ibid.,hlm. 43-44

[12]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta :Logos Wacana Ilmu, 1997)hlm. 39

[13]Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri : Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta:Amzah, 2009) hlm.157

[14]Amrullah  Hayatudin,op.,cit. hlm.55-56

[15]Teungku Muhammad Habibi, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: PT. Pusta Rizki Putra, 1997), hal. 183

[16]Fakhruddin, Intellectual Network : Sejarah dan Pemikiran Empat Imam Mazhab Fiqh, (Malang : UIN-Malang Press,2009) hlm.48

[17]Abdur Rahman , Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta 1993),hlm 101-102

[18]Faturrahman Djamil , Filsafat Hukum Islam , (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm. 135

[19]Nasrun Harun,op.,cit. hlm. 70-71

[20]Ahmad Masfuful Fuad,”Qiyas Sebagai Salah Satu Metode Istinbat Al-Hukm”,Pemikiran Hukum Islam. Vol.XV.No.1 (Juni 2016) hlm. 45

[21]Ibid., hlm. 45-48

[22]Nasrun Harun,op.,cit. hlm. 95-96

[23]Al-Qur’an Terjemah

[24]Nasrun Harun,op.,cit. hlm. 97-98