Suami Istri Bercerai, Siapa yang Paling Berhak Mengasuh Anak?

Sebagian dr penduduk kita tak mengenali atau belum mengenali tentang siapa yg paling berhak mengasuh anak tatkala telah terjadi perceraian antara pasangan suami istri.

Dalam kitab Ittihaafu Uli Al-Albab Bihuquuqi Ath-Thifli Wa Ahkamihi fi Su-ali Wa Jawab karya Abu Abdullah Ahmad bin Ahmad Al-‘Isawi disebutkan, bahwa para ulama sepakat ibu lebih berhak dlm mengasuh anak ketimbang yg lainnya dgn syarat ia bakir, baligh, mampu mengasuh, belum menikah, beragama Islam, merdeka, bertaqwa. Dalilnya ialah sabda Rasulullah Shallallaahu Alaihi wa Sallam,

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِيْ

Kamu lebih berhak terhadap bayimu selama ananda belum menikah.” (HR. Abu Daud).

Jika ternyata syarat tersebut tak tercukupi maka mayoritas ulama beropini mendahulukan nenek dr pihak ibu & terus ke atas, kemudian ayah kemudian nenek dr pihak ayah & terus ke atas. Hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah & muridnya Ibnul Qayyim lebih mendahulukan kerabat ayah sehabis ibu.

Ibnul Qayyim menyampaikan,

“Landasan & kaidah syariat menandakan bahwa kerabat ayah di dlm warisan, perwalian menikah, perwalian terhadap yg sudah meninggal & lain-lain lebih didahulukan atas yang lain. Tidak pernah ditemukan dalil dlm syariat yg mendahulukan kerabat ibu ketimbang kerabat ayah dlm hukum apapun. Barang siapa yg mendahulukan kerabat ibu ketimbang kerabat ayah berarti ia sudah menyelisihi dalil.”

Sebenarnya didahulukannya ibu daripada yg yang lain lantaran perempuan lebih mempunyai perasaan lembut kepada anak kecil, lebih pengalaman & lebih tabah dlm merawatnya. Oleh lantaran itu, nenek dr pihak ayah lebih didahulukan dibandingkan dengan nenek dr pihak ibu, saudara perempuan dr pihak ayah lebih didahulukan dibandingkan dengan kerabat perempuan dr pihak ibu, bibi dr pihak ayah lebih didahulukan daripada bibi dr pihak ibu. Demikian yg diterangkan oleh Ahmad dlm salah satu riwayat.

Atas dasar ini berarti nenek dr pihak ayah lebih didahulukan ketimbang kakek dr pihak ayah sebagaimana ibu lebih didahulukan dibandingkan dengan ayah. Apabila kaidah ini sudah terbukti maka kaidah ini yg dapat dikerjakan & tak bertentangan dgn kasus furu’ (cabang). Apabila satu kerabat berada dlm satu derajat maka perempuan tetap didahulukan dibandingkan dengan yg pria. Seperti kerabat perempuan lebih didahulukan daripada kerabat pria, bibi lebih didahulukan daripada paman, nenek lebih didahulukan ketimbang kakek alasannya adalah pada asalnya ibu lebih didahulukan ketimbang ayah.

Selanjutnya, apabila ada perbedaan tingkat, maka kerabat ayah lebih didahulukan dibandingkan dengan kerabat ibu. Seperti saudara perempuan seayah lebih didahulukan dibandingkan dengan kerabat perempuan seibu, bibi dr pihak ayah lebih didahulukan ketimbang bibi dr pihak ibu, bibi ayah dr pihak kekek lebih didahulukan ketimbang bibi ayah dr pihak nenek, demikian seterusnya. Demikianlah kriteria yg benar & qiyas yg dapat dijadikan teladan.

Dengan kaidah inilah Syuraih, salah seorang hakim senior dlm sejarah Islam menawarkan keputusan sebagaimana yg diriwayatkan oleh Waki’ dlm kitabnya Al-Mushannaf dr Al-Hasan bin Uqbah dr Sa’id bin Al-Harits bahwa suatu tatkala paman dr pihak ayah & paman dr pihak ibu berkelahi memperebutkan seorang anak kecil & mereka mengangkat masalah ini pada Syuraih.

Syuraih kemudian memberikan keputusan bahwa paman dr pihak ayah lebih berhak dibandingkan dengan paman dr pihak ibu. Kemudian paman si anak dr pihak ibunya berkata, “Akan tetapi gue yg telah menafkahi anak ini.” Lalu Syuraih menyerahkan anak tersebut pada paman dr pihak ibu.

Kisah ini menjelaskan bahwa pada asalnya tetap dilihat kemaslahatan yg terbesar untuk anak yg akan diasuh. Adapun mendahulukan kerabat ibu daripada kerabat ayah. Menurut ekonomis penulis, tak ada yg lebih kuat dr dua usulan di atas. Wallahu A’lam.

[Abu Syafiq/Wargamasyarakat]

  Inilah Tips Membahagiakan Suami (Bagian 3)