Studi Kebudayaan Dalam Islam

A. PENGERTIAN KEBUDAYAAN 
Manusia ialah makhluk Allah, yang diciptakan di dunia selaku khalifah, manusia lahir, hidup dan berkembang di dunia, sehingga disebut juga makhluk duniawi. Sebagai makhluk duniawi telah barang tentu bergumul dan bergumuldengan dunia, kepada segala sisi, duduk perkara dan tantangannya, dengan menggunakan akal dan dayanya serta memakai segala kemampuannya baik yang bersifat cipta, rasa maupun karsa. Hal ini menawarkan bahwa hubungan manusia dengan dunia itu tidaklah senantiasa diwujudkan dalam perilaku pasif, pasrah, dan beradaptasi dengan tuntutan lingkungannya. Tetapi justru harus diwujudkan dalam sifat aktif, memanfaatkan lingkungannya untuk kepentingan hidup dan kehidupannya. Dari kekerabatan yang bersifat aktif itu tumbuhlah kebudayaan. 
Apa arti dan ulasan makna yang terkandung dalam ungkapan kebudayaan banyak dikaji oleh para mahir. Berikut ini hendak dikemukakan beberapa usulan para mahir sehubungan dengan dilema tersebut. 
St. Taqdir Ali Sjahbana berpendapat bahwa kebudayaan adalah “manifestasi dari cara berpikir. 
Pengertian ini amat luas, alasannya adalah semua tingkah laris dan tindakan manusia mampu dikategorikan hasil cara berpikir, bahwa perasaan pun, berdasarkan beliau, tergolong anggapan juga. Pengertian yang lebih luas lagi dikemukakan oleh Sarmidi Mangunkaro, seorang politikus yang aktif dalam kebudayaan menyatakan, bahwa kebudayaan yaitu segala yang ialah (bersifat) hasil kerja jiwa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dikatakan lebih luas, sebab hasil kerja jiwa manusia meliputi kerja periksa (anggapan, cipta), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi, khayalan, dan bidang-bidang rohani insan yang lain. Hanya saja dalam definisi tersebut lebih ditekankan pada hasil kerja jiwa manusia, dan belum ditegaskan fungsi raga (jasmani) insan dalam rangka membuat kebudayaan tersebut. 
Pada totalitas manusia ialah meliputi jasmani dan rohani (jiwa), atau material substance dan spiritual substance secara seimbang, dan masing-masing mempunyai peranan dalam membuat kebudayaan. 
Definisi yang lainnya dikemukakan oleh Koentjoroningrat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang terencana oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan berguru dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, Koentjoroningrat juga mengemukakan adanya 3 wujud dari kebudayaan, yakni: 
  1. Wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dan sebagainya, 
  2. Wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam penduduk , dan 
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. 
Dalam praktiknya, wujud kebudayaan tersebut tidak terpisah satu dengan yang lain. Wujud dan isi kebudayaan yang dimiliki oleh insan pada gilirannya akan mewarnai rancangan ihwal insan itu. Mengenai isi atau ruang lingkup kebudayaan itu ialah luas sekali, mencakup segala aspek kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) insan. Hanya saja ada sementara mahir yang memasukkan agama selaku salah satu isi kebudayaan. Hal ini tentu ialah duduk perkara tersendiri yang perlu didudukkan secara proporsional. 
Agama yang ada di dunia ini pada intinya dapat dikelompokkan ke dalam (2) dua macam, ialah agama samawi/wahyu (revealed religion) jenis agama bukan wahyu/agama budaya (non-revealed religion). Jenis agama yang pertama bukanlah produk insan tidak berasal dari manusia, namun dari Tuhan. Karena itu tidak mampu dimasukkan dalam bagian kebudayaan. Sedangkan jenis agama yang kedua, sebab ialah produk manusia dan berasal dari insan, maka dapat dikategorikan ke dalam bab kebudayaan. Definisi-definisi yang telah dikemukakan terdahulu sepertinya belum menyinggung tujuan dari kebudayaan itu sendiri, sehingga kebudayaan bisa jadi menyebabkan kemakmuran insan, atau sebaliknya malahan menjadikan bencana bagi kehidupan dan penghidupan insan, baik individu maupun penduduk , ataupun individu dan masyarakat sekaligus. Karena itu di sini perlu dikemukakan definisi kebudayaan yang lebih lengkap. 
Endang Saifuddin Anshari, sesudah mempelajari beberapa persepsi para ahli tentang pemahaman kebudayaan, kemudian ia sampai pada rumusannya sendiri ihwal kebudayaan, adalah bahwa kebudayaan (kultur) yakni hasil karya cipta (pengolahan, pengarahan, dan pengarahan kepada alam oleh manusia) dengan kekuatan jiwa (anggapan, perasaan, kemauan, intuisi, khayalan dan bidang-bidang rohaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan diri dalam banyak sekali kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia, sebagai balasan atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan extra diri manusia, menuju ke arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan materiil) manusia, baik individu maupun penduduk ataupun individu dan masyarakat. 
Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi dari definisi tersebut, yakni bahwa: 
  1. Kebudayaan ialah man-made atau karya/ciptaan insan, 
  2. Yang menjadi materi kebudayaan adalah alam, baik bahan alam yang ada pada diri manusia maupun bahan alam yang terdapat di luar diri manusia, 
  3. Yang dijadikan alat penciptaan kebudayaan yakni jiwa dan raga (jasmani) manusia. Termasuk ke dalam jiwa ialah: periksa (asumsi, cipta), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi, khayalan, dan bab-bab rohani manusia lainnya, 
  4. Ruang lingkup kebudayaan meliputi segala aspek kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia, 
  5. Pada garis besarnya kebudayaan mampu dibedakan atas kebudayaan immateri dan kebudayaan materi, 
  6. Tujuan kebudayaan adalah untuk kesempurnaan dan kesejahteraan manusia, baik selaku individu maupun masyarakat, atau individu dan penduduk sekaligus: 
  7. Kebudayaan merupakan jawaban atas tantangan, tuntutan, dan dorongan intra diri insan dan dari extra diri manusia: dan 
  8. Kebudayaan itu dapat diwariskan dan diwarisi melalui proses pendidikan dan kebudayaan. 
  √ 8 Macam Badan Hukum dan Contohnya
B.KEBUDAYAAN ISLAM DAN CIRI-CIRINYA 
Pada uraian terdahulu sudah dijelaskan bahwa agama samawi (revealed religion atau agama wahyu) bukanlah wahyu yang termasuk kebudayaan, alasannya adalah ia bukan produk manusia, tetapi dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah) yang sudah menurunkan wahyu pada utusannya, untuk disebarkan pada insan. Agama Islam termasuk agama samawi (agama wahyu), sehingga tidak ter-masuk kebudayaan namun demikian, agama Islam sudah mendorong para pemeluknya untuk membuat kebudayaan dengan aneka macam seginya. Dorongan tersebut mampu dikaji dari aliran dasarnya sebagai berikut: 
  1. Islam menghormati logika manusia, menaruh logika manusia pada tempat yang terhormat dan memerintahkan insan mempergunakan akalnya untuk mengusut dan mempertimbangkan kondisi alam, di samping dzikir terhadap Allah penciptanya. Hal ini mampu dipahami dari firman-Nya dalam OS. Ali Imran: 190-191. 
  2. Agama Islam mengharuskan kepada tiap-tiap pemeluknya, baik laki-laki maupun wanita, untuk mencari dan berguru, sebagaimana dapat diketahui dari firman Allah OS. al-Mujadilah: 11 dan Hadis Nabi SAW. “Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam,” serta maqallah “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. 
  3. Agama Islam melarang orang bertaklid buta, menerima sesuatu tanpa diperiksa lebih dulu, walau dari ibu bapak dan nenek moyang sekalipun. Sebagaimana firman Allah dalam OS. Al-Isra’: 36. 
  4. Agama Islam juga mendorong dan menggalakkan para pemeluknya biar senantiasa menggali hal-hal yang baru atau menyelenggarakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh serta membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat pada penduduk . Hal ini mampu dipahami dari firman Allah OS. al-Insyirah: 7-8, dan Hadits Nabi SAW. “Barang siapa yang berinisiatif atau mengawali suatu cara keduniaan yang baik, maka baginya pahala sebanyak pahala untuk orang yang eksklusif melaksanakannya sampai hari kiamat”. 
  5. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk mencari keridhoan Allah dalam semua nikmat yang sudah diterimanya dan memerintahkan memanfaatkan hak-haknya atas keduniaan dalam pimpinan dan hukum agama. Sebagaimana firman Allah dalam OS. al-Gashash: 77. 
  6. Agama Islam juga merekomendasikan para pemeluknya supaya pergi meninggalkan kampung halamannya, berjalan ke daerah/negeri untuk menjalin silaturahmi atau komunikasi dengan bangsa atau golongan lain, serta saling bertukar asumsi, pengetahuan, dan persepsi. Sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam OS. al-Hajj: 46 dan sebagainya, serta Hadits SAW. “Wahai sekalian insan, sebarkanlah salam (ciptakan stabilitas keselamatan dan perdamaian), hubungkan silaturahmi (persaudaraan, komunikasi, dan konsultasi), berilah makan (optimalkan taraf ekonomi fakir miskin yang lemah ekonominya) dan shalatlah di tengah-tengah malam sementara insan sedang asyik tidur nyenyak, niscaya engkau akan masuk nirwana (meraih kebahagiaan hidup) dengan selamat dan makmur” (HR. al-Tirmidzi). 
  7. Agama Islam juga memerintahkan para pemeluknya untuk menilik dan menerima kebenaran dari mana dan siapa pun datangnya, dengan catatan harus lewat proses seleksi, sehingga mampu mendapatkan ilham, pemikiran , teori, atau persepsi yang cocok dengan isyarat -Nya. Sebagaimana mampu diketahui dari firman-Nya dalam OS. al-Zumar ayat 17-18. 
Sebenarnya masih banyak anutan-anutan Allah dan Rasul-Nya yang membahas masalah tersebut, namun dari ketujuh point tersebut telah dapat dimengerti bahwa pemikiran agama Islam memang sungguh-sungguh mendorong para pemeluknya dan atau memerintahkan mereka untuk menciptakan kebudayaan dalam berbagai seginya. Dengan adanya instruksi tersebut memiliki arti bahwa kebudayaan Islam atau lebih tepatnya disebut kebudayaan muslim, harus adanya. Karena itu sebelum melacak lebih jauh perlu dikaji lebih dulu apa sebenarnya kebudayaan Islam (muslim) itu sendiri. Sidi Gazalba menyatakan, bahwa kebudayaan Islam dalam “cara berpikir dan cara merasa takwa yang menyatakan diri dalam seluruh sisi kehidupan sekumpulan insan yang membentuk penduduk ,” atau dapat disarikan sebagai “cara hidup yang bertakwa.” 
Menurut Sidi Gazalba, bahwa cara hidup takwa menempuh jalan syariat, melakukan perintah, serta manjauhi larangan. Syariat mengikatkan/mempertalikan muslim pada prinsip-prinsip tertentu yang digariskan oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah (naqal). Karena itu, akal dalam kegiatannya mengatur kehidupan merujuk pada naqal, dengan kata lain gerak atau aktivitas kebudayaan itu memang dari logika, tetapi asas gerak itu atau prinsip yang dipegangi logika dalam kegiatannya yakni dari naqal. Dari asas yang sudah ditentukan dan digariskan oleh naqal itu kemudian yaitu menentukan cara pelaksanaannya. Karena itu, yang ialah karya insan dalam kebudayaan Islam adalah cara pelaksanaan yang bersifat dinamik, sedangkan prinsip-prinsipnya berasal dari Allah dan bersifat tetap. Nilai asas (root values) prinsip-prinsip itu digariskan oleh syariat, ada nilai yang harus dijalankan (wajib), nilai yang disarankan (sunnat): nilai netral, yaitu baik tidak dan buruk pun tidak (jaiz/mubah): ada nilai yang dibenci (makruh): dan ada pula nilai jelek (haram). Cara pelaksanaan prinsip-prinsip itu dipikirkan oleh ijtihad (instrumental values-nya) dan dilaksanakan oleh tangan, sedangkan kemauan untuk melakukan itu dipancarkan oleh takwa. Namun demikian kita harus bisa mendudukkan secara proporsional, mana yang tergolong nilai asas (root values) dan mana pula yang tergolong cara pelaksanaan (instrumental values). Sebab kadang periode ada sesuatu yang tampaknya ialah cara pelaksanaan, tetapi yang bantu-membantu yakni nilai asas (root values). Sebagai pola: cara pelaksanaan shalat, puasa, dan sebagainya, sebagaimana yang terulang pada nash yang terang dan syariat, harus didudukkan sebagai root values, bukan instrumental values, itu bukan merupakan kebudayaan. Di lain pihak Endang Saifuddin Anshari mempertanyakan “adakah kebudayaan Islam itu?” Menurut pendapatnya, bahwa alasannya adalah kebudayaan itu man-made (karya budaya manusia), maka yang terperinci-jelas ada yaitu kebudayaan muslim itu mampu dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu: 
  1. Kebudayaan muslim yang islami, yakni kebudayaan karya budaya muslim yang committed pada al-Islam, dan 
  2. Kebudayaan muslim yang tidak islami, yakni kebudayaan muslim yang tidak committed pada al-Islam. Muslim yang committed pada al-Islami yaitu muslim yang mengimani (menghayati), mengilmui, mengamalkan, dan mendakwahkan Islam, serta sabar dalam ber-Islam. 
  Posisi Dan Gerak Mahasiswa
Namun demikian, Endang Saifuddin Anshari juga mempermasalahkan tentang “apakah mungkin tercipta kebudayaan yang seratus persen islami di dunia ini?” Dalam hal ini beliau sudah menerangkan bahwa kebudayaan itu karya manusia, sedangkan di dunia tidak seorang pun (kecuali Rasul) yang sempuma. Karena itu tidak mungkin menginginkan sesuatu kesempurnaan dari sesuatu yang tidak seratus persen sempurna. Tercapainya kesempumaan yakni tujuan ideal manusia, tetapi bukan tugas insan. Tugas manusia bukan sampai pada kesempurnaan, melainkan bergerak, berusaha, dan berupaya sekuat tenaga untuk mencapainya. Karena itu kebudayaan muslim nilainya tidak mutlak, terikat oleh ruang dan waktu, terbuka untuk revisi, koreksi dan reevaluasi. Setiap muslim berhak untuk berimprovisasi (melaksanakan sesuatu) dalam mengulturkan natur dan dalam mengislamkan kultur sesuai dengan tuntutan alam/tempat dan zamannya, yang masing-masing bisa berlawanan dengan yang lain. Apabila kebudayaan muslim telah dimutlakkan, yang nilai kemutlakannya disamakan dengan al-Islaim, maka akan muncul kemandekan kebudayaan yang pada giliran berikutnya akan menjadi barang kuno yang tidak memiliki kegunaan lagi, serta daya kreativitasnya akan terhenti. Dengan memerhatikan pendapat Endang Saifuddin Anshari tersebut, adalah bahwa ada kebudayaan muslim islami (committed pada al-Islam), dan ada kebudayaan muslim yang tidak islami (tidak committed pada al-Islam), berakibat memaksa kita untuk menyeleksi kembali hasil karya (budaya) muslim pada masa keemasan/kejayaannya. Jika buah/hasil karya itu berasal dari muslim yang tidak committed pada al-Islam, maka haruslah dikeluarkan dari kebudayaan dan peradaban Islam. Berbeda dengan pendapat Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa kebudayaan Islam yakni kebudayaan yang muncul, memancar dari agama Islam, atau semua budaya (karya insan) yang terpengaruh oleh karena ada agama Islam. Kebudayaan Islam itu mempunyai tiga (3) unsur, ialah: sistem nilainya, tata cara wawasan, dan metode simbol. Dan kita tidak perlu membahas apakah budaya Islam itu islami atau tidak islami, karena hal ini tidak lagi menanyakan masalah kebudayaan. Dalam arti bahasa kebudayaan itu islami atau tidak, yaitu di luar wewenang atau di luar budaya itu sendiri, alasannya adalah hal itu berarti kita kembali ke normatif. Sedangkan Nourouzzaman Shiddiq tidak menawarkan definisi ihwal kebudayaan Islam (muslim), tetapi beliau mengemukakan ciri-cirinya ialah: 
  1. Bernafaskan Tauhid, karena tauhidlah yang menjadi pokok anutan Islam, 
  2. Hasil buah pikir dan pengolahannya yaitu dimasukkan untuk memajukan kemakmuran dan membahagiakan umat insan. 
  Trisakti, Masalah 1998
Sebab Islam diturunkan dari Nabi saw. Diutus yakni menjinjing rahmat bagi semesta alam. Di samping itu insan dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi dengan dibebani peran untuk menjaga keindahan ciptaan Allah ini. Sebagaimana firman-Nya dalam OS. al-A’raf: 56, yang tujuannya “Dan janganlah kau membuat kerusakan di tampang bumi sesudah (Allah) memperbaikinya”, dan firman Allah dalam OS. al-Oashash ayat 77, yang tujuannya “Dan berbuat oke sebagaimana Allah sudah berbuat baik kepada kau, dan janganlah kau berbuat kerusakan di (wajah) bumi, sebenarnya Allah tidak menggemari orang-orang yang berbuat kerusakan.” Karena itulah produk budaya yang menenteng bencana dan kehancuran, terang tidak termasuk kebudayaan yang bercirikan Islam. Setelah dikemukakan beberapa persepsi para hebat ataupun ciri-ciri kebudayaan Islam (muslim) tersebut, maka ada satu hal yang disepakati oleh mereka, yakni bahwa berkembangnya kebudayaan berdasarkan padangan Islam bukanlah value free (bebas nilai), namun justru value bound (terikat oleh nilai). 
Keterikatan kepada nilai tersebut bukan cuma terbatas pada kawasan nilai insani, tetapi juga menembus pada nilai Ilahi selaku sentra nilai, yakni keimanan pada Allah, dan iktikad ini akan mewarnai semua aspek kehidupan atau memengaruhi nilai-nilai lain. Untuk memperjelas statemen tersebut, barang kali perlu diterangkan hierarki tata nilai itu sendiri serta hubungan antara satu dengan lainnya. Menurut Noeng Muhadjir bahwa secara hierarkis nilai mampu dikelompokkan ke dalam dua macam, yakni (1) nilai-nilai ilahiah, yang berisikan nilai ubudiah dan nilai muamalah, (2) nilai adab insani, yang terdiri dari: nilai rasional: nilai sosial: nilai perorangan: nilai biofisik: nilai ekonomis: nilai politik, dan nilai estetika. Dari paradigma tersebut dapat dimengerti bahwa nilai Ilahi (nilai hidup etik religius) mempunyai kedudukan vertikal lebih tinggi pada nilai hidup lainnya. Di samping itu, nilai Ilahi memiliki konsekuensi pada nilai yang lain, dan sebaliknya nilai lainnya membutuhkan konsultasi pada nilai Ilahi, sehingga hubungan/hubungannya termasuk vertikal linier. Sedangkan nilai hidup insani (tujuh nilai insani tersebut) memiliki relasi sederajat dan masing-masing tidak harus berkonsultasi, sehingga keterkaitannya tergolong horizontal-lateral. 
Mungkin kita mengajukan pertanyaan “apakah yang sosial lebih tinggi ketimbang yang perorangan?” Filsafat hidup bangsa Indonesia mendudukkan keduanya sederajat, namun ada kewajiban terapan nilai perorangan harus memikirkan konsekuensi nilai sosialnya, demikian pula terapan nilai sosial harus memikirkan konsekuensi individualnya, atau berdasarkan ungkapan yang lain keseimbangan antara kepentingan perorangan dan sosial. Karena itu realisasinya termasuk lateral-sekuler. Terapan nilai rasional (misalnya mengejar prestasi studi) juga mesti diimbangi dengan konsekuensi biofisiknya (seperti: mempertahankan kesehatan, mengendalikan makan, dan istirahat). Karena itu kekerabatan yang biofisik dengan rasional juga lateral-sekuensial. Demikian pula yang biofisik dengan yang aestitis, dan sebagainya. Sedangkan hierarki menurut Sidi Gazalba yakni sebagai berikut: 
  1. Nilai-nilai yang wajib (paling baik): 
  2. Nilai-nilai yang Sunnah (baik): 
  3. Nilai-nilai yang jaiz/mubah (netral): 
  4. Nilai-nilai yang makruh (tak disukai/setengah jelek), dan 
  5. Nilai-nilai yang haram (buruk). 
Nilai-nilai tersebut cakupannya menyangkut seluruh bidang, yakni menyangkut nilai ilahiyah ubudiah, ilahiah muamalah, dan nilai etik insani yang terdiri dari: nilai sosial, rasional, perorangan, biofisik, ekonomi, politik, dan estetika. Dan sudah barang pasti nilai-nilai yang jelek tidak dikembangkan/ditinggalkan. Namun demikian sama-sama satu nilai keharusan masih dapat didudukkan mana keharusan yang lebih tinggi dibadingkan kewajiban yang lain yang lebih rendah menurut Noeng Muhadjir. Contohnya: kewajiban untuk beribadah haruslah lebih tinggi daripada kewajiban melaksanakan tugas politik, ekonomi, dan sebagainya. 
Di samping itu, masing-masing bidang nilai masih mampu dirinci mana yang esensial dan mana yang instrumental. Misalnya: busana jilbab bagi kaum wanita, ini menyangkut dua nilai tersebut, adalah nilai esensial, dalam hal ini ibadah menutup aurat, sedangkan nilai insaninya (instrumental) ialah nilai aestetik, sehingga bentuk, model warna, cara memakai, dan sebagainya dapat bermacam-macam sepanjang dapat menutup aurat.