STOP Gadget untuk Anak – Lihat Pesan Petinggi Teknologi Dunia ihwal dampak IT bagi anak usia dini. Apakah keputusan mengenalkan komputer pada anak sejak usia dini itu tepat? Kita lihat para petinggi perusahaan teknoligu Google, Apple, Yahoo, HP hingga eBay mengantaranak-anaknya ke sekolah yg sama sekali tak memiliki komputer.
Sekolah ‘Chicago Waldorf School’ sama sekali tak memakai komputer untuk mengajar. Padahal 3/4 orang bau tanah siswanya melakukan pekerjaan di Google, Apple, Yahoo, & sejenisnya.
Ketika sekolah-sekolah lain memasukkan komputer dlm kurikulum & berlomba membangun sekolah digital, Waldorf School of the Peninsula justru melakukan sebaliknya. Sekolah ini dgn sengaja menjauhkan bawah umur dr perangkat komputer.
Sekolah Waldorf justru fokus pada aktivitas fisik, kreativitas, & kemampuan ketrampilan tangan para anak usia dini. Anak-anak tak diajarkan mengenal perangkat tablet, smartphone atau laptop. Mereka biasa mencatat dgn kertas & pulpen, menggunakan jarum rajut & lem perekat tatkala menciptakan prakarya, hingga bermain-main dgn tanah setelah selesai pelajaran olahraga.
Para Pendidik PAUD di Waldorf yakin bahwa komputer justru akan menghalangi kemampuan bergerak, berpikir kreatif, berinteraksi dgn manusia, hingga kepekaan & kemampuan anak mengamati pelajaran.
Daftar Isi
Stop Gadget Untuk Anak – Para Petinggi Teknologi Mendukung Keputusan Sekolah Waldorf
Banyak yg menganggap bahwa kebijakan yg dibuat Waldorf itu keliru. Meski sistem pembelajaran yg mereka gunakan sudah berusia lebih dr satu abad, perdebatan soal penggunaan komputer dlm proses mencar ilmu-mengajar masih terus berlanjut.
Menurut para pendidik & orangtua murid di Sekolah Waldorf, sekolah dasar yg baik justru harus menghindarkan murid-muridnya dr komputer. Ini disetujui oleh Alan Eagle (Staf Google), yg menyekolahkan anaknya Andie di Waldorf School of the Peninsula yg menyampaikan:
“Anak saya baik-baik saja, walaupun tak tahu bagaimana caranya menggunakan Google. Anak saya yg lain, yg kini di kelas dua SMP, pula gres saja dikenalkan pada komputer,” “Misalkan saja saya seorang sutradara yg baru menelurkan sebuah film dewasa. Meski film itu didaulat sebagai film terbaik yg pernah ada di dunia sekalipun, saya toh tak akan membiarkan anak-anak saya menonton film itu kalau umur mereka belum 17 tahun.”
Seperti Apa Sih Tampilan Kelas Waldorf ?
Tanpa perangkat komputer atau kabel, kelas-kelas di Waldorf punya performa klasik dgn papan tulis & kapur warna-warni. Sekolah Waldorf tampil dgn gaya ruangan kelas yg klasik. Tak banyak perangkat elektronik, layar-layar komputer, atau kabel-kabel yg menghiasi ruangan.
Berhias dinding-dinding kayu, ayah bunda hanya akan mendapatkan papan tulis penuh coretan kapur warna-warni. Ada rak-rak sarat banyak sekali jenis ensiklopedia hingga meja-meja kayu dgn tumpukan buku-buku catatan & pensil.
Ketrampilan merajut dipercaya membantu bawah umur mencar ilmu mengerti pola & hitungan. Menggunakan jarum & benang bisa mengasah kemampuan memecahkan dilema & belajar koordinasi. Saat pelajaran bahasa di kelas, belum dewasa akan diajak berdiri melingkar. Mereka diminta mengulang kalimat yg diucapkan guru dengan-cara bergiliran. Gilirannya diputuskan dgn melempar bola atau mainan lain. Ternyata, metode mencar ilmu ini bisa jadi salah satu cara untuk mensinkronkan tubuh & otak.
Untuk mengajarkan matematika dasar perihal pecahan, pendidik menggunakan buah apel, kue pai, atau roti yg diiris-potong kemudian dibagikan pada murid-muridnya.
Fakta Penggunaan Teknologi Pada Anak Usia Dini
Selain dr pengajar & orang renta murid, para andal pendidikan pun memastikan: “Penggunaan komputer di ruang kelas bergotong-royong tak ada alasan ilmiahnya. Sampai ketika ini toh belum ada observasi yg membuktikan bahwa keahlian menggunakan komputer akan berpengaruh pada nilai tes atau prestasi mereka.”
Nah, apakah mencar ilmu hitungan kepingan dgn memotong apel atau merajut jauh lebih baik? Bagi Waldorf, pertanyaan ini susah dibuktikan. Sebagai sekolah swasta, Waldorf tak berpedoman pada tes-tes dasar yg serupa dgn sekolah-sekolah lain.
Mereka pun memang mengakui bahwa murid-muridnya tak akan mampu nilai setinggi anak-anak sekolah negeri kalau diminta mengerjakan soal-soal tes lazim. Bukan alasannya mereka kolot, namun karena murid-murid Waldorf memang tak dijejali teori-teori matematika dasar sesuai kurikulum.
Namun, tatkala diminta menandakan efektivitas pendidikan di Waldorf, Association of Waldorf School di Amerika Utara menayangkan hasil penelitian yg tak coba-coba selaku berikut :
“94% siswa lulusan Sekolah Menengan Atas Waldorf di Amerika Serikat di antara tahun 1994 hingga 2004 berhasil masuk di aneka macam jurusan di kampus-kampus bergengsi mirip Oberlin, Berkeley, & Vassar.”
Selain faktor minimnya teknologi, mutu pengajar yg baik di Waldorf pula dinilai kuat pada kesuksesan sekolah tersebut mengantaranak-anaknya ke universitas-universitas bergengsi di Amerika. Waldorf memang tak sembarangan dlm menentukan guru.
Selain berpendidikan tinggi, mereka harus memiliki jam melayang yg mumpuni. Wajar saja jikalau Waldorf kemudian sukses berbagi anak didik mereka menjadi luar biasa & berprestasi. Kualitas inilah yg kemudian menciptakan para orangtua percaya pada metode pengajaran Waldorf.
Filosopi Pendidikan di Waldorf School
Waldorf memegang filosofi bahwa belajar-mengajar bukan kasus sederhana. Ini tentang bagaimana seharusnya menjadi insan. Sebenarnya menurut Waldorf, memilih menggunakan teknologi komputer atau tak bisa jadi sifatnya subyektif atau perkara pilihan.
Terserah saja, menurut kebijakan sekolah masing-masing. Namun yg harus dicatat: tatkala anak sudah dibiarkan lekat dgn komputer semenjak dini, bisa saja ia akan ketergantungan & susah melepaskan gawai tersebut dlm kehidupan sehari-hari.
Keahlian di bidang IT adalah modal untuk berkompetisi di dunia kerja. Tapi, apakah mesti itu menjadi alasan untuk mengenalkan komputer pada anak semenjak dini?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita simak penuturan dr Google: “Komputer itu sangat mudah. Kami di Google sengaja menciptakan perangkat yg ibaratnya bisa digunakan tanpa harus berpikir. Anak-anak toh tetap bisa mempelajari komputer sendiri bila usia mereka sudah remaja.” – Alan Eagle.
Singkatnya, Eagle menerangkan bahwa komputer itu mudah & bisa dipelajari melalui kursus kilat sekalipun. Kaprikornus buat apa “membunuh” kreativitas alami anak dgn memaksa mereka mempelajari komputer semenjak dini? Bagaimana nasib adik-adik ayah bunda atau belum dewasa ayah bunda sendiri kelak? Apakah lebih baik mereka dikenalkan dgn gadget & perangkat teknologi semenjak dini, atau lebih baik menunggu hingga saat yg sungguh-sungguh tepat?