close

Soal Zakat Mal

Soal Zakat Mal – Tentunya ini akan menjadi pelajaran yang sangat memiliki arti sekali untuk kamu semua yang lagi mencari Soal Zakat Mal tersebut di sini. Kami membas Soal Zakat Mal lengkap untuk anda bisa pelajari eksklusif nantinya, sehingga mampu membatu pelajaran untuk anda semua.

Admin kunci balasan memberikan aneka macam soal untuk kau semua dimana agar anda yang ingin tahu pasti akan tahu untuk Soal Zakat Mal tersebut, dan soal untuk umum hinga akademi tinggi pun kami membahas di website ini sehingga sungguh lengkap apa yang anda cari semua pelajaran kami berikan untuk membantu banyak orang bisa pelajari soal-soal dan kunci balasan.

Maka untuk itu untuk memecahkan persoalan Soal Zakat Mal bisa anda melihat disini dibawah ini untuk mampu langsung dipelari atau anda mampu download Soal Zakat Mal tersebut disini.

Soal Zakat Mal

Dalam hadits riwayat Abu Bakar Radhiyallâhu ‘anhu dinyatakan:

وَفِيْ الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْر (رواه البخاري

Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %). [Riwayat al-Bukhâri]

Hadits-hadits di atas ialah sebagian dalil wacana penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:

1. Nishab ialah batas minimal dari harta zakat. Bila seseorang sudah mempunyai harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batas-batas nishab hanya diharapkan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengenali batas-batas nishab, sebab sudah dapat ditentukan bahwa beliau telah berkewajiban mengeluarkan uang zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali Radhiyallâhu ‘anhu di atas, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.

2. Nishab emas, yaitu 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas [3]

3. Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]

4. Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak jikalau telah mencapai nishab ialah atau 2,5%.

5. Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, adalah emas dan perak murni (24 karat).[5] Dengan demikian, kalau seseorang mempunyai emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus diubahsuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yakni dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan mengajukan pertanyaan terhadap toko emas, atau andal emas, tentang kadar emas yang beliau miliki. Bila kadar emas yang beliau miliki telah meraih nishab, maka dia wajib membayar zakatnya, dan kalau belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

Orang yang hendak mengeluarkan uang zakat emas atau perak yang dia miliki, dibolehkan untuk menentukan satu dari dua cara berikut.

Cara Pertama : Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus dia bayarkan, kemudian memberikannya pribadi kepada yang berhak mendapatkannya.

Cara Kedua : Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang mesti dia bayarkan pada ketika itu.

Sebagai teladan, kalau seseorang mempunyai emas seberat 100 gram dan sudah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk aksesori emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana beliau juga dibenarkan untuk membayar seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata: “Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak mesti mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para akseptor zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk duit, mereka lebih memilih duit, alasannya itu lebih memiliki kegunaan baginya.[6]

  Lengkap Soal Matematika Kelas 1 Sd Bagian 7 Pengukuran Berat

Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap dikala mengalami pergantian, sehingga mampu saja saat membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan dikala berlalu satu tahun, harga emas sudah bermetamorfosis Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada ketika beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan dikala jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-

Pada peristiwa semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat yakni harga pada dikala mengeluarkan uang zakat, bukan harga pada saat berbelanja.[7]

NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dulu, umat insan memakai berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar mampu memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan memakai cara barter, ialah tukar-menukar barang. Akan namun, tatkala insan menyadari bahwa cara ini kurang simpel – terlebih kalau membutuhkan dalam jumlah besar maka insan berupaya mencari alternatif lain. Hingga hasilnya, insan menerima bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang mampu dijadikan sebagai alat transaksi antar insan, dan sebagai alat untuk mengukur nilai sebuah barang.

Dalam perjalanannya, insan kembali merasakan adanya aneka macam hambatan dengan duit emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat mengambil alih peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada jadinya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan selaku alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.

Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa duit kertas yang diberlakukan oleh suatu negara mempunyai peranan dan hukum, mirip halnya yang dimiliki duit dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya aturan-aturan riba dan zakat [8]

Bila demikian halnya, maka jika seseorang mempunyai uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, beliau wajib mengeluarkan zakatnya, yakni 2,5% dari total duit yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka aku akan menjajal mejelaskan hal ini dengan pola berikut.

Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas ialah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak yaitu 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.

Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki duit sebesar Rp. 50.000.000,- kemudian duit tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) duit tersebut tidak pernah menyusut dari batas minimal nishab di atas, maka pada dikala ini pak Ahmad telah berkewajiban mengeluarkan uang zakat malnya. Total zakat mal yang harus beliau bayarkan yaitu:

Rp. 50.000.000 x 2,5 % (atau Rp. 50.000.000/40) = = Rp 1.250.000,-

Pada perkara pak Ahmad di atas, batas-batas nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diamati, sebab uang dia terperinci-terang melampaui nishab keduanya.

Akan tetapi, kalau duit pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita memikirkan batas nishab emas dan perak. Pada perkara kedua ini, uang pak Ahmad sudah meraih nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.

Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan dihentikan menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :

Rp. 16.000.000 x 2,5 % (16.000.000/40)= Rp. 400.000,-

Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan: “Bila uang kertas yang dimiliki seseorang sudah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang yang lain, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan terhadap nishab yang telah diraih tersebut”.[9]

Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat duit di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan aneka macam ketentuan perihal zakat uang yakni mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh sebab itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya[10]

Berdasarkan pemaparan di atas, jikalau seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, dan beliau juga mempunyai uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, sedangkan harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,- maka dia berkewajiban mengeluarkan uang zakat 2,5 %. Walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang dia miliki belum meraih nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya mencapai nishab. Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- dengan perkiraan selaku berikut:

Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000, x 2,5 % (23.000.000/40)= Rp. 575.000,-

ZAKAT PROFESI
Pada zaman kini ini, sebagian orang mengadakan zakat gres yang disebut dengan zakat profesi, adalah jika seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki honor besar, maka beliau diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari honor atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini berargumentasi, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, pastinya lebih layak untuk dikenai keharusan zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan istilah zakat profesi.

Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:

1. Zakat hasil pertanian yakni 1/10 (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa membutuhkan biaya, dan 1/20 (seper-duapuluh) jika pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang sangat gila (ganjil) dan menyeleweng.

2. Gaji diwujudkan dalam bentuk duit, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat perdagangan dan persyaratan nilai barang.

3. Gaji bukanlah hal gres dalam kehidupan insan secara biasa dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada semenjak zaman dulu kala. Berikut beberapa bukti yang menawarkan hal itu

Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallâhu ‘anhu pernah melakukan sebuah tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Lalu dia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Pada mulanya, Sahabat ‘Umar Radhiyallâhu ‘anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”. [Riwayat Muslim]

Seusai Sahabat Abu Bakar Radhiyallâhu’ anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, dia berangkat ke pasar untuk berjualan sebagaimana kebiasaan ia sebelumnya. Di tengah jalan ia berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallâhu ‘anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab: “Ke pasar”. ‘
Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban peran yang menyibukanmu?”
Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan merepotkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
Umar pun menjawab: “Kita akan memberimu secukupmu”.[Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi]

Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengesahan Sahabat Abu Bakar Radhiyallâhu ‘anhu perihal hal ini.

لَقَدْ عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُعَنْ مَؤُوْنَةِ أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسلِمِيْنَ فَسَيَأكُلُ آلُ أَبِيْ بَكْرٍ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَيَحتَرِفُ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِيه

Sungguh, kaumku sudah mengetahui bahwa pekerjaanku mampu mencukupi ebutuhan keluargaku. Sedangkan kini saya direpotkan oleh permasalahan kaum muslimin, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl), sedangkan dia akan bertugas menertibkan persoalan mereka. [Riwayat Bukhâri]

Riwayat-riwayat ini semua menerangkan, bahwa honor dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang gres, akan namun, selama 14 masa lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini mengambarkan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang mesti memenuhi dua syarat, ialah hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun).

  Soal tematik kelas 1 Tema 7 Subtema 3 Kurikulum 2023 Revisi Lengkap Dan Kunci Jawaban

Oleh alasannya adalah itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya yakni Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, dia berkata: “Zakat honor yang berupa uang, perlu diperinci, kalau gaji telah ia terima, kemudian berlalu satu tahun dan sudah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun kalau gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan dia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”[11]

Fatwa serupa juga sudah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya: “Sebagaimana telah dimengerti bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) yakni berlalunya satu tahun semenjak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada honor pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah meraih satu nishab, baik honor itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya lainnya dan sudah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, alasannya adalah tolok ukur haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan duit) sudah ditetapkan dalam dalil, sehingga dilarang ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada simpanan gaji pegawai sampai telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]

Sebagai epilog goresan pena singkat ini, aku mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan kesepakatan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ منْ مَالٍ (رواه مسلم

Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.[HR. Muslim]

Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca mengerti tata cara penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305).
[2]. Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
[3]. Penentuan nishab emas dengan 91 3/7 gram, menurut keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas ialah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
[4]. Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan klarifikasi Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada aneka macam kitab dia, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.
[5]. Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129.
[6]. Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no. 9564.
[7]. Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
[8]. Sebagaimana ditegaskan pada keputusan pertemuan Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173.
[9]. Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
[10]. Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125.
[11]. Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
[12]. Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 anutan no. 1360.

Sumber: almanhaj.or.id