1.Apakah SVLK?
Melalui pembahasan multi-pihak sejak tahun 2003, kesudahannya pada bulan Juni 2009 Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.38/Menhut-II/2009 perihal Standard & Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari & Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan yg kemudian lebih diketahui selaku Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tersebut kemudian mulai berlaku sejak September 2009. Akhir 2011, peraturan dimaksud disempurnakan kembali dgn terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2011.
2.Mengapa Perlu SVLK?
Upaya Indonesia memberikan jaminan legalitas produk perkayuannya sejalan dgn kecenderungan pasar perkayuan utama dunia yg sudah mulai menuntut pemenuhan faktor legalitasnya. Pemerintah Jepang menerapkan Goho-wood atau Green Konjuho yg mengharuskan kayu yg diimpor berasal dr sumber-sumber legal. Pemerintah Amerika Serikat melaksanakan Amandemen terhadap Lacey Act yg dimaksudkan untuk menghindarkan importasi kayu-kayu illegal ke Negara tersebut. Uni Eropa dgn regulasi No. 995/2010 (Timber Regulation) mengharuskan supaya operator mempunyai bukti yg menyakinkan bahwa produk perkayuan yg mereka perdagangkan cukup bukan berasal dr sumber yg illegal.
3.Bagaimana SVLK beroperasi?
P.38/Menhut-II/2009 jo. P.68/Menhut-II/2011 mengamanatkan agar unit usaha Kehutanan memegang sertifikat pengelolaan hutan buatan lestari (PHPL), atau setidak-tidaknya akta legalitas. Sedangkan unit industri yg berbahan baku baku kayu, baik industri kayu primer maupun industri lanjutan, mesti menerima akta legalitas. Penilaian PHPL/Legalitas dilaksanakan dengan-cara independen oleh forum penilai/verifikasi yg diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), & diawasi pelaksanaannya oleh pengawas independen yg berasal dr LSM/penduduk madani. Sampai tamat tahun 2011 sudah dijalankan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) pada unit kelola/pemegang izin pada berbagai tpe pengelolaan hutan dgn total areal seluas kurang lebih 5,5 juta ha.
Verifikasi legalitas unit kelola hutan rakyat: 5 (lima) unit dgn luas kurang lebih 2000 ha; tersebar di Lampung Tengah (Koperasi Comlog Giri Mukti Wana Tirta), Gunung Kidul-DIY (Koperasi Wana Manunggal Lestari), Wonosobo-Jawa Tengah (Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat), Blora-Jawa Tengah (Gapokhanhut Jati Mustika), & Konawe selatan-Sulawesi Tenggara (Koperasi Hutan Jaya Lestari).
Verifikasi legalitas kayu (VLK) pula sudah dijalankan pada hutan alam, hutan flora dgn luas kurang lebih 800.000 ha & verifikasi legalitas kayu pula telah dilaksanakan pada 175 unit industry pengolahan kayu. Secara rinci, perkembangan dimaksud dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Penilaian Kinerja PHPL bagi HPH/IUPHHK Hutan Alam: 22 Unit, Total luas 3.030.278 ha
- Penilaian Kinerja PHPL bagi HTI/IUPHHK Hutan Tanaman: 23 Unit, Total Luas 2.401.650 ha
- Verifikasi legalitas di HPH/IUPHHK Hutan Alam: 4 Unit, Total Luas 461.164 ha
- Verifikasi legalitas di HTI/IUPHHK Hutan Tanaman: 1 Unit, Total Luas 350.165 ha
- Verifikasi Legalitas di Industri Pengolahan Kayu: 175 Unit
4. Apa kaitan SVLK dgn VPA?
Uni Eropa sudah mengadopsi Timber Regulation untuk menghalangi beredarnya kayu illegal di pasar eropa. Timber Regulation akan mulai efektif berlaku sejak Maret 2013. Mulai saat itu import produk kayu ke Negara-negara anggota Uni eropa yg berasal dr Negara-negara yg ditengarai terjadi illegal Logging akan dilakukan due diligence untuk menhindari masuknya kayu-kayu illegal ke pasar Uni Eropa. Due diligence & Timber Regulation tak berlaku manakala sebuah Negara eksportir kayu mirip Indonesia menandatangani Voluntary Partnership Agreement (VPA) dgn Uni Eropa.
5. Bagaimana kesesuaian SVLK & VPA?
Sejak empat tahun, Indonesia & Uni Eropa telah melakukan perundingan mengenai VPA. Tiga kali pertemuan tingkat Pejabat Tinggi (SOM), tujuh kali pertemuan teknis (Technical Working Group) & tujuh kali pembahasan pada level expert telah dilaksanakan. Melalui konferensi Senior Official Meeting ke tiga (terakhir) di Brussel pada April 2011 dicapai persetujuan atas dokumen-dokumen VPA beserta ke 9 annexnya dgn SVLK sebagai tata cara yg akan diterapkan untuk pertanda legalitas kayu-kayu Indonesia. Hingga Februari 2012 seluruh proses penyempurnaan dokumen (legal scrubbing) sudah dilaksanakan. Pihak Uni eropa akan menerjemahkan seluruh dokumen dimaksud ke dlm bahasa-bahasa Negara anggota Uni Eropa untuk mengawali proses pengesahan.
6. Kapan perundingan VPA dapat diselesaikan?
Setelah konferensi 15 April di Kantor Komisi Eropa-Brussel, dijalankan pemarafan (initialing) perjanjian FLEGT-VPA oleh Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan & Karel De Gutch, Eu Trade Commisioner terselenggara pada 4 Meri 2011 di Jakarta. Dengan demikian Indonesia menyusul Negara-negara Afrika (Ghana, Kamerun, Kongo) yg telah apalagi dahulu menandatangani VPA dgn Uni Eropa. Indonesia ialah Negara Asia pertama yg mempunyai VPA, karena perundingan Malaysia & Vietnam dgn Uni Eropa belum memperlihatkan pertumbuhan bermakna.
7. Apa laba menandatangani VPA?
Dengan ditandatangani VPA, semua kayu ekspor dr Indonesia ke Negara-negara Uni Eropa akan dianggap tak memiliki unsure illegal berdasarkan Regulasi Kayu Eropa (EU Timber Regulation) & pula tak akan melalui proses kepatuhan (Due Diligence assessment), menghemat waktu & biaya. EU timber Regulation mempunyai klausul spesifik untuk mengenali kayu-kayu yg berasal dr Negara-negara penandatanganan VPA selaku kayu & produk kayu legal. Hal itu pula menambah keyakinan diri dr importer Negara-negara EU atas kayu & produ kayu Indonesia. Sehingga, lebih mempesona disbanding dgn kayu-kayu yg berasal dr Negara-negara yg belum menandatangani VPA. Hal yang lain di bawah perjanjian VPA semua kayu Indonesia yg telah terverifikasi akan mempunyai keistimewaan dlm proses pinjaman izin V-Legal, yg pula mampu dipakai selaku jaminan legalitas pada pasar-pasar lain seperti Amerika Serikat, Jepang, & Australia. Dokumen V-Legal tersebut dapat dipakai pada pasar lainnya, tak cuma ke Negara tujuan Eropa untuk memajukan reputasi kayu ekspor Indonesia.
8. Bagaimana dgn endorsemen oleh BRIK?
Melengkapi peraturan mengenai SVLK, lewat koordinasi dgn Kementrian Perdagangan, Kementrian Perindustrian, Ditjen Bea & Cukai, KAN, para asosiasi & beberapa pihak lainnya termasuk perwakilan LSM, ketika ini Indonesia sedang dlm tahap selesai pengembangan rancangan peraturan yg menggantikan peran, fungsi & mekanisme Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK) sebagai Lembaga endorsemen ekspor produk perkayuan Indonesia. Selama ini, tata cara ekspor produk perkayuan dikelola melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. P.20/2009. Kemudian dgn keputusan Mendag No. Kep 405/2009 BRIK diberikan mandat untuk melakukan endorsemen kepada 11 HS produk Kehutanan. Karena SVLK dinilai jauh lebih memiliki kredibilitas & keberterimaan di pasar kayu Internasional sebagai suatu system yg dengan-cara independen menerangkan legalitas produk perkayuan Indonesia lewat verifikasi manajemen & fisik di lapangan, maka peraturan Menteri Perdagangan tersebut akan segera direvisi.
9. Bagaimana penerapan “V-Legal Document” menuju berlaku penuhnya FLEGT VPA untuk pasa Eropa & Non Eropa pada tahun 2013?
Penerapan SVLK bersifat Wajib/Mandatory bagi unit tata kelola hutan maupun unit industri. Setiap produk yg akan diekspor mesti dibarengi V-Legal dokumen yg akan dikeluarkan oleh forum verifikasi. Waktu penerapan V-Legal document diputuskan dr berlakunya revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. P.20/2009, yg bila diasumsikan hasil revisi tersebut terbit pada akhir April 2012, maka pemberlakuan V-Legal Document diperkirakan mulai Juli 2012.
Sejak Juli 2012 itulah, sebuah industri yg akan mengekspor produknya sudah wajib lewat proses verifikasi legalitas sehingga dimungkinkan mendapat V-Legal document. Jika suatu industri belum terverifikasi legal dibutuhkan inspection yg dijalankan oleh lembaga Verifikasi biar produknya mampu di ekspor.
Untuk masa dimana EU Timber Regulation berlaku pada Maret 2013, seluruh Ekspor ke Negara tujuan Uni Eropa mesti lulus verifikasi legalitas agar dapat memperoleh FLEGT License.
Sumber: Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme