Sistem Seksualitas, Orang Jawa – Batak Pada Politik Ekonomi Kota Pontianak – Jakarta 2008

Memahami masyarakat kota, akan di pahami dengan adanya seksualitas, dimana donasi masyarakat kota dalam hal ini adanya “tahu seksualitas untuk datang urbanisasi” Hal ini menerangkan adanya, tata cara dinamika budaya di penduduk lokal, pada budaya seksualitas dan mata pencahariaan 2008 – 2018, di Pontianak, Kalimantan Barat.

Hal ini menjelaskan pembangunan insan di Kota Pontianak, berdasarkan hasil seksualitas Sihombing – Marpaung di Pontianak, dengan banyak sekali hal terhadap kelas sosial mereka, dan situasi kelas sosial, yang menyimpang dan hilang akan budaya malu (peler) mereka selaku orang lokal, Indonesia.

Menjelaskan banyak sekali pekerjaan mereka terhadap aspek kehidupan sosial, budaya dan agama yang menjelaskan masalah terhadap dinamika budaya yang berperan dalam sistem budaya politik budaya, pada periode pemerintahan Sutarmidji M.H.

Berbagai acara yang dijadwalkan dalam hal ini, baik di ketahui dengan kelas sosial, yakni perjuangan kelas, dan tata cara kebringasan suku setempat di Indonesia, yakni Batak (makan orang). Menjelaskan berbagai aspek medis, dengan seksualitas masyarakat Jawa, pada kelompok wong cilik.

Untuk naik pada abad itu, terang bagaimana perebutan kekuasaan, kelas sosial, dan lainnya dalam hal ini dipahami dengan menyimpang kepada pembangunan manusia di Kalimantan Barat, terperinci terjadi hasil dari seksualitas yang dihasilkan. 

Dengan banyak sekali kajian medis yang menyimpang, ungkapan kata numpang hidup di perkotaan pada masyarakat Tionghoa (hukum)  – Batak – Jawa, hasil usaha kelas sosial, berlindung pada kecurangan hukum di Indonesia, sebagai makan orang, 1930an – 2008.

Nalar, dalam hal ini tidak mampu di dapatkan, tetapi konflik seksualitas sengaja di ciptakan, bahkan atau direncanakan oleh petugas partai politik PDI Perjuangan, dan persekolahan Gembala Baik, menjelaskan hal ini di Pontianak, Kalimantan Barat.

  Hukum Mendel: Pewaris Sifat Induk Kepada Turunan

Kepentingan politik, pekerjaan, dan usaha kelas, sudah menjadi drama kehidupan alasannya kedua orang bau tanah, tidak bisa menyekolahkan, bahkan memakai agama Katolik – Protestan terhadap injil dalam kitab, semasa berpindah agama.

Berbagai pertentangan sosial, dimulai dengan adanya kepentingan masyarakat secara biasa , dimulai di daerah publik utamanya warung kopi, orang Tionghoa – Dayak yang memiliki kepentingan setiap tempat dan politik kota, juga menjadi brutal di masyarakat, termasuk pada pendidikan di setempat, Kalimantan Barat, begitu bobrok dan hilang kualitas sebagai insan atau hewan (Sihombing, Silaban dan Lai).

Bagaimana mereka hidup di tembok agama, dan kepentingan ekonomi serta medis pada agama  Kristen – Protestan – Islam di Indonesia, selaku orang Lokal di Kalimantan Barat, sampai saat ini, prilaku dan karakteristik menjijikan, pada tempat perkotaan – pedesaan, guna memanggil simpati sebagai binatang.