Kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah yang berasal dari simpulan dalil Al-Alquran dan sunnah berdasarkan rumusan ulama’ terkait aturan – hukum fiqh. Ada aneka macam kaidah fiqh yang dihasilkan oleh para ulama. Namun, ada 5 kaidah biasa yang utama. Lima kaidah ini sering disebut sebagai al-qawaid al-fiqhiyah al-kubra. Dari 5 kaidah memiliki turunan kaidah lanjutan sebanyak 40. Kaidah yang pertama adalah
الامور بمقاصدها
“ Setiap perbuatan itu bareng dengan maksudnya/niatnya “
Kaidah di atas didasarkan pada hadis Rasulullah SAW berikut :
انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى (رواه البخارى)
Artinya: Nabi Saw bersabda : Sesungguhnya semua perbuatan itu bersama dengan niatnya, dan untuk setiap tindakan itu tergantung dari niatnya (HR. Bukhari)
Tamsil atau penerapan kaidah yang pertama ini sebagaimana hal-hal berikut :
- Berwudhu itu mesti dengan niat, seperti itu pula mandi wajib, sholat dan puasa. Rutinitas biasa mampu dibedakan dengan acara ibadah dengan menyaksikan tujuan dan niatnnya, sama kegiatannya tetapi disebabkan beda niat maka beda pula efek pahala yang di dapatkannya. Seorang yang mandi wajib dan mandi pagi, kegiatan mandinya sama. Namun, tujuannya pasti sangat berlainan. Yang pertama menetralisir hadas besar, dan yang kedua membersihkan dan menyegarkan badan.
- Jika dia melaksanakan tindakan yang hukumnya Mubah, tetapi beliau beri’tikad bahwa dia melakukan perbuatan yang tidak halal, mirip ketika seseorang menggauli seorang perempuan dan dalam hatinya menyatakan bahwa perempuan itu bukan istrinya, dan beliau sedang melakukan tindakan zina, walaupun ternyata perempuan itu yaitu istrinya, maka perbuatan itu tetap haram.
- Ketika seseorang berencana dalam makan dan minum itu untuk menguatkan dalam beribadah, maka dia akan mendapatkan pahala, bila tidak diniati maka dia tidak akan mendapatkan pahala. Makan dan Minum saban hari dijalankan oleh hampir setiap orang perdetik maupun permenitnya, kesamaan kata makan dan minum jika disertai dengan niat yang bermacam-macam, maka berfariasi pula balasannya.
- Orang yang memeras anggur itu juga tergantung tujuan/niatnya untuk dijadikan cuka atau khamer (minuman keras). Satu aktifitas memeras anggur, dapat menimbulkan aturan melakukannya berbeda. Bila tujuannya untuk buat cuka, maka boleh. Namun bula tujuannya untuk buat khamar, maka dihentikan bahkan tidak boleh.
- Tidak mengatakan dengan orang lain diatas 3 hari itu hukumnya haram, jikalau diniati, tetapi jika tanpa ada niat untuk itu maka hukumnya tidak haram. Percakapan yang terjadi antar insan menjadi bab dari komunikasi antar sesama. Pecakapan itu memerlukan musuh bicara, dan kita dapat saja menentukan musuh bicaranya. Problemnya yaitu bila A tidak berbicara pada B alasannya adalah faktor pertengkaran yang selama 3 hari saling menghidar untuk mengatakan, maka mampu berujung pada dosa. Namun kalau A dan B tidak saling kenal, maka keduanya juga tidak akan ada komunikasi, tetapi yang berbeda yaitu ketidak adaan kominukasi tersebut bukan disebabkan niat untuk menghidari bicara, melainkan suatu kelaziman disebabkan tidak adanya alasan untuk berbicara (tidak ada motif apapun).
- Tidak memakai wewangian dan berhias diri diatas 3 hari alasannya berkabung atas akhir hayat seseorang yang bukan suaminya itu hukumnya haram, jikalau dia bertujuan untuk turut berduka cita, jikalau tidak ada niat itu, maka tidak apa-apa. Seseorang yang tidak berhias diri sehingga terlihat penampilan arukan dengan niat berkabung untuk seorang yang bukan suaminya, maka hal tersebut tidak mampu dibenarkan.
- Jika seseorang mengambil harta orang lain yang punya hutang kepadanya dengan niat untuk bayar hutang orang itu kepadanya dan juga dengan niat maling, maka ia tidak terkena hukuman potong tangan untuk niat yang pertama, tetapi hanya pada niat yang kedua. Bila A berhutang pada B dalam jangka waktu lama, tetapi dengan sengaja tidak melunasinya diikuti kemampuan untuk melunasi. Maka kalau Si B mengambil harta si A dengan niat mengambil harta yang telah dihutanyai si A maka tidak dihukumi mencuri.
- Tentang Kinayah (sindiran) Thalaq dan selain thalaq, dikala seorang suami berkata pada istrinya : “Kamu adalah wanita yang tak punya suami”, jikalau beliau berniat untuk menjatuhkan thalaq maka jatuhlah thalaqnya itu kepada istrinya, namun bila tidak, maka tidak apa-apa. Hal ini terjadi pada tholak yang tidak shorikh (tidak jelas), semacam kata kinayah sebagaimana perkataan di atas.