Sepenggal Kisah Aku dan Ayah

Kehilangan adalah hal yg paling tak di kehendaki oleh siapapun. Entah itu kehilangan barang, harta, jabatan atau kehilangan orang yg paling kita cintai dlm hidup. Dialah sosok yg senantiasa ada sekalipun kini sudah tiada, ayah. 

Ayah, begitulah caraku memanggilnya. Entah hari ini, besok, beberapa puluh tahun lagi atau bahkan selamanya ayah tetaplah ayah. Aku kehilangan sosoknya tatkala berusia 15 tahun.

Waktu kebersamaan gue dengannya berlalu begitu cepat. Rasanya gres kemarin, masih bisa tertawa bareng . Kini yg tersisa cuma kenangan.

Daftar Isi

Kisah Itu Bermula …

Ada sepenggal kisah yg kulalui bersama ayah tatkala ia masih ada di dunia ini. Bermula dr kejadian beberapa tahun yg kemudian, muncul benjolan kecil di leher ayah.

Awalnya masih belum terasa sakitnya, benjolan cuma sekedar benjolan. Rupanya benjolan itu selama beberapa hari belum menghilang,masuk akal saja jika membuat ibu begitu cemas. Seketika itu juga, ibu meminta ayah untuk periksa dgn benar. 

Ayah yg karakternya memang sedikit kalem, mengiyakan saja undangan ibu tanpa melaksanakannya. Sebulan berlalu, benjolan di leher ayah masih menetap & enggan pergi. Justru benjolannya berkembang sedikit lebih besar dr yg sebelumnya.

Ibu & pula nenek kian khawatir, berkali-kali ibu meminta ayah periksa dgn benar. Seperti sebelumnya, lagi-lagi ayah hanya mengiyakan saja tanpa melaksanakan perintahnya.

Kunjungan Di Pondok

Pagi itu tepat di hari jum’at ayah & kakakku mengunjungiku di pondok pesantren. Selama mengunjungiku tak lupa kami saling bertukar kisah. Aku mulai menceritakan keluhanku selama di pondok, kemudian ayah memberiku saran sembari menasehatiku.

Meskipun, gue berada di pondok tak dlm kurun waktu yg sebentar, tetap saja setiap kali ayah mengunjungi selalu ada perasaan ingin ikut kembali ke rumah. Hari itu, yg menjadi pusat perhatianku yaitu leher ayah yg semakin usang makin membengkak. Sebagai anak yg jauh dr orang tua, pastinya kegelisahan akan kesehatan ayah selalu membersamai. 

Aku mencoba menanyakan, namun dgn santainya ayah bilang kalau seluruhnya akan baik-baik saja. Nanti pula akan mengecil dgn sendirinya, begitu katanya. 

Memang selama di pondok pesantren, yg sering mengunjungiku yaitu ayah. Ibuku nyaris tak pernah mengunjungiku di pondok. Jadi selama setahun gue & ibuku hanya bertemu dua kali, itupun cuma beberapa hari saja selama piknik pondok.

Tiga Bulan Berlalu …

Tiga bulan berlalu, rupanya benjolan di leher ayah kian membengkak. Kira-kira sebesar bola kasti. Hari itu, gue sedang menikmati piknik pondok di rumah. Namun, kali ini rasanya sedikit berbeda tak seperti liburan sebelumnya. 

Aku cuma menghabiskan waktu di rumah, lantaran memang saat itu ibu & ayah fokus untuk melaksanakan pengobatan terhadap  penyakit ayah. Mereka lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah untuk berobat kesana kemari demi kesembuhan ayah. Sementara kakak yg dikala itu kuliah di luar kota, membuat rumah terasa sangat sepi. 

Jujur saja, selama ini ayahlah yg paling bersahabat denganku dlm keluarga. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dgn ayah di banding dgn ibu walau cuma sekedar untuk menceritakan mimpi-mimpiku di masa depan. 

 Ayah pula yg memaksaku dgn sarat harap semoga gue masuk pesantren. Entah apa yg ketika itu membuat ayahku tiba-tiba menghampiriku sembari mengajukan pertanyaan padaku. “ Sha, nanti gimana kalau sewaktu-waktu ayah nggak ada? ” dgn cepatnya gue menjawab “ya nggak papa, kalau memang sudah takdirnya”. “Memang Shasa siap jadi anak yatim?” balas ayah. “ya siap-siap aja, kalau memang sudah kehendaknya”.

Aku masih ingat, saat itu senyum kecil ayah menghiasi parasnya. Kepuasan ayah dgn jawabanku amat terlihat dr sorot wajahnya. Sembari menahan tangis, gue mulai ke ruang belakang untuk menumpahkan air mataku supaya tak terlihat kesedihanku. Anak mana yg sanggup menahan tangis untuk pertanyaan semacam itu?. 

Waktu terlalu singkat, gue mulai kembali ke pondok. Melakukan rutinitasku mirip biasa di pondok. Selama di pondok tak lupa gue terus berkomunikasi dgn ibu & ayah. Saling menanyakan kabar masing-masing. Kondisi ayah saat itu memang kian memburuk karena benjolan yg semakin membesar, membuat ayah kesulitan untuk menelan masakan.

Bahkan untuk makan saja, harus betul-betul di pastikan dahulu bisa telan & dicerna dgn baik atau tidak. Jadi waktu itu, ibu memberikan kalau ayah saban hari makan bubur lantaran untuk makan nasi cukup kesulitan. 

Tidak henti-hentinya ibu mengingatkanku untuk selalu mendoakan semoga ayah secepatnya sembuh mirip dahulu. Ayah pula enggan berbicara denganku, hambatan ayah bukan hanya pada kesulitannya untuk menelan makanan namun pula kesusahan untuk berbicara.

Setelah usang bercerita, ibu pula memberikan kalau penyakit  yg di alami ayah adalah kelenjar getah bening. Setiap minggu ayah berkala cek kesehatan ke dokter seorang ahli penyakit dalam. Aku yg dikala itu mendengar semua kisah ibu cuma dapat menahan rasa sedih dgn kondisi ayah yg sekarang.

Liburan Yang Berbeda

 Hari ini, gue kembali pulang kerumah karena liburan di bulan puasa. Aku bersyukur bisa pulang kerumah selain lantaran mampu berkumpul dgn keluarga, gue pula bisa mengawasi kondisi kesehatan ayah.

Saat masuk kerumah, ayah & ibu menyambutku dgn senyuman. Aku menyaksikan kondisi ayah yg makin menurun akhir besarnya kelenjar di lehernya. Seperti biasa, yg menjadi pertanyaan ayah saat pertama kali berjumpa yakni bagaimana keadaanku, kegiatanku di pondok, ada kitab yg perlu dibelikan atau tidak?. 

Karena ini piknik sehabis haflah pula libur ramadhan, yg ditanyakan ayah pula yaitu hasil nilai rapotku di kelas diniyah. Sambil gue tunjukkan hasil nilainya, ayah pula menasehatiku. 

Selang beberapa hari setelah gue berada di rumah, kondisi ayah kian memburuk. Kali ini, ayah sudah tak mampu berjalan lagi mirip biasanya. Jangankan berlangsung, duduk saja sudah tak sanggup. Ayah hanya berbaring di daerah tidur.

Aku menyaksikan betapa setianya ibu yg merawat ayah dgn sarat keteguhan, tanpa sedikitpun mengeluh. Ramadhan kali ini sungguh berlawanan dgn sebelumnya, momen ramadhan yg senantiasa di tunggu-tunggu untuk merasakan hangatnya berkumpul, berbuka & sahur bersama tak kurasakan dlm keluargaku.

Terkadang sesekali gue menangis, melihat kondisi ayah yg semakin lemah pula ibu yg cuma fokus mengamati kondisi ayah saja. Tidak dgn kondisinya. Ibu jarang makan semenjak ayah hanya berbaring di tempat tidur, untuk berbuka saja mungkin hanya makan 2-3 sendok saja. Belum lagi kalau malam hari ayah meronta-ronta lantaran kesakitan. Semakin menciptakan ibu cemas & cemas.

Seluruh keluarga sudah meminta ayah agar dirawat ke rumah sakit, namun ayah menolak & meminta rawat jalan. Beberapa kali keluarga bergantian untuk membujuk ayah supaya mau di bawah ke rumah sakit. Tetap saja ayah menolak.

Pesan Terakhirnya …

Hari itu, kakakku ada di rumah. Aku yg seperti lazimmengawalayah di kamar untuk berjaga-jaga jikalau sewaktu-waktu ayah memerlukan sesuatu. Kakakku yg di ruang tengah & ibuku yg di belakang untuk mengolah makanan buka puasa. 

Ayah memintaku memanggil abang. Aku & abang kemudian di kamar ayah, sembari terbata-bata ayah berpesan ke kakak “Nak, nanti kalau ayah sudah tak ada jangan tinggalkan sholat, yg sayang ke adikmu” raut tampang kakak seolah berganti seperti sedang menahan kesedihan yg ingin di tumpahkan. Kemudian ayah pula berpesan padaku untuk jangan lewati sholat & yg nurut ke kakak. 

Jujur saja, pesan ayah dikala itu gue anggap selaku pesan biasa. Karena ayah cukup sering pula memberikan pesan baik pada gue & kakak. Sedikitpun gue tak ada firasat bahwa pesan ayah saat itu merupakan pesan terakhirnya.

Masa liburan telah usai, saatnya kembali ke pondok, dgn berat hati gue kembali ke pondok walaupun bahwasanya gue masih ingin di rumah menemani ayah. Seperti umumnya komunikasi gue & ibu tetap untuk mengetahui kondisi ayah.

Pagi itu, ibu menelpon memberikan kalau kondisi ayah sudah membaik, bahkan ayah sudah mulai menyantap nasi kembali. Kelenjar di leher ayah pula sudah mulai mengecil bahkan tak tersisa. Rasa senang menyelimuti hatiku, gue bersyukur sekali jikalau memang benar kondisi ayah pulih & sembuh seperti sebelumnya. Aku pula memberikan bahwa besok gue akan pulang dgn beberapa guru di sekolah yg ingin menjenguk ayahku.

Malam Terakhirnya …

from pixabay.com

Bel kunjungan berbunyi, tak gue sangka bahwa yg di panggil adalah namaku. Aku yg ketika itu selesai sholat secepatnya bergegas ke depan. Aku sedikit heran, alasannya adalah tak umumnya dikunjungi di malam hari lantaran memang jarak rumahku & pondok sedikit jauh. 

Sambil menuju kedepan untuk melihat siapa yg mengunjungiku, terselip perasaan cemas. Rupanya pamanku yg mengunjungiku. Paman yg kawasan kerjanya erat dgn pondokku berkata bahwa ia diminta ibu untuk menjemputku.

Beliau pula berkata, bahwa tak tahu apa yg terjadi di rumah. Intinya beliau hanya diminta untuk menjemputku. Langsung saja pamanku menuju pengasuh pondok untuk izin membawaku pulang.

Perasaanku benar-benar berantakan dikala itu, gue lebih menimbang-nimbang kemungkinan-kemungkinan yg terjadi. Sambil bertanya pada diriku sendiri apa yg terjadi. Sepanjang perjalanan gue tak henti-hentinya berdoa, meminta semoga semuanya baik-baik saja, biar tak ada hal buruk yg terjadi.

Setelah hingga di rumah, tampakdi ruang depan tanteku yg sedang menangis memelukku sambil berkata yg tabah ya sha. Saat itu pula tubuhku mulai lemas, gue tak mampu berkata-kata lagi selain air mataku yg jatuh seolah mewakili perasaanku saat itu. 

Tatapanku kosong sambil menitihkan air mata, dgn sekuat tenaga gue mulai berjalan menuju kamar ayah. Ada ibu dgn mata yg lembap mengatakan bahwa ayah telah tiada, gue masih menyaksikan sosoknya terbaring hening di antara kami. Tidak ada yg hilang dr diri ayah. Senyumnya masih menempel di bibirnya. 

Aku kemudian berada di samping ayah, sambil memegang tangannya. Sesekali  berkata dlm hati meminta ayah agar kembali. Kakakku yg berada di sampingku menepuk bahuku sambil berkata yg besar lengan berkuasa ya. 

Sekian ahad setelah kepergiannya, barulah gue merasa kehilangan yg teramat dalam. Saat-saat itulah rasa rinduku pada ayah menggebu dlm dadaku. Rindu melihat senyum & tawanya, rindu bercerita dengannya. Dan kini senyum & tawa itu hanya  bisa kulihat pada lembaran berbingkai yg kupajang di tembok kamarku.

Untukmu, yg senantiasa ku rindukan

  Tanpa Sosok Ayah