Perlu kolaborasi yang baik antara orang tua dan guru saat mendidik seorang anak. Ketika menyekolahkan anak, maka orang renta harus mempercayai sekolah dan guru yang diamanahi. Sedangkan guru harus bisa menerimanya dan berupaya memperlihatkan ilmu sebaik mungkin terhadap anak tersebut biar orang renta murid bangga.
Namun, remaja ini tak jarang kita jumpai kasus perseteruan antara orang bau tanah murid dan guru. Hal ini jelas tidak dibenarkan alasannya adalah bagaimana pun keduanya harus berjalan beriringan.
Sebuah dongeng antara guru dan orang tua murid pernah dialami Syekh Abdul Qadir Jaelani. Kala itu, dia memiliki seorang murid yang dididik dengan penuh kesabaran. Bahkan, mereka kerap makan bareng layaknya sebuah keluarga.
Suatu dikala, ada seseorang yang tidak suka dengan Syekh Abdul Qadir Jaelani dan bermaksud untuk memfitnahnya. Pada sebuah malam, seorang yang tidak baik itu membuat sebuah lubang di dinding rumah Syekh Abdul Qadir Jaelani. Lubang itu digunakannya untuk mengintip aktivitas Syekh Abdul Qadir dengan muridnya di dalam rumah.
Ketika mengintip, didapatilah Syekh Abdul Qadir bersama muridnya sedang makan bersama. Syekh Abdul Qadir Jaelani yang senang dengan lauk ayam kemudian menyisakan separuh ayamnya untuk dibagikan kepada muridnya.
Namun, apa yang dilakukannya itu justru menjadi celah bagi orang yang berniat jahat itu untuk mampu memfitnahnya. Orang itu kemudian menemui ayah dari si murid dan mengadu dengan penyampaian yang keliru.
Benarkah engkau yang memiliki anak yang sedang belajar kepada Syekh Abdul Qadir Jaelani? tanya orang jahat itu.
Iya benar, jawab singkat sang ayah.
Tahukah engkau, Syekh Abdul Qadir Jaelani memperlakukan anakmu mirip seekor kucing, kata si orang jahat.
Ayah murid yang terpancing emosi lantas bergegas menuju Syekh Abdul Qadir Jaelani untuk meminta kembali anaknya. Dalam perjalanan pulang, sang ayah menjajal menanyakan ilmu apa saja yang sudah didapatkan dari Syekh Abdul Qadir. Tak disangka, sang anak justru menjawab pertanyaan ayahnya dengan teliti dan sempurna.
Atas hal itu, sang ayah kemudian menyesal dan menjajal menyerahkannya kembali kepada Syekh Abdul Qadir Jaelani. Namun sayang, Syekh Abdul Qadir enggan menerima kembali muridnya tersebut.
Bukannya aku tak ingin menerimanya lagi, namun Allah sudah menutup pintu hatinya untuk menerima ilmu. Allah sudah menutup futuhnya untuk mendapat ilmu karena ayahnya tak mempunyai akhlak terhadap guru. Oleh sebab itu, anak lah yang menjadi korban, jawab Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Para ulama dalam hal mencari ilmu bersepakat bahwa orang renta juga harus menghormati guru alasannya merekalah sumur sebuah ilmu wawasan.
Banyak ulama berwasiat, Satu prasangka jelek saja kepada gurumu, maka Allah haramkan seluruh keberkatan yang ada pada gurumu kepadamu.
Wallohu a’lam