1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim pada awal dakwahnya menggunakan pendekatan kekeluargaan dengan menawarkan putrinya untuk diperistri Raja Majapahit. Upaya ini rupanya tidak sukses, alasannya adalah belum sampai tujuan, rombongan terkena serangan penyakit hingga banyak yang meninggal. Namun demikian tantangan ini rupanya tidak menyurutkan tekad Maulana Malik Ibrahim untuk berdakwah untuk mengislamkan kerajaan Majapahit.
Pada langkah selanjutnya Maulana Malik Ibrahim mengambil jalur pendidikan dengan mendirikan pesantren. Dinamakan pesantren karena ialah kawasan belajar para santri. Upaya pendidikan di pesantren oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim dimaksudkan untuk menampung dan menjawab urusan-persoalan sosial keagamaan serta mengumpulkan santri.
Karena janji dan konsistensinya dalam mendakwahkan Islam, Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai “Bapak (Ayah) Spiritual Walisanga”.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmatullah)
Dalam tahap permulaan misi dakwahnya, Sunan Ampel membangun pesantren di Ampel Denta, erat Surabaya. Pada pesantren yang diasuhnya Sunan Ampel mendidik kader-kader da’i yang lalu disebar ke seluruh Jawa.
Sunan Ampel sudah mendidik murid-murid yang terkenal antara lain Sunan Bonang dan Sunan Drajat yang tak lain keduanya adalah putra Sunan Ampel sendiri, Maulana Ishak, Sunan Giri, dan Raden Patah (Sultan Demak). Sunan Ampel diketahui selaku negarawan, tokoh yang mempunyai ide dan perencana berdirinya kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
Menurut bukti sejarah Sunan Ampel sebagai orang yang mengukuhkan Raden Fatah selaku sultan pertama Kesultanan Demak Bintoro. Pada alhasil kesultanan Demak Bintoro menjadi pusat penyebaran Islam ke seluruh daerah Indonesia. Kesultanan Demak Bintoro mengakibatkan masjid selaku sentra aktivitas kemasyarakatan. Masjid Masjid Demak didirikan pada tahun 1478 yang diprakarsai oleh Sunan Ampel bareng dengan para Walisanga.
3. Sunan Bonang (Raden Maulana Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang sangat memperhatikan tradisi dan budaya penduduk yang telah berkembang. Saat itu penduduk Jawa mempunyai hobi kepada seni pewayangan yang ceritanya diambil dari pemikiran Hindu dan Budha. Para wali berusaha keras untuk mewarnai dan menggubah pedoman penduduk pada ketika itu dengan menciptakan tembang atau syair yang berisi fatwa tauhid dan peribadatan.
Setiap bait senantiasa diselingi dengan syahadatain (dua kalimat syahadat), sehingga kita sekarang mengenal gamelan sekaten, adalah pengucapan penduduk Jawa terhadap syahadatain. Salah satu tembang ciptaan Sunan Bonang yakni tembang durma, sejenis macapat yang menggambarkan suasana tegang, bengis, dan sarat amarah dalam kehidupan dunia yang fana.
Karya yang berbentukcatatan-catatan pengajaran Sunan Bonang diketahui dengan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang. Suluk atau primbon hasil karya Sunan Bonang berbentuk prosa dalam gaya Jawa, tetapi penggunaan kalimat-kalimatnya berbagai dipengaruhi bahasa Arab. Diantara karya lainnya, ialah Sekar Damarwulan, Primbon Bonang I dan II, dan Serat Wragul.
4. Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan luas, berpikiran tajam, intelek, pandai, kreatif, ivovatif dan dinamis, serta berasal dari suku Jawa asli. Dalam menyebarkan dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak menetap di sebuah daerah. Raden Mas Syahid selalu berkeliling dari satu kawasan ke daerah lain, sehingga kawasan dakwah Sunan Kalijaga sangat luas.
Raden Mas Syahid dianggap bisa menerapkan sistem dakwah yang pintar dan konkret, banyak orang dari golongan aristokrat dan cendekiawan menawarkan hormat dan simpati terhadapnya, mudah diterima oleh semua golongan penduduk , mulai rakyat bawah sampai kelompok atas bahkan para penguasa.
Sunan Kalijaga selaku orang yang paling berjasa memakai pendekatan kultural dalam berdakwah, tergolong di antaranya wayang dan gamelan sebagai media dakwah. Sunan Kalijaga mengarang banyak sekali dongeng wayang yang Islami, terutama yang bertemakan adab atau budi pekerti. Hobi masyarakat Jawa kepada wayang mampu dimanfaatkan Sunan Kalijaga sebagai media membuatkan dakwah Islam.
Dalam bidang budaya Sunan Kalijaga membolehkan pembakaran kemenyan (untuk mengharumkan ruangan). Semula pembakaran kemenyan menjadi sarana dalam upacara penyembahan para yang kuasa tetapi oleh Sunan Kalijaga fungsinya diubah sebagai pengharum ruangan saat seorang muslim berdoa. Dengan situasi ruangan yang harum itu, diperlukan do’a dapat dilakukan dengan lebih khusyuk.
Sunan Kalijaga juga populer selaku seniman, ahli dalam seni bunyi, seni ukir, kesusastraan seni busana, dan seni pahat. Salah satu hasil karya Sunan Kalijaga ialah dalam seni batik, corak batik yang diberi motif burung ialah buah karya Sunan Kalijaga. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukila.
Kata tersebut ditulis dalam bahasa Arab menjadi qu Artinya jagalah dan qila artinya diucapkan dan bila digabungkan maka tujuannya ialah “peliharalah upacanmu sebaik-baiknya”, yang menjadi salah satu aliran etnik Sunan Kalijaga lewat corak batik.
5. Sunan Giri (Raden ‘Ainul Yaqin)
Sunan Giri mendirikan pesantren di tempat Giri selaku basis dalam membuatkan dakwah Islam. Dan mayoritas santrinya yang diasuh berasal dari masyarakat kalangan ekonomi tidak mampu. Dari pesantren milik Sunan Giri ini lahir da’i-da’i yang kemudian mereka memberitakan agama Islam ke luar Pulau Jawa, seperti Madura, Ternate, Bawean, Kangean, dan Tidore.
Sunan Giri populer selaku seorang pendidik yang mampu menerapkan sistem permainan yang bersifat agamis. Karya- karyanya berbentukpermainan atau tembang bawah umur di antaranya Gula Ganti, Jamuran, Jelungan, Jor, dan Cublak-cublak Suweng. 6. Sunan Drajad (Raden Qasim)
Raden Qasim (Sunan Drajat) melaksanakan dakwah dengan menciptakan pusat mencar ilmu agama Islam di Lawang dan Sedayu pedukuhan Drajad masuk kawasan kabupaten Lamongan sekarang. Dalam bidang kesenian ia menggubah tembang Jawa macapat pangkur dan juga memainkan wayang sebagai dalang.
Gamelan Singo Mangkok yang masih tersimpan di museum makam Sunan Drajad sebagai bukti bahwa beliau berdakwah lewat kesenian. Selain kesenian Sunan Drajad dikenal sungguh gemar memberi dan berjiwa sosial tinggi, ia membuat pepali pitu (tujuh ajaran) yang menjadi pijakan kehidupan bermasyarakat.
Pertama, memangun resep tyasing sasama (kita senantiasa membuat senang hati orang lain).
Kedua, jroning suko kudu eling lan waspodo (dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan dan senantiasa berhati-hati).
Ketiga, laksitaning Subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah. (dalam upaya mencapai keinginan luhur jangan menghiraukan rintangan).
Keempat, meper hardening pancadriya (selalu berjuang menekan gejolak nafsu inderawi).
Kelima, heneng-tenang-henung (dalam diam akan diraih keheningan dalam hening akan mencapai jalan kemuliaan).
Keenam, Mulya guna panca waktu (kemuliaan lahir batin diraih dengan menjalani salat lima waktu).
Ketujuh, wenehono teken mawang wong kang wuto (berikan tongkat pada orang yang buta), wenehono mangan marang wong kang luwe (berikan makan pada orang yang lapar), wenehono busana marang wong kang wuda (berikan pakaian pada orang yang tidak memiliki pakaian), wenehono ngiyup marang wong kang kudanan (berikan daerah berteduh bagi orang yang kehujanan).
7. Sunan Kudus (Raden Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus menjadi salah satu dari para wali yang mencicipi pengalaman mencar ilmu di Baitul Maqdis, Palestina. Pada saat berada di Baitul Maqdis, beliau berjasa memberantas penyakit yang banyak menelan korban. Berkat jasanya, Sunan Kudus diberi ijazah wilayah (kawasan kekuasaan) di Palestina. Setelah pulang ke Jawa, beliau mendirikan suatu masjid di kawasan Loran pada tahun 1549.
Masjid inilah yang hingga sekarang terkenal dengan nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar. Kemudian Sunan Kudus mengganti nama daerah sekitar masjid menjadi Kudus, yang diambil dari nama sebuah kota di Palestina, ialah Al-Quds. Sunan Kudus dalam melakukan dakwah menggunakan pendekatan budaya, dia juga memainkan tugas selaku sosok pujangga yang membuat aneka macam lagu dan dongeng keagamaan.
Karyanya yang paling terkenal yaitu Gending Maskumambang dan Mijil. Sunan kudus ialah sosok yang sungguh menghargai kearifan setempat, ia melarang penyembelihan lembu bagi masyarakat muslim di Kudus. Larangan ini yakni bentuk toleransi kepada budpekerti istiadat serta budpekerti masyarakat setempat yang sebelumnya masih kuat dengan agama Hindunya. Dalam akidah Hindu, lembu tergolong binatang yang dikeramatkan dan suci.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria dalam berdakwah memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri, yaitu menyebabkan desa-desa terpencil sebagai medan dakwah Islamnya. Sunan Muria dikenal selaku wali yang lebih gemar menyendiri, berdomisili di desa terpencil, dan bergaul dengan rakyat pada umumnya.
Sunan Muria memberikan pengajaran terhadap masyarakat di sekeliling Gunung Muria dengan menyelenggarakan kursus-kursus bagi para pedagang, nelayan, ataupun penduduk kecil yang lain. Sunan Muria juga merupakan pendukung setia Kesultanan Demak dan ikut andil dalam pendirian Masjid Demak. Beliau memiliki karya tulis yang masih digemari sampai saat ini, ialah tembang sinom dan kinanti.
9. Sunan Gunung Jati (Raden Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati banyak menghabiskan sebagian waktunya untuk melakukan Jihad dalam rangka melawan dan menghalau Portugis dari bumi Indonesia. Hal ini dilakukan dengan menggabungkan kekuasaan Banten dan Demak sehingga memiliki kekuatan yang diperhitungkan, pada peperangan pertama, pasukan Islam mengalami kekalahan yang sangat fatal.
Namun berikutnya dikala Portugis mendarat kembali di Sunda Kelapa, pasukan Islam berhasil menumpas perlawanan pasukan Portugis, sehingga Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta.
Oleh sebagian para sejarawan, Sunan Gunungjati dikenal selaku peletak konsep negara Islam terbaru saat itu, dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagai negara maju dan sejahtera meraih puncaknya 1650 sampai 1680. Atas jasa-jasanya yang sangat besar terhadap bangsa, umat Islam di Jawa Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah,
Demikianlah pembahasan materi tentang strategi dakwah Wali Songo di Indonesia