Sekilas Tentang Hamka

 Haji Abdul Karim bin Abdul Malik Amrullah atau HAMKA Sekilas Tentang HAMKA

A. Riwayat Hidup HAMKA
Haji Abdul Karim bin Abdul Malik Amrullah atau HAMKA, adalah salah satu ulama besar yang pernah dimiliki oleh Ummat Islam Indonesia. Ia yaitu seorang aktivis gerakan tajdid di kawasan kelahirannya Minangkabau dan kental dengan didikan Islam yang ditimbanya di Sumatera Thawalib, adalah sekolah beraliran pembaruan yang didirikan oleh ayahnya, Abdul Malik Amrullah. Di lalu hari ia juga dikenal selaku salah satu intelektual dan aktivis Islam yang disegani dan bergelar Doktor meski ia sendiri tidak banyak sekolah di sekolah formal. Berikut ini adalah salah satu buku yang memperbincangkan damai pendidikan Islam model HAMKA yang diterbitkan dalam rangka 100 tahun kelahirannya.

HAMKA lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada Ahad 16 Februari 1908 dari keluarga yang taan beragama. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah, atau sering disebut Haji rasul, seorang ulama yang pernah mendalami Islam di Mekakkah dan pencetus kaum mudo dan tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sementara ibunya berjulukan Siti Shafiyah Tandjung. Dari geneologis ini dapat dimengerti, bahwa beliau berasal dari keturunan yang taat beragama dan mempunyai hubungan dengan generasi pembaru Islam di Minangkabau pada final periode XVIII dan permulaan masa XIX. HAMKA lahir dari struktur penduduk matrilineal, adalah masyarakat yang justru menempatkan posisi pria yang tidak begitu strategis dibanding posisi perempuan yang sangat lebih banyak didominasi.

Sejak kecil, HAMKA mendapatkan dasar-dasar agama dan belajar membaca Al-Quran dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Usia 7 tahun masuk ke sekolah, meski alhasil dia keluar dari sekolah itu sesudah 3 tahun belajar, dan malah mencar ilmu mengaji dengan ayahnya sampai khatam. Sejak kecil, dia senang nonton film. Bahkan sebab hobinya ini, beliau pernah diam-diam ‘mengicuh’ guru ngajinya alasannya adalah ingin menonton Film Eddie Polo dan Marie Walcamp. Kebiasaan menonton film ini berlanjut terus, dan kerapkali ia menerima wangsit menulis karya-karya sastra dari menonton film ini.

Tatkala berusia 12 tahun, kedua orang-tuanya bercerai. Perceraian orangtuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika pada anutan-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum pria Minangkabau yang kawin lebih dari satu. Sebab bisa menghancurkan ikatan keharmo-nisan rumah tangga. Dalam etika Minang-kabau waktu itu, mempunyai istri lebih dari satu yaitu pujian bagi keluarga pihak laki-laki. Seorang perempuan (istri) tidak akan cemas menjadi janda dua atau tiga kali karena diceraikan suami. Sebab, tidaklah susah baginya alasannya semua anak-anaknya sudah dijamin oleh harta pusaka rendah dan menjadi tanggungjawab mamak-mamaknya (kerabat laki-laki dari pihak perempuan). Demikian juga dengan H. Abdul Karim Amrullah, selaku seorang ulama yang mempunyai status sosial tinggi, meski per-ceraian yang dilakukannya balasan perse-lisihan yang ada campur tangan pihak keluarga, perceraian ini menimbulkan HAMKA kehilangan kasih saying sebagaimana mestinya. Akhirnya HAMKA kecil mesti menjadi anak tinggal dan dipandang ‘hina’ karena tidak memiliki kerabat perempuan di kampung dan tidak memiliki keluarga utuh dan lengkap, sebab 10 bulan kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang saudagar dari tanah Deli dan adiknya ikut bareng mereka.

Kondisi ini pula yang ikut menimbulkan kerenggangan tali kekeluargaan dengan pihak orangtuanya. Untuk sementara, dia tinggal bersama ayahnya di Padangpanjang. Akan tetapi, alasannya alasannya adalah seringnya mendapat cemoohan dari keluarga ayahnya yang dating, membuatnya tak tahan dan kemudian tinggal bareng andung-nya yang sangat mencintainya. Hampir setahun lamanya beliau hidup terlunta-lunta selaku anak tualang dan hasilnya beliau sekolah mengaji ke Parabek, 5 km dari Bukittinggi dengan Syekh Ibrahim Musa, karena andung-nya cemas dengan era depannya.

  Kisah Hidup “Penyair Besar” Kahlil Gibran

Pendidikan formal yang dilalui HAMKA bergotong-royong di mulai semenjak tahun 1916 sampai 1923 dengan belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padang-panjang serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan Parabek. Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan emnggunakan system halaqoh. Materi pendidikan waktu itu masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik seperti nahwu, sharaf, manthiq bayan, fiqh dan sejenisnya. Pendekatan pendidikan dilaksanakan dengan menekankan pada sapek hafalan. Meskipun padanya diajarkan membaca dan menulis Arab dan latin, tetapi diutamakan ialah mempelajari kitab-kitab Arab klasik dengan persyaratan buku-buku pelajaran sekolah rendah di Mesir. Akibatnya, banyak beliau antara sahabat-temannnya yang fasih membaca kitab, tetapi tidak mampu menulis dengan baik. HAMKA tidak puas dengan sistem pendi-dikan semacam ini, namun ia tetap berupaya mengikutinya dengan baik.

Dalam menerima aneka macam isu pendidikan karya-karya ilmuwan non-muslim, beliau memberikan sikap hati-hati. Sikap demikian dilatatarbelakangi oleh beliau asumsi, pertama, dalam bidang sejarah beliau melihat adanya kesalahan data dan fakta yang sesungguhnya. Misalnya tentang masalah di seputrar masuknya Islam ke Nusantara. Menurutnya, Islam masuk lewat saudagar dari Arab (Mekkah), bukan dari Gujarat maupun Persia. Kedua, dalam bidang keagamaan, terdapat upaya untuk mendiskreditkan Islam. Tidak sedikit para penulis tersebut memperlihatkan pesan misionaris.
Sistem pendidikan tradisional, membuat-nya merasa kurang puas. Kegelisahan intelektual yang dialaminya menjadikan ia berkeinginan merantau guna menambah wawasannya. Tujuannya ialah pulau Jawa. Awalnya dia hendak ke Pekalongan mengun-jungi abang iparnya, H. Sutan Mansur, namun beliau dilarang ayahnya alasannya adalah khawatir dengan pertumbuhan komunis waktu itu. Namun, kesudahannya ia diizinkan dan berangkatlah menumpang seorang saudagar yang hendak ke Jogjakarta dan Pekalongan. Di Peka-longan, tinggal bersama pamannya dan berguru dengan beberapa ulama seperti Ki Bagus Hadikusuma (tafsir), RM. Soeryo-pranoto (sosiolog), KH. Mas Masur (filsafat dan tarikh Islam), Haji Fachruddin, HOS Tjokroaminoto (Islam dan sosialisme), Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung dan utamanya AR Sutan Mansur.

Di Jogja, beliau berkenalan dan sering melaksanakan diskusi dengan sobat-teman seusianya yang memiliki wawasan luas dan cerdik. Mereka antara lain yaitu Muhammad Natsir. Di sini, dia mulai berkenalan dengan inspirasi pembaruan gerakan Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Ide-pandangan baru modernisasi yang dihembuskan oleh pemikir Ilsam waktu itu telah banyak mensugesti pembentukan atmosfer pemikirannya wacana Islam sebagai suatu ajaran hidup, inklusif dan dinamis. Di sini, dia menyaksikan perbedaan yang demikian tajam antara Islam yang hidup di Minangkabau dengan Islam di Jogjakarta.
Pada tahun 1925, ia kembali ke Pekalongan. Ia banyak berguru dari iparnya AR. Sutan Mansur, baik ihwal Islam maupun politik. Di sini, beliau berkenalan dengan inspirasi-inspirasi pembaruan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan rasyid Ridha yang berusaha mendobrak kebekuan ummat. Perkenalan dengan pedoman mereka ini ikut mensugesti tentang pembaruan yang dilakukannya. Juni 1925, ia kembali ke maninjau menjinjing semangat dan pengetahuan baru Islam yang dinamis. Ia menenteng beberapa buah tangan, adalah ajaran dinamis ilmuwan muslim waktu itu, paling tidak ada dua buah buku yang dibawanya dari jawa. Kedua buku itu adalah Islam dan Sosialisme (kumpulan pidato HOS. Tjokroaminoto) dan Islam dan Materialisme (salinan merdeka dari AD. Hani atas karangan Jamaluddin Al-Afghani). Berbekal pengetahuannya, ia mulai berani tampil berpidato di paras biasa . Ia membuka wawasannya dengan berlangganan surat kabar dari Jawa. Dan dengan surat kabar inilah ia juga mulai berkenalan dengan beberapa pemikiran yang meningkat waktu itu, baik ajaran dalam maupun luar negeri. Sperti fatwa, Soekarno, Mustafa Kemal Attaturk dan lain sebagainya. Ia sendiri tetap belajar perihal etika wilayahnya dengan Dt. Singo Mangkuto dan membuka kursus pidato “Tabligh Muhammadiyah” dengan menulis naskah kumpulan pidatonya pada buku dengan judul Khatib al-Ummah.

  Sekilas Perihal Ws Rendra

Tahun 1927 dia berangkat ke Mekkah untu menunaikan haji sambil mejadi kores-ponden harian“Pelita Andalas. Sekem-balinya dari Mekkah, beliau tidak pribadi ke Minangkabau, tetapi singgah di Medan untuk sementara waktu lamanya. Di Medan, dia banyak menulis artikel di pelbagai majalah, mirip “Seruan Islam” di Tanjungpura, “Bintang islam dan“Suara Muhammadiyah. Atas desakan iparnya AR. Sutan Mansur, beliau kemudian diajak kembali ke Padangpanjang menemui ayahnya yang demikian merindukannya. Di sini, beliau dinikahkan dengan Siti Raham, dia dikaruinai 11 anak, antara lain Hisyam (meninggal usia 5 tahun), Zaky, Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, ‘Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif dan Syakib.
Setelah istrinya meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973 dia menikah lagi dengan seorang wanita Cirebon, adalah Hj. Siti Khadijah. Perkawinan keduanya ini tidak menemukan keturunan karena aspek usia.

B. Pemikiran dan Karyanya
Kreatifitas jurnalistik HAMKA makin kelihatan lewat beberapa karya tulisnya. Tahun 1928, HAMKA menulis roman pertamanya Si Sabariyah. Ia juga memimpin majalah Kemajuan Zaman” di Medan. Pada tahun 1929, timbul buku-bukunya Sadjarah Sajjidina Abubakar Shidiq, Ringkasan Tarich Umat Islam, Agama dan Perempuan, Pembela Islam dan Adat Minangkabau (kemudian buku ini tidak boleh oleh Kolonial Belanda). Karirnya di Muhammadiyah makin dipertimbangkan ketika pidatonya Agama Islam dan Adat Minangkabau disampaikannya pada Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi 1930.

Berkat kepiawaiannya dalam berdakwah, di beliau diundang ke banyak sekali daerah di Sumetera seperti Bengkalis, denah Siapiapi, Labuhan Bilik, Medan dan Tebing Tinggi. Kepiawaiannya juga terlihat pada ketika berpidato di Kongres Muhammaiyah selanjutnya di Jogjakarta tahun 1931 dengan judul Muhammadiyah di Sumatera. Ketika di Makassar, melaksanakan tugasnya selaku mubaligh Muhammadiyah, ia menerbitkan“al-Mahdi” suatu majalah yang juga menampung pengetahuan Islam yang terbit sebulan sekali.

HAMKA memiliki peran yang luas dalam pembaruan Islam di Makasar dan Minangkabau. Ia memberikan versi pendidikan Islam yang reformis. Bahkan, melalui pandangan baru-ilham pembaruannya, dia membuka pengetahuan intelektual ummat Islam dan mensejajarkan pendidikan Islam dengan pendidikan yang diatur pemerintah Kolonial. Ia menjajal melakukan periodesasi perjalanan intelek-tualnya delam empat masa: pertama, kala hadirnya konversi intelektual. Proses ini terjadi tatkala beliau melihat adanya ketimpangan terhadap contoh pedoman ummat Islam yang jumud, serta pendidikan Islam yang cuma berorientasi Arab dan dikotomis. Kedua, tahap penelusuran identitas dan pembentukan wawasan intelektual. Masa ini dipengaruhi oleh pemikiran saat beliau berguru di Pekalongan dan Jogjakarta. Persentuhannya dengan inspirasi-inspirasi Islam modernis yang berkembang waktu itu, sudah ikut menghipnotis warna dan dinamika pemikirannya. Ketiga, tahap pengembangan intelektual permulaan. Masa ini ialah setelah kembali dari Jawa. Dinamika ini bisa dilihat dari upayanya menyebarkan wangsit pembaruan, baik saat di Minangkabau maupun di Medan dan Makassar. Proses tersebut dilakukan lewat wadah Muhammadiyah maupaun karya-karyanya. Keempat, tahap pengembangan intelektual kedua dan pemaparan pedoman-pemikiran pembaruannya. Masa ini diawali saat berangkat ke Jakarta, dan utamanya tahun 1952 sampai selesai hayatnya.

  Tokoh: Biografi Muhammad Yamin

Ketika zaman Jepang, HAMKA memang sempat menerima posisi selaku anggota Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat), setelah banyak sekali pelarangan yang dilaksanakan Jepang kepada perkumpulan dan majalah yang dipimpinnya. Dan sikap kompromi dengan mau berafiliasi dengan Jepang ini juga yang memunculkan perilaku sinis kepada dirinya, sampai alhasil ia “lari malam”, pergi ke menuju Padang-panjang tahun 1945 sampai tahun 1949. Sesudah Perjanjian Roem-Royen, dia ingin menyebarkan dakwah dan pemikirannya ke Jakarta dan mulai melaksanakan aktifitasnya sebagai koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia lalu mengarang karya otobiografinya Kenang Kenangan Hidup, tahun 1950. Disamping itu, ia mulai aktif di Masyumi dan bersama tokoh-tokoh yang lain, dia mendukung ide mendirikan negara Islam. Bersama KH. Faqih Usman dan M Jusuf Ahmad, pada 15 Juni 1959, ia menerbitkan Majalah Pandji Masjarakat, majalah ini menitikberatkan pada soal-soal kebudayaan dan pengetahua Islam.

Dalam perkembangannya, kehadiran majalah ini mengalami kemajuan yang luar biasa dan ditunggu oleh pembaca. Majalah ini pernah dibreidel oleh pemerintah Soekarno alasannya adalah tersentil oleh tulisan Hatta yang berjudul ‘Demokrasi Kita’ pada tahun1960. Tujuh tahun lalu majalah ini terbit kembali dan memper-banyak frekuensi penerbitannya menjadi tiga kali sebulan.

Secara lazim, HAMKA mempunyai karier yang cemerlang. Hal ini mampu dilihat dari keriernya selama 1952 hingga tamat hayatnya tahun 1981. Kesempatan dan jabatan tersebut antara lain, memenuhi undangan Pemerintah Amerika (1952), anggota komisi kebudayaan di Muangthai (1954), menghadiri Konferensi islam di Lahore (1958), Imam Masjid Al Azhar, Konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar masjid di Mekkah (1976), Seminar Islam dan Peradaban di Kuala Lumpur, Konferensi Ulama di Kairo (1977), Badan Pertimbangan Kebudayaan Kemen-terian P dan K, Guru Besar Perguruan Tinggi dan Universitas dn Makassar, Penasihat Kementerian Agama, Ketua Dewan Kurator PTQ, Ketua Majelis Ulama Indonesia (1975-1981) dan sejumlah posisi penting lainnya.

Banyak karya tulis, buku dan tulisannya yang menjadi karya terbaiknya. Antara lain biografi ayahnya berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya (1958); buku-buku filsafat dan keagamaan seperti; Tasauf Modern, Tafsir Al Azhar, Falsafah Hidup, Falsafah Ideologi Islam, Pengarus Muhammad Abduh Di Indonesia, Lembaga Hikmat, Hubungan Antara Agama Dengan Negara Menurut Islam, Islam Dan Kebatinan dan puluhan karya lainnya. Sementara buku-buku sastra karyanya yakni Si Sabariyah, Laila Majnun, Salahnya Sendiri, Toean Direktoer, Keadilan Ilahi, Angkatan Baroe, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Dalam Lembah Kehidupan, Dibawah Lindungan Kaabah dan lain-lain.

Referensi: Nizar, Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Grip Jakarta.