Oleh – Birgitta Ajeng
Sekarang kita umumnya ke Pasar Tanah Abang untuk membeli tekstil atau pakaian jadi. Namun pasar Tanah Abang pernah lebih terkenal sebagai pasar kambing. Selama dua setengah periode itu pasar tersebut beberapa kali mengalami petaka.
Pasar Tanah Abang yang kesohor selaku pasar tekstil, Agustus tahun ini genap berusia 250 tahun. Pasar ini kini tergolong salah satu pasar kota di Jakarta. Artinya, tempatnya strategis dan luas, bangunannya permanen, mampu melayani seluruh daerah Jakarta dan sekitarnya, serta yang diperdagangkan pun lengkap. Pasar berbentuk modern, bertingkat dengan fasilitas mencukupi ini menempati areal seluas 2,6 hektar dengan luas bangunan 11.154 m2.
Dari sejak didirikan, pasar ini telah dikenal sebagai pasar tekstil, yang lalu bermetamorfosis bursa tekstil, busana jadi dan batik produksi dalam negeri. Pedagangnya kebanyakan orang Cina dan Arab, di samping pedagang pribumi. Mereka merupakan pedagang grosir dan agen. Orang Arab pada umumnya memasarkan kain pelekat dan batik Pekalongan.
Nama Tanah Abang mula-mula disebut pada kuartal kurun ke-17. Ada praduga bahwa nama ini berasal dari serdadu Mataram yang tiba menyerbu VOC di Batavia tahun 1628. Mereka menyerang tidak hanya dari bahari di Utara, tetapi juga dari Selatan. Daerah Tanah Abang yang ialah tanah bukit dengan rawa-rawa di sekelilingnya dan di mana Kali Krukut mengalir, dipakai selaku basis. Karena tanahnya ini berwarna merah (bahasa Jawa: kakak), ada kemungkinan serdadu-serdadu Mataram inilah yang memberi nama Tanah Abang.
Sejarah Tanah Abang dimulai serempak dengan ekspansi kota Batavia ke arah selatan, di kala ke-17. Ke bagian timur ekspansi ini hingga meraih kawasan yang dikenal dengan nama Weltevreden (kawasan Senen). Ke bagian barat, mulai dari Molenvliet West (Jl. Gajah Mada) sampai Rijswijk(Harmoni). Lewat batas itu masih berbentukhutan.
Untuk perluasan ini pastinya diperlukan adanya lalu lintas penghubung, untuk era itu contohnya akses atau terusan. Salah seorang yang berjasa dalam pengerjaan saluran di Batavia yaitu Kapten Phoa Bingam. Tahun 1648 beliau menggali terusan di Molenvliet yang menyambung sampai ke Kali Ciliwung di Timur. Ke Barat Bingam menggali kanal hingga ke ujung Kebon Sirih (kini menjadi got yang mengalirsepanjang Tanah Abang Timur/Jl. Abdul Muis), terus bersambung dengan Kali Krukut di barat Tanah Abang.Kanal yang digali Bingam ini berguna sekali untuk mcmperlancar pengangkutan barang barang jualan dan hasil hutan. Juga mempercepat pertumbuhan kota ke Sclatan. Banyak rumah-rumah yang mulai dibangun di sepanjang tepi jalan masuk.
Pada mulanya wilayah ekspansi kota Batavia ini merupakan tanah milik langsung orang-orang kaya Belanda. Mereka lalu menyewakan tanah mereka pada orang-orang Cina, yang kemudian mengolahnya menjadi tanah pertanian dan perkebunan. Phoa Bingam tergolong salah seorang penyewa tanah. Karena itulah beliau merasa berkepentingan membuat saluran guna memperlancar angkutan hasil kebunnya.
Di Tanah Abang Bingam mengusahakan perkebunan tebu, sekaligus mempunyai penggilingan tebu. Tebu diolah menjadi gula merah. Karena belum ada perlengkapan untuk pabrik gula pasir, waktu itu Belanda menghadirkan gula pasir dari luar.
Penyewa-penyewa tanah lainnya ada yang berkebun kacang, jahe, melati, sirih dan lain-lainnya. Kini bekas perkebunan itu cuma tinggal namanya: Kebon Sirih, Kebon Jahe, Kebon Kacang, dan sebagainya. Selain bercocok tanam, orang-orang Cina ini dulu banyak juga yang mengusahakan pabrik arak. Penduduk setempat menyebutnya “arak api”, sebab kerasnya dan cepat membuat orang mabuk.
Hasil perkebunan kemudian dibawa ke kota naik perahu melalui susukan. Dari arah selatan Tanah Abang, melalui Kali Krukut, didatangkan hasil hutan dan ternak. Oleh para penjualternak, bukit Tanah Abang ini dijadikan daerah persinggahan sambil menggembalakan ternaknya. Berhubung yang dijual pada umumnya adalah kambing, tidak heran bila Tanah Abang lalu diketahui selaku pasar kambing. Apalagi semakin lama bertambah banyak orang Arab, yang dikenal doyan daging kambing, bcrmukim di Tanah Abang.Pasar kambing ini dulunya bersatu dengan pasar Tanah Abang. Scwaktu pasar diremajakan, pasar kambing ini sempat menghilang. Kemudian dibuatkan tempatnya yang baru di pinggir kali, di bclakang Pasar Tanah Abang. Konon penjualkambing di sini ada yang turun-temurun.
Tahun 1733 pemilik Tanah Abang yakni Justinus Vinck. Vinck bermaksud mendirikan pasar di atas tanahnya, sebab menyaksikan kemajuan perekonomian. Tanahnya yang lain ialah Weltevreden. Setelah keluar surat izin tertanggal 30 Agustus 1735, Vinck kemudian mulai membangun pasar di Tanah Abang dan di Weltevreden (Pasar Senen). Dalam surat izin dicantumkan juga bahwa hari pasar untuk Weltevreden adalah hari Senin, sedang untuk Tanah Abang hari Sabtu. Tapi sejak 1751 untuk Pasar Tanah Abang ditambah hari Rabu.
Bangunan pasarnya masih sederhana, dari bambu dan beratap rumbia. Pemilik petak pasar biasanya orang Cina. Mereka ini juga kemudian mendirikan kawasan tinggal mereka di sekitar pasar. Apa yang boleh dijual di pasar, ditentukan oleh pemerintah Belanda. Tanah Abang kebagian tekstil, kelontong dan sedikit sayuran.
Vinck juga membuka jalan yang menghubungkan kedua pasarnya itu, lewat Prapatan Kwitang dan Kampung Lima. Angkutan darat pun menjadi gampang dengan adanya jalan penghubung ini. Waktu itu yang digunakan ialah gerobak yang ditarik sapi atau kerbau.
Baru lima tahun bangun Pasar Tanah Abang telah kena bencana. Tahun 1740 terjadi insiden yang diketahui dengan “Chinese riots”, pembantaian orang-orang Cina. Di samping pembunuhan, juga diikuti pengrusakan harta benda. Pasar Tanah Abang ikut jadi target, diporakporandakan dan dibakar. Peristiwa ini masih membekas sampai dua puluh tahun lalu. Orang-orang Cina menyingkir ke pinggiran kota. Akibatnya pertanian dan perkebunan jadi terlantar.
Belanda merasakan akhirnya dan mulai melakukan pendekatan lagi. Setelah rujuk kembali, untuk menarik hati, Belanda menawarkan kepcrcayaan kepada orang Cina untuk bergerak dalam bidang ekonomi, antara lain dengan menawarkan kekuasaan untuk memungut cukai pasar dengan cara borongan. Para penjualdiwajibkan menyewa tikar yang disediakan mantri pasar. Orang Cina juga diizinkan membuka rumah madat.
Namun oleh Raffles, yang menjadi gubernur jenderal tahun 1811-1816, sistem ini dihapus. Hak penarikan cukai tidak lagi diborongkan terhadap orang Cina, namun dikembalikan pada pemerintah.
Bersamaan dengan berkembangnya tempat Tanah Abang berkat adanya pasar, Tanah Abang pun populer selaku tanah kuburan. Letaknya yang di pinggiran kota cocok sekali untuk dijadikan pekuburan. Begitu terkenalnya sampai-hingga orang Belanda dahulu berseloroh: “terug naar Tanah Abang”, yang maksudnya ke liang kubur.
Menurut catatan, Pekuburan Tanah Abang ini mulai dibuka pada tahun 1795. Banyak orang terkenal yang dimakamkan di sini. Jenazah yang berasal dari kota dan hendak dikuburkan di Tanah Abang dibawa dengan bahtera melalui Kali Krukut yang mengalir di timur kuburan. Di Pekuburan Tanah Abang ini bermacam cita rasa, latar belakang dan perasaan diekspresikan dalam bentuk goresan pena, gayaserta patung di watu nisan. Ada yang bergaya romantis, menggunakan menara bergaya gothik, patung bayi tidur, salib dari marmer, dan sebagainya.
Selain Tanah Abang, kuburan lainnya ada di Kebon Jahe, Kota Bambu dan Petamburan. Pamornya sebagai tanah kuburan kian naik sejak dibukanya Kuburan Karet tahun 1809. Tahun 1976 Pekuburan Tanah Abang ditutup dan dibongkar. Di atas sebagian besar tanahnya kini berdiri Kantor Walikota Jakarta Pusat. Bekas sisanya yang lain sekarang dijadikan Taman Prasasti, yang terletak di Jalan Tanah Abang I. Di sini dapat ditemukan batu nisan dari era yang berlainan-beda, bahkan dari masa satu kala sebelum kuburan ini dibuka. Bagaimana mungkin?
Dulu, waktu gereja-gereja bau tanah beserta pekarangannya di kota dibongkar di awal kurun ke-19, beberapa batu nisannya dibawa ke kuburan gres Tanah Abang. Beberapa ada yang dijual, namun hasilnya ditemukan kembali dan dibawa ke Tanah Abang. Sebagian batu-kerikil nisan itu disisipkan di tembok luar Taman Prasasti, yang lainnya ditaruh di halaman dalam.
Tanah Abang pernah juga jadi pangkalan ‘taksi’. Jenis kendaraan yang pernah beroperasi antara lain Ebro, kendaraan bertenda dan beroda empat yang ditarik dua ekor kuda. Orang Belanda menyebutnya Brik. Selain itu ada juga sado.
Kemudian timbul trem kuda; kereta ditarik kuda, yang kalau mau berangkat ditandai dengan tiupan tanduk kerbau sebanyak tiga kali oleh kepala stasiun. Di jalan menanjak seringkali mesti minta pemberian tenaga kerbau. Yang membuatjengkel jika kebetulan kuda lagi ngadat, perjalanan bisa jadi tersendat-sendat. Kudanya senantiasa menggigit besi kendalinya. Barangkali dari sinilah lahir ungkapan “zaman kuda gigit besi”. Jurusan trem kuda ini yakni dari Pasar Ikan lewat Stasiun Kota (Beos) terus ke Tanah Abang.
Tahun 1887 trem kuda dipensiunkan dan digand dengan trem uap. Naik trem uap ini pun tidak senantiasa tanpa kendala. Uap untuk lokomotifnya dijatah cukup untuk sekali jalan. Padahal di tengah jalan sering kehabisan uap. Mungkin alasannya adalah udara masbodoh. Untuk bisa melaju lagi harus menunggu hadirnya lokomotif baru dari pusatnya di Kramat. Ini pastinya sering membuat penumpangnya jengkel. Trem uap dari Senen ke kota singgah di Tanah Abang dan kembalinya senantiasa mengangkut ikan basah dari Pasar Ikan.
Menurut data yang ada, trem uap ini kabarnya sering melindas orang. Rata-rata seharinya empat orang kena dilindasnya. Sampai nama perusahaan pengelolanya, NITM (Nederlandsche Indische Tramweg Maatschappij), diejek orang dengan ‘Naik Itu Tentu Mati’.
Sesudah trem uap dianggap ketinggalan zaman, muncul trem listrik. Tapi trem uap tetap dioperasikan hingga tahun 1933. Trem listrik pun risikonya dihapus dari Jakarta oleh Pemda DKI, alasannya adalah tampang kota jadi semrawut dibuatnya dengan kabel-kabel listrik yang simpang siur di atas jalan. (sumber)