Pada dasarnya seni teater di Indonesia mula-mula berisi lisan komunikasi penduduk mesolitik yang berburu dan neolitik yang agraris. Masyarakat mesolitik yang menggunakan proses berburu selaku mata pencaharian untuk merealisasikan bentuk-bentuk teatrikal, mirip: berburu binatang atau ikan, mencari ubi-ubian, serta kudeta. Oleh karena itu, ujud dari prosesi teatrikal mereka juga tidak jauhjauh dari cara hidup mereka tersebut. Seperti di Papua misalnya, bentuk-bentuk teatrikal mereka memperlihatkan simbol-simbol tingkah laku hewan, binatang air, dan juga gerak alam.
Sedangkan penduduk neolitik yang agraris mengaktualisasikan bentuk-bentuk teatrikalnya dengan proses laku hidupnya dengan kehidupan sehari-hari, seperti: berkebun, selamatan kelahiran, syukuran orang yang meninggal. Masyarakat neolitik dan mesolitik percaya bahwa roh nenek moyang dan kekuatan-kekuatan gaib yang lain, mirip: pohon besar, watu besar, dan senjata-senjata, bisa dimintai pinjaman untuk melepaskan kesulitan-kesulitan hidupnya. Maka, cita-cita-impian akan pemberian dari hal-hal gaib ini juga tercurah dalam bentuk-bentuk prosesi teatrikal untuk acara tolak bala, mengusir penyakit, mengusir roh jahat, meminta derma desa dari roh-roh maupun dewa-tuhan yang dianggap bisa menolong.
Wujud teatrikal anggota Reog Ponorogo yang memperlihatkan prosesi trance (kerasukan) dalam setiap pertunjukannya. Tampak pada gambar seorang pemain Reog menguliti kulit kelapa dengan giginya.
Jacob Sumarjo dalam bukunya Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia membagi proses kedatangan teater tradisi berdasarkan tiga standar, yaitu: teater dengan religi orisinil, teater dengan religi Hindu dan Budha, dan teater dengan religi Islam. Banyak dari kelompok penduduk adat yang mengalami pergantian kebudayaan, tetapi ada juga yang tetap berpegang pada adat yang dibawa nenek moyang. Sehingga relatif masih murni belum tersentuh budaya asing selama sejarahnya sampai permulaan kurun 20, namun ada juga yang mengalami pergeseran sebab masuknya kebudayaan gila. Wilayah yang mengalami persentuhan dengan kebudayaan HinduBuddha dapat dilihat di Bali-Lombok (Barat). Sedang yang mengalami persentuhan dengan kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam adalah Melayu, Minangkabau, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sunda, dan Jawa. Sedangkan wilayah budaya yang eksklusif mendapat pengaruh Islam agak dominan ialah Aceh, Bugis-Makasar, HalmaheraTernate, dan Maluku. Tentu saja ini cuma merupakan garis besar yang dilihat berdasarkan sejarah masuknya budaya asing ke Indonesia dengan kepentingan menyaksikan kemungkinan berkembangnya teater rakyat menurut masuknya dampak ajaib tadi.
Hampir setiap tempat di Indonesia memiliki bentuk seni teater tradisionalnya. Kesenian ialah verbal seseorang untuk berafiliasi dengan orang lain. Dalam kesenian penduduk sederhana di era lampau, suatu tarian atau sikap teatrikal sering dikerjakan tanpa kehadiran penonton. Namun hal itu dijalankan sebagai cara komunikasi suku atau kumpulan masyarakat kepada arwah-arwah nenek moyang.
Prosesi perilaku teatrikal tersebut dilakukan untuk mendatangkan rohroh nenek moyang yang menurut suku atau kumpulan penduduk tersebut dapat menolong menyelesaikan duduk perkara-masalahnya. Atau mampu jadi sebagai ucapan syukur atas berkah kesehatan dan keamanan yang dialami oleh suku atau kumpulan penduduk tersebut.
Proses kemunculan perilaku teatrikal tersebut menyebar ke seluruh lingkungan kelompok suku-suku di Indonesia yang jumlahnya mencapai 350. Dari sekian banyak kalangan suku tersebut dapat dikelompokkan lagi menjadi 18 kawasan aturan adatnya, yakni: Aceh, Batak, Minangkabau, Jambi, Malayu, Daya Raya, Bangka Belitung, Sunda, Jawa, Bali, Bugis-Makasar, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Flores, Ternate, Halmahera, Ambon, dan Papua.
Fungsi pokok yang paling mayoritas dari sikap teater tradisional pada penduduk yakni sebagai berikut.
1. Peringatan atau penghormatan kepada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun kepahlawanannya.
2. Memanggil kekuatan gaib roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya pertunjukan.
3. Pemanggil roh-roh yang dianggap nenek moyang yang baik untuk menghalau roh-roh jahat.
4. Pelengkap upacara yang diselenggarakan pada ketika tertentu dalam siklus waktu.
5. Pelengkap upacara sehubungan dengan perayaan tingkatan hidup seseorang
2. Memanggil kekuatan gaib roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya pertunjukan.
3. Pemanggil roh-roh yang dianggap nenek moyang yang baik untuk menghalau roh-roh jahat.
4. Pelengkap upacara yang diselenggarakan pada ketika tertentu dalam siklus waktu.
5. Pelengkap upacara sehubungan dengan perayaan tingkatan hidup seseorang