SEJARAH PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA
1.1 Sejarah Perkembangan Mahkamah Konstitusi
Terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) selaku lembaga pelaksana kekuasaa kehakiman di samping Mahkamah Agung yang mengemban peran khusus, merupakan konsepsi yang mampu ditelusuri jauh sebelum negara terbaru (terbaru state ) , yang intinya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah terbaru judicial review , yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat (AS) oleh Mahkamah Agung (MA), dapat dilihat selaku pertumbuhan yang berlngsung selama 250 tahun, dengan rasa kebencian sampai dengan penerimaan yang luas. [1]
Dalam tradisi common law dan sistem konstitusi AS, Lembaga Mahkamah Konstitusi yang tersendiri tidak dikenal, tapi fungsinya eksklusif ditangani oleh MA yang disebut the Guardian of American Constitution . Di Eropa Kontinental yang disebut demikian itu adalah Mahkamah Konstitusi. Di negara-negara komunis dan negara lain yang menagnut istem supremasi badan legislatif, MK juga tidak diketahui . Dalam sistem komunis ataupun tradisi Inggris dan Belanda yang menganut dokrin ‘’king or queen in psrliament’’. [2]
Revolusi Perancis dan rancangan Separation of Power dari Rosseau dan Montesqieu ialah cikal bakal pengembangan judicial review kedepan, dan keberhasilan awal pemerintahan Napoleon serta efek yang berkesinambungan dari hukum dan budaya Perancis, membawa sikap dan pendekatan ini menyebar ke seluruh Eropa dengan sistem hukumnya yang berlainan. [3]
Akan namun, ajaran Amerika ihwal judicial review sehabis masalah Marbury vs Madison tahun 1803 dan kemudian kasus Dred Scott yang terkenal buruknya tahun 1857, menyebabkan pembaharuan di benua Eropa mulai berfikir bahwa Mahkamah semacam itu mungkin berkhasiat juga di Eropa. Hans Kelsen, seorang sarjana aturan yang sangat berpengaruh pada kurun ke-20, diminta untuk menyusun suatu Konstitusi bagi sebuah Republik Austria yang baru timbul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen yakin, bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma aturan yang superior (lebih tinggi) dari undang-undang umumdan harus ditegakkan secara demikian. Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan umumuntuk melaksanakan tugas penegakkan konstitusi yang demikian, sehingga beliau merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk memantau undang-undang dan membatalkannya jika ternyata berlawanan dengan UUD. Meski Kelsen mendesain versi ini untuk Austria. Yang mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model itu untuk pertama sekali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari Tahun 1920. Baru pada bulan oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria. [4]
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan judicial review menyebar keseluruhan Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan namun, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Counstitutional Council ( Councseil Counstitutionel ). [5] Ketika Uni Soviet runtuh, bekas negara-negara komunis di Etopa Timur semuanya mereformasi negerinya, dari negara absolut menjadi negara demokrasi konstitusional yang liberal. Konstitusional yang liberal. Konstitusi secepatnya direvisi dan dalam proses itu satu lembaga gres bentuk, ialah satu Mahkamah yang berisikan pejabat-pejabat kekuasaan kehakiman dengan kewenangan untuk membatalkan undang-undang dan perturan lain kalau ternyata ditemukan berlawanan atau tidak cocok dengan aturan yang lebih tinggi yakni konstitusi. Sampai kini telah 78 Negara yang mengadopsi metode Mahkamah Konstitusi yang diresmikan terpisah dari Mahkamah Agung.
1.2 Pembentukan Mahkamah Konstitusi Indonesia
Bagi negara Indonesia, MK sebagai lembaga negara dan pelaksana kekusasaan kehakiman memang dapat dikatakan sebagai sebuah hal yang baru. Namun selaku sebuah gagasan, MK bukanlah sesuatu yang baru, sebab fungsi pengujian dan penafsiran konstitusi sebagai ide telah lama ada menjelang Indonesia merdeka. Dilihat dari niat para penyusun UUD, legitimasi pengujian undang-undang ( constitutional review ) penting pula untuk dibahas. [6] Pentingnya informasi ini karena sejarah penyusunan UUD 1945 kurun lalu dikala dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-perjuangan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung tepatnya pada tanggal 15 Juli 1945. Jadi awal mula idenya muncul sejak seruan Yamin dalam Sidang BPUPKI tersebut, semoga MA diberi kewenangan membanding undang-undang, namun ditolak Seopomo dengan argumentasi Undang-Undang Dasar 1945 tidak dianut fatwa trias politica dari Montesquieu. Yamin (1959 : hal 61) merekomendasikan dengan menyatakan bahwa : [7]
Agar Balai Agung ( perumpamaan yang dipakai Yamin untuk menyebut Mahkamah Agung tidak cuma melaksanakan bagian kekuasaan Kehamkiman, melainkan juga menjadi badan yang membanding (maksud menguji) apakah undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (dewan perwakilan rakyat) tidak melanggar UUD Republik atau bertentangan dengan syariah agama Islam. Pendapat Yamin kemudian ditanggapi oleh Soepomo yang pada intinya tidak menyepakati kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan terhadap MA, melainkan diberikan terhadap peradilan khusus (pengadilan special ) yang namanya Constitutioneelhof, sebuah pengadilan spesifik semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman.
Soepomo tidak menyetujui kewenangan untuk menguji undang-undang kepada Undang-Undang Dasar diberikan kepada MA. Karena,selain alasan bahwa pengujian undang-undang kepada Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu metode pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas, juga alasannya konsepsi Undang-Undang Dasar ini ( maksudnya Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah disepakati ) tidak memakai tata cara yang membedakan secara prinsipil antara tiga badan atau lembaga negara itu, artinya tidaklah kekuasaan kehakiman akan mengendalikan kekuasaan membentuk undang-undang. Tegasnya yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan berdasarkan teori atau dokrin Trias Politika yang dikembangkan oleh Montesqueieu di negara-negara Eropa Barat. [8]
Selain itu, UUD 1945 sebelum amandemen tidak mampu menerapkan fungsi pengujian undang-undang alasannya adalah menganut prinsip supremasi badan legislatif dengan menempatkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.Sistem demikian itu, produk lembaga legislatif tidak boleh diuji oleh cabang kekuasaan lain. Menguji undang-undang hasil buatan legislatif bersama direktur, sama halnya mencampuri kekuasaan legislatif dan direktur. Oleh alasannya itu, untuk mempertahankan kemurnian teori atau dokrin Trias Politika, undnag-undang tidak mampu diganggu sebagaimana yang berlaku di negeri Belanda, maka Mahkamah Agung tidak diperkenankan menguji undang-undang. Dikembangkan pula dokrin bahwaproduk peraturan perundang-undnagan cuma mampu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga yang membuatnya sendiri. Dengan kata lain, pengujian undang-undang cuma boleh dilakukanoleh kekuasaan administrator dan legislatif (DPR bahu-membahu Presiden).
Dilihat dari sejarah pembentukannya, apakah MK bangkit sendiri disamping MA. Semula dianjurkan MK di tempatkan dalam lingkup MA, jadi merupakan bagian dari MA. Usul tersebut dirumuskan dalam Pasal 25B Rancangan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak sempat dibahas dalam Sidang Tahunan MPR ( risalah sidang MPR tahun 2000). Usul tersebut gres dibahas dalam sidang Panitia Ad Hoc I ( PAH I BP) pada september 2001 dan mengalami pergantian dengan mengadopsi usu; yang disampaikan oleh Tim Ahli PAH I BP-MPR, ialah menempatkan MK di luar lingkungan MA.
Kaprikornus MK bangkit sendiri, MK dan MA sama-sama melaksanakan kekuasaan kehakiman, cuma wewenangnya yang berlawanan satu sama lain, sebagaimana terlihat dlaam rumusan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang selengkapnya ditegaskan bahwa:
Kekuasaan kehakiman dikerjakan oleh suatu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkup peradilan umumm,lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh suatu Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian dan sejarah pembentukan MK tersebut diatas, dalam pengamatan terhadap sekurang-kurangnya tiga hal ataupun pedoman yang melatarbelakangi pembentukan Undang-Undang Dasar 1045, yaitu : Pertama, ada kekosongan aturan atau tepatnya kekosongan peraturan perundang-undnagan yang berkenaan dengan pengujian (review) undnag-undang terhadap UUD. Kedua, kekosongan peraturan perundang-seruan yang berkenaan dengan kemungkinan timbulnya pertentangan kewenangan di antara forum negara yang ada. Ketiga, berkenaan dengan argumentasi yang menjadi dasar pemberhentian Presiden dalam abad jabatannya.
Diundnagkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2005 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, yang berlaku secara operasional semenjak ditetapkan pengkatan 9 Hakim Konstitusi dengan Keputusan Presiden pada tanggal 15 Agustus 2003 dan pengucapan pada tanggal 16 Agustus 2003. Sebab rekrutmen para hakim harus dilaksanakan menurut UU yang baru menerima kesepakatan bareng dewan perwakilan rakyat RI pada tanggal 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 15 Agustus 2003. Kemudian pada tanggal 18 agustus 2003 Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh anggota tertua, Achmad Roestandi memilih ketua dan wakil dan yang terpilih sekali putaran adalah Prof. Dr. Jumly Asshiddiqie sebagai ketua, sedang Prof. Dr. H.M Laica Marzuki, SH., yang tidak hadir alasannya adalah sakit lewat tiga kali puturan terpilih jadi Wakil Ketua MK.
1.3 Ruang Lingkup, Pengertian dan Peristilahan
Kehadiran metode pengujian konstitusional ini ataupun prosedur ‘ judicial review’ yang terus berkembanng dalam praktik di aneka macam negara demokrasi, kebanyakan, sodambut sangat bergairah, baik di dunia akademis maupun praktik, bahkan tidak kurang oleh lingkup cabang kekuasaan kehakiman sendiri ( judiciary ) . Seperti dikemukakan oleh Jimly Assiddiqie, [9] kebanyakan, makanisme pengjian hkum ini diterima sebagai cara negara hukum terbaru mengendalikan dan mengimbangi ( chek and balances ) kecenderungan kekuasaan yang ada digenggaman para pejabat pemerintahan untuk mnjadi sewenang-wenang.
Namun, sebelum mambahas soal itu lebih lanjut, kita perlu perjelas dahulu peristilahan yang dipakai disini, yaitu ‘’ constitutional review ‘’ atau pengujian konstitusional, yang harus dibedakan dari perumpamaan “judicial review” . Perbedaan itu dijalankan oleh Jimly Asshiddiqie dengan dua alasan. Pertama, ‘’ constitutional review ‘’ selain dilaksanakan oleh hakim dapat pula dilaksanakan oleh lembaga selain hakin atau pengadilan, tergantung kepada forum mana Undang-Undang Dasar menunjukkan kewenangan utnuk melakukannya. Kedua, dalam desain “judicial review” terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, contohnya meliputi soal legalitas peraturan dibawah UU terhadap UU, sedangkan , ‘’ constitutional review ‘’ hanya menyangkut oengujian konstitutionalitasnya, ialah terhadap UUD. [10]
Di Indonesia, kewenangan pengujian itu mampu diberikan terhadap lambaga Mahkamah yang tersendiri berjulukan MK disamping MA, tetapi mampu pula oleh MA mirip di Amerika Serikat atau forum-forum khusus yang lain. Lembaga-forum dimaksud tidak senantiasa merupakan forum peradilan, mirip dalam metode Perancis, disebut “ Conseil Constitutionnel” yang memang bukan “ Court” atau Peradilan sebgai lembaga hukum , melainkan Dewan Konstitusi yang mrupakan lembaga politik. Jika dipakai ungkapan ‘ judicial review ‘ , maka dngan sendirinya bermakna bahwa lembaga ‘judicial’ (judiciary). Namun, dalam konsepsi ‘Judicial review’ cakupan pengertiannya sungguh luas, tidak saj menyangkut sisi-sisi konstitusionalitas objek yang diuji, melainkan menyangkut pula sisi-sisi legalitasnya menurut peraturan perundang-ajakan di bawah Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan uraian diatas hendaknya mesti dapat dibedakan dan tidak salah kapra memakai ungkapan-ungkapan “toestsingsrecht” dan judicial review.
SUMBER BACAAN : ‘’ Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Oleh Prof. Dr. H. Abdul Latif,SH., MH. DKK. Halaman 1-12. Penerbit Total Media.
[1] Maruari Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Pres, 2005, Jakarta, hal. 5
[2] Jimly Assiddiqie, dkk, Menjaga Denyut Konstitusi ( Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi), Jakarta, 2004. Halm 4-7.
[3] Herman Schwartz dalam Maruarar Siahaan, The Struggle For Constitutional Justice in Post-Communist Europe, 2002 hal. 13.
[4] Herman Schwartz, Ibid, Hal 18.
[5] Jimly Assiddiqie,Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstisi, Komplikasi Ketentuan Konstitusi, Undang-undang dan Peraturan di 78 Negara, 2005 , hal 3.
[6] Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, 2007, Yogyakarta, hlm 7-9.
[7] Muh. Yamin dalam Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranag Hukum,2005, Jakarta, hlm 82.
[8] Jimly Assiddiqie, 2004, opcit, hlmn 5-9.
[9] Jimly Assiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusi Di Berbagai Negara, 2005, Konstitusi Press, Jakarta halaman 2-3.
[10] Jimly Assiddiqie, Ibid, hal. 3.