Sejarah Ketoprak Surakarta
Menurut sejarahnya, ketoprak lahir dari kawasan Klaten. (Surakarta), namun dikembangkan di Yogyakarta. Bahkan sampai sekarang orang, masih menganggap bahwa induk ketoprak yaitu Yogyakarta. Jenis ketoprak dari tempat ini mempunyai gaya khas yang dinamakan ketoprak Mataram, lawannya adalah ketoprak pesisir ialah, ketoprak yang berkembang di luar Yogyakarta.
Di Klaten (Surakarta) orang mulai mengenal ketoprak pada era ke-20. Lahirnya ketoprak di ilhami oleh permainan gejogan dan kotekan, yakni permainan oleh gadis-gadis desa di waktu bulan purnama. Dengan lesung yang memiliki ritme. Bunyi lesung ini biasanya juga diiringi oleh nyanyian-nyanyian.
Dari gejogan dan kotekan inilah lahir ketoprak, yang peralatan musiknya ditambah dengan kendang dan seruling, dan dibubuhi dongeng pendek di sekeliling tempat ini.
Pada tahun 1908 ketoprak lesung itu dibawa ke Surakarta oleh Ki Atmocendono, seorang pejabat pemerintah kesunanan di Klaten.
Di Solo, ketoprak disempurnakan oleh R.M. T. Wreksodiningrat, dan diketahui sebagai ketoprak di sekitar kawasan itu.
Menurut tradisi, struktur pertunjukan ketoprak mempunyai tujuh macam adegan, yang tidak digunakan sekaligus semua di dalam satu malam pertunjukan.
Ketujuh macam adegan tersebut yakni adegan keraton atau kadipaten, adegan taman, kesatriaan, pertapaan atau padepokan, pedesaan dan adegan alun-alun.
Adegan keraton atau kadipaton menggambarkan seorang raja atau adipati yang sedang dihadap oleh patihnya. Pembicaraan dalam adegan ini tidak ada sangkut pautnya dengan dongeng, pembicaraan berkisar di sekeliling kehidupan sehari-hari di kaputren yakni tugas-tugas ke rumah-tanggaan.
Adegan kesatriaan intinya sama dengan taman, cuma pelakunya ialah putra-putra raja yang dikelilingi oleh para pembantu.
Pembicaraan pada awalnya menyangkut kehidupan disekitar kesatriaan (pemeliharaan hewan piaraan, biasanya kuda dan burung). Latihan tentara, ronda, berburu dan sebagainya.
Adegan pertapaan atau padepokan menggambarkan seorang pendeta dengan pura-putrinya atau murid-muridnya. Pembicaraan yang dilaksanakan sama dengan dalam keraton, taman dan kesatriaan.
Adegan pedesaan menggambarkan seorang petani yang sedang mengadakan obrolan dengan istri atau anaknya, di rumah atau di sawah.
Adegan ini bisa juga menggambarkan seorang kepala desa yang sedang dihadap atau di sawah. Adegan ini mampu juga menggambarkan seorang kepala desa yang sedang dihadap oleh para perabot desa.
Adegan alun-alun menggambarkan punakawan yang sedang menanti tuannya di alun-alun, di halaman istana atau padepokan, namun mampu di tengah hutan, di lapangan, dan sebagainya. Disini para punakawan itu berdialog dan melucu.
Cerita-cerita ketoprak meliputi kisah-cerita rakyat (contohnya Joko Kendil, Joko Bodo) atau kisah-dongeng babad.
Cerita babad yakni cerita yang paling diminati. Sebagian besar kisah berasal dari Babad Tanah Jawi, yang berisi sejarah kerajaan Demak, Pajang dan Mantaraman.
Cerita mantraman lazimnya dipertunjukan dalam bentuk fragmen-fragmen. Misalnya dongeng Raden Said dan Jaka Tarub. Fragmen dari era kerajaan Demak, misalnya Jaka Tingkir dan ario Penangsang.
Fragmen yang paling populer yaitu cerita sejarah dari Panembahan Senopati, Trunojoyo, Sultan Agung. Bentuk lain yakni cerita yang diambil dari babad setempat seperti Siung Wanoro dari babad Pajajaran, Banyak Wide dari babad Banyumas, Menakjinggo dari Banyuwangi Baron Sakander dari Babad Patu Warok Suromenggolo dari babad Trenggalek, dan sebagainya.
Cerita ketoprak juga banyak mengambil dongeng Panji,mirip ande-ande lumut, Panji Laras, dan sebagainya. Cerita menak, cerita 1001 malam, cerita dari negeri Cina, contohnya Sampek Ingtai dan Sie Jin Kui. *** Sumber : Buku Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia