Sejarah Ekonomi Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Seiring dengan munculnya banyak sekali demonstrasi di golongan penduduk untuk menuntut Presiden Soekarno untuk mundur dari jabatan yang dipegangnya selama lebih dari 20 tahun balasan gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan penduduk menjadi peringatan keras bagi Soekarno untuk mundur dari tampuk kepemimpinan sebagai Presiden. Soekarno yang terdesak akhir aneka macam demonstrasi tersebut, menetapkan untuk mengawali transisi kepemimpinan pemerintahan dengan menunjuk Soeharto lewat Surat Perintah Sebelas Maret selaku landasan aturan untuk mengijinkan Soeharto sebagai penjabat Presiden untuk secepatnya menyusun transisi ekonomi Indonesia yang sudah terseok-seok akibat berbagi kebijakan politik yang hedonistik. Utang mancanegara menggunung, defisit melebar tidak terkendali dan inflasi mencapai ratusan persen serta kemiskinan di mana-mana hingga keamanan yang tidak aman menjadi problem utama yang harus teratasi oleh Soeharto yang gres saja menjabat selaku Presiden. Dalam bidang ekonomi, Presiden Soeharto mengajukan RUU penanaman modal yang kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU no 1 Tahun 1967 yang bermaksud untuk mempercepat pengentasan kemiskinan yang ada di Indonesia berbentukinvestasi di berbagai sektor usaha industri dan jasa, sekaligus selaku upaya mengembalikan doktrin internasional kepada stabilitas dan kondusivitas ekonomi, politik dan sosial serta keselamatan Indonesia di mata dunia. Tercatat, semenjak undang-undang ini disahkan, jumlah modal yang sudah ditanamkan di Indonesia telah mencapai lebih dari US$ 9 Miliar dari 30 negara.
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%,rupiah stabil dan mampu diterka, dan pemerintah menerapkan tata cara anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan didanai melalui derma asing. Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan terutama pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan perkembangan di bidang ekspor non-minyak. GDP aktual tahunan berkembang rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia selaku ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat perkembangan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997, menutupi beberapa kekurangan struktural dalam ekonomi Indonesia. Longgarnya kebijakan pemerintah dan institusi jasa keuangan dikala itu dan meningkatnya nilai ekspor barang non-migas, membuat banyak jasa keuangan berupa bank, asuransi dan banyak sekali lembaga keuangan lainnya timbul dnegan tujuan mendapat laba dari fasilitasi ekspor, tetapi dengan modal inti yang seringkali kurang. Tanpa disadari oleh pemerintah dan institusi keuangan sendiri, besarnya potensi untuk membiayai fasilitasi ekspor tersebut, perlahan-lahan mulai menawarkan bahwa kemajuan jasa keuangan tidak bermutu, mulai memakan korban berbentuktutupnya beberapa bank secara berantai balasan gagal menawan kredit yang macet, hingga modal inti yang kurang mulai menandai gelapnya kemajuan jasa keuangan yang ketika itu tengah berkembang pesat. Belum lagi dengan tata cara legal sungguh lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, menghimpun hutang, atau menuntut atas kebangrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman menurut-“collateral” mengakibatkan ekspansi dan pelanggaran peraturan, tergolong batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan kendala ekspor menjadi bom waktu yang akan mewarnai kejatuhan ekonomi nasional.
Hal ini meraih puncaknya saat Krisis finansial terjadi di Asia dan merembet hingga ke Asia Tenggara, tergolong Indonesia pada tamat 1997 dengan segera berkembang menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Dengan defisit anggaran yang sudah meraih lebih dari 60% dari PDB nasional, ditambah dengan rasio NPL (kredit macet) yang sudah mencapai 20% lebih menciptakan pemerintah dan institusi pengawasan acara keuangan cuma bisa memperlambat dan mengurangi parahnya krisis tersebut dengan memaksimalkan tingkat suku bunga domestik untuk mengontrol naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan ihwal acara reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai membebani anggaran negara dan memiliki potensi melebarkan defisit budget, berbentukpenutupan program pesawat nasional, permobilan nasional hingga subsidi ekspor komoditas. Rupiah masih belum stabil dalam rentang waktu yang cukup usang, sampai pada karenanya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.