GUNUNG TANGKUBAN PARAHU
DILIHAT DARI PEMANDIAN CIHAMPELAS TEMPO DULU
|
Danau Bandung Purba
Sebenarnya cekungan Bandung sudah tergenang jauh sebelum 135.000 tahun lalu. Namun pembentukan danau kian tepat alasannya adalah Sungai Citarum Purba di utara Padalarang dibajak material letusan Gunung Tangkubanparahu 125.000 tahun yang lalu. Penggalan sungai ke arah hilir, kini menjadi Cimeta, sungai kecil dalam lembah besar Citarum Purba. Air sungai Citarum yang terbajak itu meluber, lalu terperangkap di Cekungan Bandung.
Air makin tinggi, dan mencapai puncaknya sekira 35.000 tahun yang lalu, dengan mukaair danau tertinggi pada kontur 712,5 m. Danau raksasa ini terentang antara Cicalengka di timur sampai Rajamandala di barat, antara Dagobawah di utara hingga Majalaya dan Banjaran di selatan.
Bayangkan, kita sedang melaju dalam kendaraan di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Kopo. Bila ini terjadi 35.000 tahun yang kemudian pada dikala Danau Bandung Purba mencapai tampangdanau tertinggi pada kontur 712,5 m di atas permukaan laut (dpl.), kita sedang melaju di dasar danau dengan kedalaman 26,5 m. Titik perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Cigereleng, di sana kedalamannya 32,5 m. Di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Buahbatu, 36,5 m. Semakin dalam bila kita berada di ujung timur jalan Soekarno – Hatta, di persimpangan Cibiru, di sana kedalamannya mencapai 39,5 m.
Keadaannya akan kian dalam jikalau kita berada di bagian tengah jalan tol Padalarang-Cileunyi. Bila kita sedang berada di pintu tol Pasirkoja, di sana kedalamannya hanya 26,5 m. Pintu tol Kopo, kedalamannya mencapai 41,5 m. Apalagi bila kita berada di pintu tol Cigereleng, kedalamannya mencapai 43,5 m. Sedangkan di pintu tol Buahbatu, kedalamannya sama mirip di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Buahbatu.
Pada tahun 1959 sebetulnya K. Kusumadinata dalam laporannya sudah mengisyaratkan bahwa bobolnya Danau Bandung Purba itu bukan di Sangiangtikoro. K. Kusumadina menulis :
“… Pintu air gres yang lewat pegunungan tua ini, terletak di antara gunung-gunung Puncaklarang (885 m.) dan Bentang (700 m.). Pada garis-batas-air dahulu terdapat pinggir dari dindingnnya yang curam di sebelah kanan jurang Citarum (745 m.), sedang di selatan letaknya lebih ke bawah jalan di dataran akrab puncak Gunung Kadut yang kecil, di tepi kiri pada tinggi 710 meter dan sebelah kanannya pada tinggi 740 m. Sela gunung, di mana untuk pertama kalinya mengalir air dari Citarum yang kini, dengan demikian mungkin terletak di antara 700 m dan 740 m dan memilih tinggi permukaan air paling atas…
Namun sayang laporannya itu kurang menerima balasan yang bagus dari para hebat. Budi Brahmantyo (2002) dalam tulisannya di Majalah Geologi Indonesia, volume 17, nomor 3, IAGI, Jakarta, menerangkan, bahwa air Danau Bandung Purba itu pertama kalinya tidak bobol di Sangiangtikoro. Air Danau Bandung Purba sama sekali tidak bersinggungan dengan Sangiangtikoro.
Dalam goresan pena itu disebutkan ada 3 aspek yang memperkuat pendapatnya, bahwa Sangiangtikoro bukan kawasan bobolnya air Danau Bandung Purba, melainkan lewat hogback/lalangasu/pasiripis Puncaklarang dan Pasir Kiara.
Pertama, morfologi Pasir Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara selaku bibir Danau Bandung Purba, terpisah sejauh 4 km. dengan beda ketinggian antara 300 – 400 meter. Kedua, kondisi Puncaklarang dan Pasir Kiara selaku dinding penghalang itu berbentukbreksi Formasi Saguling yang kompak dan keras.
Ketiga, terbentuknya Gua Sangiangtikoro tidak berafiliasi secara pribadi dengan Danau Bandung Purba. Proses pelarutan watu kapur di sana hanya dipengaruhi oleh wajah air tanah.
Secara evolutif, erosi mudik di sungai dan mata air itu karenanya mampu mengikis breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras. Danau Bandung Purba jadinya bobol juga, kemudian menyayat membentuk celah di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat, maka terjadi pengikisan ke hulu sehingga menyayat perbukitan Pematang Tengah yang berbentukbatuan intrusif yang timbul kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Batuannya berisikan batuan andesit, dasit, dan basal yang keras. Pematang itu memisahkan antara Danau Bandung Purba timur dengan Danau Bandung Purba barat. Dengan tersayatnya Pematang Tengah di Curug Jompong, maka Danau Bandung Purba timur risikonya menyusut pula.
Curug Jompong ialah tempat yang gampang dijangkau jika daripada Puncaklarang dan Pasir Kiara. Curug berarti riam, sedangkan jompong berarti mojang atau cukup umur putri. Di sana tampakbebatuan yang kompak dan keras dikikis air, membentuk permukaan batuan yang terlihat indah, kuat, dan menakjubkan, walaupun berada dalam lingkungan Citarum yang kotor.
Sejak air Danau Bandung Purba bersinggungan dengan batuan intrusif di Pematang Tengah, secara evolutif air yang sungguh halus itu menyayat batuan yang amat keras sehingga air Danau Bandung Purba dapat melalui Pematang Tengah. Itulah sebabnya daerah tersayatnya batuan intrusif yang keras itu dinamai Curug Jompong. Kerasnya rangkaian batuan dianalogikan selaku mojang, selaku gadis akil balig cukup akal, yang kemudian tersayat oleh kehalusan air Danau Bandung Purba. Selaputdara bumi Bandung tersayat, sehingga air Danau Bandung Purba itu menembus batuan.
Gunung Tangkubanparahu yang berada di utara Bandung meletus 125.000 tahun yang kemudian. Material letusannya membajak Citarum Purba di utara Padalarang. Makin usang mukadanau makin tinggi, risikonya membentuk danau raksasa Bandung Purba. 70.000 tahun kemudian, Gunung Tangkubanparahu meletus kembali dengan dahsyatnya. Sebagian besar material letusannya mengarah ke selatan menutupi segi timur Pematang Tengah sehingga Danau Barat dengan Danau Bandung Purba timur menjadi terpisah.
Makin lama, wajahair danau makin tinggi hingga meraih ketinggian 700 m. atau 712,5 m. dpl. yang terjadi 36.000 tahun yang kemudian. Itulah paras danau tertinggi yang dikenali. Akhirnya Danau Bandung Purba barat mendapat kawasan penglepasan, yang menurut Budi Brahmantyo (2002), bobol di punggungan breksi Pasir Kiara di selatan Rajamandala.
Dengan bobolnya Danau Bandung Purba barat di Pasir Kiara, maka air yang mengalir menyusut itu menjadi “pisau” tajam yang menoreh ke arah hulu, menyayat bebatuan intrusif di rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah.
Pada ketika Danau Bandung Purba barat surut, kondisi Danau Bandung Purba timur masih tergenang, sebab sayatan batuan intrusif di Curug Jompong belumlah terlalu dalam. Makara, Danau Bandung Purba barat tergenang relatif serempak dengan Danau Bandung Purba timur, tetapi surut lebih permulaan.
Lama kelamaan, sayatan di rangkaian gunung api bau tanah di Pematang Tengah itu meraih titik terendahnya di Curug Jompong, maka menyusutlah Danau Bandung Purba timur, maka berkurang pula danau raksasa tersebut! M.A.C. Dam (1996) menulis, Danau Bandung Purba berkurang 16.000 tahun yang kemudian.
Curug Jompong sudah dikenal oleh para peneliti. Pada tahun 1936, van Bemmelen sudah menuliskan dalam petanya, bahwa di konferensi Cimahi dengan Citarum di sekeliling Curug Jompong, terdapat batuan metamorf balasan adanya kontak antara batuan intrusif dengan watu gamping. Saat ini, Curug Jompong tidak menerima perhatian, ditelantarkan, padahal dapat dijadikan laboratorium dan monumen bumi dalam rangkaian sejarah bumi Bandung. Oleh :T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.