Sejarah Kabupaten Poerwodadie yang sekarang berada di Desa Purwodadi Kecamatan Barat Kab Magetan, tepatnya sebelah utara lapangan dan Sekolah Dasar Negeri Purwodadi, dari jauh sudah terlihat tembok gerbangnya. Berdirinya Kabupaten Purwodadi berawal dari usaha Pemerintah Hindia Belanda untuk meminimalkan kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta atas daerah Mancanegara Timur supaya tunduk pada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, maka diadakan konferensi seluruh bupati di wilayah resindensi Kediri dan Madiun di Desa Sepreh, Ngawi tahun 1830 (sekarang desa Legundi Kec. Karangjati)
Pada zaman dulu desa Purwodadi bekerjsama adalah sebuah hutan, dan didirikanlah sebuah pemukiman penduduk sampai bangkit sebuah Kadipaten Purwodadi yang megah pada ketika itu, dengan bangunan Kadipaten yang luasnya kurang lebih sekitar 4 hektar. Berdirinya Kadipaten ini menandakan bahwa Purwodadi pada waktu itu mempunyai tugas penting terhadap Kabupaten Magetan pada masa Perang Diponegoro berjalan. Desa Purwodadi ialah sebuah desa yang terletak di perbatasan Kecamatan Barat dan Kecamatan Karangrejo, dan mempunyai letak lapangan yang sungguh strategis yang dahulunya ini yakni suatu alun-alun kota dan dijadikan pasar pon pada ketika Kadipaten Purwodadi masih aktif.
Semenjak kedatangan para priyayi dari Puro Mangkunegaran yang berjulukan Raden Ahmad, daerah hutan tersebut dirubahnya menjadi suatu pemukiman masyarakatpada hari senin kliwon bulan mulud (salah satu nama bulan Jawa). Beliau adalah seorang ningrat dari Praja Mangkunegaran yang kalah perang dengan kompeni Belanda. Karena pada ketika itu daerah Jawa Tengah telah menjadi tempat yang rawan serangan kompeni Belanda. Raden Ahmad menerima nasehat dari Adipati Semarang untuk pergi ke kawasan Gunung Lawu sebelah timur, kesudahannya dia dan para pengikutnya mendapatkan masukan tersebut dan pergi ke arah Gunung Lawu ditemani dengan Raden Arya Damar putra dari Adipati Semarang. Setelah sampai disekitaran Gunung Lawu sebelah timur, Raden Arya Damar memberi rekomendasi terhadap Raden Ahmad untuk berhenti dan mendirikan suatu pemukiman di tempat tersebut (Sumarsini, 2015).
Seiring berjalannya waktu pemukiman kian hari makin ramai dan kedatangan rombongan darah biru dari Yogyakarta dan meminta izin menidirikan suatu benteng pertahanan untuk dijadikanlah Kadipaten pada waktu Perang Diponegoro berjalan di kawasan ini (sekitar tahun 1825). Perang Jawa (1825-30) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan Indonesia umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman terbaru. Itulah periode dimana untuk pertama kali sebuah pemerintahan kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utaranya, terkena imbas pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah masyarakatJawa yang tewas meraih 200.000 orang (Carey 1976:52 catatan 1).
Bangsawan tersebut yakni anak dari Pangeran Diponegoro yang menerima peran dari ayahnya untuk mengikuti perang dan memperkuat tempat bumi Mataram semoga terbebas dari penjajah Belanda dengan mendirikan benteng pertahanan dan Kadipaten. Anak kedua Pangeran Diponegoro yang tiba menemui Raden Ahmad bernama R.M Dipokusumo/R.M Dipoatmodjo/Pangeran Abdul Aziz, dia datang atas perintah dari ayahnya Pangeran Diponegoro yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Sultan Erutjokro dan ditemani oleh para pengikutnya. Sebagai seorang pendiri dari Kadipaten Purwodadi atas perintah dari Pangeran Diponegoro, ia diangkat selaku Adipati resmi dan merencanakan prajurit-prajurit perang untuk melawan penjajah Belanda.
R.M Dipokusumo menjabat Adipati tidak terlampau lama, ini dikarenakan peran beliau untuk melanjutkan amanah dari ayahnya dalam melawan penjajah Belanda di daerah lain, kemudian beliau menunjuk R.Ng Mangunnegoro selaku Adipati sekaligus panglima perang di kawasan ini, tetapi takdir berkata lain dimana R.Ng Mangunnegoro balasannya gugur dalam medan pertempuran di daerah Bagi. Akhirnya posisi panglima perang digantikan oleh anaknya yang bernama R. Ng Mangunprawiro sekaligus selaku Adipati di Kadipaten Purwodadi sehabis “Perjanjian Sepreh”. Pada abad kepemimpinannya penjajah Belanda sukses menguasai Magetan dan membaginya tata cara pemerintahan di Magetan menjadi 7 tempat kekuasaan oleh Belanda, yang diputuskan dalam pertemuan semua Bupati se-daerah Mancanegara Wetan pada 3-4 Juli 1830 di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi yang mewajibkan Kadipaten Purwodadi untuk tunduk kepada pemerintah Belanda serempak dengan 7 Kadipaten yang lain di Magetan.
Pangeran Dipokusumo yakni anak kedua dari B.P.H Diponegoro/Pangeran Diponegoro/B.R.M Mustahar/R.M Ontowirjo/Sultan Ngabdulhamid Erutjokro Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah ing Tanah Jawa dari isteri pertamanya R. Ay Retno Madubrongto yang ialah puteri kedua dari Kiai Gede Dadapan, ulama ternama dari Desa Dadapan, dekat Tempel-Sleman, daerah Yogyakarta (Carey 2014:26). Kadipaten tersebut diberi nama Kadipaten Purwodadi dikarenakan nama Purwodadi berasal dari kata “Purwo” yang mempunyai arti “wiwitan” dan “dadi” yang memiliki arti “dumadi”, dengan maksut permulaan berdirinya sebuah Kadipaten.
Perjanjian Sepreh pada tahun 1830
Politik devide et impera Hindia Belanda, menciptakan sebuah Perjanjian “Perjanjian Sepreh” pada tanggal 3-4 Juli 1830 atau tanggal 12-13 bulan suro 1758 tahun Je. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang dipimpin oleh Raad Van Indie Mr.Pieter Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche leeuw, Commisaris ter Regelling de Vorstenlanden dalam rangka mengatur daerah-tempat Mancanegara Timur Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan itu diikuti oleh semua bupati se-kawasan Mancanegara Wetan, konferensi dijalankan di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Pada Pertemuan itu Hindia Belanda mengharuskan semua bupati Mancanegara Wetan untuk menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan mesti tunduk kepada pemerintah Belanda di Batavia.
Dan jadinya, konferensi tersebut menciptakan suatu “Perjanjian Sepreh Tahun 1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermaterai oleh 23 Bupati dari residensi Kediri dan residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad Van Indie, Komisaris yang mengorganisir daerah-daerah Keraton serta tuan-tuan Van Lawick Van Pabst dan J.B. de Solis, residen Rembang. Berdasarkan kesepakatan tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melakukan pengawasan tertinggi dan menguasai kawasan-tempat mancanegara.
Sejak tahun 1830 Kabupaten Magetan menjadi kawasan jajahan Belanda. Pada era itu yang menjabat Bupati Magetan ialah R.T. Sasrawinata (wafat tahun 1837). Kabupaten Magetan dipecah menjadi 7 daerah Kabupaten , yakni :
1- Kabupaten Magetan I (kota) dengan Bupati R.T. Sasrawinata
2- Kabupaten Magetan II (Plaosan) dengan Bupati R.T. Purwawinata
3- Kabupaten Magetan III (Panekan) dengan Bupati R.T. Sastradipura
4- Kabupaten Magetan IV (Goranggareng Genengan) dengan Bupati R.T. Sasraprawiro yang berasal dari Madura.
5- Kabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) dengan Bupati R.T. Sastradirya
6- Kabupaten Maospati (setelah ditinggalkan oleh Bupati wedana R. Ronggo Prawiradirja III), Bupatinya R.T. Yudaprawiro.
7- Kabupaten Purwodadi, Bupatinya R. Ngabehi Mangunprawiro (semenjak tahun 1825 disebut R. Ngabehi Mangunnagara).
Pada tanggal 31 Agustus 1830, atau nyaris dua bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintahan Hindia Belanda mulai mengadakan penataan-penataan / pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten yang sudah berada dibawah pengwaasan dan kekuasaanya. Tentang penataan ini mampu dilihat dalam surat pemerintahan Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan ihwal hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan komisaris-komisaris yang mengorganisir / mengontrol tempat-tempat keraton.
Dari hasil konferensi tersebut, lalu keluar satu keputusan wacana planning dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain mengambarkan bahwa:
Pertama : Menentukan bahwa kawasan mancanegara bagian timur akan berisikan dua residensi, yakni Residensi Kediri dan Residensi Madiun
Kedua : Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Magetan, Poerwodadie, Toenggoel, Gorang-gareng, Djogorogo, Tjaruban dan kabupaten kecil di daerah sekitar Madiun yang lain baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik juga akan diatur lalu.
Ketiga : Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten : Kedirie, Kertosono, Ngandjoek, Berbek, Ngrowo(Tulungagung) dan Kalangbret. Selanjutnya dari distrik-distrik Blitar, Trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timur hingga dengan batas-batas dari Malang: baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik-distrik juga akan diatur lalu.
Panglima perang Pangeran Diponegoro di tempat Magetan-Madiun-Ngawi
Pada waktu awal perang Diponegoro di tempat Madiun, para Bupati di kawasan Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah yakni sebagai berikut :
– Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo III ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro )
– Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul/ Wonokerto
– Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten
– Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati
– Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng
– Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagij
– Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi
Pemimpin pertempuran yang berasal dari Madiun ada dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Ngabehi Mangunprawiro, putra Raden Tumenggung Mangunnegoro yang sudah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro. Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk seluruhnya di perbatasan Kabupaten Madiun
Adipati yang pernah memimpin di Kadipaten Purwodadi
Pada tahun 1870 Kadipaten Purwodadi dihapuskan. Berturut-turut yang menjabat Adipati di Purwodadi setelah ”Perjanjian Sepreh” yakni :
Mangunprawiro alias R. Ng. Mangunnagara
Ranadirja
Sumodilaga
Surakusumo
T. Sasranegara (1856-1870).
Sebelum persetujuansepereh ada dua pemimpin yang menjabat adalah : Pangeran Dipokusumo/R.M Dipoatmodjo dan Kandjeng Pangeran Mangunnegoro (yang meninggal dalam pertempuran Perang Diponegoro di kawasan Desa Bagi). Kadipaten Purwodadi pada dikala itu Adipati yang menjabat adalah Kandjeng Pangeran Mangunnegoro yang sangat benci dan menentang kompeni Belanda semenjak Gubernur Jenderal Daendels, yang karenanya juga jatuh ke tangan Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1830.
Beberapa Adipati yang menjabat di Kadipaten Purwodadi ialah pengikut setia dari Pangeran Diponegoro, mirip R. Ng Mangunnegoro dan R.Ng Mangunprawiro yang ditunjuk selaku panglima perang di daerah Magetan-Madiun-Ngawi selama perang berjalan. Nama beliau juga sudah tercatat dalam aneka macam buku yang menunjukan kisah perang Pangeran Diponegoro. Setelah Kadipaten Purwodadi berhasil dikuasai oleh Belanda, dimana seperti diterangkan dalam isi kesepakatansepreh bahwa Kadipaten Purwodadi mesti tunduk kepada pemerintahan Belanda. Semenjak ketika itu Kadipaten Purwodadi yang sangat anti dan melawan Belanda, kesannya jatuh juga ke tangan Belanda pada tahun 1830. Dari situ Belanda memiliki wewenang penuh untuk menertibkan semua metode pemerintahan yang ada. Hingga pada tahun 1870 Belanda mengeluarkan suatu keputusan yang mengambarkan bahwa Kadipaten Purwodadi dileburkan menjadi satu dengan Kabupaten Magetan.
Dibaginya menjadi dua desa dan rentetan kepala desa.
Kemudian setelah Kadipaten Purwodadi dihapuskan pada tahun 1870 pada kurun R.M.T Sasranegara dan risikonya Kadipaten Purwodadi dileburkan menjadi satu dengan Kabupaten Magetan. Hingga risikonya Purwodadi diubahnya menjadi kawasan kademangan yang dipimpin oleh seorang “Demang” yang berjulukan R. Madijosentono. Oleh demang R. Madijosentono, Purwodadi dibaginya menjadi 2 desa yang berjulukan :
1- Temulus, yang dipimpin oleh Sastro Gatok
2- Purwodadi, yang dipimpin oleh Marto Ikromo
Setelah beberapa bulan menjabat kedua kepala desa tersebut meninggal dunia dan digantikan oleh Riwuk untuk desa Purwodadi dan Martowidjojo-Ingsun untuk desa Temulus. Tidak lama lalu Riwuk mengundurkan diri dan digantikan oleh R.M Kromoredjo ( Mbah Gong ) yang ditunjuk pribadi oleh R.M.A Kertohadinegoro ( Gusti Ridder ) seorang Bupati Magetan. Pada dikala penunjukan Mbah Gong sebagai kepala desa, Gusti Ridder turun langsung untuk mencari ia yang ketika itu berada di Pasar binatang.
R.M Kromoredjo yang memiliki nama kecil (asma timur) R.M Kasio merupakan cucu dari R.M Dipokusumo dari puteranya yang bernama R.M Dipokromo. Beliau menjabat selaku Kepala Desa Purwodadi dari tahun 1902 hingga 1920. Pada era kepemimpinannya datanglah seseorang yang mengaku seorang ningrat dari Yogyakarta yang bernama R.M Papak (Gusti Papak) dan ingin mendiami bangunan bekas Kadipaten Purwodadi. Beliau mengaku selaku cucu dari Nyi Ageng Serang dan sama-sama keluarga Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang ikut membantu selama Perang Diponegoro berjalan di daerah perbatasan Magetan-Madiun-Ngawi.
Saat itu Martowidjojo-Ingsun cuma menjabat selaku Kepala Desa Temulus dengan waktu yang singkat, ini dikarenakan waktu itu ia telah memperlihatkan ijin kepada orang yang mengaku R.M Papak untuk tinggal didalam Kadipaten Purwodadi, dan diketahuinya oleh Gusti Ridder yang menjabat sebagai Bupati Magetan. Kejadian itu membuat Gusti Ridder murka besar dan memberhentikan jabatan Martowidjojo-Ingsun selaku Kepala Desa Temulus, dan digantikan oleh Pontjodirjo yang ialah anak menantu dari Martowidjojo-Ingsun.
Niat dari orang yang mengaku sebagai R.M Papak digagalkan oleh R.M Kromoredjo/Mbah Gong atas perintah dari Gusti Ridder, sehabis kehadiran orang tersebut Mbah Gong pribadi datang ke Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat menemui Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk mengevaluasi kebenaranya dan ternyata ia bukan R.M Papak yang bahu-membahu. Ini dikarenakan bahwa R.M Papak cucu Nyi Ageng Serang yang bahwasanya telah meninggal pada tahun 1836 dan ayahnya diasingkan di Ambon pada tahun 1840. Kemudian bangunan pendopo ageng beserta bangunan-bangunan lainya didalam tembok Kadipaten Purwodadi dibongkar dan dibawa penjajah Belanda untuk menambah suatu bangunan di Kantor Residensi Madiun. Semenjak itu tanah Kadipaten Purwodadi diijinkan oleh pihak Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk dimiliki R.M Kromoredjo/Mbah Gong beserta keturunannya secara turun-temurun.
Akhirnya Gusti Ridder mengeluarkan sebuah peraturan untuk menyebabkan kedua desa tersebut (Purwodadi dan Temulus) menjadi satu yakni dengan nama “Desa Purwodadi”. Setelah itu diadakanlah pemilihan Kepala Desa Purwodadi yang dipilih pribadi oleh rakyat, untuk pertama kalinya dan dimenangkan oleh Dandel/Toredjo. Beliau merupakan anak menantu dari Mbah Gong dan merupakan Kepala Desa pertama sesudah bersatunya Purwodadi dan Temulus (R. Hardjo Wijono Parmin)
Cerita dibalik “BONJERO”
Wilayah Kadipaten Purwodadi dibentuk pada abad Orloog op Java / Perang Jawa pada tahun 1825-1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Dengan maksud dan tujuan untuk benteng pertahanan Perang Diponegoro dan dijadikan Kadipaten Purwodadi yang bangun megah yang akibatnya pada tahun 1830 jatuh ditangan Belanda.
Wilayah tersebut pada hasilnya dilebur menjadi kawasan Regent van Magettan / Kabupaten Magetan pada tahun 1870 dimana Adipati terakhirnya pada waktu itu adalah R.M.T Sasranegara. Peninggalan Kadipaten Purwodadi ketika ini berupa benteng baluwarti, kompleks makam antik, bekas petirtaan, serta daerah-wilayah yang dahulunya berfungsi sebagai penunjang sebuah kawasan pemerintahan (Alun-Alun, Kauman/Pengulon, Pandean, Kepatihan, Kademangan, Katemenggungan dll)
Pada dikala Mbah Gong sukses menggagalkan niat dari R.M Papak untuk tinggal di Ndalem Kadipaten, waktu itu beliau melapor kepada Wedono Maospati agar disampaikan kepada Gusti Ridder. Setelah Gusti Ridder mengenali dan mengecek eksklusif di Ndalem Kadipaten, ketika itu juga Mbah Gong diberi kado berbentuk8 keris pusaka, 2 meja rias, 1 bangku kawasan duduk dan 10 tanduk rusa yang salah satunya dibawa bapak Harmoko (mantan Ketua MPR-RI pada abad pemerintahan B.J Habibie).
Ada satu mitos yang meningkat di masyarakat sekitar tentang Ndalem Kadipaten ini, ialah perihal kepemilikan tanah didalam tembok bekas Kadipaten ini. Dimana mitos yang beredar di penduduk adalah pemilik dari tanah bekas Kadipaten Purwodadi ini harus masih trah/keturunan dari Mbah Gong yang garis pria. Hal ini dikarenakan Mbah Gong yakni cucu buyut pria dari Pangeran Diponegoro yang diberi amanah untuk memegang alih tanah bekas Kadipaten Purwodadi. Mbah Gong dahulu berpesan kepada anak-anaknya bahwa tanah ini tidak boleh jatuh ke darah keluarga lain alasannya ini sudah amanah dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada dikala ia mengeluarkan uang tanah ini terhadap Keraton. Dikawatirkan orang yang bukan trahnya nanti tidak berpengaruh untuk mempunyai tanah bekas Kadipaten ini. Saat itu Ngarsa Dalem juga besrpesan terhadap Mbah Gong bahwa tanah ini jangan dahulu didirikan bangunan pendopo didalamnya selama masih ada kericuhan terjadi, hal ini untuk menjaga keutuhan didalamnya dan selama itu tanah ini mesti ditanami flora yang kesannya bisa disantap oleh masyrakat apapun itu jadinya. Dari situ bekas Kadipaten ini disebut dengan nama “Bonjero” atau bahasa halusnya “Kebon Dalem”, kebon bermakna kebun dan jero memiliki arti dalam.
Tidak hanya itu, pada saat zaman penjajahan Jepang, Jepang mempunyai logika tidak baik dan ingin mempergunakan kerikil bata bekas kadipaten ini untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena waktu itu yang memegang alih bekas Kadipaten ini adalah R.M Kromoredjo/Mbah Gong, penjajah Jepang meminta ijin kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, ia memberi ijin penjajah Jepang untuk menenteng watu bata pagar dari bekas Kadipaten Purwodadi ini alasannya ketika itu Jepang memintanya dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh penjajah Jepang, dalam perjalanannya menurut kisah dari para pekerja yang ikut penjajah Jepang ada beberapa hal keganjilan yang terjadi. Sesampainya batu bata di Surabaya, banyak dari pekerja dan penjajah Jepang yang meninggal misterius. Mereka banyak yang meninggal dengan kondisi perut buncit dan alhasil meledak. Bahkan banyak dari warga sekitar, para pekerja Jepang dan penjajah Jepang yang mengalami kerasukan makhluk halus pada dikala itu.
Banyak dari mereka yang bermimpi abnormal yang menyuruh untuk mengembalikan watu bata itu ke tanah asalnya. Dalam mimpi mereka konon kalau kerikil bata ini tidak dikembalikan ke asalnya di desa Purwodadi, maka daerah yang dibangun dengan memakai batu bata ini akan menjadi kawasan yang menakutkan dan mengkonsumsi banyak korban hingga meninggal dunia. Pagar sebelah utara yang sudah dibongkar oleh Jepang risikonya dikembalikan dan diserahkan kembali kepada R.M Kromoredjo/Mbah Gong kemudian ditata kembali oleh keluarga keturunannya yang dibantu masyrarakat Purwodadi atas perintah dari beliau. Masyarakat Purwodadi dengan sarat semangat dan kebersamaan menata kembali pagar bekas Kadipaten ini. Pada waktu itu penjajah Jepang maupun para pekerjanya merasa ketakutan akan hal ini dan mereka tidak inginmengambil resiko yang lebih parah sebab dikala itu sudah menyantap banyak korban nyawa maupun korban dari masyarakat yang banyak mengalami kerasukan makhluk halus.
Bonjero dahulu merupakan sentra pemerinatahan yang sangat ramai, ini juga ditandai dengan beberapa kawasan dan kawasan sebagai bukti asli yang menerangkan bahwa di Desa Purwodadi dahulu yakni sentra pemerintahan yang benar-benar berlangsung di tempat ini. Selain pagar dari Kadipaten Purwodadi yang masih bangkit kuat di desa ini juga terdapat peninggalan-peninggalan bersejarah lainnya maupun nama daerah yang menjadi ciri khas kawasan pusat pemerintahan, mirip terdapat Dukuh Beteng (Kelurahan Mangge), Desa Kauman, Desa Patihan dan Desa Temenggungan disekitar kawasan ini.