Potret suatu warung di depan hotel di kalitaman salatiga tahun 1918 tropenmuseum |
Lantas terjadi kesalahan penerjemahan istilah five foot ke bahasa Melayu. “Five foot rupanya disalahmaknakan selaku kata beragam. Dalam menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu, orang membalikkan aturan MD (mengambarkan-dijelaskan) Inggris menjadi hukum DM (diterangkan-menerangkan) Melayu, sehingga terjemahannya bukan lima kaki, melainkan kaki lima,” tulis Mayapada, 15 Desember 1967.
Potret suatu warung nasi di jawa Tengah Jaman Dulu. Sumber: Tropenmuseum |
Meski dibentuk untuk pejalan kaki, ruang itu justru ditempati para pedagang sehingga orang menyebut mereka penjualkaki lima. “Istilah ini menjalar ke Medan. Dari Medan hingga di Jakarta dan menyebar ke kota-kota di Indonesia,” tulis Mayapada.
Dagangan mereka antara lain barang kelontong, obat-obatan, buku-buku, dan mainan anak. Pedagang kuliner dengan gerobak atau pikulan tak tergolong kategori ini. Mereka masuk klasifikasi jualan rakyat.
PKL di Batavia pada tamat kurun ke-19, seperti digambarkan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, biasa berteriak untuk menawan pembeli. Tapi pemerintah kota tak menyukai kehadiran mereka. Mereka diusir dari jalan. Tindakan ini menuai protes dari sejumlah bumiputera yang duduk di Dewan Kota (gemeente raad). Salah satunya Abdoel Moeis. (Baca: Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia)
Penjual dawet pikulan di sebuah pasar di Malang, Jawa Timur Tahun 1935. Sumber: tropenmuseum |
Memasuki 1960-an, cap PKL semakin buruk. Beberapa sebab, menurut Mayapada 15 Januari 1968, PKL dianggap menghancurkan keindahan kota, cara dagangnya primitif, dan bikin malu negara kalau tamu aneh tiba. Tapi sebagian kalangan membela mereka. “Sebagian dari pedagang-penjualkita gres mampu berkaki lima,” tulis Mayapada.
Gubernur Ali Sadikin berupaya bersikap tegas. Dia menindak para PKL yang membandel. Tapi Ali juga menyediakan lahan gres untuk mereka. Ini tertuang dalam Pengumuman Gubernur DKI Jakarta tanggal 27 Juli 1971 No Ib.1/1/11/1970.
Pada periode Gubernur Cokropranolo, PKL beroleh angin lantaran pengusiran agak menyusut. Sejak itu, jumlah PKL tak terkendali. Mereka terus menyanggupi pinggiran jalan ibukota. Sumber postingan:http://historia.id/kota/mula-pedagang-kaki-lima