Oleh: Syafieh, M. Fil. I
A. Pendahuluan
Dunia kajian ketimuran (orientalisme) muncul sebagai tanda-tanda baru yang meledak-ledak dalam sejarah peradaban anak insan. Islam, sebagai identitas ketimuran dan peradaban utuh, menerima perhatian yang sungguh besar. Namun para orientalis mengkaji Islam dengan menjinjing misi lain; misi imprealisme, baik agama, budaya ataupun kepentingan politik, “sebab Islam merupakan kekuatan lain (the other) yang mencemaskan bagi Barat”.[1]
Orientalisme mengkaji Islam cuma untuk menjajah dan meruntuhkan Islam dari dalam. Begitulah, dalam kamus batin kebanyakan muslim, orientalis sudah diletakkan dalam kotak hitam. Padahal, tidak sedikit dari orientalis ‘yang bagus-baik’ dan banyak memperlihatkan sumbangsih besar terhadap kemajuan peradaban Islam. Edward Said, Annemarie Schimmel, dan Louis Massignon ialah tiga dari sekian banyak orientalis ‘yang mati-matian’ membela citra nyata Islam di mata Barat. Salah satu sebabnya ialah sebab, bagi Dunia Barat, “Islam tak lebih selaku sumber dilema.” Kata Edward Said dalam pengantar bukunya Covering Islam.[2]
Orientalisme telah mengabdikan dirinya terhadap pembahasan-pembahasan keilmuan. Hal ini terjadi sebab beberapa aspek di antaranya: kebaikan dari kawan- kawan sebangsanya dengan memberikan harta dan kesempatan, adanya perustakaan- perpustakaan yang penuh dengan hasil pembahasan-pembahasan dan manuskrip- manuskrip yang sukar didapat, di samping itu mereka juga mengetahui bahasa Timur dan Barat.[3]
Sudah barang tentu, setiap pembahasan mereka mempunyai corak ketelitian, keteguhan, observasi yang luas perbandingannya, memakai buku-buku yang pokok dan manuskrip-manuskrip, pembuatan index-index yang kesemuannya ini tidak didapat pada kitab-kitab Arab kuno. Penyiaran mereka terhadap manuskrip-manuskrip terbitan yang rapih dan dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan serta index-index dilema, tempat dan nama-nama yang cukup mempermudah orang banyak.[4]
Kajian yang di geluti para orientalis beraneka ragam; ada yang berkonsentrasi pada bidang tafsir mirip Ignaz Goldziher, ada yang menggeluti bidang hadis mirip Juynboll, dan ada juga yang mempelajari bidang Hukum seperti Joseph. Schacht. Di antara orientalis yang secara mendalam mengkaji al-Qur’an utamanya perihal sejarahnya yaitu Theodore Noldeke, yang akan dibahas pada makalah ini.
B. Biografi Theodor Noldeke (1836-1931)
Noldeke ialah dedengkot dari tokoh-tokoh orientalis Jerman yang tidak ada bandingnya, karena ia betul-betul mencurahkan kesanggupan intelektualnya bagi pengkajian ketimuran. Dia juga memusatkan kajian pada sastra Yunani, dan mendalami tiga bahasa Semit, adalah Arab, Suryani, dan Ibrani. Noldeke termasuk ilmuwan berumur panjang, sekitar 94 tahun.
Noldeke lahir pada 2 Maret 1837 di kota Hamburg, Jerman. Untuk memasuki pendidikan tinggi Dia merencanakan diri dengan mempelajari sastra klasik, Yunani, dan Latin di kota Lingen (tempat ayahnya bertugas). Namun risikonya beliau kepincut pada kajian bahasa-bahasa Semit. Diantara karena dikala Noldeke hendak masuk Universitas Gottingen pada tahun 1853, ayahnya menitipkan kepada sahabatnya, H. Ewald, pakar bahasa Semit, terutama bahasa Ibrani. Ewald kemudian mengarahkan Noldeke semoga apalagi dahulu menggeluti dua bahasa Semit, adalah Arab dan Persia beserta sastranya.
Kemudian Noldeke juga belajar bahasa Suryani kepada H. Ewald; bahasa Arami, utamanya untuk kajian kitab suci, terhadap Bertheau, sebagai satu-satunya bahasa Aramiah yang dipelajari Noldeke di Universitas, sedangkan kombinasi dialek-dialek bahasa Aramiah yang lain dipelajarinya sendiri secara belajar sendiri. Dan berguru bahasa Sansakerta terhadap Benfay yang kemudian diteruskan di Universitas Kiel, ketika menjadi professor di Universitas tersebut (1864-1872).
Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke juga telah mulai mempelajari bahasa Turki dan Persia. Dia menemukan gelar sarjana tingkat pertamanya pada tahun 1856 dengan risalah yang berjudul, “Tarikh Al-Qur’an”, yang kelak digeluti Noldeke secara total. Dua tahun kemudian, tahun 1858, akademik Paris mengumumkan pemberian hadiah bagi peneliti perihal sejarah Al-Qur’an. Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja oleh Noldeke, beliau secepatnya mengajukan hasil penelitiannya tentang Sejarah Al-Qur’an. Akhirnya, bersama dengan dua rekan lainnya adalah Sprenger dan Mitchelle Amari, masing-masing mendapatkan 1.333 Franc Prancis. Dua tahun setelah itu, tahun 1860, Noldeke dengan dibantu oleh muridnya Schwally, menerbitkan karangannya yang ditulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman, dengan beberapa tambahan yang sungguh luas, yang diberi judul Geschichte des Qorans.[5]
C. Motivasinya
Tawaran hadiah sebesar 1.333 lebih Franc Prancis menjadi motivasi permulaan mengikutsertakan karyanya dalam kontes penulisan artikel yang diadakan oleh Akademi Inskripsi dan Sastra Paris. Namun, ia juga memiliki motivasi akademik yang tinggi, terbukti dua tahun sesudah itu, tahun 1860, Noldeke dengan dibantu oleh muridnya Schwally, menerbitkan karangannya yang ditulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman, dengan beberapa komplemen yang sungguh luas, yang diberi judul Geschichte des Qorans. Oleh karena itu, perlombaan perihal penelitian sejarah al-Quran ini menjadi salah satu motivasi T. Noldeke untuk meneliti al-Quran lebih lanjut [6] terutama mengenai sejarahnya. Di samping itu beliau pun terobsesi untuk membuktikan bahwa al- Qur’an bukanlah kitab orisinal agama Islam. Namun, hasil duplikat dari kitab agama terdahulu. Ia menuduh Muhammad sebagai impostor bukan selaku seorang Nabi sebagaimana doktrin umat muslim. Kaprikornus, mampu disimpulkan bahwa motif kuat yang mendorong Noldeke mengkaji al-Qur’an dengan pendekatan sejarah ialah motif agama sebagaimana motif yang dipakai Ignaz Goldziher, beliau berupaya sekuat tenaga untuk menjelaskan bahwa kitab yang menjadi pegangan agamanya yaitu yang asli sedangkan kitab yang menjadi pegangan agama lain (utamanya Islam) yakni palsu.
D. Pemikiran Theodor Noldeke
Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang menjadi referensi dan persyaratan utama dan pertama di dalam Islam. Oleh umat Islam, al-Alquran diyakini orisinalitas, kebenaran, dan keterpeliharaannya. Al-Alquran juga menjadi simbol pemersatu umat Islam. Mazhab dan pemikiran Islam boleh beragam, tetapi al-Quran yang mereka pegang tetap satu. Al-Alquran disepakati selaku landasan dan sekaligus anutan hidup di sepanjang sejarah Islam. T. Noldeke tergolong kalangan orientalis yang menggugat orisinalitas dan otentisitas al-Quran dengan keinginan untuk meminimalisir kekuatan dan tugas dalam penduduk . T. Noldeke menggambarkan al-Alquran sebagai duplikasi dari kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya dengan melacak relasi dan analisis semantik mufradat al-Alquran dan kitab-kitab sebelumnya.[7] Baginya Muhammad saw. Itu seorang impostor, bukan Nabi, al-Alquran itu hasil karangan Muhammad serta tim redaksi sesudahnya.[8]
Noldeke bahwasanya menyebarkan pedoman Abraham Geiger yang menyampaikan bahwa Al-Alquran terpengaruh oleh agama Yahudi. Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan keyakinan. kedua, peraturan-peraturan aturan dan sopan santun. Ketiga, tentang persepsi terhadap kehidupan.[9]
T. Noldeke pernah mengemukakan pendapatnya tentang Al-Qur’an sebagai berikut:
“Kita tidak hanya memiliki tanggapan-jawaban yang sarat keseluruhan dari adab Muhammad itu, bahkan ia mempunyai karya yang otentik yaitu Al-Qur’an, yang disampaikan atas nama Allah. Sekalipun demikian tokoh yang hebat dan mempesona dan menyeramkan itu dalam banyak hal tetap merupakan teka-teki. Ia berbagai mendalami agama Yahudi dan agama Kristen, tapi hanya melalui laporan ekspresi belaka dan pasti kita tidak akan puas dengan banyaknya imajinasi (the grossness of imagination), kelemahan akal (the undenibable poverty of thought), dan lain sebagainya …”
Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, menyebutkan banyak kekeliruan dalam al-Alquran alasannya “kejahilan Muhammad” ihwal sejarah permulaan agama Yahudi—kecerobahan nama-nama dalam perincian yang lain yang dia curi dari sumber- sumber Yahudi. Dengan membuat daftar kesalahan yang menyebut,
“[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Firaun, atau pun menyebut Miriam kerabat wanita Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih….[Dan] dalam kebodohannya wacana sesuatu di luar tanah Arab, beliau menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-nyaris tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang alasannya hujan, dan bukan alasannya kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil”[10]
E. Pendekatan yang digunakan T. Noldeke
Secara umum ada tiga metodologi yang dipakai oleh golongan orientalis saat mengkaji ketimuran. Pertama, pendekatan filologi. Kedua, pendekatan kritik sejarah. Ketiga, pendekatan ontologi. Metode filologi, sebagaimana yang paling kerap diterapkan oleh kelompok orientalis, mencakup beberapa fase: penelitian dan dan pengkritikan nilai naskah (textual criticism), bentuk karya tulis (form criticism) dan penulusuran sumber karya (source criticism). Tiga fase ini ialah prasyarat yang harus dibenahi dulu sebelum memasuki kawasan diskursus kajian yang diaplikasikan dengan upaya pencarian dan pengumpulan sumber acuan asal terutama memburu tulisan tangan berbentukmanuskrip-manuskrip banyak sekali model, meneliti otentisitasnya, menilai otoritasnya dan kemudian menciptakan edisi kritisnya.
Konsekuensinya tentu menyoroti kemungkinan-kemungkinan terjadinya aneka macam kesalahan dalam proses penyalinan dari perubahan, penambahan, penyisipan, pengabaian dan sebagainya. Bahkan juga mencari sumber tumpuan orisinil yang disinyalir sebagai sumber wangsit dan ide karya goresan pena itu dalam membuatkan pemikiran – pemikiran orisinalnya. Hal ini meniscayakan adanya goresan pena itu, betapa pun autentik, akan kembali pada kubangan hitam sebagai “karya bajakan” alasannya adalah ditarik jauh kebelakang “asal usul” di mana akan didapatkan “persenyawaannya”. Metodologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Renan, perintis orientalis terbaru generasi kedua, sementara generasi pertama yakni Silvestre De Sacy. Sacy dianggap sebagai bapak orientalis modern yang memperkenalkan metodologi antropologi rasional. Namun pada perkembangannya metodologi Sacy tidak dipraktekkan oleh kelompok orientalis setelahnya, dan tergantikan oleh mentodologi filologinya Renan yang cukup menonjol kurun itu sampai Foucault berani menggelarinya “si arsip zaman”.
Kedua, pendekatan krtitik sejarah (historical criticism). Pendekatan ini sedikit berbeda dengan yang pertama, jikalau yang pertama berorientasi partikularistik, namun yang kedua ini berorientasi universal dan menggeneralisir. Tertuju kepada data kebenaran berita mencakup perbandingan antara sejarah dan legenda, antar fakta dan fiksi, antar realitas dan mitos. Indikatornya bisa jadi pertentangan dari sumber isu dengan sumber yang lain, variasi dan inkonsistensi banyak sekali model walaupun berasal dari sumber yang serupa. Termasuk kejanggalan dan kecacatan bahasa yang digunakan. Karya yang bermetodologikan ini banyak juga diterapkan golongan orientalis, karena intinya hampir mendekati metodologi filologis. Seperti tampakdalam karya-karya orientalis ternama, seperti T.J. De Boer dalam Tarikh al-Falsafah fi al- Islam, di mana dia mengatakan bahwa filsafat Islam murni dari helenistik filsafat Yunani. Atau teladan lain T. Noldeke dalam Geschicte des Qorans dengan edisi Arab bertajuk Tarikh al-Alquran, yang mendaku-dalih bahwa kisah-cerita para Nabi, segenap aliran dan pewahyuan dalam al-Alquran berasal dari anutan murni Yahudi.
Terakhir pendekatan ontologi. Pendekatan ini yaitu pendekatan yang bukan bawaan dari Barat, melainkan murni dari metodologi rahim Islam sendiri. Artinya sama sekali tidak memakai dua pendekatan radikal di atas. Justru ada pengukuhan dan kemudian mempelajarinya sebagai pisau analisis kajian. Pendekatan ini tidak memperdulikan akan timbulnya perseteruan, bahkan kadang menjadi begitu kontras dan teralienasi dalam penerapan metodologi Barat yang umum—sekalipun kadang di satu segi mengelaborasi metodologi Barat. Seperti karya apik Louis Massignon dalam al- Hallaj al-Shufi al-Syahid fi Islam saat menimbulkan figur al-Hallaj, sufi yang martir, sebagai “guru spritualnya”. Ia merasa muak dengan budaya hedonisme dan matrialisme Barat dan memperoleh kedamaian dalam sosok spritualitas al-Hallaj.[11]
Dari ketiga metodologi di atas, T. Noldeke menggunakan pendekatan yang kedua ialah kritik sejarah. Noldeke memakai bagan kronologis yang membagi kala pewahyuaan menjadi tiga kurun Mekah dan satu masa Madinah, yang paling diterima secara umum di abad itu. Terlepas dari kronologi tolok ukur yang empat kurun, terdapat skema lain. Yang paling populer yaitu bagan Muir (lima periode Mekah tergolong periode pra-kenabian dan satu era Madinah).[12]
F. Sikap Terhadap Noldeke dan Orientalis yang lain
Meskipun para orientalis telah menawarkan jasa-jasa besar kepada kita dalam memahami khazanah Islam baik Al-Qur’an atau Hadis, namun mereka tidak terlepas dari fanatisme yang berdasarkan agama dan ras. Oleh alasannya itu, pembahasan-pembahasan mereka penuh dengan kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan yang disengaja, yang mewajibkan para pembaca berhati-hati. Bahkan banyak persoalan bahasa dan kesusastraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran (distorsi). Menurut A. Hanafi, kesalahan-kesalahan mereka lebih menonjol lagi dalam proyek bersama mereka ialah Encyclopaedia of Islam, utamanya dalam hal-hal yang bekerjasama dengan soal- soal keagamaan murni.[13]
Namun kesalahan-kesalahan mereka nampaknya mampu ditolerans dan dikenali sebab objek kajian mereka ialah Islam yang notabene agama yang mereka tidak sukai, sehingga hasil penelitiannya terkesan subjektif dan bias dari kebenaran hakiki. M.M. Azami berkata dalam bukunya The History of The Qur’anic Text bahwa siapa pun yang mau menulis tentang Islam, hendaknya terlebih dahulu ia menawan sebuah keputusan yakin bahwa Muhammad ialah seorang Nabi. Para ilmuwan yang mengakui bahwa beliau sungguh-sungguh seorang Rasul dan yang paling mulia di antara para nabi, mereka bakal menikmati kepustakaan hadis yang mengagungkan dan wahyu keTuhanan yang dapat dijadikan selaku sumber ilham.[14]
Setelah mengkaji tentang motivasi dan pemikiran T. Noldeke, kami rasa kita harus hati-hati terhadap hasil-hasil fatwa yang telah disumbangkannya. Karena, banyak penemuannya yang tidak bisa diterima oleh kita sebagai seorang muslim, sebagaimana kesimpulannya bahwa Muhammad yakni seorang pembohong dan penjiplak karya orang lain, disamping subyektivitas beliau dalam mengkaji al-Qur’an yang diposisikan sebagai karya Muhammad. Sikap ini bukan sebab melihat sosok beliau selaku seorang orientalis non-muslim, namun sebagai perilaku kritis terhadap setiap hasil penelitian ilmiah.
G. Kesimpulan
Dari paparan di atas mampu disimpulkan bahwa Dr. Theodore Noldoke (1836-1930) ialah seorang Orientalis ternama di Jerman yang khusus mendalami bahasa Siryani, Arab dan persia. Ia pernah mengemukakan pendapatnya mengenai Al-Qur’an selaku berikut:
“Kita tidak cuma mempunyai jawaban-tanggapan yang penuh keseluruhan dari sopan santun Muhammad itu, bahkan ia mempunyai karya yang sahih yaitu Al-Qur’an, yang disampaikan atas nama Allah. Sekalipun demikian tokoh yang luar biasa dan mempesona dan menyeramkan itu dalam banyak hal tetap merupakan teka-teki. Ia berbagai mendalami agama Yahudi dan agama Katolik, namun cuma lewat laporan mulut belaka dan niscaya kita tidak akan puas dengan banyaknya imajinasi (the grossness of imagination), kekurangan nalar (the undenibable poverty of thought), dan lain sebagainya …”
Dari istilah Theodore Noldeke di atas dapat kita asumsikan bahwa beliau masih berpikir dengan terlampau berkhayal bahwa apa yang ada di zaman nabi muhammad dianalogikan sama dengan zaman yang beliau alami. Coba kita bayangkan apakah di zaman Muhammad telah ada Universitas dan telah ada kegiatan perkuliahan di Fakultas Teologi yang pernah Theodore Noldeke alami ketika itu, dia sangka bahwa nabi Muhammad pernah belajar pada Maha guru dari beberapa pemuka agama terdahulu mirip pengalaman dia dapatkan. Sehingga merujuk pada kajian Al-Qur’an olehnya bahwa Al-Qur’an itu keterlaluan banyak “imajinasi’, kekurangan logika, kemiskinan anutan, tidak ditemukan sesuatau pembuktian yang mendukung masing-masing pendapat tersebut. Makara lebih banyak merupakan statmen yang tidak rasional bagi para peneliti.
DAFTAR PUSTAKA
Azami, M.M. The History of The Qur’anic Text, Jakarta: GIP, 2005
Anshari, Faiq Ihsan, Pencarian Sebuah Keautentikan, dalam Jurnal Aufklarung, cetakan I November 2007
Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama Februari 2008
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LKIS, 2003) cet. I.,
Hanafi, A.Orientalisme, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981. cet. I
Imarah, Muhammad menyampaikan dalam kolomnya di Azhar Magazine edisi bulan Maret 2005
Serial Dialog Pencerahan Afkar, Orientalisme vs Oksidentalisme, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
Umar, Nasaruddin, Al-Quran di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel, dalam Jurnal Studi al-Quran, edisi kedua
Shihab, M. Quraish, Orientalisme, dalam Jurnal Studi al-Alquran, edisi kedua
[1] Muhammad Imarah menyampaikan dalam kolomnya di Azhar Magazine edisi bulan Maret 2005
[2] Serial Dialog Pencerahan Afkar, Orientalisme vs Oksidentalisme. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal. 114.
[3] A. Hanafi, Orientalisme, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981) cet. I, hal. 17
[4] Ibid., hal. 17-18
[5] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LKIS, 2003) cet. I., terj. Amroeni Drajat. Peristiwa terpenting pada era ke-19 yakni publikasi karya sangat prospektif Noldeke Geschichte des Qorans pada 1860. Karya ini didukung penuh oleh Parisian Acedemie des Inscription et Belle-letteres yang menentukan dan mengungguli karya Noldeke sebagai monograf terbaik tentang al-Alquran yang diumumkan pada 1857 (Jurnal Studi al-Alquran, edisi kedua, h. 49).
[6] Ibid, hal. 49
[7] Nasaruddin Umar, Al-Quran di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel, dalam Jurnal Studi al-Alquran, edisi kedua, h. 91-93
[8] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama Februari 2008, h. 24
[9] http://pikirancerah.wordpress.com/tag/orientalisme/ pada tgl 30/9/`11 jam 7.53.
[10] M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005) hal. 341. Terj. Sohirirn Solihin, dkk.
[11] Faiq Ihsan Anshari, Pencarian Sebuah Keautentikan, dalam Jurnal Aufklarung, cetakan I November 2007, h. 102-104.
[12] M. Quraish Shihab, Orientalisme, dalam Jurnal Studi al-Quran, edisi kedua, h. 49
[13] A. Hanafi, orientalisme, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981) cet. I hal. 19.
[14] M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005) hal. 381. Terj. Sohirirn Solihin, dkk.