close

Sedangkan Pengertianumum Adalah Sebuah Langkah-Langkah Atau Pelaksana Planning Yang Telah Disusun

Implementasi  Pendidikan Moral Pancasila  
Oleh : Hamid Darmadi
Arti implementasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yakni  pelaksanaan / penerapan. Sedangkan pemahaman umum yaitu sebuah langkah-langkah atau pelaksana planning yang sudah disusun secara cermat dan rinci (matang). Kata implementasi sendiri berasal dari bahasa Inggris “to implement” artinya mengimplementasikan. Tak cuma sekedar acara, implementasi ialah suatu kegiatan yang dijadwalkan serta dijalankan dengan serius juga mengacu pada norma-norma tertentu guna meraih tujuan kegiatan.
Dalam kalimat lain implementasi itu sebagai penyedia sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak terhadap sesuatu.
Sesuatu tersebut dilakukan semoga timbul imbas berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan serta kebijakan yang telah dibentuk oleh lembaga pemerintah dalam kehidupan bernegara.
Untuk mendapatkan jawaban yang tepat  brikut ini klarifikasi implementasi berdasarkan para hebat selaku berikut:
1.      Solichin Abdul Wahab (1997). Mplementasi yakni berbagai tindakan yang dikerjakan oleh individu, pejabat, kelompok pemerintah, atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digasikan dalam keputusan kebijakan.
2.      Van Meter & Van Horn. implementasi yakni pelaksanaan tindak oleh individu, pejabat, instansi pemerintah, maupun kelompok swasta dengan tujuan untuk menggapai impian yang telah digariskan dalam keputusan tertentu.
3.      Guntur Setiawan (2004).  Implementasi yakni perluasan dari aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan serta tindakan dengan tujuan untuk menggapainya juga dibutuhkan jaringan pelaksana berokrasi yang efektif.
Berdasarkan usulan di atas dapat di simpulkan bahwa Implementasi Pendidikan Moral Pancasila / Kewarganegaraan adalah  pelaksanaan pembelajaran PMP/PKn/PPKn berdasarkasn dasar hukum yang  berbentuk keputusan Pemerintah  (Presiden, Menteri Pendidikan) sederajat atau keputusan pengadilan. Proses pelaksanaannya berjalan setelah jumlah tahapan mirip tahapan proses undang-undang yang kemudian  dalam bentuk pelaksanaan kebijakan sampai kebijakan korektif bersangkutan. Tujuan mplementasi merupakan tahap dimana metode isu telah dipakai oleh pengguna (sebelum sungguh-sungguh mampu dipakai dengan baik oleh pengguna). Sistem wajib melalui tahap pengujian dengan tujuan supaya sistem terjamin tanpa hambatan fatal yang muncul ketika pengguna menggunakan metode tersebut.
Pengamalan Pancasila periode Orde Baru (Orba) ialah sesuatu yang traumatik bagi sebagian orang. Karena Orba relatif menciptakan Pancasila sebagai suatu instrumen kaku di mana semua penerjemahannya dikerjakan oleh penguasa. Mereka yang berbeda dengan penguasa dalam hal menerjemahkan Pancasila akan dianggap selaku anti-Pancasila dan pada kesannya akan menerima kesusahan dalam mengakses layanan sosial, ekonomi, pendidikan, pemerintahan, dan  politik. Keinginan Orba untuk merealisasikan pemerintahan menurut Pancasila dan UUD 1945 yang “murni dan konsekuen”, bagi sebagian orang berubah menjadi ‘indoktrinasi Pancasila.’ Pancasila menjadi sungguh sakral dan seperti cuma menjadi milik penguasa. Alih-alih menjadi instrumen untuk meraih kemakmuran dan keadilan bareng , Pancasila justru menjadi instrumen penguasa untuk mengendalikan publik sebagaimana maunya penguasa tersebut.
PMP selalu dituding menjadi cara sosialisasi Pancasila yang sesuai dengan kemauan Orba. Bagi para pengritik, PMP yaitu cara untuk membuat warga negara yang punya kepatuhan tanpa kritik kepada penguasa. Oleh alasannya itu, PMP mesti diubah. Pada dikala itu, desain-rancangan pendidikan kewarganegaraan dianggap cocok untuk dipraktekkan alasannya memuat pembentukan nilai yang partisipatif daripada dogmatis. Sekilas rancangan pendidikan kewarganegaraan memang mempesona untuk diterapkan. Namun, pada praktiknya, penerapannya tidak semudah membalik telapak tangan. Isu yang layak dikaji lebih mendalam tentang Pendidikan Moral Pancasila antara lain yaitu :
1.     Masyarakat Indonesia sungguh bermacam-macam dan belum pada level pelembagaan sosial budaya yang masak. Dalam taraf mirip itu, aspek-faktor negatif sangat terbuka untuk timbul ke permukaan; condong menutupi aspek-faktor positifnya. Ada masa di mana dalam penduduk yang sungguh bermacam-macam, konsolidasi sosial menghasilkan efek-imbas yang tidak dibutuhkan. Hal ini terjadi karena pembangunan nilai sedang terjadi dan kompetisi kekuasaan sedang berjalan. Dalam tahap itu, paradigma yang menjadi arus utama adalah kemenangan, bukan kebaikan lazim. Itulah sebabnya, dalam masyarakat itu, adanya satu referensi yang besar lengan berkuasa dan solid diperlukan untuk mereduksi potensi-potensi negatif. Pada era lalu, kepemimpinan yang berpengaruh atau bahkan diktator perlu untuk menyatukan penduduk . Namun di abad kini, kita tidak butuhdiktator, hanya suatu contoh nilai yang cukup berpengaruh semoga siapa saja tidak menentukan nilai yang justru membuat disintegrasi.
2.     Pendidikan Kewarganegaraan yang disusun merupakan rancangan pendidikan menurut perkiraan rasionalitas liberal. Ada perkiraan bahwa siapa saja punya rasionalitas yang cukup untuk membentuk sebuah perilaku yang bagus. Sayangnya, penduduk Indonesia mempunyai rasionalitas yang sungguh bermacam-macam. Bahkan bukan hanya rasionalitas yang beragam, tetapi juga pola modernitas dan polarisasi ideologi yang kadang sungguh tajam. Kesenjangan rasionalitas ini perlu dijembatani dengan suatu pengertian bersama yang telah disepakati. Para pendiri bangsa kita pun berusaha membuat jembatan-jembatan pedoman untuk memperkenalkan konsep-konsep humanisme dan demokrasi. Dengan jembatan-jembatan pengertian itu, penduduk mampu mengerti dan secara kultural bisa mengikuti maksud para pendiri bangsa.
Sesungguhnya factor inilah yang perlu kita sadari bareng oleh seluruh komponen bangsa yang multi kultural ini. Tidak disangkal bahwa sebagian penduduk yang mengritik kembalinya PMP dalam kurikulum sekolah takut karena praktik abad lalu. Pancasila terkena getah Orba. Padahal Orba sebenarnya tidak selalu buruk, dan konsep penerapan Orba wacana Pancasila juga tidak selalu jelek. Ada faktor-aspek yang mampu kita teruskan, tetapi dengan penyesuaian-pembiasaan tertentu sesuai dengan permintaan zaman dan perjalnan waktu yang terus berganti.
Konsep kekinian dan hal-hal yang lebih implementatif sepertinya mampu membentuk dan mengarahkan nilai-nilai luhur Pancasila secara lebih efektif. Metodenya tidak lagi dengan menghapalkan sila-sila atau butir-butir Pancasila saja, melainkan dengan praktik-praktik kasatmata yang mengajarkan pengertian tentang toleransi, keberagaman, nasionalisme. Contohnya, Sejak usia dini para penerima latih mampu diajarkan untuk berkunjung ke kawasan-kawasan lain di luar kampung halamannya untuk bisa berinteraksi dan melihat kawasan Indonesia secara lebih luas. Atau mungkin bisa juga dengan aktivitas menginap bareng warga dan ikut kerja-kerja sosial bareng penduduk di kampong-kampung. Hal-hal seperti ini idealnya akan mampu memperkaya wawasan kepada penerima ajar bahwa Indonesia itu tidak cuma di kampung halamannya saja kawasan mereka bersekolah; Indonesia itu sungguh beraneka ragam dan beragam serta terdiri dari aneka macam macam suku, agama, ras, etnis, golongan, dan variabel-variabel yang lain.
Melalui pendekatan seperti ini, nilai-nilai toleransi, keberagaman, nasionalisme, tidak cuma merupakan simbol saja, tetapi akan diketahui dan juga sekaligus dipraktikan dalam hal-hal yang konkret. Dengan pemikiran seperti itu, perlu didukung kembalinya PMP, dari tingkat sekolah dasar hingga dengan menengah atas. Jika PMP sudah diberlakukan kembali dari usia dini, maka contoh pikir dan pengertian serta implementasi terhadap nilai-nilai kebangsaan dapat lebih gampang untuk dipraktikkan.
1.     Kedudukan dan Fungsi Pendidikan Moral Pancasila
Kedudukan dan fungsi Pancasila mempunyai pengertian yang sungguh luas dan tidak terbatas, baik dilihat dari segala segi tentang Pancasila dan fungsi pokok Pancasila selaku dasar negara dan deologi negara. Menurut Depdiknas, 2003:20, pendidikan adalah suatu upaya yang dilkukan secara sadar juga terencana sesuai rencana demi menciptakan keadaan mencar ilmu dan sebuah tahapan pembelajaran biar peserta bimbing mampu secara aktif mengembangkan serta memaksimalkannya
Dengan begitu dapat mempunyai kekuatan dalam jiwa keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang berkarakter, kecerdasan,  berakhlak yang mulia serta memiliki kemampuan yang nantinya diperlukan oleh dirinya didalam kehidupan di lingkungan, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan pada hakikatnya ialah upaya yang dilakukakn oleh masyarakat dan juga pemerintah untuk mengenalkan perihal suatu ilmu yang mempunyai manfaat bagi keberlangsungan hidup generasi penerus bangsa. Pendidikan Pancasila mempunyai fungsi sebagai fasilitas untuk meningkatkan perilaku kesadaran dalam bernegara dan lebih berwawasan nusantara, menciptakan sikap serta mempunyai jiwa cinta tanah air.
2.     Tujuan Pendidikan Moral Pancasila 
Tujuan Pendidikan Moral Pancasila menurut UU No. 2 Tahun 1989 ihwal tata cara Pendidikan Nasional yang juga tercantum di dalam SK Dirjen Dikti. No.38/DIKTI/ Kep/ 2003, adalah guna menerangkan arah tujuan pada budbahasa dan dibutuhkan dapat terealisasi di kehidupan bermasyarakat saban hari, yakni tingkah laku yang menawarkan keyakinan serta taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (keyakinannya masing-masing), bertingkah-laku kerakyatan dengan senantiasa mendahulukan kepentingan lazim. Dan bukannya mendahulukan kepentingan individu maupun golongan dan golongan tertentu sehingga dalam setiap adanya perbedaan pemikiran senantiasa diarahkan unutk bermusyawarah supaya mendukung terwujudnya kondisi yang memiliki keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, tujuan mempelajari Pancasila yaitu semoga dalam ddiri pesertadidik/warganegara terciptanya  sikap di dalam kehidupan sehari-hari, berikut diantaranya perihal tujuan Pendidikan Moral Pancasila/PPKn/PPKn :
1.     Memiliki keimanan serta ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2.     Memiliki sikap kemanusiaan yang adil juga beradab terhadap orang lain dengan senantiasa memiliki sikap tenggang rasa di tengah kemajemukan bangsa
3.     Menciptakan persatuan bangsa dengan tidak bertindak anarkis yang dapat menjadi penyebab lunturnya Bhinneka Tunggal Ika ditengah penduduk yang mempunyai keberagaman kebudayaan. (baca juga: Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat dan Contohnya)
4.     Menciptakan perilaku kerakyatan yang mendahulukan kepentingan biasa dan memprioritaskan musyawarah untuk meraih keadaan yang mufakat.
5.     Memberikan sumbangan sebagai cara membuat keadaan yang berkeadilan sosial dalam masyarakat.
Dengan adanya Pendidikan Pancasila, menjadi sebuah sarana dalam usaha untuk mengetahui, memahami serta mendalami makna Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia dan juga mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat sesuai dengan cita-cita serta tujuan nasional mirip yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945.
3.     Eksistensi Pendidikan Moral Pancasila Era Globalisasi 
Eksistensi Pendidikan Moral Pancasila atau yang biasa disingkat PMP telah menjadi topik yang hangat dibicarakan. Penyebabnya ialah wacana PMP yang akan dikembalikan dan dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan. Mungkin anak muda jaman kini atau generasi milenial tidak terlalu banyak mengenali dan mengerti apa itu PMP.  PMP merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sejak tahun 1975. PMP dikala itu menggantikan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang telah masuk dalam kurikulum sekolah di Indonesia semenjak tahun 1968. Namun, mata pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan pada kurun reformasi PPKn diubah lagi menjadi PKn dengan menghilangkan kata Pancasila yang dianggap selaku produk orde gres. Lebih lanjut, PMP berisi materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau diketahui dengan istilah P4.
Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di  Indonesia telah dilanda berbagai macam krisis yaitu krisis akidah, krisis keteladanan, krisis kepemimpinan, krisis kebudayaan dan yang paling utama yaitu krisis watak. Dalam abad waktu satu dekade ini, banyak yang menyampaikan bangsa Indonesia mengalami kemunduran watak yang sungguh ahli, ditandai dengan tingginya angka free sex atau seks bebas dikalangan remaja, maraknya penggunaan obat-obatan terlarang, seringnya terjadi bentrokan antar warga, antar pelajar, mahasiswa dengan aparat, dan lainnya yang biasa didasari oleh hal-hal sepele. Semakin banyaknya kasus korupsi yang terungkap ke permukaan juga memberikan degradasi budpekerti tidak hanya menimpa golongan penduduk biasa, namun juga para pejabat atau wakil rakyat yang seharusnya dan semestinya menjadi pengayom dan teladan bagi warganya.Bangsa ini tampaknya telah cukup lelah melihat, menyaksikan, dan mengalami kondisi yang demikian.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yakni suatu pelajaran yang mampu menciptakan masyarakat Indonesia bisa memiliki ajaran adab dan etika baik supaya rakyat Indonesia bermoral dan beretika Pancasila sebagaimana harapan bangsa untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Kalau dilihat dari sisi nama saja, PMP memang diharapkan. Pendidikan susila yakni salah satu hal yang penting untuk ditanamkan sejak dini selain pendidikan agama. Dengan didikan etika yang sudah ditanamkan sejak dini, perilaku seseorang akan kuat di periode depan. Kemudian mempelajari bagian Pancasila juga tak kalah pentingnya. Sebagai ideologi negara, Pancasila tak cuma sekedar dipelajari, namun juga diaplikasikan. Kita harus sadar bahwa nilai Pancasila digali dari puncak-puncak kebudayaan, nilai agama, dan adat istiadat bangsa Indonesia sendiri, bukan dikulak dari negara lain. Nilai ini telah ada semenjak bangsa Indonesia lahir.
Oleh alasannya itu, sudah selayaknya jika Pancasila yang ialah maha karya para pendahulu bangsa ini untuk menerima predikat sebagai jiwa bangsa. Secara lebih spesifik, nilai Pancasila sudah tercermin dalam norma, seperti norma agama, kesusilaan, kesopanan, kebiasaan, dan norma hukum. Oleh risikonya, mari kita membumikan Pendidikan Moral Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, biar apa yang dikatakan oleh Pam Schiller & Tamera Bryant bahwa: “Jika kita meninggalkan pelajaran ihwal nilai watak yang sudah kebanyakan berganti, kita sebagai sebuah Negara berisiko kehilangan sepotong kedamaian dari budaya bangsa.
Setiap bangsa memerlukan landasan ideologis, suatu prinsip dasar yang menawarkan kerangka nilai, modal, adab, dan juga kerangka tujuan ideal bangsa itu didirikan. Itulah yang disebut sebagai persepsi hidup bangsa. Tanpa adanya ideologi atau persepsi hidup bangsa itu, suatu bangsa kehilangan jati diri atau kepribadiannya. Tidak ada teladan nilai dan tidak ada tujuan ideal yang ingin diraih. Dengan cara berpikir seperti itu, mampu diketahui mengapa langkah pertama yang dilakukan oleh para pendiri bangsa kita untuk mendirikan negara ialah merumuskan terlebih dulu ideologi bangsa.
Pentingnya ideologi bangsa ini sungguh kita rasakan pada masa Reformasi. Keinginan untuk mewujudkan demokratisasi di satu segi, berhadapan dengan banyaknya tuntutan modernitas di segi lain. Dalam bidang pemerintahan terjadi tarik ulur antara paradigma unitarian dengan paradigma desentralisasi. Dalam bidang sosial budaya, terjadi tarik ulur antara ideologi pasar, ideologi sosialis, radikalisme dan seterusnya. Dalam bidang politik terjadi ledakan partisipasi warga negara tetapi rendah dalam kesadaran mengenai desain kebangsaan; semua pihak mengejar kepentingan eksklusif dan mengesampingkan landasan etis berpolitik.
Yang terjadi kemudian Indonesia terjebak pada transisi yang berlarut-larut. Banyak fenomena negatif yang kita alami. Salah satu yang begitu mengganggu kita selama empat tahun dewasa ini adalah merajalelanya intoleransi, ajaran antikeberagaman bahkan radikalisme dan terorisme. Indonesia yang kita kenal saat ini sangat berbeda dengan Indonesia dua puluh tahun kemudian. Sampai dekade 90-an, kita masih akrab dengan perbedaan, tidak terkotak-kotak dalam sekat primordialisme dan oke pada ikatan kebangsaan kita yang berlandaskan keberagaman. Saat ini, kita mirip sengaja dipisahkan oleh marka-marka pembatas sosial, di mana satu kalangan diarahkan untuk tidak suka golongan lain, menjebak kita dalam paradigma oposisi yang tak berkesudahan. Ada pemain drama-pemain drama yang menikmati permainan sektarian ini. Namun, yang terperinci, bangsa Indonesia secara keseluruhan sangat dirugikan. Besar sekali sumber daya yang kita perlukan untuk mengatasi itu. Meskipun kita mujur karena masih bisa bangun selaku sebuah bangsa, namun masifnya eksploitasi primordialisme ini membuat bangsa Indonesia tidak pernah lagi sama seperti sebelumnya. Tampaknya, transisi demokrasi Indonesia memang membutuhkan suatu kerangka dan landasan kuat biar makin terarah. Pancasila bahu-membahu ialah sebuah pandangan hidup ideal. Pancasila yang berintikan pada toleransi, kebinekaan, dan kesetaraan, sungguh-sungguh menjadi nilai pemersatu bangsa Indonesia yang bermacam-macam ini.