Anak – anak Suku Baduy |
Mereka adalah sebuah masyarakat yang tradisional yang hidup di dalam sisi barat dari pulau Jawa, Indonesia. Masyarakat ini masih primitif, alasannya adalah cara hidup mereka mengacu pada sebagian model lama. Di dalam zaman globalisasi mereka masih bertahan hidup dengan prinsip-prinsip hidup yang lama penuh dengan kearifan lokal. Urang Baduy Kanekes, yang bertempat tinggal di Pegunungan Kendeng, Banten Selatan, selaku masyarakat tradisi murni, yang masih berpengaruh menampakan ciri-ciri budaya Nusantara sebelum kehadiran Hindu dan Budha.
Buyut nu dititipkeun ka puun
Negara satelung puluh telu
Bagawan sawidak lima
Pancer salawe nagara
Pantun Buhun Baduy
Orang/Masyarakat Baduy yang hingga kini ini kukuh mengikuti adab istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka dengan dunia luar sudah terjadi sejak abad 16 Masehi, yakni dengan Kesultanan Banten. Sejak dikala itu berlangsunglah tradisi Seba sebagai puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di luar Kanekes.
Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan sebagai tunduknya orang Baduy kepada pemerintahan kerajaan lokal (Garna,1993). Sampai kini upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berbentukmenghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten.
Di bidang pertanian penduduk Baduy Luar berinteraksi akrab dengan masyarakat lain yang bukan Baduy, contohnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan yang pada waktu yang lampau dijalankan secara tukar barang, sekarang ini telah memanfaatkan mata duit rupiah biasa. Orang Baduy memasarkan hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga berbelanja keperluan hidup yang tidak dibuat sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes mirip pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Disamping itu, orang Baduy di Kanekes, semenjak para karuhun memiliki syair-syair atau pantun-pantun. Adapun syair ataupun pantun tersebut menggunakan bahasa yang dipergunakan selaku media utama dalam mulut sehari-hari Baduy namun mengandung pituah, perintah, yaitu Bahasa Sunda dialek Baduy yang sudah meninggalkan Kanekes beserta segala pranata masyarakatnya. Dalam hal ini seperti budbahasa akidah, kebiasaan, yang bertumpu pada akar keklasikan serta banyaknya kata-kata dan untaian kalimat Sunda Kuno.
Dikalangan penduduk Baduy Kanekes, unsur Sunda Kuno itu lebih banyak dibanding yang terdapat dikalangan penduduk Sunda luar Kanekes. Hal itu dikarenakan sangat gugon tuhonnya mereka memelihara peninggalan karuhun termasuk didalamnya bahasa.
Hal itu ditopang pula oleh sangat jarangnya persentuhan mereka dengan budaya luar. Terutama di Tangtu Telu, Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik. Karenanya, merekapun sangat tidak mengenal undak usuk basa. Bagi orang Tangtu undak usuk basa sungguh abnormal. Contoh, untuk orang pertama dengan siapapun mereka mengatakan mempergunakan sebutan aing, untuk orang kedua dipergunakan sebuatan sia. Orang Baduy Kanekes, sungguh demokratis dalam berbahasa. Oleh DN. Halwany – Girang Puhu Bale Budaya Baduy Yayasan – Paku Tangtu Telu.