Hari ini, barangkali telah terlalu banyak berseliweran di timeline media umum kita, tentang sebuah kata yang kemudian mengingatkanku pada segerombolan bocah dengan sarung, baju, dan kopiah serba lusuh, bahkan tidak jarang di beberapa bab tubuhnya dipenuhi aksesoris khas, gudig. Ada yang kemudian menyampaikan, “Belum tepat dia dikala gudig belum menempel ditubuhnya.” SANTRI. Ya, santri. Meskipun Gus Mus pernah mengatakan: “Santri bukan hanya yang mondok saja, namun siapapun yang berakhlak seperti santri, dialah SANTRI.”
Kemudian saya kembali teringat ketika dahulu Al Maghfurlah K.H. Syamsul Ma’berilmu Kaliwungu (lahu al fatihah) menyampaikan makna yang terkandung dalam kata santri; Sa (Satir al Dzunub), Nun (Naib al Suyukh), Ta (Tarbiyah li Qoumi), dan Ro’ (Ribath al Islam).
–Satir al Dzunub (Menutup Dosa)
Aku atau sampeyan tidak akan pernah mampu menyangkal bahwa manusia yakni daerah khilaf dan dosa. Namun bukan berarti dengan seenaknya kalimat itu selalu dijadikan semacam alat pembela dikala aku atau sampeyan melaksanakan kekhilafan atau dosa. Terlebih ketika telah mendaku diri selaku santri. Sebab santri itu satir al dzunub, maka perlu kiranya berbenah diri biar tidak terjerembab dalam kubangan nista penuh dosa.
–Naib al Suyukh (Pengganti Generasi Tua)
Alamiah. Ini bagian dari siklus kehidupan. Yang baru mengambil alih yang lama, yang muda menggantikan yang bau tanah. Yang menjadi titik duduk perkara yakni layakkah yang baru mengambil alih yang lama? Siapkah yang muda mengambil alih yang tua?
–Tarbiyah li Qoumi (Mengajarkan Kepada Masyarakat)
Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Meskipun barangkali pohon tanpa buah bukan sama sekali tanpa faedah, beliau tetap berfaedah, tetapi ketika berbuah pasti akan memperlihatkan manfaat yang lebih, bukan? Ballighu ‘anni walau ayat. Sampaikanlah meski satu ayat (sedikit).
–Ribath al Islam (Sebagai Benteng Islam)
Benteng yakni kawasan berlindung atau bertahan. Maka sejatinya orang berlindung yakni untuk mencari ketentraman, sejatinya bertahan yakni supaya tidak gampang terporakporandakan. Islam itu ramah, bukan? Rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi segelintir orang saja. Lalu, keramahan itu kenapa dengan gampang dirusak dengan kemarahan? Katanya ramah, kok sedikit-sedikit murka?
: Teringat sudah apa yang dahulu Abah Kiai sampaikan ihwal santri. Pada kesudahannya saya mesti kembali mengajukan pertanyaan terhadap diriku sendiri. Santrikah aku?