Tak ada seorang ibu pun yg mau kehilangan buah hatinya. Tak ada seorang ibu pun yg mau dipisahkan dgn bayinya, terlebih tak ada kejelasan bayi itu akan jatuh ke tangan siapa.
Namun yg dihadapi Ayarikha –demikian namanya seperti dikutip Ibnu Katsir dlm Qashashul Anbiya’– ketika itu sungguh berat. Musa yg gres dilahirkannya terancam dibunuh rezim Fir’aun sebagaimana bayi pria yang lain. Maka ia pun mengikuti pandangan baru yg diterimanya; memasukkan Musa ke dlm peti & menghanyutkannya ke sungai.
Hari-hari itu sangat berat bagi Ayarikha. Adakah ibu yg tak berduka berpisah dgn bayinya? Adakah ibu yg tak bersedih tak mampu lagi memeluk buah hatinya? Adakah ibu yg tak menangis tatkala bayi yg sebaiknya ditimang kini terpaksa dibuang?
Namun demi keamanan Musa, cara itu harus ditempuhnya. Demi masa depan umat insan, pengorbanan besar itu dilakukannya. Kemudian Allah mentakdirkannya bertemu dgn Musa di istana Fir’aun, meskipun masih harus merasakan kesedihan karena tak mungkin mengungkapkan jati diri bahwasanya bahwa ia yaitu ibu kandung Musa.
Ibu-ibu kita memang tak pernah menghadapi diktator selevel Fir’aun yg membunuhi bawah umur. Namun, di setiap zaman, para ibu selalu menghidangkan pengorbanan demi keamanan & masa depan anak-anaknya. Meski tak seberat Ayarikha, para ibu pula pernah mencicipi sedih-sedih-lara yg acap kali mengharu biru dikala berjuang mendidik & membesarkan putra-putrinya.
***
Kita mampu membayangkan, betapa beratnya buncah kesedihan dikala seorang ibu memasukkan bayinya ke peti, menjatuhkannya ke sungai & melihat arus menenteng peti itu pergi. Lalu, bagaimana rasanya seorang ibu mengenali putranya dikepung & dibantai?
Asma’ binti Abu Bakar mengalaminya. Saat itu usianya sudah senja, nyaris 100 tahun menurut Mahmud Al Mishri dlm Shahabiyat hawlar Rasul. Ia pula dlm kondisi sakit saat pasukan Al Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi menyerbu Makkah Al Mukarramah mengejar-ngejar putranya, Abdullah bin Zubair.
Abdullah bin Zubair awalnya memerintah Hijaz, Yaman, Irak & Khurasan. Namun kekuasaannya dipreteli oleh ats Tsaqafi. Hingga hari itu, ia dikepung di Makkah. Bagai meriam, manjaniq melontarkan kerikil-batu ke Makkah dr segala arah. Menghancurkan bangunan, merusak Masjidil Haram, & tak terhitung korban yg berjatuhan.
Setelah pasukan kavaleri beraksi, pasukan infanteri mengepung Abdullah bin Zubair. Hampir tak ada peluang untuk bisa bertahan lebih lama, sementara banyak pendukung yg berubah haluan mengkhianatinya. Saat itulah, dgn luka di tubuhnya, Abdullah bin Zubair menghadap pada Asma’.
“Wahai ibu, orang-orang berkhianat sampai tinggal beberapa yg membersamaiku. Musuh menawariku harta bila gue mengalah, bagaimana pendapat Ibu?”
Asma’ menjawab tegas, “Demi Allah, wahai anakku, kau lebih tahu perihal dirimu. Jika kau-sekalian merasa benar, tetaplah di jalan ini. Sahabat-sahabatmu pun syahid di jalan ini. Namun bila kamu-sekalian mengalah & mengambil dunia sebagai opsi, kamu-sekalian ialah insan terburuk di muka bumi.”
“Wahai ibu,” Abdullah bin Zubair tersenyum, “bantu-membantu memang itulah pendapatku. Aku menghadapmu biar kian teguh keputusanku. Kini anggaplah gue telah terbunuh.”
Dalam momen-momen mengharukan itulah terucap kalimat Asma’ yg mengabadi sampai zaman ini: “Isy kariman au mut syahidan.” Hidup mulia atau mati syahid. Semboyan yg kemudian menjadi semangat Abdullah bin Zubair untuk bertempur hingga titik tamat.
Serangan bertubi-tubi memukul Abdullah bin Zubair. Tak terhitung luka di tubuhnya. Darah pun mengalir membasahi tanah haram. Akhirnya, putra Zubair bin Awwam itu pun syahid & jasadnya digantung di kayu salib.
Bagaimana perasaan seorang ibu melihat mayit putranya digantung, berhari-hari tak dimakamkan? Pasti ada kesedihan mendalam di relung jiwa Asma’. Namun syukurnya jauh lebih besar. Sebab putranya telah syahid fi sabilillah.
***
Jika Asma’ telah melahirkan semboyan jihad isy kariman au mut syahidan, Ikhwanul Muslimin memiliki semboyan syahid fi sabilillah al asma amanina. Jika Asma’ besar hati dgn syahidnya Abdullah bin Zubair, banyak ibu-ibu Ikhwanul Muslimin mewarisi semangat Asma’.
Ummu Nidhal ialah salah satu misalnya. Nama aslinya Maryam, dialah istri Asy Syahid Fathi Farhat.
Tak hanya mendukung suami menjadi syahid, Ummu Nidhal pula mempersembahkan seluruh anaknya menjadi mujahid. Enam putra & empat putri, semuanya masuk Izzudin Al Qasam. Tiga putranya telah syahid; Nidhal, Muhammad & Rowad. Dan setiap kali mendengar putranya syahid, Ummu Nidhal keluar rumah untuk membagi-bagikan manisan selaku tanda syukurnya pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akhwat lain pernah menolak istilah bela sungkawa dikala putranya syahid. “Jika kamu-sekalian mau menyampaikan bela sungkawa, maka pulanglah. Namun jika kau-sekalian mau memberikan selamat atas syahidnya putraku, gue akan menyambutmu.”
***
Tak hanya berkorban untuk keamanan anak, para ibu jauh lebih mencintai anak-anaknya hidup dlm kemuliaan. Karenanya para ibu tak hanya siap menanggung sedih-murung-lara dlm membesarkan belum dewasa, tetapi pula membekali mereka dgn kebenaran. Memotivasi saat bawah umur merasa lemah, memberi inspirasi dikala bawah umur menghadapi problem.
Namun perjuangan ibu bukan hanya soal mengandung & melahirkan. Merawat bayi & membesarkan. Ibu pula disebut madrasatul ula; sekolah yg pertama. Sebab semenjak bayi, anak berguru dr ibunya; kebiasaan, kata-kata, & keteladanan. Bahkan keimanan.
Lalu sejarah pun mencatat, betapa banyak hero besar lahir dr rahim & didikan perempuan-perempuan mulia. Mereka bukan hanya menjadi ibu biologis, namun pula ibu ideologis. Mereka bukan cuma mengantarkan anak-anaknya tumbuh sehat namun pula memiliki ideologi kuat. Mereka bukan hanya membesarkan fisik anak-anaknya namun pula membesarkan impian & obsesi mereka.
Siapa pun kita, apa pun yg kita capai hari ini, segalanya tak lepas dr peran ibu. Maka Rasulullah pun mewasiatkan agar kita memuliakan & berbakti kepadanya. Bahkan ibulah yg disebut tiga kali tatkala seorang sobat bertanya pada siapa harus berbakti: “ibumu”, “ibumu”, kemudian “ibumu.” Setelah itu baru, “ayahmu.”
Maka mari kita periksa bakti kita pada ibu. Menghadaplah kepadanya dgn sepenuh bakti seorang ananda. Sampaikan terima kasih atas segala kebaikannya yg tak pernah terbalas meskipun kita membawanya ke Makkah & menggendongnya berthawaf mengelilingi ka’bah. Sampaikan terima kasih atas segala kebaikannya yg tak bisa dibalas meskipun seluruh harta kita serahkan selaku hadiah.
Dan untuk kita para ikhwan, bantulah istri kita menjadi ibu terbaik bagi bawah umur kita. Hingga para para istri menjadi ibu ideologis yg mewariskan tarbiyah Islamiyah pada anak-anak kita. Hingga para istri menjadi ibu peradaban yg melahirkan pejuang kebenaran. Yang tak pernah gelagapan menghadapi tantangan zaman. Yang tak akan mengalah menghadapi musuh-musuh Islam. Sebab terpatri semangat dr ibu-ibunya; isy kariman au mut syahidan, syahid fi sabilillah al asma amanina.[Muchlisin BK/wargamasyarakat]