Salakanagara Kerajaan Paling Awal Di Nusantara

Salakanagara Kerajaan Paling Awal di Nusantara Salakanagara Kerajaan Paling Awal di Nusantara
gambaran-kerajaan-salakanagara

Salakanagara diyakini selaku kerajaan pertama di Nusantara meskipun masih memantik perdebatan.

Claudius Ptolemaeus pernah menyebut suatu tempat bernama Argyre dalam bukunya, Geographia, yang ditulis kira-kira tahun 150 Masehi. Argyre, berdasarkan ilmuwan Yunani itu, berada di dunia timur yang sungguh jauh, tepatnya di bagian barat suatu pulau bernama Iabodio. Penyebutan pulau ini lalu dikait-kaitkan dengan istilah Yawadwipa alias Jawa.

Dalam bahasa Yunani, argyre memiliki arti “perak”. Pada sekitar masa dikala Ptolemaeus merilis Geographia, berdirilah kerajaan berjulukan Salakanagara di bagian barat Jawa (Edi Suhardi Ekajati, Kebudayaan Sunda: Zaman Pajajaran, 2005:55). Salaka, dalam bahasa Sunda, artinya “perak”. Lantas, apakah Argyre yang dimaksud Ptolemaeus ialah Kerajaan Salakanagara?

Kerajaan Paling Awal di Nusantara? Riwayat Kerajaan Salakanagara memang berselimut misteri yang cukup pekat. Tak hanya soal mitos Argyre, hal-hal lain terkait kerajaan yang diresmikan pada 130 M –tepat 20 tahun sebelum Ptolemaeus mempublikasikan Geographia– ini masih menjadi perdebatan di kelompok peneliti dan pakar sejarah.

Perdebatan yang paling fundamental yaitu doktrin bahwa Salakanagara merupakan kerajaan tertua di Nusantara (Halwany Michrob, dkk., Catatan Masa Lalu Banten, 1993:33). Sementara yang lebih lazim dimengerti tentang kerajaan paling permulaan di kepulauan ini yaitu Kutai Martadipura di Kalimantan Timur.

Jika dilihat dari waktu berdirinya, Salakanagara yang sudah eksis sejak kala ke-2 terperinci lebih bau tanah ketimbang Kutai yang gres muncul pada masa ke-4 M. Namun, yang melemahkan klaim Salakanagara ialah bukti fisik terkait asal-muasal kerajaan ini sangat minim. Berbeda dengan riwayat Kutai yang dilacak lewat penemuan sejumlah prasasti.

Modal untuk menjaga argumen bahwa Salakanagara ialah kerajaan pertama di Nusantara hanya berupa catatan perjalanan dari Cina. Kerajaan Salakanagara memang telah menjalin hubungan jualan dengan Dinasti Han. Bahkan, kerajaan Sunda ini pernah mengirimkan delegasi ke Cina pada era ke-3.

  Sejarah Pembebasan Irian Barat

Selain itu, pencarian sejarah Salakanagara juga diperoleh dari naskah Wangsakerta, tepatnya pada bagian Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara (Ayatrohaedi, Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon, 2005:61). Disebutkan pula, wilayah kekuasaan Salakanagara mencakup Jawa bab barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa.

Yang menjadi masalah, naskah Wangsakerta sendiri masih menjadi kontroversi. Naskah yang digarap oleh semacam panitia riset dari Kesultanan Cirebon ini konon disusun selama 21 tahun dan tamat pada 1698. Meskipun penemuan naskah ini sempat sangat disyukuri alasannya adalah terbilang lengkap, namun tidak sedikit kalangan sejarawan yang mewaspadai keasliannya.

Perdebatan terkait kerajaan tertua di Nusantara pun bergotong-royong tidak hanya melibatkan Salakanagara dan Kutai Martadipura saja. Jauh sebelum itu, tersebutlah Kerajaan Kandis di Riau yang diperkirakan sudah bangkit sedari tahun 1 Sebelum Masehi (Sejarah Daerah Riau, 1987:40).

Hanya saja, apakah pemerintahan Kandis pada dikala itu sudah “menyanggupi syarat” untuk disebut selaku kerajaan, juga belum dapat dipertanggungjawabkan secara niscaya. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan lain di tanah Melayu sekitarnya yang bermunculan kemudian, macam Kerajaan Kancil Putih dan Kerajaan Koto Alang.

Terlepas banyak sekali kontroversi dan perdebatan itu, jejak-rekam Kerajaan Salakanagara sudah bisa sedikit diungkap. Meskipun label kerajaan pertama di Nusantara masih belum bisa meyakinkan semua kelompok, namun setidaknya Salakanagara boleh dibilang adalah kerajaan tertua di Pulau Jawa.

Melacak Ibukota Salakanagara

Lokasi yang diyakini selaku pusat Kerajaan Salakanagara juga masih belum niscaya. Sedikitnya ada tiga versi terkait asumsi di mana pemerintahan Salakanagara dilaksanakan, yaitu di Pandeglang (Banten), Condet (Jakarta), atau di lereng Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat.

  Batalyon Andjing Nica Lahir Di Bandung

Versi pertama, ibukota Salakanagara berada di Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Versi yang diambil dari naskah Wangsakerta ini menyebut sentra Kerajaan Salakanagara berjulukan Rajatapura yang diyakini ialah kota paling bau tanah di Pulau Jawa (Abdur Rahman, dkk., Carita Parahiyangan Karya Pangeran Wangsakerta, 1991:57).

Rajatapura menjadi sentra pemerintahan Raja Dewawarman I (130-168 M) sampai masa Raja Dewawarman VIII (348-362 M). Di periode raja selanjutnya, Dewawarman IX, Salakanagara tamat sehabis dikuasai oleh Tarumanegara. Menariknya, Salakanagara pernah dua kali dipimpin oleh ratu, adalah Mahisa Suramardini Warmandewi (276-289 M) dan Sphatikarnawa Warmandewi (340-348 M).

Dalam Wangsakerta juga disebutkan bahwa Dewawarman ialah seorang pedagang dari India yang tiba di barat Pulau Jawa dan akhirnya menikah dengan putri tokoh masyarakat lokal, adalah Aki Tirem, yang berjulukan Dewi Pwahaci Larasati. Dari sinilah riwayat Kerajaan Salakanagara bermula.

Yang menjadi keraguan atas kebenaran model pertama ini, Pandeglang tidak memiliki pelabuhan besar yang menjadi bandar jualan , melainkan cuma pelabuhan nelayan biasa. Sedangkan salah satu simbol kejayaan Salakanagara ialah dari sektor ekonomi dengan bukti, contohnya, kerajaan ini sudah menjalin hubungan jualan dengan Dinasti Han di Cina.

Moyang Orang Sunda dan BetawiDari situlah kemudian muncul model kedua yang meyakini bahwa ibukota Salakanagara bukan berada di Pandeglang, melainkan di sebuah daerah bernama Ciondet (Condet) yang kini terletak di kawasan Jakarta Timur (Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3, 2005:71).

Ciondet alias Condet berada tidak jauh dari bandar niaga besar bernama Sunda Kelapa, cuma sekira 30 kilometer ke arah utara. Pelabuhan ini pada masanya diketahui selaku pusat jual beli paling ramai di Nusantara dan salah satu yang terpenting di Asia alasannya adalah ialah segitiga emas bersama Malaka dan Maluku.

Di daerah ini juga mengalir Sungai Tiram. Inilah yang lalu menjadi salah satu dasar untuk meyakinkan bahwa Salakanagara bukan berada di Banten, melainkan di Jakarta. “Tiram” dipercaya berasal dari nama Aki Tirem yang tidak lain adalah mertua Dewawarman I, pendiri Kerajaan Salakanagara (Abdurrahman Misno & Bambang Prawiro, Reception Through Selection-Modification, 2016:327).

  Arti Semboyan Bhineka Tunggal Ika

Adapun menurut model ketiga, Salakanagara dibangun di lereng Gunung Salak, Bogor. Disebutkan, di suatu bab di kaki Gunung Salak sering tampakkeperak-perakan saat diterpa sinar matahari (Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3, 2005:71). Dari situlah lalu dikait-kaitkan dengan arti Salakanagara, yakni “Negara Perak”. Ditambah lagi, penyebutan “Salaka” dengan “Salak” hampir mirip.

Selain itu, pada perkembangannya nanti, lereng Gunung Salak juga menjadi daerah berdirinya kerajaan-kerajaan Sunda yang lain yang jikalau dirunut masih turunan dari Salakanagara, tergolong Kerajaan Pajajaran.

Dengan cakupan daerahnya itu, penduduk secara umum dikuasai Salakanagara yakni mereka yang kemudian dikenal selaku orang-orang Sunda. Lebih dari itu, kalau mengikuti versi kedua, orang-orang dari banyak sekali suku bangsa dan negara yang tumpah-ruah di pelabuhan Sunda Kelapa, lalu membaur dan beranak-pinak, juga merupakan warga Salakanagara. Mereka inilah yang nantinya menurunkan kaum Betawi.

Salakanagara runtuh pada pertengahan kala ke-4 M, seiring kehadiran dan kian kuatnya kerajaan baru berjulukan Tarumanegara. Kendati hanya bertahan dua kala saja, namun garis turunan penguasa Salakanagara dipercaya melahirkan raja-raja di banyak kerajaan besar di Nusantara, termasuk Pajajaran, Sriwijaya, juga Majapahit. Sumber: https://tirto.id/salakanagara-kerajaan–sunda–tertua-di-nusantara-cyVP