close

Rindu Sang Murabbi

Lelaki asal salah satu kota di Jawa Tengah ini tampakbiasa-biasa saja. Tingginya persyaratan, berkacamata, kulit secara umum dikuasai hitam, tak terlalu gagah pula kalau dibandingkan dgn model-versi yg biasa mejeng di layar beling.

Akan tetapi, sinar matanya tajam, & tampaksangat menghormati musuh bicaranya. Antusias, & penuh penghormatan. Setelan rambut yg dibelah ke samping dgn minyak secukupnya pula menjadi daya tarik tersendiri & mengesankan bahwa ia ialah lelaki terpelajar.

Saat pertama kali dipertemukan di rumahnya yg sederhana di bilangan Depok Jawa Barat, lelaki yg sehari-hari berprofesi selaku sopir pengantar murid-murid di Sekolah Islam Terpadu ini menyambut ramah. “Silakan, Akhi.” Ia pun merangkul tamunya yg cuma kuli ini, lalu mendudukkan di bangku terbaik di rumahnya. Mengesankan.

Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, si laki-laki yg gemar bermain badminton ini makin mengesankan dlm persepsi muridnya yg cuma karyawan pabrik swasta itu. Beliau yg cantik bacaann al-Qur’annya, dlm tiap halaqahnya, amat jarang membincang soalan politik. Tanyanya hampir tiap pekan, “Silakan, Akhi. Barangkali ada kabar modern yg antum peroleh dr dunia siyasi.”

Memang, dikala pertama jumpa itu, dunia dakwah gres saja diguncang gempa dahsyat. Pimpinan tertinggi yg disebut Presiden ditersangkakan oleh salah satu komponen penegak hukum negeri ini. Persis saja, kabar-kabar modern dr dunia politik amat dinantikan-tunggu oleh semua yg terlibat & cinta dlm halaqah pekanan.

Sayangnya, kesan itu tak berbilang lama. Kami semua menyayangi ia. Tapi, Allah Ta’ala lebih mencintainya. Beliau sakit. Wafat di rumah sakit. Di antara sebabnya, dia mempunyai aktivitas yg penuh hingga ada hak-hak badan yg kurang ditepati.

  Gila Setelah Membunuh Mujahidin yang Terluka

Malam tatkala sakaratul ajal, rumah sakit sarat . Di kamar pasien, lantai tunggu, hingga lantai bawah menuju kawasan parkir. Alhasil, terdengarlah bisikan-bisikan dr petugas rumah sakit & orang-orang sekitar, “Kayaknya ia ini orang besar.”

Siangnya, tatkala Kiyai Bakrun Syafi’i memimpin doa di pemakaman, tiada mata yg tak tumpahkan air mata syahdu. Menangis sebagai bukti cinta. Kata Kiyai Bakrun sampaikan kesaksian pada penulis, “Beliau ini salah satu sosok yg menenteng dakwah ke Depok. Tidak pernah mau diajukan jadi caleg. Maunya selalu di belakang.”

Memang, almarhum pernah berkata, “Kontribusi ana dlm dakwah ya hanya ini, ngisi halaqah. Gak lebih. Hanya itu yg ana bisa, Akhi.”

Satu hal yg tak akan kami lupakan, adalah kesaksian tetangga almarhum yg pula jamaah di masjid erat rumahnya. Katanya, “Ustadz Anis Samijo ini sungguh sibuk. Hampir tiap hari pulang tengah malam.” Lanjut sosok berjenggot ini sampaikan kesaksian, “Tapi, ia tak pernah ketinggalan shalat Shubuh berjamaah.”

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. Ustadz, kami semua rindu datangnya sosok-sosok sepertimu. [Pirman/wargamasyarakat]