Reposisi Administrasi Publik Lensa Kapital Sosial
Kepercayaan (trust) yaitu ialah bagian paling penting dalam diskursus publik. Acapkali dinamika dan konjungtur acara publik, baik itu menyangkut pejabat-pejabat publik maupun gosip-isu yang menyembul ke publik dipengaruhi oleh lansekap doktrin yang berkembang di dataran publik. Negara mampu memperoleh legitimasi publik, dan akuntabel yakni merupakan pola reproduksi dari kepercayaan (trust) publik. Kepercayaan, yang dapat terbangun bukan saja dari apresiasi nilai-nilai formalisme, tetapi juga tata cara nilai pada dataran spontan dan informal.
Diskursus manajemen publik dalam konteks masa anti pemerintah, anti institusi selaku terjadi dikala ini menjadi penting. Dalam konteks penelusuran identitas kontemporer, administrasi publik telah menempatkan dirinya pada posisi yang dinamik. Bahkan dalam arti yang luas proses pencarian identitas administrasi publik dalam ekologi yang demikian itu hingga sekarang terus berlangsung intens. Mulai dari awal kelahirannya, lalu meningkat paradigma manajemen publik dalam konteks manajemen, dikotomi manajemen publik-politik, dan kemudian kembali pada mainstream manajemen publik selaku manajemen publik. Sepanjang horison administrasi publik juga mengalami pasang surut tugas dinamis diantara dua kutub utama : pemerintah dan publik.
Memasuki kurun 21 manajemen publik memasuki notion gres. Administrasi publik bukan sekadar instrumen birokrasi negara, fungsinya lebih dari itu administrasi publik sebagai instrumen kolektif, sebagai fasilitas publik untuk mengadakan tatakelola kepentingan bareng dalam jaringan kolektif untuk meraih tujuan-tujuan publik yang sudah disepakati. Pergeseran ini menandai, administrasi publik sudah memasuki wilayah tugas publik yang lebih substantif. Reposisi ini sampai taraf tertentu juga selaku anti klimak dari praktek manajemen publik yang selama ini berlangsung luas, yang menempatkan segala persoalan publik sebagai bagian urusan negara, sarwa negara. Wilayah manajemen publik demikian ini oleh Frederickson disebut manajemen publik sebagai governance. Dengan kata lain administrasi publik sebagai governance pada dasarnya manajemen publik yang mempunyai lokus sinergi kiprah pada daerah publik dengan menyertakan pelaku-pelaku yang genuinely dari publik dengan fokus acara interest publik yang memang menjadi kebutuhannya (common interest).
Proses demokratisasi yang meluas di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia juga sudah menggeser peran negara lebih signifikan. Transformasi dari rejim otoritarian ke rejim demokratis juga memberikan implikasi yang besar pada reposisi administrasi publik. Peran rakyat yang kian mengemuka, permintaan akuntabilitas publik dan kecenderungan untuk menempatkan rakyat dalam posisi yang lebih signifikan, menjadi mainstream artikulasi publik luas. Kini administrasi publik melakukan pekerjaan dalam sebuah entitas publik dengan peran negara yang kian menyempit, maka memerlukan kehadiran publik dalam artian bintang film-pemain film lain diluar negara menjadi lebih penting. Aktor-pemain drama luar negara ini mampu berupa perkumpulan-asosiasi mandiri dari rakyat, golongan-kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat, dan biro-distributor paranegara yang kehadirannya lebih bersifat impulsif.
Dengan transformasi ini adakah kapasitas kolektif dari rakyat untuk mengadakan dan mengorganisir kepentingan kolektifnya secara lebih baik. Dalam konteks inilah penting dikemukakan analisis yang dikemukakan Annale Saxenian (1994) dan James P. Womack dan D. Jones (1991) keduanya dikutip oleh Fukuyama, menekankan justru pranata-pranata informal yang bakal menjadi lokus proses governance dalam penduduk itu memegang tugas kunci untuk menjamin efektivitas pencapaian tujuan kolektif .
Dapatkah kapital sosial yang tersedia dalam entitasnya mencukupi dan memperlihatkan garansi bagi perbaikan terciptanya good governance. Persoalan-dilema elementer dalam mainstream inilah yang dianalisis dalam paper pendek ini. Dapat dibilang dengan reposisi manajemen publik dari sarwa negara ke governance ini memang bukanlah perubahan dari formalisme manajemen publik menjadi informalisme administrasi publik. Gambaran reorientasi governance pada masa 21 ini lebih kasatmata dipaparkan oleh Anwar Shah berikut
“…the culture of governance is also slowing changing from bureaucratic to a participatory mode of operation; from command and control to accountability for results; from being internally dependent to being competitive and innovative; from being closed and slow to being open and quick; and from that of intolerance from risk to allowing freedom to fail or succeed.. “
Tetapi apabila ditinjau dari jangkauan dinamik lokusnya, perubahan ini bakal memasuki varian kultural yang lebih heterogen, pranata-pranata sosial yang lebih bermacam-macam.
Oleh karena itu bekerjanya prinsip governance selaku bentuk gres dari administrasi publik ini banyak ditentukan oleh deposit dan konfigurasi kapital sosial yang tersedia dalam kawasan publik. Bagaimana sinergi antar governance dan kapital sosial berjalan, bagaimana mengambil peran, dan bagaimana kapital sosial membangun budpekerti governance atau sebaliknya, semua itu yakni dilema-dilema primer yang musti dianalisis dalam perspektif kekinian. Analisis ini relevan, khususnya untuk menyaksikan, bagaimana sebetulnya reposisi manajemen publik dalam notion governance ini bakal menentukan daerah-kawasan nilai dan etik untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan publik yang lebih esensial dan tidak artifisial.
Reposisi Administrasi Publik
Modernisasi Administrasi Publik (AP) yakni ialah aspek terpenting yang memungkinkan demokratisasi dan modernisasi negara berjalan secara efektif dan efesien di abad 21 ini, abad yang sering dibilang selaku American Century. Globalisasi yang melanda seluruh bangsa tanpa kecuali disertai dengan revolusi gosip yang besar telah menempatkan bangsa di dunia hidup dalam sebuah ruang tanpa batas (borderless). Ditengah suasana demikian manajemen negara tak mampu lagi mengandalkan cara-cara konvensional. Demikian pula peran administrasi publik dalam keadaan demikian, tak mampu lagi mementaskan kontradiksi kepentingan negara versus rakyat, atau pergumulan kepentingan dalam drama politik. Administrasi publik diharuskan melakukan reposisi atau deformasi kedalam sebuah tatanan kekinian. Menurut Frederickson ada beberapa alasan fundamental mengapa administrasi publik mesti melakukan proses ini :
Pertama, diantara fenomena penting globalisasi ini administrasi publik kekinian dihadapkan peda melemahnya batasan yurisdiksi dalam banyak sekali bentuk. Bangsa, negara, provinsi, kota atau bahkan desa telah kehilangan batasan fisikalnya. Melemahnya batas yurisdiksi tersebut bahkan telah mengarah menyatunya berbagai tempat, tanpa pembatas. Revolusi telekomunikasi sudah menetralisir rambu dan batas fisikal yang pada akhirnya juga mengganti aneka macam corak hubungan sosial antar insan, mereka dipautkan dalam batas lintas negara, lintas samudra dalam ruang global. Dalam keadaan demikian, bagaimana memahami kepentingan publik, menjaga kongruen kepentingan dari aneka macam aktor seraya mengendalikan relasi yang terjadi ?.
Kedua, disartikulasi negara, melembeknya peran negara dalam menangani dilema-masalah kompleks yang sumbernya bermacam-macam. Sehingga sebuah negara tak mampu secara mandiri menanganinya secara baik. Contohnya yakni munculnya hujan asam, menipisnya lapisan ozon diatas benua Amerika dan Australia, bukan semata kesalahan dari negara tersebut namun juga bersumber dari sikap publik dari negara-negara lain.
Ketiga, makin maluasnya makna kata “publik”. Dalam sejarah manajemen publik, yang disebut dengan publik itu identik dengan negara (government). Ungkapan publik sekarang tak lagi terbatas pada negara namun juga melingkupi seluruh organisasi-organisasi non negara atau juga institusi-institusi yang secara langsung melaksanakan kontrak kerja dengan negara untuk merealisasikan tugas publik. Organisasi parastatal, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Perdebatan tentang good governance dan good government ialah merupakan anatema penting di abad globalisasi ini. Berbagai derma dan koordinasi multi lateral tak jarang mensyaratkan dua tema tersebut mampu dihadirkan dalam tata cara politik dan kebijakan publik sebuah negara. Tak terkecuali IMF, Bank Dunia, UNDP juga menawarkan restriksi luas bila negara resepien tak mampu mengintegrasikan good governance dan good government dalam pemerintahannya.
Sementara analis menyatakan bahwa dengan prasarat mirip itu ada kesan, negara donor ataupun lembaga-forum ajaib telah mendekte aneka macam idiom politik, dan kebijakan publik kepada negara-negara meningkat . Dan bahkan acapkali negara-negara dana lembaga donor dipersalahkan selaku distributor neo-imperealis yang melaksanakan penjajahan dalam format baru.
Sementara itu analis lain secara jujur mengakui bahwa keterbelakangan negara-negara berkembang dalam menyelenggarakan pemerintahan yaitu selaku akhir terlambat melakukan demokratisasi. Sehingga proses demokratisasi yang berjalan di banyak sekali negara meningkat diawalnya nampak menjadi panorama yang mengembirakan tetapi lambat laun menjadi arena metamorfosa otoritarian baru. Hal ini ditunjukkan dengan fase transisi demokrasi yang ditandai dengan jatuh bangunnya rejim pasca adikara di aneka macam negara Afrika, Asia. Mengapa kecenderungan ini mampu terjadi ?
Bahwa masyarakat demokratis yang efektif itu mampu hadir setipa saat tergantung dari keyakinan warga rakyat terhadap pemerintahannya. Pemerintahan yang akuntabel dan transparan adalah ialah bagian paling elementer sehingga rakyatnya dengan kesadaran tinggi membayar pajak, hormat pada banyak sekali keputusan dan kebijakan negara. Rakyat respek pada suatu pemerintahan yang dengan tatakrama publik, budpekerti dan bersedia mempertangungjawabkan aneka macam keputusan publik pada rakyatnya. Dalam konteks inilah terjadi korelasi mutual exclusive antara rakyat dengan pemerintah. Hadirnya doktrin dari rakyat alasannya adalah mereka meyakini, bahwa investasi trust yang ada akan menjadi bab penting terciptanya good governance dan goog government.
Teori Governance
Kata governance kini menjadi satu idiom yang digunakan secara luas, sehingga mampu dibilang juga menjadi konsep payung dari sejumlah terminologi dalam kebijakan dan politik, kata ini acapkali digunakan secara serampangan untuk menerangkan : jaringan kebijakan (policy networks, Rhodes: 1997), administrasi publik (public management, Hood: 1990), koordinasi antar sektor ekonomi (Cambell el al, 1991), kemitraan publik-privat (Pierre, 1998), corporate governance (Williamson, 1996) dan good govenance yang acapkali menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh forum-lembaga donor ajaib (Lefwich, 1994).
Istilah governance dalam nomenclature ilmu politik berasal dari bahasa Prancis gouvernance sekitar kala 14. Pada dikala itu ungkapan ini lebih banyak merujuk pada pejabat-pejabat kerajaan yang mengadakan tata kelola pemerintahan dibanding mempunyai arti proses untuk memerintah atau lebih terkenal disebut “steering”. Perdebatan sejenis juga terjadi dalam wacana bahasa Jerman sekitar tahun 1970-an, untuk menunjuk pada dilema efektivitas atau kegagalan fungsi kontrol politik -yang oleh Kooiman disebut sebagai governing- atau dalam bahasa Jerman “Steuerung” (steering). Perdebatan kosa ini semakin populer diawal tahun 80-an, perumpamaan “Steuerung” dipergunakan dalam perdebatan sosiologi makro yang merupakan terjemahan dari kontrol sosial. Akhirnya dalam wacana politik Jerman ungkapan ini dipopulerkan dalam perbincangan politik, Steuerung, dipergunakan untuk menunjukan kemampuan atoritas politik dalam menghela lingkungan sosialnya, misal sejauh mana politik memiliki kepekaan untuk memerintah (governing) . Terakhir kosa ini juga diidentikkan padanan kata dari kata governence. Perdebatan kepada terminologi ini terus meningkat , dan diperluas wacananya oleh Kaufmann (1985) yang menawarkan limitasi governance selaku ” successful coordination of behavior”.
Hingga kini perdebatan kepada terminologi ini tetap terbuka lebar, apalagi interpretasi terhadapnya acap kali dijalankan secara longgar. Muhadjir Darwin (2000) misalnya, menjelaskan kesusahan untuk memperoleh padanan makna yang mencukupi, acapkali penggunaan ungkapan ini dibiarkan apa adanya, alasannya adalah susah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bondan Winarno pernah memperlihatkan sinomim ungkapan ini dengan “penyelenggaraan”. Muhadjir Darwin juga menegaskan bahwa notion ini tidak semata-mata menjelaskan fungsi pemerintah untuk melakukan fungsi governing, tetapi juga pemain film-pemeran lain diluar negara dan pemerintah. Pemerintah adalah salah satu institusi saja yang menjalankan tugas ini. Bahkan mampu terjadi peran pemerintah dalam fungsi governing ini digantikan dan dipinggirkan oleh pemain film-pemain film lain, balasan bekerjanya elemen-komponen diluar pemerintah. Hal ini sejalan dengan pemaknaan yang dilaksanakan oleh Pierre dan Peters (2000) yang menyatakan governance selaku : “thinking about governance means thinking about how to steer the economy and society and how to reach collective goals “.
Sementara itu dalam konteks reposisi administrasi publik Frederickson memberikan interpretasi governance dalam empat terminologi :
Pertama, Governance, menggambarkan bersatunya sejumlah organisasi atau institusi baik itu dari pemerintah atau swasta yang dipertautkan (linked together) secara bareng untuk mengurusi acara-aktivitas publik. Mereka mampu bekerja secara gotong royong dalam sebuah jejaring antar negara. Karenanya terminologi pertama ini, governance menunjuk networking dari sejumlah himpunan-himpunan entitas yang secara mampu berdiri diatas kaki sendiri memiliki kekuasaan otonom. Atau dalam istilah Frederickson yakni pergantian gambaran sentralisasi organisasi menuju citra organisasi yang delegatif dan terdesentralisir. Mereka berjumpa untuk malakukan perembugan, merekonsiliasi kepentingan sehingga dapat dicapai tujuan secara kolektif atau bantu-membantu. Kata kunci terminologi pertama ini yaitu networking, desentralisasi.
Kedua, Governance selaku daerah berhimpunnya berbagai pluralitas pelaku – bahkan disebut selaku hiper pluralitas – untuk membangun sebuah konser antar pihak-pihak yang berhubungan secara pribadi atau tidak (stake holders) mampu berupa : partai politik, badan-badan legislatif dan divisinya, kalangan kepentingan, untuk menyusun opsi-pilihan kebijakan seraya mengimplementasikan. Hal penting dalam konteks ini adalah mulai hilangnya fungsi kontrol antar organisasi menjadi, menyebarnya banyak sekali sentra kekuasaan pada berbagai pluralitas pelaku, dan makin berdayanya pusat-pusat pengambilan keputusan yang kian madiri.
Sebagaimana dijelaskan Muhadjir Governance dalam konteks kebijakan ialah “… kebijakan publik tidak harus berarti kebijakan pemerintah, namun kebijakan oleh siapapun (pemerintah, semi pemerintah, perusahaan swasta, LSM, komunitas keluarga) atau jaringan yang melibatkan semuanya tersebut untuk menangani masalah publik yang mereka rasakan. Kalaupun kebijakan publik diartikan sebagai apa yang dilakukan pemerintah , kebijakan tersebut mesti diletakkan sebagai bagian dari network kebijakan yang melibatkan banyak sekali komponen masyarakat tersebut..” .
Dengan demikian terminologi kedua ini menekankan, governance dalamm konteks pluralisme pemain drama dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan. Beberapa pertanyaan kunci yang penting : seberapa jauh kebijakan yang dilakukan pemerintah merespon permintaan penduduk , seberapa jauh masyarakat dilibatkan dalam proses tersebut, seberapa jauh penduduk dilibatkan dalam proses implementasi, seberapa besar inisiatif dan kreativitas masyarakat tersalurkan, seberapa jauh penduduk mampu mengakses gosip menyangkut pelaksanaan kebijakan tersebut, seberapa jauh hasil kebijakan tersebut memuaskan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci dalam terminologi kedua ini ialah pluralitas pemain film, kekuasaan yang makin menyebar, perumusan dan implementasi kebijakan bareng .
Ketiga, Governance berpautan dengan kecenderungan kekinian dalam literatur-literatur manajemen publik utamanya spesialisasi dalam rumpun kebijakan publik, dimana korelasi multi organisasional antar aktor-bintang film kunci terlibat dalam implementasi kebijakan. Kerjasama para pemeran yang lebih berwatak politik, kebersamaan untuk memungut resiko, lebih inovatif dan berdaya, tidak merefleksikan moral yang kaku utamanya menyangkut : organisasi, hirarki, tata aturan. Dalam makna lebih luas governance ialah jaringan (network) kinerja diantara organisasi-organisasi lintas vertikal dan horisontal untuk meraih tujuan-tujuan publik. Kata kuncinya jaringan pemeran lintas organisasi secara vertikal dan horisontal.
Keempat, terminologi Governance dalam konteks administrasi publik kental dengan tata cara nilai-nilai kepublikan. Governance menyiratkan sesuatu hal yang sangat penting. Governance menyiratkan sesuatu keabsahan. Governance menyiratkan sesuatu yang lebih bermartabat, sesuatu yang positif untuk mencapai tujuan publik. Sementara terminologi pemerintah (government) dan birokrasi direndahkan, disepelekan mencerminkan sesuatu yang lamban kurang inovatif. Governance dipandang selaku sesuatu yang akseptabel, lebih absah, lebih inovatif, lebih responsif dan bahkan lebih baik segalanya.
Dari keempat terminologi tersebut mampu ditarik pokok anggapan bahwa governance dalam konteks administrasi publik adalah ialah proses perumusan dan implementasi untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang dijalankan oleh bintang film : pluralitas organisasi, dengan sifat kekerabatan yang lebih luwes dalam tataran vertikal dan horisontal, disemangati oleh nilai-nilai kepublikan antara lain keabsahan, responsif, kreatif. Dilakukan dalam semangat kesetaraan dan netwoking yang kuat untuk meraih tujuan publik yang akuntabel.
Berdasarkan ajaran ini governance ialah ialah sebuah ekspansi notion dari makna administrasi publik yang semula cuma diartikan selaku relasi struktural antara pemain drama-aktor yang ada dalam mainstream negara. Secara tegas Milward dan O’Toole menawarkan interpretasi governance dalam dua aras penting : Pertama, governance sebagai studi tentang konteks struktural dari organisasi atau institusi pada aneka macam level (multi layered structural contex). Kedua, governance ialah studi perihal network yang menekankan pada peran bermacam-macam pemain drama sosial dalam sebuah jejaring negosiasi, implementasi, dan pembagian hasil. Merupakan konser sosial melibatkan pelaku-pelaku untuk mengakselerasikan kepentingan publik secara lebih adil dan menebarnya tugas lebih merata sesuai dengan realitas pluralitas kepentingan dan pemain drama yang ada.
Sementara itu dari perspektif strukturalis sebagaimana alasan Lynn, Heinrich dan Hill yang dikutip oleh Frederickson elemen penting notion governance mencakup aras teori kelembagaan (institutionalism) dan teori jaringan (network theory).
Pertama, governance berkaitan dengan sebuah level kelembagaan (institutional level). Matra ini mencakup sistem nilai, peraturan-peraturan formal atau informal dengan tingkat pelembagaan yang mantap : bagaimana hirarki ditata, sejauhmana batas-batasnya disepakati, bagaimana prosedurnya, apa nilai-nilai kolektif yang dianut rejim. Yang tergolong dalam konsepsi ini antara lain : hukum administrasi, dan bentuk peraturan legal lainnya, teori-teori yang berkaitan dengan bekerjanya birokrasi dalam skala luas, teori politik ekonomi, teori kendali politik kepada birokrasi. Pada gatra ini terdapat sejumlah teori yang sungguh penting : teori kelembagaan (institutional theory), teori perburuan rente (rent seeking), teori kendali dari birokrasi, dan dan teori tujuan dan filosofi pemerintah. Pada bab ini teori governance difokuskan pada tataran-tataran tata cara nilai (value).
Kedua, pada level organisasi dan managerial governance akan berpautan dengan distributor-agen hirarki, departemen, komisi dan agen-agen pemerintah atau juga organisasi-organisasi yang menjalin kekerabatan kerja dengan pemerintah . Pada tataran ini acara-acara : kebebasan dan mandirian administratif, takaran-takaran unjuk kerja dalam proses pelayanan publik, menjadi gosip yang penting. Tori-teori yang signifikan untuk menjelaskan fenomena ini antara lain : principal-agent theory, transaction cos analysis theory, collective action theory, network theory. Intinya, pada terminologi kedua ini governance diproyeksikan pada peran mengakselerasikan kepentingan-kepentingan publik (public interest) dalam suatu network antar institusi..
Ketiga, pada level teknis, bagaimana nilai-nilai dan kepentingan publik sebagaimana telah dikemukakan pada pendekatan pertama dan kedua mesti dioperasionalisasikan dalam tindakan-tindakan riil. Isu-info tentang profesionalisme, standar kompetensi teknis, akuntabilitas, dan kinerja (performance) sangat penting dalam konteks ini. Teori-teori yang berkaitan untuk tema ini antara lain : ukuran-ukuran efesiensi, teknis administrasi budaya organisasi, kepemimpinan, mekanisme akuntabilitas, dan ukuran. Dengan demikian pada level ini governance lebih banyak memiliki masalah dengan implementasi kebijakan publik pada level operasional (public policy at the street level).
Interpretasi teori governance menurut terminologi diatas ialah reduksi dari dua pendekatan utama, yaitu teori institusionalisme (institusionalism) dan teori jaringan (network). Governance ialah ialah pumpunan dari aneka macam organisasi-organanisasi publik dimana negara cuma menjadi salah satu elemennya disamping komponen lainnya yang menjalin sebuah networking secara kolektif. Disamping itu alasannya adalah governance memumpun sejumlah pluralitas organisasi maka kehadiranya juga dibangun oleh banyak sekali tata cara nilai dan norma yang dibawa pada tataran supra organisasi, inter organisasi dan antar organisasi. Dalam konteks ini maka governanace sesungguhnya penuhdengan ikatan-ikatan sistem nilai yang tersedia dalam deposit sistem sosialnya. Administrasi publik dalam konteks ini tidak netral dengan berbagai realitas yang berkembang di ekologinya. Sistem nilai dapat saja berupa nilai-nilai formal yang dikonstruksi oleh pranata-pranata hirarkis dan rasional tapi juga dapat dipengaruhi oleh berbagai varian metode nilai yang oleh Francis Fukuyama (1999) order sosial demikian juga dibangun secara impulsif dan arasional oleh publik. Justru nilai-nilai spontan arasional yang merupakan salah satu elemen kapital sosial inilah yang menyebabkan, modernisasi dan demokratisasi negara-negara terbaru di dunia mampu lebih singkat dibanding lainnya. Kini kita telah memasuki suatu kala kesadaran gres, bahwa ciri utama interaksi peradaban penduduk terbaru tidak hanya ditentukan oleh order yang bersifat publik, formal, dan bercorak legal tetapi lebih dari itu juga ditentukan oleh peran-tugas yang sifatnya mampu dinegosiasikan (negotiable), bersifat labil, kontur-kontur yang bersifat sungguh privat, yang disebut sebagai nilai-nilai informal.
Lensa Kapital Sosial dan Governance
Kapital sosial selaku sudah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bukan berniat memperlihatkan gambaran makna dan dikotomi lokus yang berlawanan, yaitu kapital sosial yang berasal dari domain deposit publik dalam arti mengecualikan bagian-elemen pemerintah dan kapital sosial yang berasal dari publik dalam arti yang luas. Paper ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kapital sosial dalam konteks analisis ini yakni yang berasal domain publik dalam arti luas. Dasar asumsinya, bahwa kapital sosial bahu-membahu yakni merupakan kekayaan nilai yang domainnya di entitas publik dengan banyak sekali varian. Varian-varian kapital sosial ini dapat saja menjadi unsur pembangun nilai-nilai dari segregasi-segregasi entitas yang diciptakan oleh masyarakat. Negara atau pemerintah yaitu salah satu bentuk entitas publik, yang didalamnya bisa saja menolak atau mengenakan kapital sosial yang ada pada entitas-entitas diluarnya.
Mengapa tugas kapital sosial penting selaku habitat terciptanya good governance ?. Citra penduduk gres, penduduk sipil yang beradab dan demokratis sebagaimana dikutip oleh Hefner (1998) maupun Fukuyama (1999) terbangun dalam ikatan-ikatan sosial yang lebih mandiri. Tidak banyak mengandalkan tugas-peran formal, masyarakat era 21 akan lebih banyak mengandalkan tugas norma-norma informal, yang banyak ditawarkan oleh kapital sosialnya.
Secara lugas Fukuyama memperlihatkan batas-batas kapital sosial yaitu yakni : “…a set of informal values or norms shared among members of a group that permits cooperation among them…” (serangkaian nilai-nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara anggota-anggota atau oleh sebuah golongan yang memungkinkan kerjasama diantara mereka). Kapital sosial itu sendiri menurut Fukuyama mempunyai akar teoritik yang kuat dengan iman. Hingga Fukuyama hingga pada suatu kesimpulan bahwa “… social capital is a capability that arises from the prevalence of trust in a society or in certain parts of it…” (kapital sosial ialah kapabilitas yang dihasilkan dari dogma bersama dalam suatu masyarakat atau bagian dari masyarakat). Kepercayaan (trust) adalah salah satu visualisasi dari adanya kekokohan kolektif untuk memegang norma sosial untuk berafiliasi.
Realitas ini ialah cermin tersedianya kapital sosial dalam masyarakat. Karena itu iman tidak akan timbul secara spontan. Norma-norma hirarkis memang tidak penting, namun beliau tidak terlampau signifikan untuk menumbuhkan sebuah kesepakatan iktikad (trust) dalam sebuah masyarakat . Order sosial memang akan banyak ditentukan oleh hadirny semangat saling percaya ini, dan munculnya kepercayaan ini juga banyak diputuskan oleh ikatan-ikatan yang lebih berwatak kultural. Oleh sebab itu benar penegasan Fukuyama (1995) bahwa norma-norma formal yang dirancang dengan basis hirarkis yang besar lengan berkuasa, tak akan banyak membantu hadirnya keyakinan apabial tak mampu diinkorporasikan secara fleksibel dalam sebuah jejaring tata cara sosial yang lebih kecil. Dicontohkan, bahwa tingginya semangat saling yakin (trust) yang ditujukkan antar rakyat jepang ialah menjadi dasar utama bagi revolusi info yang saat ini meluas. Masyarakat yang mempunyai miskin tingkat kepercayaannya tidak akan pernah mampu membuat teknoloogi gosip yang efesien.
Penjelasan dari statemen itu, yaitu masyarakat yang mempunyai kapital sosial akidah yang tinggi, maka dalam berbagai masalah bisnis, politik, dan birokrasi tak banyak membutuhkan kehadiran norma-norma publik yang lebih formal. Sehingga proses perundingan dan transaksi sosial yang dikerjakan dapat dengan gampang dilaksanakan tanpa jaminan dan tan tanpa imbalan resorsis, mereka lebih mengandalkan norma-norma rsiprositas atau pertukaran. Inilah yangh oleh Margaret Levi (1999) dikatakan, iman (trust) itu mempunyai fungsi sangat signifikan untuk mereduksi biaya-ongkos ekonomi dan ongkos sosial yang mesti dibayar oleh pihak yang berinteraksi. Dengan dogma maka para pemain film sosial yang berinteraksi tidak harus mengandalkan pranata-pranata formal yang acapkali memerlukan proses dan mekanisme yang sangat tidak efesien.
Hubungan-kekerabatan antar pelaku tak mesti mengandalkan mekanisme korrdinasi dalam bentuk formal, contohnya kesepakatan dagang dalam transaksi irit, tidak memerlukan relasi hirarkis yang kaku, tatanan birokrasi yang rumit dan melelahkan. Memang hal-hal tersebut juga mampu dilakukan oleh penduduk yang tanpa kapital sosial sekalipun. Tetapi bakal memerlukan biaya yang lebih mahal dan bertele-tele. Diperlukan biaya-ongkos transaksi semisal bagaimana hubungan tersebut mesti dimonitoring, dikuatkan oleh aturan dan janji-komitmen secara formal. Realitas fenomena ini memeng telah mewarnai kehidupan modernisasi manusia. Dimana segala pranata dan hukum formal ialah menempati posisi yang penting. Periode yang oleh Weber disebutnya birokrasi rasional, dimana segala sesuatunya sudah ditakar dalam maintream dan ukuran dan skala yang tegas dan terperinci.
Kendatipun demikian, fenomena modernisasi berikutnya menegaskan, bahwa ada sisi paling penting dari proses modernisasi yang paling penting, adalah realita bahwa tak sedikit norma-norma informal yang menjadi bagian paling substantif dari modernisasi itu sendiri. Berbagai kebutuhan manusia untuk beriteraksi dengan lainya terlalu lambat dan berbiaya apabila dikerjakan dengan basis tatacara yang formal dan rasional. Berbagai penelitian yang disinggung oleh Fukuyama juga menyebutkan, bahwa beberapa direktur dan para ilmuwan terkemuka di beberapa perusahaan multinasional acapkali melakukan pertukaran temuannya cuma dengan mengandalkan tukar-menukar hak cipta secara informal. Alasannya sangat sederhana, mekanisme pertukaran hak cipta yang ditawarkan dalam tatacara formal acapkali terlalu berbiaya dan sungguh lamban.
Francis Fukuyama (1996) dalam bukunya Trust : The Social Virtues and the Creation of Prosperity ini juga melukiskan dalam aneka macam pola bagaimana sumber-sumber deposit kapital sosial antara lain norma-norma agama, ikatan-ikatan komunal dan kesukuan yang dalam masa tertentu sudah menunjukkan landasan istimewa untuk menjamin saling percaya.
Dalam bidang managemen, teori kapital sosial juga mengkritik tipe manajemen yang dikembangkan oleh Taylor, yang sarat dengan jenjang hirarki. Perubahan organisasi menjadi struktur datar (flat) telah menyebabkan para pegawai lebih dekat dengan aneka macam resorsis lokal sehingga terdorong secara otomatis untuk berprakarsa mengambil keputusan-keputusan penting secara berdikari tanpa tergantung dari atasannya yang mungkin jauh dari jangkauannya. Sehingga dalam praktek manajemen demikian lebih efesien.
Fungsi politik dari kapital sosial dalam demokrasi modern juga sungguh penting. Konteks demokrasi yang sebagaimana diperbincangkan oleh Robert A. Dahl yaitu demokrasi yang memumpun serangkaian nilai-nilai akuntabiltas. Rendahnya kapital sosial dalam negara demokrasi dapat berakibat jelek pada proses demokrasi. Demokrasi mensyaratkan kedewasaan penduduk untuk bisa mengelola dirinya dan menata versi-model interaksi politik didalamnya. Masyarakat demokratis tanpa kekukuhan kapital sosial akan menciptakan kontradiksi-pertentangan dan anarkisme. Karenanya demokratisasi akan terlindungi oleh format kohesi sosial yang tercipta secara otonom dalam penduduk , yang disebut dengan kapital sosial. Kecenderungan ini juga diamati oleh Edward Banfield maupun Robert Putnam (1993), yang dikutip oleh Fukuyama juga memastikan bahwa “…low level of social capital have been linked to inefficient local government in southern Italy, as well as to the region’s pervasive corruption…” Demikian halnya pengamatan Fukuyama di beberapa negara Amerika Latin, bahwa renggangnya iktikad antar masyarakat melahirkan dualisme sikap sebagian besar politisi dan birokrat di negera-negara itu. Sikap pertama, hadirnya integritas sikap yang bagus dengan anggota keluarga dan sahabat-teman terbatas sedang dipihak lain melahirkan perilaku-sikap dalam ruang publik yang lebih luas.
Pengamatan sejenis berikut ini menggambarkan perbandingan institusi di Amerika dan Jepang. Diantara kelembagaan publik paling utama yang menentukan perkembangan industrialisasi di Jepang adalah adanya gugus perencanaan industrialisasi nasional yang disebut MITI (Ministry of International Trade and Industry). Lembaga ini berfungsi secara proaktif menyiapkan jenis-jenis industri yang hendak dipertandingkan dalam pasar internasional. Lembaga ini juga mempunyai otonomi penuh memperlihatkan lisensi kredit dan pasokan modal kepada unit-unit industri yang mempunyai kompetensi teknis dan skill mencukupi. Amerika dan beberapa negara Afrika dan Amerika Latin telah mencoba mentranfer institusi ini kedalam negaranya, tetapi tak satupun mampu menandingin kedahsyatan peran MITI. Penelitian dan testimoi yang dilakukan secara luas memperoleh, ada beberapa abjad kultural bangsa Jepang yang tidak mampu ditemukan dinegara lain yaitu : tingginya integritas para birokrat, tingginya level kemampuan dan profesionalisme, kuatnya penghormatan terhadap otoritas yang lebih tua dalam penduduk Jepang. Nilai-nilai inilah yang tidak mampu ditransfer ke daerah lain.
Kapital Sosial : Determinasi Akuntabilitas Publik
Reposisi administrasi publik memasuki periode anti pemerintah, menempatkan penduduk selaku pemain drama publik yang penting. Kini manajemen publik juga memasuki wilayah entitas sosial dimana proses demokrasi menjadi suatu keniscayaan. Peran administrasi publik dalam nuansa demikian ialah memperbaiki manajemen pemerintahan dengan memasukkan nilai-nilai bisnis dalam kehidupan pemerintahan. Hal ini juga menjadi kecenderungan administrasi publik selaku ditulis oleh Osborne dan Gaebler dalam bukunya yang terkenal Reinventing Government (ReGo), yang pada bab permulaan ditegaskan bahwa buku itu bukan tentang politik atau wacana pemerintahan namun tentang governance. Sebagaimana pengamatan Richard Box dalam perkembangannya kuatnya preferensi yang bekarakter irit ini sudah memanggil campur tangan dan kontrol para administrator dalam proses pengambilan keputisan dalam rangka meraih efesiensi yang tinggi dan condong menyingkirkan gangguan politis yang bakal timbul. Ironis, dengan tendensi ini administrasi publik sudah mampu memburu impian good government namun disisi lain makin menjauhkan tugas warga negara dalam proses diskusi publik, sesuatu elemen dasar yang penting untuk membuat cita-cita good governance.
Bagaimana sebenarnya tugas kapital sosial dalam proses reposisi manajemen publik dalam kerangka mutu pemerintahan. Beberapa penelitian ihwal ini sudah banyak dijalankan oleh para akademisi, antara lain yaitu Robert Putnam (1993) yang melaksanakan observasi di Italia, menegaskan bahwa pemerintahan-pemerintahan regional yang mengantongi doktrin publik lebih (more trusting) dan lebih berwatak kewargaan (more civic minded) lebih bisa menyediakan layanan-layanan publik lebih efektif dibanding daerah lain yang sifat-sifat akidah dan abjad kewargaanya lebih rendah. Sementara itu penelitian sejenis juga dilakukannoleh La. Porta (1997) memutuskan sampel 30 negara di dunia, menyimpulkan penduduk dengan derajad doktrin yang tinggi signifikan dengan membaiknya unjuk kerja pemerintah. Variabel yang diperbandingkan adalah keyakinan publik pada pemerintah dan efesiensi birokrasi yang ditunjukkan oleh pemerintah.
Persoalan yang penting dianalisis dalam perdebatan ini, dengan cara bagaimana kapital sosial memperbaiki mutu pemerintahan ?.Ada tiga cara kapital sosial memperbaiki kualitas pemerintahan : Pertama, pemerintah dapat memperluas jangkauan akuntabilitasnya alasannya adalah responsif pada kepentingan rakyat lebih luas dibanding dengan kepentingan-kepentingan golongan yang lebih kecil. Kedua, dapat memfasilitasi janji-janji tatkala terjadi polarisasi kepentingan politik terjadi. Ketiga, menambahkapasitas inovasi dalam proses pengambilan keputusan ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan gres.
Dari uraian ini jelas, bahwa hal paling menentukan kualitas pemerintahan yaitu sejauhmana peran dan kinerja yang dilakukan pemerintah mencerminkan kontur tata cara nilai yang berlangsung di ceruk entitasnya. Kecerdasan pemain drama-pemain drama pemerintah tergolong didalamnya birokrat dan pejabat publik yang lain dalam memungut nilai-nilai ini, kemudian menginkorporasikannya dalam proses tata kelola pemerintah yakni ialah investasi penting pemerintah tak akan teralienasi dari publiknya. Karena itu dilema nilai (value metode) dalam manajemen pemerintahan menjadi bagian sentral, selaku bab utma akuntabilitas pemerintah kepada publiknya. Adanya iman dari publik yang besar, perilaku integritas dan komitmen yang berpengaruh dari para penyelenggara negara akan pentingnya “civic minded” secara iteratif dapat menghipnotis kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Kontrol yang kuat dari publik sebagai bab perasaan ikut mengambil tugas besar dalam pemerintahan akan mampu menghemat perburuan rente politik yang dikerjakan oleh para birokrat.
Sebagaimana diamati oleh Putnam (1993) pada sebuah entitas masyarakat yang inteksitas interaksi dengana pejabat-pejabat publik tinggi maka ada kecenderungan inisiatif publik berkembang lebih baik utamanya dalam menyikapi berita-gosip publik. Pemerintah yang mengintegrasikan huruf-karakter kepublikannya lebih intens akan dianggap oleh publik sebagai institusi yang mampu menyediakan benda-benda publik yang menawarkan laba dan jangkauan publik, sebaliknya negara yang egois cuma akan menyediakan barang-barang privat yang tidak bisa mendatangkan kemaslahatan publiknya.
Demikian halnya perseteruan antar politisi muah sekali terjadi dalam suatu periode demokrasi. Masyarakat politisi yang mempunyai deposit dogma dan norma-norma pertukaran yang berpengaruh, akan dengan mudah dapat menuntaskan polarisasi kepentingan yang terjadi. Putnam (1993) di negara-negara bab yang menjadi obyek penelitiannya, kian tinggi spirit kewargaan pada sebuah entitas maka anggota masyarakatnya juga akan kian memiliki spirit publik yang lebih berpengaruh sehingga aneka macam kebijakan gres senantiasa direspon secara aktual, demikian pula polarisasi akibat dominasi segelintir elit mampu dihindar ada “sense of civic obligation” yang menempatkan publik sebagai bab paling elementer suksesnya implementasi kebijakan-kebijakan publik yang diprakarsai negara. Hal yang serupa juga di
Dari beberapa pandangan diatas, jelas bahwa kini fungsi pemerintah bukan ialah pelaku publik yang independen. Efektivitas dan akuntabilitasnya banyak diputuskan sejauhamana publik sebagai konstituennya menunjukkan garansi dan lisensi bahwa acara-agenda dan gosip-informasi yang dijadikan prioritasnya merupakan inklusi preferensi publik. Dukungan politik, loyalitas publik, dan integritasnya kepada nilai-nilai kepublikan atau bahkan apresiasi pubnlik terhadap pemerintah sangat diputuskan sejauh mana distributor-agen pemerintah menempatkan nilai-nilai kapital sosial dalam proses publik. Negara bukan satu-satunya aktor yang dapat serta mengenali segala hal perihal pada kawasan publik.
Birokrat dan Etika Administrasi Publik
Sekalipun terminologi governance sudah memumpun serangkaian nilai-nilai kepublikan, juga masih memerlukan prinsip-prinsip utama yang oleh Richard C. Box disebutnya ada empat unsur penting sebagai The Principles of Community Governance.
Pertama, Prinsip Skala. Kebijakan pemerintah yang bagus mesti disusun dengan mengindahkan ihwal yng berkembang di satuan-satuan dan fragmen masyarakat. Isu dan agenda apa yang diprioritaskan juga harus merupakan cermin dari aspirasi publik. Kebijakan yang demikian akan mampu memanggil entitas masyarakat memasuki wilayah politik “self-governance” yang sangat diharapkan untuk menjamin efektivitas dan kemaslahatannya.
Kedua Prinsip Demokrasi, governance harus menempatkan nilai-nilai demokrasi selaku dikemukakan oleh Rober A. Dahl (1998). Utamanya, masyarakat harus secara bebas dapat mengakses alasan-argumentasi sebuah opsi ditetapkan dan sementara opsi lain ditolak. Sehingga masyarakat itu sendiri pula yang bakal bagaimana corak dan bentuk abad depan yang diinginkan.
Ketiga Prinsip Akuntabilitas, Masyarakat yaitu mempunyai segala hal yang ada diseputar tempat tinggalnya. Oleh kesudahannya merekalah yang paling berhak untuk memutuskan jadwal apa yang mereka butuhkan, bagaimana itu diraih dan dengan siapa harus menjalin kerjasama.
Keempat, Prinsip Rasionalitas. Dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan publik, akal dan rasionalitas yang mendasarinya mesti diterangkan secara terbuka. Bukan pejabat-pejabat publik terpilih yang berhak memilih neraca dan dosis logika namun masyrakat sendiri. Proses penentuan akal ini bukan bagaimana memutuskan opini publik secara persis, tetapi bagaimana mengetahui kembali (recognizing) bahwa proses pengambilan keputiusan ialah sebuah proyek kolektif masyarakat dimana perbincangan, suara, dan pendengaran publik harus dijadikan nilai-nilai dasarnya.
Oleh karenanya dalam suatu sistem masyarakat demikian ini, peran publik menjadi mengemuka. Benar apa yang dikatakan Osborne dan Gaebler, yang menempatkan tugas pejabat publik atau birokrat sebagai entrepreneur yang secara lugas didefenisikan : selaku kemampunan untuk mengembangkan resosis ekonomi dari nilai yang rendah menjadi berproduktivitas tinggi dan berhasil tinggi. Dengan demikian orientasinya bukan pada preferensi negara, namun dalam hal ini orientasinya yaitu pada pasar yang dalam konteks ini yakni publik. Hanya pejabat-pejabat publik yang mampu melaksanakan mampu memfasilitasi ekspansi dari preferensi publik secara akuntabel akan memperoleh iman publik.
Dalam pandangan Thomas D. Lynch dan Cynthia E. Lynch yang menulis “Theory of Soul” sesuai dengan reposisi administrasi ke governance, ada sejumlah pendekatan yang ihwal apa yang disebut dengan budpekerti itu. Tema ini menjadi sangat penting bagaimana para direktur publik secara profesional mampu memperbaiki etikanya. Menurut dua penulis tersebut, pendekatan budpekerti yang ketika ini dikenal liuas dalam administrasi publik tidak lagi mencukupi. Diperlukan sebuah pendekatan gres yang memungkinkan perluasan pemikiran -gagasan akhlak dalam organisasi.
Dalam memperbicangkan akhlak profesional, Thomas dan Cynthia mengutip pembagian yang dikemukakan oleh Peter Windt et. Al (1989), yang disebutnya sebagai tiga tipe dasar teori adat.
Pertama disebut selaku “deontological” yang mendasarkan diri prinsip dasar benar salah dengan adab individu. Yang termasuk kategori ini yakni etika-budpekerti jabatan yang didasarkan pada sumpah kelembagaan. Immanuel Kant yaitu filsof yang ada di jajaran pendekatan ini.
Kedua, pendekatan “consequential” atau “teleological”, akhlak yang didasarkan pada budpekerti individu, konsekwensi yang bakal dipetik dari tindakan yang dilakukan. Jeremy Bentham aalah filsof yang masuk kategori ini. Pendekatan-pendekatan utilitarian dan cost benefit analysis yakni pola praksis golongan ini.
Ketiga, pendekatan “virtue ethics” yang oleh Thomas dan Donaldson disebut sebagai “human nature ethics”. Sementarara Cynthia dan Thomas menyebutnya sebagai “spritual wisdom ethics” (adab kebijakan spiritual – EKS). Dengan pendekatan ini budpekerti manajemen publik bukan lagi dideterminasikan dengan pemain drama-pemain film diluar diri sang administrator. Bagaimana seorang direktur melaksanakan proses kontemplasi suatu “inward looking ethical”, refleksi internal diri. Bukan semata -mata tergantung bagaimana atmosfir budbahasa dan adat itu berdiskursus di luar dirinya tetapi juga bagaimana eksekutif mengembangkan suatu pemahaman instuitif untuk memutuskan apa yang sesungguhnya benar dan salah. EKS ini yaitu sebuah adab internal yang direproduksi dari obrolan yang konstan antar anggapan dan kesadaran instuitif.
Dari pandangan ini, adab administrai publik juga mengalami reposisi yang signifikan. Persoalan-persoalan adab yang semula adalah ialah wilayah ekstenal sekarang kembali ke pada daerah yang lebih personal. Hal ini juga selaras dengan reposisi manajemen publik ke pada notion governance.