Renungan Haru di Hari Ibu

Seorang pria tiba pada ulama untuk mengadukan permasalahannya dgn sang ibu. “Wahai Syaikh,” ucapnya lirih, “ibuku menumpang di rumahku. Dan sekarang terjadi persoalan antara beliau dgn istriku”
“Ulangi pertanyaanmu!”
“Ibuku menumpang di rumahku..”
“Ulangi pertanyaanmu!” kata Syaikh tersebut dgn nada lebih tinggi.
“Ibuku menumpang di rumahku..”
“Ulangi lagi pertanyaanmu!” kali ini nadanya makin tinggi.
“Wahai Syaikh, gue belum menuntaskan pertanyaanku”
“Pertanyaanmu salah. Yang benar adalah, engkaulah yg hidup menumpang pada ibumu. Meskipun rumah itu atas namamu.”

Pria itu terdiam sejenak. Jawaban Syaikh laksana petir di siang hari. Sebagai muslim yg baik, ia tak habis pikir kenapa selama ini ia seperti lupa dgn kedudukan ibu.
“Baik, Syaikh. Kalau begitu, permasalahannya selesai.”

Ibu ialah orang yg paling berjasa dlm hidup kita. Mengandung selama sembilan bulan, menjinjing janin kita ke mana-mana. Semakin renta usia kehamilan, makin berat dicicipi. Tubuh makin payah, makin lemah & bertambah-tambah. Al Alquran menggambarkannya dgn kalimat Hamalathu ummuhu wahnan ‘ala wahnin.

Saat melahirkan adalah dikala-dikala kritis bagi seorang ibu. Rasa sakit yg luar biasa, tak mungkin bisa dibayangkan oleh kaum pria. Momen itu pula sejarah pengorbanan bagi seorang wanita, sebab ia tengah mempertaruhkan hidupnya demi kelahiran kita.

Lahirnya sang bayi bukanlah selesai dr usaha seorang ibu. Masa-masa menyusui tak kalah berat; tatkala siang ia tak bisa beristirahat & tatkala malam ia berjaga tak bisa tidur nyenyak. Air susu itulah yg kemudian membesarkan sang bayi; menjadi darah & daging, membentuk tulang & gigi.

Ketika bayi menjadi kanak-kanak, ibulah yg menemani & membersamai hari-harinya. Ia menjadi guru pertama. Ia menunjukkan asupan gizi & memenuhi keperluan nutrisinya. Ibu pula yg menanam benih keimanan & wawasan dlm hati & akalnya.

  Ceramah Maulid Nabi: Cinta Rasulullah kepada Umatnya

Pun saat remaja hingga menjelang remaja. Sentuhan tangan ibulah yg membentuknya. Belaian kasih sayang ibulah yg membesarkannya. Dan sang ibu tak pernah meminta balas jasa; semua diberikan gratis pada buah hatinya.

Begitu besarnya jasa ibu, tatkala seorang sobat bertanya pada Rasulullah siapa yg paling berhak dihormati, dimuliakan & menerima kebaikan, dia menjawab “ibumu.” Sahabat tersebut bertanya, “lalu siapa ya Rasulullah?” Beliau kembali menjawab, “ibumu.” Tatkala ia mengajukan pertanyaan lagi, “lalu siapa ya Rasulullah?” Beliu menjawab dgn jawaban yg sama, “ibumu”. Barulah keempat kalinya pertanyaat itu dijawab dengan, “ayahmu.”

Di zaman tabi’in, pernah ada seseorang yg mengajak ibunya berhaji dgn cara menggendongnya tatkala thawaf mengelilingi ka’bah. Begitu bertemu Ibnu Umar, orang itu bertanya, Wahai Ibnu Umar, apakah gue sudah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Belum. Walaupun setarik nafas yg ia keluarkan saat melahirkan.”

Baca juga: Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban

Mengajak orang renta berhaji & menggendongnya saat thawaf ternyata masih belum sebanding dgn satu tarikan nafas ibu saat melahirkan kita. Lalu bagaimana kita menjadi penentang bagi ibu? Apalagi menghitung pemberian, atau menganggapnya menumpang di rumah kita?

Wahai ibu, maafkan kami anak-anakmu yg belum mampu berbakti kepadamu. Maafkan kami jika pernah melukai perasaanmu. Maafkan kami kalau belum bisa membahagiakan dirimu. [Muchlisin BK/wargamasyarakat]