Regulasi Bank Indonesia Terkait Dengan Pinjaman Kredit Bank

Regulasi Bank Indonesia Terkait Dengan Pemberian Kredit Bank
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung 

risiko yang dapat kuat pada kesehatan dan kelangsungan perjuangan bank. 

Namun mengingat sebagai lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank 

berasal dari dana masyarakat, maka sumbangan kredit perbankan banyak dibatasi 

oleh ketentuan undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia. 

UU Perbankan telah mengamanatkan semoga bank selalu berpegang 

pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan bisnisnya, termasuk 

dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas 

perbankan juga memutuskan peraturan-peraturan dalam sumbangan kredit oleh 

perbankan. Beberapa regulasi dimaksud antara lain ialah regulasi mengenai 

Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi 

Bank Umum, Batas Maksimal Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas Aktiva, 

Sistem Informasi Debitur, dan pembatasan yang lain dalam bantuan kredit. 

A. Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum 

Sebagaimana sudah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan 

usaha khususnya dengan menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan 

terhadap bank. Pemberian kredit ialah kegiatan utama bank yang 

mengandung risiko yang dapat besar lengan berkuasa pada kesehatan dan 

kelancaran usaha bank, sehingga dalam pelaksanaannya bank mesti 

berpegang pada azas-azas perkreditan yang sehat guna melindungi dan 

memelihara kepentingan dan akidah penduduk . 

Agar derma kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan 

berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan sebuah 

kebijakan perkreditan yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank 

Indonesia sudah menetapkan ketentuan perihal kewajiban bank biasa  

untuk mempunyai dan melakukan kebijakan perkreditan bank menurut 

fatwa penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No. 

27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995. 

Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki 

kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan 

komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengontrol hal-hal 

pokok selaku berikut : 

1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan; 

2. organisasi dan manajemen perkreditan; 

3. kebijakan persetujuan kredit; 

4. dokumentasi dan administrasi kredit; 

5. pengawasan kredit; 

6. solusi kredit berurusan. 

Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan terhadap 

Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan tunjangan kredit dan pengelolaan 

perkreditan bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang sudah 

disusun secara konsekuen dan konsisten. 

B. Batas Maksimum Pemberian Kredit 

Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank yaitu penyediaan 

dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengurus fokus 

penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka menghemat peluangkegagalan 

usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam 

perlindungan kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran (diversifikasi) 

portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik 

kepada pihak terkait maupun terhadap pihak bukan terkait. Pembatasan 

penyediaan dana ialah persentase tertentu dari modal bank yang dikenal 

dengan batas maksimum perlindungan kredit (BMPK). BMPK mendapatkan 

dasar pengaturan dalam UU Perbankan. 

Pengaturan tersebut berikutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia 

dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/2005 perihal Batas 

Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tersebut, 

BMPK yaitu persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan 

kepada modal bank.

 Tujuan ketentuan BMPK yakni untuk melindungi kepentingan dan 

dogma penduduk serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, 

dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan meminimalisir risiko 

dengan cara berbagi penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK 

yang sudah ditetapkan sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada 

peminjam dan/atau kalangan peminjam tertentu. 

Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak cuma berupa kredit, 

namun mencakup seluruh portofolio penyediaan dana adalah penanaman dana 

bank dalam bentuk : 

a. kredit; 

b. surat berharga; 

c. penempatan; 

d. surat berguna yang dibeli dengan janji dijual kembali; 

e. tagihan akseptasi; 

f. darivatif kredit (credit derivative); 

g. transaksi rekening administratif (seperti guarantee, letter of credit, standby letter of credit); 

h. tagihan derivatif; 

i. potential future credit exposure;

j. penyertaan modal; 

k. penyertaan modal sementara; 

l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan aksara 

a sampai dengan huruf k. 

Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan 

bank dapat dijalankan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan 

dana kepada seorang peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan 

bank mampu dilaksanakan paling tinggi 20 % dari modal bank. Sementara, 

penyediaan dana terhadap satu kalangan peminjam yang bukan ialah 

pihak terkait dapat dikerjakan paling tinggi 25 % dari modal bank. 

Peminjam digolongkan selaku anggota suatu kalangan peminjam 

kalau peminjam memiliki korelasi pengendalian dengan peminjam 

lain baik melalui relasi kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan. 

Sementara, pihak terkait yakni peminjam dan/atau kelompok peminjam 

yang mempunyai keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank wajib mempunyai dan menatausahakan 

daftar detail pihak terkait dengan bank dan dilaporkan terhadap Bank 

Indonesia. 

Pengecualian diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan Badan 

Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik Daerah 

(BUMD) yang tidak diperlakukan selaku golongan peminjam sepanjang 

hubungan tersebut semata-mata disebabkan karena kepemilikan eksklusif

pemerintah Indonesia. Selain itu penyediaan dana bank kepada BUMN 

untuk tujuan pembangunan dan mensugesti hajat hidup orang banyak 

mampu dijalankan paling tinggi sebesar 30 % dari modal bank. 

Kemudian dapat ditambahkan bahwa pengambilalihan (negosiasi) 

wesel ekspor berjangka dikecualikan dari peritungan BMPK sepanjang wesel 

ekspor berjangka diterbitkan atas dasar letter of credit berjangka yang tepat 

dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang 

berlaku, dan telah diaksep oleh Prime Bank.

Bank yang melakukan pelanggaran BMPK dan atau pelampauan 

BMPK dikenakan hukuman evaluasi tingkat kesehatan bank sebagaimana 

dikontrol dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.

Pelanggaran BMPK yakni selisih lebih antara persentase BMPK 

yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana kepada modal 

bank pada dikala derma penyediaan dana. 

Sementara, pelampauan BMPK yakni selisih lebih antara persentase 

BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana kepada 

modal bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk pelanggaran 

BMPK sebagaimana dimaksud di atas. Penyediaan dana oleh Bank 

dikategorikan sebagai pelampauan BMPK kalau disebabkan oleh : 

a. penurunan modal bank; 

b. pergantian nilai tukar; 

c. pergantian nilai masuk akal; 

d. penggabungan perjuangan dan atau pergeseran struktur kepengurusan yang 

menyebabkan pergeseran pihak terkait dan atau golongan peminjam; 

e. perubahan ketentuan. 

Dalam hal terjadi pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK, 

bank wajib menyusun dan menyampaikan planning tindakan (action plan) 

untuk penyelesaiannya yang setidaknya menampung langkah-langkah untuk 

solusi pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK serta target 

waktu penyelesaian sesuai dengan ketentuan dalam PBI No. 7/3/PBI/2005. 

Bank yang memberikan action plan untuk pelanggaran BMPK 

sesudah batas selesai waktu hingga dengan 14 (empat belas) hari kerja sesudah 

batas tamat waktu tersebut, dikenai sanksi berupa keharusan membayar 

sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. 

Sementara, bank yang memberikan action plan untuk pelampauan 

BMPK setelah batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja 

sesudah batas final waktu tersebut, dikenai sanksi berupa kewajiban 

membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja 

keterlambatan. 

Selanjutnya bank juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan 

pelaksanaan action plan masing-masing untuk pelanggaran BMPK dan 

pelampauan BMPK kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) 

hari kerja sehabis realisasi action plan. 

Bank yang memberikan laporan pelaksanaan action plan sesudah 

batas akhir waktu sampai dengan 14 (empat belas) hari kerja sehabis batas 

waktu tersebut, dikenai hukuman berupa keharusan mengeluarkan uang sebesar 

Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. 

Bank yang tidak menuntaskan pelanggaran BMPK dan atau 

pelampauan BMPK sesuai dengan action plan sehabis diberi perayaan 2 

(dua) kali oleh Bank Indonesia dengan batas waktu tenggang 1 (satu) ahad 

untuk setiap teguran, dikenai hukuman administratif sebagaimana diatur dalam 

Pasal 52 ayat (2) UU Perbankan4

, antara lain berupa : 

a. pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham 

dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus evaluasi 

kesanggupan dan kepatutan sebagaimana dikontrol dalam ketentuan Bank 

Indonesia yang berlaku; 

b. pembekuan aktivitas usaha tertentu, antara lain tidak diperkenankan 

untuk ekspansi penyediaan dana; dan atau 

c. larangan untuk turut serta dalam rangka kegiatan kliring. 

Selain itu, terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank, 

pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenai sanksi 

pidana sebagaimana dikontrol dalam Pasal 49 ayat (2) abjad b, Pasal 50 dan 

Pasal 50 A UU Perbankan.

C. Penilaian Kualitas Aktiva 

Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional pada dikala ini 

maupun di waktu yang hendak datang masih tetap dipengaruhi oleh risiko 

kredit, yang bila tidak dikontrol secara efektif akan memiliki potensi 

mengusik kelancaran perjuangan bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak 

efektif antara lain disebabkan kekurangan dalam penerapan kebijakan dan 

mekanisme penyediaan dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan 

dalam mengelola portofolio aset bank, serta kekurangan dalam 

mengantisipasi perubahan aspek eksternal yang menghipnotis kualitas 

penyediaan dana. 

Hal di atas dikelola dalam PBI No. 7/2/PBI/2005 ihwal Penilaian 

Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI tersebut mengharuskan bank (dalam hal ini 

Direksi) untuk menganggap, memantau dan mangambil tindakan yang 

diperlukan agar kualitas Aktiva (meliputi Aktiva Produktif dan Aktiva Non 

Produktif) selalu baik. 

Aktiva Produktif yaitu penyediaan dana Bank untuk mendapatkan 

penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar 

bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berguna yang dibeli dengan akad 

dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, 

transaksi rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang 

dapat dipersamakan dengan itu.

Sementara, Aktiva Non Produktif yakni aset bank selain Aktiva 

Produktif yang memiliki kesempatankerugian, antara lain dalam bentuk agunan 

yang diambil alih. 

Dalam Pasal 5 PBI No. 7/2/PBI/2005 dikelola bahwa bank wajib 

menetapkan kualitas yang serupa terhadap beberapa rekening Aktiva 

Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur, hal ini juga 

berlaku untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) bank 

(termasuk penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi). Dalam hal 

terdapat perbedaan penetapan kualitas Aktiva Produktif, maka kualitas 

masing-masing Aktiva Produktif mengikuti mutu Aktiva Produktif yang 

terendah. 

Ketentuan untuk memutuskan mutu yang serupa tersebut di atas juga 

berlaku kepada Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai proyek 

yang serupa (vide Pasal 6 PBI No. 7/2/PBI/2005). Termasuk dalam 

pemahaman ‘proyek yang serupa’ antara lain kalau :

a. terdapat keterkaitan rantai bisnis secara signifikan dalam proses 

buatan yang dikerjakan oleh beberapa debitur. Keterkaitan dianggap 

signifikan antara lain apabila proses bikinan di sebuah entitas 

tergantung pada proses buatan entitas lain, contohnya adanya 

ketergantungan materi baku dalam proses produksi. 

b. kelancaran cash flow sebuah entitas akan terganggu secara signifikan 

jika cash flow entitas lain mengalami gangguan. 

Penetapan mutu kredit dilaksanakan dengan melakukan analisis 

terhadap faktor evaluasi yang meliputi harapan perjuangan, kinerja debitur dan 

kemampuan mengeluarkan uang. 

Penilaian terhadap kesempatan usaha meliputi evaluasi kepada 

unsur-unsur sebagai berikut : 

a. peluangperkembangan usaha; 

b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan; 

c. kualitas administrasi dan masalah

e. upaya yang dilaksanakan debitur dalam rangka memelihara lingkungan 

hidup. 

Sementara, evaluasi terhadap kinerja debitur meliputi evaluasi 

terhadap unsur-komponen selaku berikut : 

a. perolehan laba; 

b. struktur permodalan; 

c. arus kas; dan 

d. sensitivitas kepada risiko pasar. 

Kemudian evaluasi kepada kemampuan mengeluarkan uang meliputi 

evaluasi kepada komponen-unsur selaku berikut : 

a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga; 

b. ketersediaan dan keakuratan isu keuangan debitur; 

c. kelengkapan dokumentasi kredit; 

d. kepatuhan terhadap kontrakkredit; 

e. kesesuaian penggunaan dana; dan 

f. kewajaran sumber pembayaran keharusan. 

Penetapan mutu kredit dijalankan dengan melakukan analisis 

kepada faktor penilaian (prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan 

mengeluarkan uang) dengan mempertimbangkan komponen-bagian di atas. 

Penetapan kualitas kredit dikerjakan dengan menimbang-nimbang signifikansi 

dan materialitas dari setiap aspek penilaian dan unsur serta relevansi 

dari faktor penilaian dan bagian kepada debitur yang bersangkutan. 

Berdasarkan evaluasi itu, mutu kredit ditetapkan menjadi : Lancar, 

Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet. 

Untuk mengantisipasi peluangkerugian, bank wajib membentuk 

Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) kepada Aktiva Produktif dan 

Aktiva Non Produktif. PPA mencakup cadangan lazim dan cadangan khusus 

untuk Aktiva Produktif, dan cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. 

Cadangan umum sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan paling 

kurang sebesar 1 % (satu perseratus) dari Aktiva Produktif yang mempunyai 

kualitas Lancar. Semantara, cadangan khusus ditetapkan paling kurang 

sebesar : 

a. 5 % (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian 

Khusus sesudah dikurangi nilai agunan; 

b. 15 % (lima belas peseratus) dari Aktiva dengan mutu Kurang 

Lancar sehabis dikurangi nilai agunan; 

c. 50 % (lima puluh peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Diragukan 

setelah dikurangi nilai agunan; 

d. 100 % (seratus peseratus) dari Aktiva dengan mutu Macet setelah 

dikurangi nilai agunan; 

Penggunaan nilai agunan selaku aspek pengurang dalam perkiraan 

PPA hanya mampu dilakukan untuk Aktiva Produktif. Agunan yang mampu 

dipertimbangkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan 

selaku berikut : 

a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek 

di Indonesia atau mempunyai peringkat investasi dan diikat secara 

gadai; 

b. tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak 

tanggungan; 

c. pesawat udara atau kapal bahari dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) 

meter kubik yang diikat dengan hipotek; dan atau 

d. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia. 

Untuk kredit berurusan, salah satu upaya untuk meminimalisir 

potensi kerugian pada kredit bermasalah tersebut adalah bahwa bank juga 

dapat melakukan restrukturisasi kredit untuk debitur yang mengalami 

kesusahan pembayaran pokok dan atau bunga kredit namun masih memiliki 

prospek perjuangan yang bagus dan mampu menyanggupi kewajiban sesudah 

dilakukan restruktuirisasi. Bank tidak boleh melaksanakan restrukturisasi kredit 

dengan tujuan hanya untuk menyingkir dari penurunan penggolongan kualitas 

kredit, kenaikan pembentukan PPA, atau penghentian akreditasi 

pendapatan bunga secara akrual. Untuk itu bank wajib mempunyai kebijakan 

dan mekanisme tertulis perihal restrukturisasi kredit yang merupakan bagian 

yang tidak terpisahkan dari kebijakan administrasi risiko bank. 

Untuk eksposur penyediaan dana yang sudah tidak memiliki prospek 

usaha dan kesanggupan mengeluarkan uang atau telah dikatagorikan Macet serta bank 

sudah melaksanakan aneka macam upaya untuk mendapatkan kembali penyediaan 

dana tersebut, bank dapat melakukan hapus buku atau hapus tagih. 

Hapus buku adalah tindakan administratif bank untuk meniadakan 

buku penyediaan dana yang mempunyai mutu Macet dari neraca sebesar

kewajiban debitur tanpa meniadakan hak tagih bank kepada debitur. 

Sedangkan hapus tagih adalah tindakan bank meniadakan keharusan debitur 

(tagihan terhadap debitur) yang mustahil lagi diselesaikan oleh debitur. 

D. Sistem Informasi Debitur 

Kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit yang 

efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan mampu 

diraih jika disokong oleh sistem gosip yang utuh dan komprehensif 

tentang profil dan kondisi debitur, terutama debitur yang sebelumnya 

sudah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses kredit, metode isu 

tentang profil dan kondisi debitur mampu mendukung percepatan proses 

evaluasi dan pengambilan keputusan santunan kredit. Untuk kepentingan 

manajemen risiko, tata cara info mengenai profil dan keadaan debitur 

dibutuhkan untuk memilih profil risiko kredit debitur. Selain itu 

tersedianya gosip kualitas debitur, diperlukan juga untuk melakukan 

sinkronisasi penilaian mutu debitur di antara bank pelapor. 

Sesuai dengan peraturan perundang-ajakan yang berlaku, Bank 

Indonesia berperan untuk menertibkan dan menyebarkan penyelenggaraan 

sistem gosip antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan 

lembaga lain di bidang keuangan. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia 

membuatkan metode gosip debitur yang dari waktu ke waktu selalu 

disempurnakan untuk diadaptasi dengan kemajuan ekonomi dan 

teknologi. 

Ketentuan tentang metode berita debitur tersebut dikelola dalam 

PBI No. 7/8/PBI/2005 perihal Sistem Informasi Debitur. Berdasarkan 

ketentuan PBI tersebut, bank lazim, penyelenggara kartu kredit selain bank 

dan BPR yang memiliki total aset Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar 

rupiah) atau lebih wajib memberikan laporan debitur kepada Bank 

Indonesia setiap bulan mencakup info mengenai debitur, pengurus dan 

pemilik, fasilitas penyediaan dana, agunan, penjamin dan pembukuan keuangan 

debitur (bagi debitur yang ialah nasabah perusahaan atau badan yang 

menerima penyediaan dana Rp 5.000.000.000,00 atau lebih). 

Sementara, Lembaga Keuangan Bukan Bank (antara lain mencakup 

asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan) dan BPR yang mempunyai 

total aset kurang dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) mampu 

menjadi pelapor dalam Sistem Informasi Debitur dengan menandatangani 

surat pernyataan keikutsertaan anggota. 

Pelapor yang sudah memenuhi kewajiban pelaporan dapat meminta 

info debitur kepada Bank Indonesia meliputi antara lain identitas 

debitur, pemilik dan pengurus, akomodasi penyediaan dana yang diterima 

debitur, agunan, penjamin dan atau kolektibilitas. Informasi yang diperoleh 

pelapor tersebut hanya mampu dipakai untuk keperluan pelapor dalam 

rangka penerapan administrasi risiko, kelangsungan proses penyediaan dana, 

dan atau kenali kualitas debitur untuk pemenuhan ketentuan yang 

berlaku. 

E. Kredit kepada Pihak Asing 

Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia sudah mempercepat 

kemajuan dan integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar dunia. 

Integrasi pasar keuangan antara lain tampakpada penggunaan mata duit 

domestik, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Pada mulanya mata duit 

domestik dipakai oleh warga negara abnormal dan badan aneh di dalam 

negeri, namun berikutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik 

oleh warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia maupun oleh 

warga negara aneh dan badan aneh. 

Sebagai akhir dari kemajuan dan integrasi pasar keuangan di atas, 

kenaikan transaksi rupiah antara bank dengan warga neara gila dan 

badan abnormal dalam perkembangannya telah menjadikan ketidakstabilan 

kondisi moneter di dalam negeri, khususnya dalam bentuk tekanan terhadap 

nilai tukar rupiah. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diambil langkah 

kebijakan dengan memutuskan pembatasan-pembatasan yang dibutuhkan 

sebagaimana tertuang dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 

3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 perihal Pembatasan Transaksi 

Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing. 

Dalam kemajuan selanjutnya, walaupun PBI No 3/3/PBI/2001 

telah menawarkan kemungkinan bagi banyak sekali transaksi untuk kepentingan 

pembiayaan yang bermanfaat bagi perekonomian domestik, tetapi masih 

dirasakan perlu dilaksanakan aneka macam penyempurnaan. Langkah 

penyempurnaan perlu diambil agar ketentuan yang berlaku tidak 

menghambat kegiatan produktif dan dapat sejalan dengan beberapa 

kemajuan terakhir baik dalam pasar keuangan maupun dalam 

perekonomian domestik secara keseluruhan dan dipihak lain dapat tetap 

menunjang tercapainya stabilitas sistem keuangan dan moneter di dalam 

negeri. 

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia mencabut PBI 

No 3/3/PBI/2001 dan mengeluarkan PBI No. 7/14/PBI/2005 ihwal 

Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh 

Bank. Berdasarkan peraturan tersebut, bank tidak boleh memperlihatkan kredit 

baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing kepada pihak abnormal. Pihak 

gila sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut mencakup : 

a. warga negara ajaib; 

b. badan hukum ajaib atau forum gila lainnya; 

c. warga negara Indonesia yang mempunyai status pnduduk tetap (permanent 

resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; 

d. kantor Bank di mancanegara dari bank yang berkantor pusat di 

Indonesia; 

e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan 

aturan Indonesia. 

Pengecualian atas larangan kepada dukungan kredit tersebut di atas 

mencakup: 

a. kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi patokan 

1) mengikutsertakan Prime Bank selaku lead bank; 

2) diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha 

produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan

3) bantuan bank aneh selaku anggota sindikasi lebih besar 

ketimbang donasi bank dalam negeri;

b. kartu kredit; 

c. kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri; 

d. cerukan intrahari rupiah dan valuta ajaib yang disokong oleh 

dokumen yang bersifat authenticated yang memberikan konfirmasi 

akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang 

sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran 

Bank Indonesia; 

e. cerukan dalam rupiah dan valuta aneh sebab pembebanan biaya 

administrasi; 

f. pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk 

mngelola aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan 

Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime 

Bank.

F. Kredit terhadap Perusahaan Sekuritas 

Berdasarkan SK Direksi BI No. 24/32/KEP/DIR dan SE BI No. 

24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 wacana Kredit terhadap 

Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham, bank tidak boleh 

memperlihatkan kredit untuk jual beli saham terhadap individual atau 

perusahaan yang bukan perusahaan sekuritas. Pemberian kredit kepada 

perusahaan sekuritas dilakukan oleh bank dengan ketentuan : 

a. Setiap bank cuma boleh memberikan kredit kepada sebuah perusahaan 

sekuritas masing-masing dengan maksimum sebesar jumlah yang terkecil 

antara 25% dari modal perusahaan sekuritas yang bersangkutan atau 

15% dari modal bank. 

b. Seluruh kredit yang dapat diberikan oleh suatu bank terhadap semua 

perusahaan sekuritas maksimum sebesar 30% dari modal bank. 

Disamping itu, bank dihentikan menunjukkan kredit dengan agunan 

berupa saham perusahaan lain. Dalam perkembangannya, ketentuan ini 

dicabut dengan dikeluarkannya SK Direksi BI No. 26/68/KEP/DIR dan 

SE BI No. 26/1/UKU ihwal Saham selaku Agunan Tambahan Kredit 

masing-masing tanggal 7 September 1993. Berdasarkan ketentuan ini saham 

boleh dijadikan agunan embel-embel dengan syarat selama 3 bulan terakhir 

aktif diperdagangkan, harga saham tersebut di atas nilai nominal dan nilai 

saham yang diagunkan adalah 50% dari harga pasar tersebut. 

G. Kredit untuk Keperluan Transaksi Derivatif 

Pengertian transaksi derivatif menurut SE BI No. 28/15/UD 

tanggal 18 Februari 1996 adalah suatu kesepakatan atau perjanjian pembayaran 

yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari 

mirip suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang disertai 

dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana. Pihak bank hanya boleh 

ikut dalam transaksi derivatif dengan dibatasi pada transaksi derivatif yang 

berhubungan dengan valuta asing (nilai tukar) dan suku bunga. Adapun 

transaksi derivatif yang berkaitan dengan saham cuma dapat dilaksanakan atas 

izin BI secara perkara per perkara. 

Transaksi derivatif yang tidak boleh dalam kaitannya dengan nasabah bank 

adalah : 

a. Bank tidak boleh memelihara posisi atas transaksi derivatif yang dikerjakan 

oleh nasabah grup dari bank, direksi, komisaris, pegawai atau pemilik 

bank yang bersangkutan. 

b. Bank tidak boleh menawarkan akomodasi kredit dan cerukan (overdraft) dalam 

rangka keharusan pemenuhan margin deposit nasabah untuk kebutuhan 

transaksi derivatif terhadap nasabah (vide Pasal 6 ayat (2) SK Direksi BI 

No. 28/119/KEP/DIR tanggal 29 Desember 1995 ihwal Transaksi 

Derivatif). 

Transaksi derivatif untuk kepentingan nasabah mesti berdasarkan 

kontrak yang sekurang-kurangnya mencakup : 

a. Pagu transaksi derivatif 

b. Base currency yang digunakan 

c. Jenis valuta/instrumen yang dipertukarkan 

d. Penyelesaian transaksi derivatif (settlement) 

e. Pembukuan keuntungan/rugi transaksi derivatif yang dijalankan 

f. Pencatatan atas posisi laba/rugi yang berpeluang (unrealised) 

g. Metode atau cara transaksi derivatif 

h. Besarnya komisi 

i. Penggunaan kurs konversi 

j. Advis dan konfirmasi transaksi derivatif 

k. Kerahasiaan, dan 

l. Domisili dan aturan yang berlaku. 

Transaksi derivatif yang dijalankan tanpa disertai penyerahan 

dana/instrumen, kontraknya mesti pula mencakup : 

a. Jumlah margin deposit 

b. Maintenance margin yang ditentukan, dan 

c. Hak dan kewajiban nasabah yang harus dicetak dalam karakter yang besar 

sehingga mudah dibaca. 

H. Kredit untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah 

Laju perkembangan sumbangan perbankan yang berlebihan terhadap sektor 

properti ialah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan 

moneter dan kesehatan perbankan utamanya bantuan kredit untuk 

pembiayaan pengadaan dan pengolahan tanah sebagai unsur yang banyak 

mendorong kemajuan yang berlebihan pada kredit sektor properti. 

Oleh alasannya adalah itu, BI telah mengeluarkan SK Direksi BI No. 

30/46/KEP/DIR dan SE BI No. 30/2/UK masing-masing tanggal 7 Juli 

1997 wacana Pembatasan Pemberian Kredit oleh Bank Umum untuk 

Pembiayaan Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah. Pokok-pokok

ketentuan yang dikontrol dalam kaitannya dengan pembiayaan pengadaan dan 

atau pembuatan tanah yakni sebagai berikut : 

a. Bank tidak boleh memberikan kredit terhadap pengembang, baik secara 

langsung maupun tidak eksklusif dan atau berbelanja/menjamin surat 

berguna dari pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau 

pembuatan tanah. Pemberian kredit secara langsung yaitu perlindungan 

kredit oleh bank eksklusif kepada pengembang, sedangkan tunjangan 

kredit secara tidak langsung yakni santunan kredit oleh bank kepada 

pihak lain yang secara efektif mampu dimanfaatkan oleh pengembang 

untuk pembiayaan pengadaan dan atau pembuatan tanah. 

b. Bank tidak boleh pula membeli dan atau menjamin surat berguna (surat 

legalisasi hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap 

derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu keharusan 

dari penerbit yang umum diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar 

duit, tergolong pula commercial paper) yang diterbitkan oleh 

pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah, 

kecuali surat berharga yang diterbitkan oleh pengembang yang 

mengkhususkan bisnisnya di bidang pembangunan rumah sederhana 

atau jalan tol. 

c. Beberapa hal yang dikecualikan : 

1) Pemberian kredit untuk pengadaan dan atau pengolahan tanah 

yang komitmen kreditnya dibentuk sebelum tanggal 14 Juli 1997. 

2) Pengalihan kredit dari pengembang kepada sebuah pengembang lain 

dalam rangka evakuasi sepanjang tidak menambah saldo 

kredit. 

3) Perpanjangan rentang waktu kredit dalam rangka penyelamatan 

tanpa memperbesar saldo kredit. 

4) Pemberian kredit dan atau pembelian/penjaminan surat berharga 

dari pengembang untuk pengadaan dan atau pembuatan tanah 

guna pembangunan rumah sederhana. 

Ketentuan ini tidak berlaku bagi tunjangan kredit terhadap pengembang 

untuk tujuan pembangunan rumah sederhana. Kategori rumah sederhana 

adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai tidak lebih dari 70 m2 yang 

dibangun di atas tanah dengan luas kaveling 54 m2 sampai dengan 200 m2 

dengan biaya pembangunan per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah 

dinas tipe C yang berlaku sebagaimana dikelola dalam SK Direktur Jenderal, 

serta rumah susun dengan luas lantai tidak lebih dari 36 m2 serta kaveling 

siap berdiri dengan luas maksimum 72 m2. 

I. Pemberian Garansi oleh Bank 

Pemberian garansi oleh Bank diatur dalam SK Dir BI No. 

23/88/KEP/DIR jo. SE BI No. 23/7/UKU masing-masing tanggal 18 

Maret 1991 ihwal Pemberian Garansi oleh Bank. Berdasarkan ketentuan 

tersebut garansi yang diberikan oleh bank mencakup 7

1. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang 

menjadikan kewajiban membayar kepada pihak yang menerima 

garansi jika pihak yang dijamin wanprestasi. Dalam hal ini 

tunjangan garansi mampu berupa Garansi Bank atau Standby Letter of 

Credit.

2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas 

surat-surat berguna seperti aval dan endosemen dengan hak regres 

yang mampu menjadikan kewajiban membayar bagi bank kalau 

pihak yang dijamin wanprestasi, sebagaimana telah dikontrol dalam Kitab 

Undang-undang Hukum Dagang. 


3. Garansi yang lain yang terjadi alasannya adalah perjanjian bersyarat sehingga dapat 

menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Pemberian garansi 

tersebut ialah berbentuksurat yang dapat menjadikan keharusan 

mengeluarkan uang suatu jumlah tertentu jika pihak yang dijamin 

wanprestasi dan Letter of Credit. Dengan demikian pemberian garansi 

oleh bank dalam bentuk tersebut harus dihitung selaku contingent 

liabilities yang tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai 

Pemberian Garansi oleh Bank. Agar bank menemukan kepastian 

kapan berakhirnya contingent liabilities yang timbul selaku akhir 

dukungan garansi dalam bentuk ini, maka bank dalam menawarkan 

garansi tersebut hendaknya memutuskan sebuah tenggat waktu. 

Selanjutnya, bank dapat menawarkan garansi baik dalam mata uang 

rupiah maupun mata duit aneh, tetapi demikian perlu diamati bahwa 

derma garansi untuk penerimaan kredit dari luar negeri hanya dapat 

dilakukan dengan junlah semuanya setingi-tingginya 20 % dari modal. 

Dalam pemahaman jumlah keseluruhan tersebut tergolong pula garansi yang 

dikeluarkan oleh kantor-kantor bank di luar negeri.

Karena dukungan garansi mampu menyebabkan kewajiban mengeluarkan uang 

bagi bank, yang menghipnotis likuiditas dan solvabilitasnya, maka 

pertolongan garansi dikenakan ketentuan wacana BMPK dan Kewajiban 

Pemenuhan Modal Minimum. 

Sebelum garansi diberikan, bank diminta untuk apalagi dulu 

melaksanakan observasi dan penelaahan yang pada hakekatnya sama dengan 

penelaahan yang dikerjakan dalam pinjaman kredit, antara lain tentang : 

1. bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin. 

2. sifat dan nilai transaksi yang mau dijamin. 

3. jumlah garansi yang mau diberikan menurut kesanggupan bank. 

4. kemampuan pihak yang akan dijamin untuk menunjukkan kontra 

garansi sesuai dengan kemungkinan terjadinya risiko. Kontra garansi 

ini dapat berupa : 

a. kontra garansi dari bank di luar negeri yang bonafide. 

b. Setoran sebesar 100 % dari nilai garansi yang diberikan. 

c. Kontra garansi lainnya yang diperoleh dari pihak yang dijamin 

dengan nilai yang memadai untuk menanggung kerugian yang 

mungkin diderita oleh bank. Kontra garansi ini dapat berupa

garansi material dan atau immaterial tergantung pada evaluasi 

bank atas kemungkinan terjadinya risiko. Apabila dianggap perlu 

bank dapat meminta sejumlah uang setoran terhadap nasabah yang 

dijamin untuk diblokir pada bank yang bersangkutan sebelum 

garansi diberikan. 

Pemberian garansi atas undangan bukan penduduk hanya 

diperkenankan bila disertai dengan kontra garansi yang cukup dari bank 

di luar negeri yang bonafide (tidak tergolong cabang bank yang bersangkutan 

di luar negeri), atau setoran sebesar 100 % dari nilai garansi yang diberikan. 

  Kredit Berdasarkan Undang-Undang Perbankan