“Dia layak untuk menuntut, ia ikut andil pendirian barisan!”
“Boleh dong ia tak patuh kepada pimpinan. Kesalahan ia bisa dimaafkan kan? Masih ada ukhuwah kan?”
“Prajurit itu patut untuk diberhentikan. Sering ngeyel kepada aturan. Di dlm tapi cita rasa luar!”
“Jangan mendekatkan korek api yg nyala dgn korek api yg lain. Agar yg lain itu tak ikut terbakar.”
Mungkin pernah dgn celotehan itu. Tak harus ketika ini, mungkin di masa kemudian. Mungkin pula akan terjadi di masa depan. Ada yg setuju, ada yg tak taat. Namun begitu, kita putar dulu perihal langkah-langkah seorang teman.
Adalah tindakan Zaid ibn Haritsah ra. yg melindungi Rasulullah Saw. kala itu, dgn tubuhnya dr lemparan watu orang – orang Thaif, sehingga kepalanya tak utuh rapi mirip sedia kala, ada sobek di sana. Terjadi begitu saja. Ada rasa sakit namun terempas oleh rasa yg meneduhkan di ruhiyah. Meski sobek kepala, tak menciptakan pendek akalnya.
Dari sana, kita mendapatkan sebuah contoh, sebuah prototype, bagaimana sebaiknya sikap setiap muslim kepada para imam mereka. Mereka mesti siap melindungi para imam dakwah walaupun harus bertaruh nyawa. Meski ada luka.
Demikianlah sifat para teman terhadap Rasulullah Saw. Karena sekarang Rasulullah Saw. sudah tak lagi hidup bersama kita, semangat membela beliau tak lagi mampu dilaksanakan dgn cara seperti yg dikerjakan para sobat. Harus dgn cara yg berbeda yakni dgn menguatkan hati kita untuk jangan sekali – kali mengeluh tatkala menghadapi rintangan dakwah. Tatkala gerbong sedang melaju lambat atau kilat. Kita pula mampu melaksanakan pembelaan terhadap Rasulullah Saw. dgn cara melaksanakan apa pun yg kita mampu untuk ikut “memikul beban” yg dahulu pernah dipukul ia. Ingat, memikul bukan memukul. Dipikul bukan dipukul.
Hikmah lain dr insiden ini yakni pentingnya eksistensi dakwah di setiap masa untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Rasulullah Saw. Semua umat Islam hendaknya pula siap menjadi “serdadu” yg dgn penuh keikhlasan mendukung para pemimpin mereka dgn jiwa & raga, sebagaimana dulu dilaksanakan para sobat Rasulullah Saw.
Kita bisa seperti Zaid ibn Haritsah ra. Mungkin. Di mana tatkala kita menempatkan keikhlasan untuk menjadi serdadu dlm barisan maka kita akan tulus pula untuk menjadi pemimpin pasukan tatkala selendang amanah disematkan. Tak hanya amir tapi pula ma’mur (mau dipimpin). Dengan mengkondisikan hati mirip ini maka hati akan terlatih untuk siap siaga tatkala amanah dilepaskan. Tetap militan tanpa mulutan. Tanpa banyak tuntutan. Wallahu’alam.