“Ih gue sebel deh, tiap kali ke tempat tinggal lu harus beresin rumah lu yg acak-acakan.”
“Iya, rumah gue kebesaran kayaknya. Gue mau minta nyokap gue kecilin saja rumah gue ah.”
“Iya kecilin aja. Rumah segede itu elu tinggal sendirian aja.”
Dua orang pria sedang ngobrol asyik di dlm commuter line. Satu bertubuhpendek gempal, satu bertubuhsedang. Mereka berdua mengenakan celana pendek yg sedang tren. Gaya bicara mereka agak-nyiur-ke-pantai alias melambai.
Saya masih menikmati Reem-nya Sinta Yudisia. Duduk di depan mereka berdua yg berdiri. Berharap secepatnya ada “sumbangan” tiba. Kereta sudah kadung krodid. Di malam Ahad.
Saya tak menenteng ponsel & tak membawa headset cuma sekadar untuk menyumpal indera pendengaran. Benar-benar terjebak.
Reem adalah novel yg berkisah ihwal gadis berdarah Palestina & Indonesia. Ia sosok mahasiswi yg pandai, penghafal Quran & mengasihi aksi kemanusiaan. Ia mencintai & dicintai seorang pemuda asal Indonesia berjulukan Kasim. Sayangnya, Reem mempunyai kekurangan sebagai perempuan. Ia sakit. Rahimnya telah diangkat. Tak akan mempunyai keturunan.
Sinta memang piawai mengaduk emosi para pembaca dgn alur cerita yg greget. Kadang naik, turun & lempeng.
Dua pria melambai itu masih merumpi mirip pasar malam yg lagi jalan. Dari mulai apartemen di kawasan Kebagusan, kuliner, followers Instagram hingga kekasih sesama jenis yg enggan mereka sapa lagi. Yang bertubuhgemuk ternyata lebih tua 10 tahun dr yg bertubuhsedang. Seperti akreditasi mereka yg mengaitkan satu kisah dgn cerita lain.
“Kita makan berat aja dahulu yuk di Depok. Makan nasi padang atau apa. Kaprikornus tatkala nanti hingga di kafetaria, kita nggak makan berat lagi. Cemilan gitu!” undangan yg muda.
“Ah, gue nggak mau makan nasi padang malam-malam ah. Lagi mau hidup sehat!” kata si gempal.
Mau tak ingin telinga saya menangkap pembicaraan mereka. Fokus saya kepada Reem & Kasim (tokoh di dlm buku) sempat terusik.
Setelah mati nanti, apa ia masih bisa berlangsung-jalan, terbang di udara untuk melihat kegiatan dunia? (sebuah kalimat di halaman 290).
Setelah mati nanti. Ya, setelah mati nanti, apakah insan masih bisa menyaksikan aktivitas di dunia mirip yg terjadi di kereta malam ini?
Manusia tak pernah tahu jawabannya kecuali nanti menjalaninya sendiri (halaman yg sama).
Tapi menikmati perjalanan kereta dgn diisi orang mirip mereka pula pemandangan yg menjengkelkan. Bukankah hal ini sudah ditentukan Allah? Seharusnya memang mengingatkan mereka biar tak terlalu berisik.
Saya tak menuduh mereka selaku pelaku homoseksual. Hanya saja gaya mereka sudah kadung melambai & mengobrolkan kekasih sesama jenis. Tanpa rasa aib sama sekali. Sekali waktu mata penumpang yg lain menyorot ke mereka. Eksistensi mereka memang ada. Tak sekadar gosip di media massa & media sosial.
Pria setengah baya yg duduk di samping saya sudah bangkit. Ia memperlihatkan dingklik pada seorang ibu. Saya kalah cepat. Tapi tak lama kemudian, di stasiun berikutnya ada penumpang masuk. Alhamdulillah, ibu renta masuk. Ia mirip mendatangi saya padahal penumpang sudah sesak. Bergegas saya manfaatkan kesempatan ini untuk bangun.
Saya akhirnya bisa berdiri & agak menjauh dr mereka. Tapi bunyi mereka sudah terlanjur keras. Masih terdengar saja. Saya kembali membaca Reem.
“Kematian adalah kesendirian…” halaman selanjutnya, sebelum kereta commuter berhenti di stasiun selanjutnya.
[@paramuda/Wargamasyarakat]