Rancangan Dasar Berfikir Ilmiah Dengan Daypikir Deduktif, Induktif, Dan Abduktif

Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran Deduktif, Induktif, Dan Abduktif
Berpikir ialah sebuah proses yang membuahkan wawasan. Proses ini ialah serangkaian gerak anutan dalam mengikuti jalan fatwa tertentu yang akibatnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir untuk mendapatkan pengertian atau pengertian, pembentukan usulan, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang diinginkan (Achmadi, 1998). Menurut Himsworth (1997), insan yakni makhluk yang berpikir. Setiap dikala dari hidupnya, semenjak beliau lahir sampai masuk liang lahat, beliau tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada persoalan yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi (Hardiman, 2004).
Berpikir ilmiah yakni menggunakan nalar kebijaksanaan untuk menimbang-nimbang, menetapkan, mengembangkan dan sebagainya (James, 1999). Pada dasarnya setiap objek yang ada di dunia pastilah menuntut sistem tertentu. Seperti halnya dalam mendapatkan wawasan. Suatu ilmu, mungkin memerlukan lebih dari satu sistem ataupun mampu tertuntaskan berdasarkan aneka macam sistem (Ahmad Saebani, 2009). Akhirnya suatu pendapat mengatakan, bahwa sesuatu mempunyai banyak sekali sisi yang menuntut penggunaan banyak sekali metode. Untuk menemukan wawasan, maka digunakanlah tata cara berfikir ilmiah (Sumadi, 2010). Metode berfikir ilmiah mampu dilaksanakan lewat tiga jenis akal sehat, adalah Penalaran Deduktif, Penalaran Induktif, dan Penalaran Abduktif (Redja, 2001).
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis memberikan perumusan persoalan utamanya yang berkenaan dengan kajian berpikir ilmiah. Untuk itu penulis merumuskan duduk perkara, sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud sistem berpikir ilmiah?
2. Apa nilai guna tata cara berpikir ilmiah?
3. Bagaimana cara berpikir ilmiah dengan pikiran sehat deduktif, induktif, dan abduktif?
Tujuan
Berdasarkan rumusan persoalan diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian tata cara berpikir ilmiah.
2. Untuk mengetahui nilai guna sistem berpikir ilmiah.
3. Untuk mengetahui cara berfikir ilmiah dengan akal budi deduktif, induktif, dan abduktif.
Metode Penulisan
Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam makalah ini bersumber dari berbagai acuan atau literatur yang berhubungan dengan topik persoalan yang dibahas. Validitas dan relevansi rujukan yang dipakai dapat dipertanggungjawabkan. Jenis data yang diperoleh berbentukdata sekunder yang bersifat kualitatif.
Pengumpulan Data
Penulisan makalah ini dilaksanakan dengan menggunakan studi pustaka dengan menelusuri aneka macam referensi yang terkait dengan topik utama persoalan. Literatur yang dipakai ialah literatur yang sudah dikaji validitasnya dan mendukung dalam penguraian duduk perkara.

Penyusunan Data
Setelah data terkumpul, dilakukan penyusunan data (pembahasan) dengan sistematis sesuai dengan persoalan yang dikaji. Penyusunan data ini merujuk pada berbagai literatur berupa buku dan jurnal yang berhubungan dengan topik makalah yang telah dikumpulkan. Dari tahapan penyusunan data, tujuan penulisan makalah dapat terpenuhi adalah mengenali pengertian tata cara berpikir ilmiah, mengenali nilai guna tata cara berpikir ilmiah, mengetahui cara berfikir ilmiah dengan pikiran sehat deduktif, induktif, dan abduktif. Setelah penyusunan data dilaksanakan penarikan kesimpulan dari kajian topik yang telah dilakukan.
Pembahasan
Metode Berfikir Ilmiah
Secara etimologis, metode berasal dari Bahasa Yunani, yakni “Meta” yang artinya setelah atau dibalik sesuatu, dan “Hodos” yang artinya jalan yang harus ditempuh (Richard, 1986). Kaprikornus sistem mempunyai arti langkah-langkah (cara dan teknik) yang diambil berdasarkan urutan tertentu untuk meraih pengetahuan tertentu. Makara tata cara berfikir ilmiah yakni mekanisme, cara dan teknik menemukan wawasan, serta untuk membuktikan benar salahnya sebuah hipotesis yang telah diputuskan sebelumnya (Branner, 2002).
Metode ilmiah ini ialah sebuah prosedur yang dipakai para ilmuan dalam pencarian kebenaran gres. Dilakukannya dengan cara kerja sistematis terhadap wawasan baru, dan melaksanakan peninjauan kembali terhadap pengetahuan yang sudah ada (Kattsoff, 1992). Tujuan dari penggunaan metode ilmiah ini yaitu supaya ilmu meningkat dan tetap eksis dan mampu menjawab banyak sekali tantangan yang dihadapi. Kebenaran dan kecocokan kajian ilmiah, akan terbatas pada ruang, waktu, tempat dan keadaan tertentu (Milton, 2004).
Metode ilmiah dipengaruhi oleh komponen alam yang berganti dan bergerak secara dinamik dan terencana. Kondisi alam yang diduga para filosof alasannya adanya asas tunggal dari alam (natural law). Filosof percaya, bahwa natural law sudah menjadi salah satu karena adanya ketertiban alam (Zuhairini, 1995). Ketertiban akan diangkat dan mesti diletakkan sebagai objek ukuran dalam memilih kebenaran. Corak-corak metodis yang sandarannya pada keadaan alam, yang dinamik dan teratur, mesti diakui sudah meneyebabkan lahirnya ilmu wawasan dengan sifat dan kecendrungan yang positivistic (Titus, 1959). Ilmu selalu meningkat dalam ukuran-ukuran yang konkrit dengan versi dan pendekatan serta eksperimen dan pengamatan. Dalam perkembangan berikutnya model dan cara berfikir demikian telah memperoleh somasi. Karena, tidak semua ilmu mampu didekati dengan versi yang sama (Sidi, 1973). Dengan ditemukannya metode berfikir ilmiah, secara pribadi sudah menyebabkan terjadinya pertumbuhan dalam ilmu wawasan. Manusia bukan saja hidup dalam ritmis modernisasi yang serba mudah dan menjanjikan. Lebih dari itu semua, manusia mampu menggapai sesuatu yang sebelumnya seolah mustahil. Manusia tidak lagi berleha-leha, terhadap apa yang menjadi keinginanalam (Peursen, 2003).
Manfaat Berfikir Ilmiah
Metode berpikir ilmiah memiliki peranan penting dalam menolong insan untuk memperoleh wawasan cakrawala gres dalam menjamin eksistensi kehidupan insan. Dengan menggunakan metode berfikir ilmiah, manusia terus mengembangkan pengetahuannya (Liang, 1982).
Menurut Sugiharto (1996) ada 4 cara insan mendapatkan wawasan:
1. Berpegang pada sesuartu yang sudah ada (metode keteguhan).
2. Merujuk kepada pendapat jago
3. Berpegang pada intuisi (metode intuisi)
4. Menggunakan metode ilmiah
Dari keempat itulah, manusia menemukan pengetahuannya sebagai pelekat dasar pertumbuhan manusia. Namun cara yang keempat ini, sering disebut sebagai cara ilmuan dalam memperoleh ilmu. Dalam praktiknya, tata cara ilmiah dipakai untuk mengungkap dan berbagi ilmu, lewat cara kerja penelitian (Magnis, 1992). Cara kerja ilmuan dengan penelitian ilmiah, muncul selaku reaksi dari tantangan yang dihadapi insan. Pemecahan duduk perkara melalui metode ilmiah tidak akan pernah berpaling. Penelitian ilmiah dengan menggunakan sistem ilmiah, memegang peranan penting dalam menolong insan untuk memecahkan setiap problem yang di hadapinya (Jammer, 1999).
Ilmuan biasanya melakukan pekerjaan dengan cara kerja sistematis, berlogika dan menghindari diri dari usulansubjektif. Rasa tidak puas terhadap pengetahuan yang berasal dari paham orang awam, mendorong kelahiran filsafat. Filsafat menyelidik ulang semua wawasan insan untuk menerima wawasan yang hakiki (Capra, 1998). Ilmuan memiliki falsafah yang serupa, yaitu dalam penggunaan cara menyelesaikan dilema dengan menggunakan sistem ilmiah (Noeng, 1996). Metode ilmiah senantiasa digunakan untuk memecahkan dilema yang dihadapinya. Penggunaan tata cara ilmiah tertentu dalam kajian tertentu, dapat membuat lebih mudah ilmuan dan pengguna hasil keilmuannya mampu membuat lebih mudah melaksanakan penelusuran. Dalam ilmu wawasan ilmiah, “tidak ada” kebenaran yang sekedar berada di awang-awang meskipun atas nama logika. Setiap kebenaran ilmiah, selalu diperkuat bukti-bukti empirik dan indrawi, bahkan sesuatu kebenaran tersebut sudah teruji (Hardiman, 2004).
Penalaran Ilmiah
Terdapat banyak cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan maksud goresan pena ini yang memusatkan kepada berpikir ilmiah maka terdapat tiga jenis penarikan kesimpulan yaitu berdasarkan logika induktif, nalar deduktif dan logika abduktif :
Logika Induktif
Merupakan cara berpikir mempesona sebuah kesimpulan yang bersifat lazim dari banyak sekali perkara yang bersifat individual (seperti kesimpulan peneliti humoris). Misalnya, kita punya fakta bahwa kambing punya mata, kucing punya mata, demikian juga anjing dan aneka macam hewan yang lain. Dari realita-kenyataan ini mampu kita tarik kesimpulan biasa bahwa semua binatang memiliki mata. Dua keuntungan dari nalar induktif : 
a. Ekonomis
Karena dengan penalaran induktif kehidupan yang bermacam-macam dengan berbagai corak dan sisi mampu direduksi/dikurangi menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan insan bukan ialah koleksi/ kumpulan dari banyak sekali fakta melainkan esensi dari fakta-fakta tersebut. Demikian juga pengetahuan tidak berencana menciptakan reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan pada struktur dasar yang mendasari ujud fakta tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak dapat mereproduksi betapa manisnya secangkir kopi atau betapa pahitnya pil kina. Makara pengetahuan cukup puas dengan pernyataan elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu anggun dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini telah cukup bagi insan untuk bersifat fungsional dalam kehidupan mudah dan berpikir teoritis. 
b. Penalaran lanjut 
Secara induktif dari banyak sekali pernyataan yang bersifat biasa mampu ditarik kesimpulan pernyataan yang bersifat lebih biasa lagi. Melanjutkan acuan perihal kesimpulan bahwa semua binatang mempunyai mata (induksi binatang), dan semua manusia mempunyai mata (induksi manusia) maka mampu ditarik kesimpulan bahwa semua makluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya wawasan secara sistematis yang mengarah terhadap pernyataan-pernyataan yang kian lama kian bersifat fundamental. 
Logika Deduktif
Adalah acara berpikir yang sebaliknya dari akal budi induktif. Deduksi ialah cara berpikir dimana dari pernyataan bersifat biasa ditarik kesimpulan bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif umumnya memakai teladan berpikir silogismus. Silogismus, disusun dari dua buah pernyataan dan suatu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian mampu dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Pengetahuan yang didapat dari akal sehat deduktif adalah hasil kesimpulan menurut kedua premis tersebut. Melanjutkan pola penalaran induktif di atas dapat dibuat silogismus sebagai berikut : 
Semua makluk memiliki mata [premis mayor] —— Landasan [1] 
Si Polan ialah seorang makluk [premis minor] ——- Landasan [2] 
Kaprikornus si Polan memiliki mata [kesimpulan] ———- Pengetahuan 
Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan punya mata ialah wawasan yang sah menurut pikiran sehat deduktif, alasannya adalah kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Jika kebenaran dari kesimpulan/wawasan dipertanyakan maka harus dikembalikan terhadap kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya yakni benar maka mampu dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, walaupun kedua premisnya benar, karena cara penarikan kesimpulannya tidak sah. Contoh : 
Semua makluk memiliki mata [premis mayor] —-Landasan [1] 
Si Polan yaitu bukan makluk [premis minor] —-Landasan [2] 
Makara si Polan mempunyai mata [kesimpulan] ——Pengetahuan 
Semua makluk mempunyai rumah [premis mayor] —-Landasan [1] 
Si Polan adalah seorang makluk [premis minor] —-Landasan [2] 
Makara si Polan memiliki rumah [kesimpulan] ——Pengetahuan 
Semua makluk memiliki mata [premis mayor] —-Landasan [1] 
Si Polan ialah seorang makluk [premis minor] —-Landasan [2] 
Jadi si Polan memiliki kaki [kesimpulan] ——Pengetahuan 
Makara ketepatan penarikan kesimpulan dalam akal sehat deduktif bergantung dari tiga hal, adalah kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Jika salah satu dari ketiga bagian tersebut persyaratannya tidak tercukupi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Misalnya, A = B dan jika B = C maka A = C. Kesimpulan A sama dengan C pada hakekatnya bukan merupakan wawasan baru dalam arti yang bahu-membahu, melainkan sekedar konsekwensi dari dua wawasan yang telah kita ketahui sebelumnya.
Logika Abduktif
Pemikiran fundamental di sini ialah bahwa suatu hal yang mungkin untuk melukiskan dan menggambarkan konsekuensi dari suatu produk dalam iklan. Berdasarkan pada konsekuensi itu, baik atribut dari produk yang diiklankan ataupun korelasi nilai dari pengguna produk dapat disimpulkan (abduktif) oleh akseptor iklan tersebut. Sebagai contoh, di dalam iklan untuk sebuah merek margarin (Blue Band). Orang yang langsing dan ramping akan ditampilkan sedang menggunakan merek sebuah margarin yang diiklankan. Dalam kasus ini, konsekuensi dari sebuah produk ditampilkan (bahwa Blue Band itu menciptakan masakan lezat). Dari iklan ini, sebagai contohnya, kita bisa mendapatkan sebuah kesimpulan abduktif ialah Blue Band adalah margarin dengan presentase “rendah-lemak” (atributnya).
  1. Hasil : Pengguna Blue Band menerima bentuk badan dan figur yang baik (ramping)
  2. Aturan : Margarin dengan presentase “rendah-lemak” sangat baik untuk bentuk badan.
  3. Kasus : Blue Band ialah margarin dengan presentase “rendah lemak” (kesimpulan informatif)
  Pengembangan Metode Dan Infrastruktur E-Government Pendidikan.
Apabila kesimpulan abduktif ini tidak secara eksplisit ada di dalam suatu iklan, maka berarti dibuat secara implisit. Bagaimanapun juga, menurut pada konsekuensi yang digambarkan di dalam iklan itu (Blue Band ialah suatu pilihan tepat untuk mendapatkan dan menjaga kesehatan dan bentuk tubuh ramping) kita juga mendapatkan kesimpulan abduktif lain yang dibuat dalam penggunaan Blue Band, pengguna produk akan mengingatnya dan tidak mampu dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).
  1. Hasil : Pengguna Blue Band menerima bentuk tubuh dan figur yang bagus (ramping)
  2. Aturan : Orang dengan bentuk tubuh yang baik akan dipuji oleh orang lain
  3. Kasus : Dengan menggunakan Blue Band pengguna produk (akan tetap mempunyai bentuk badan yang bagus) dan dipuji oleh orang lain. (kesimpulan transformatif).
Abduktif (abduksi) melaksanakan daypikir dari sebuah fakta ke agresi atau kondisi yang menjadikan fakta tersebut terjadi. Metode ini dipakai untuk menjelaskan event yang kita perhatikan. Sebagai acuan, misalkan kita mengenali bahwa seseorang yang berjulukan Sam senantiasa mengendarai mobilnya dengan sangat cepat jika sdang mabuk. Maka pada ketika kita menyaksikan Sam mengendarai mobilnya dengan sungguh cepat maka kita berkesimpulan bahwa Sam mabuk. Tentunya hal ini belum pasti benar, mungkin saja ia sedang tergesa-gesa atau dalam keadaan gawat darurat.
Walaupun abduktif mungkin tidak dapat mengemban amanah, namun insan acap kali membuktikan sesuatu hal dengan cara mirip ini, dan menjaga penjelasaannya hingga ada bukti lain yang mendukung klarifikasi atau teori alternatif.
Pandangan Beberapa Filsuf :
1. Aristoteles menyebut abduktif (abduksi) mengacu terhadap jenis-jenis inferensi (penyimpulan, akal sehat) silogistik yang tidak sukses membawa kepastian, karena hubungan yang lemah antara term-term mayor dan tengah, atau term-term tengah, minor. Premis mayor bersifat niscaya, sedangkan premis minor tidak niscaya. Karena itu kesimpulannya menjadi kurang niscaya atau sama dengan premis minor. Contoh klasik yakni: “semua yang tidak hancur yaitu hal yang tidak material, jasmani; insan mempunyai jiwa” 
2. Adalah Charles Sander Peice (1839-1914) mengenalkan cara menganalisis jenis teladan pikir bersifat “mengira” (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif.
Pemikiran peirce tentang pentingnya insting pada fase abduktif memiliki implikasi teoritis yang besar. Pertanyaan kita sekarang adalah apakah abduksi dan hipotesis eksplanatoris sebagai akibatnya memiliki nilai-nilai ilmiah-teoritis? Atau dengan perkataan lain, apa ciri-ciri dasar nilai dari abduktif dan hipotesis eksplanatoris?
Pertama-tama mesti dikatakan bahwa abduksi menciptakan suatu proposisi yang mengandung konsep universal (generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya bahwa abduktif ialah sebuah proses penyimpulan dari sebuah kasus tertentu. Kesimpulan dari proses itu ialah sebuah proposisi yang menempatkan suatu masalah khusus tertentu dalam suatu kelas atau kelompok. Maka dengan cara ini, suatu hipotesis mempertegas bahwa suatu kasus perorangan diposisikan dalam sebuah kelas yang lebih biasa .
Kedua, abduktif ialah suatu proses yang tidak dapat dipatok dengan satu jenis pikiran sehat formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibuat oleh imajinasi, bukan oleh daypikir kritis. Lebih lagi, seorang ilmuan akan menggunakan instingnya untuk membuat suatu opsi yang hemat dan berguna ketika menghadapi begitu banyak penjelasan yang mesti diuji. Hipotesis abduktif, alasannya adalah itu, tidak timbul dari sebuah proses logis yang ketat, tetapi dari suatu kilatan insight, pengertian, atau inspirasi, di bawah imajinasi, dan di luar kemampuan akal budi kritis.
Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu wawasan selalu berupaya untuk menangkap orisinalitas realitas. Karena hipotesis abduktif ialah hasil dari kilatan pandangan baru imajinasi ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan dan bagi banyak orang ialah sesuatu yang gres. Peirce sangat yakin bahwa abduksi merupakan satu-satunya bentuk penalaran yang bisa menghasilkan ide bagi ilmu wawasan. Abduksi berhenti dengan menawarkan sebuah hipotesis yang harus diuji, bukan sesuatu yang sudah dimengerti kebenarannya. “Abduction merely conjectures in an original way what the explanation for the phenomena might be”.
Keempat, adalah interpretatif. Abduktif yang berhasil mengandaikan keterlibatan yang menyeluruh dan khayalan yang bebas. Oleh sebab itu, ilmuwan yang terlatih umumnya lebih berhasil dari yang tidak berpengalaman. Ini mempunyai arti bahwa abduktif merupakan sebuah fase interpretasi. Interpretasi dalam arti bahwa proposisi hipotesis yang sukses dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang ilmuwan terhadap fakta atau pengalaman.