Di kalangan masyarakat Sunda, ada suatu dogma bahwa pergeseran sosial akan terjadi sesuai dengan ramalan para karuhun (leluhur) Ramalan tentang pergeseran sosial yang penting — khususnya yang menyangkut duduk perkara negara atau kawasan — umumdisebut uga. Sebagai bentuk ramalan, uga dapat diinterpretasikan tergantung pada tingkat keyakinan orang yang menginterpretasikannya.
Selain faktor simbolik, dalam uga terkandung pula bagian waktu. tradisi Sunda, ada perumpamaan: Geus nepi kanan ugana, geus nepi kanan waktu anu ditujum karuhan” (Sudah sampai pada uganya, telah datang pada ketika yang diramalkan leluhur).
Menunjukkan bahwa dalam ramalan berupa uga, faktor waktu merupakan sesuatu yang tidak mampu ditinggalkan. Akan tetapi, unsur waktu yang terkandung dalam uga bersifat tidak niscaya, artinya mampu kapan saja, besok, lusa, tahun depan, atau mungkin tak pernah terjadi. Untuk lebih jelasnya, amati beberapa jenis uga-uga yang berasal dari kawasan tertentu di Jawa Barat berikut ini.
- Uga Galunggung : dari kawasan Tasikmalaya, berbunyi “Sunda nanjung lamun pulung turun ti Galunggung” (0rang Sunda akan tinggi derajatnya, bila pulung turun dari Galunggung).
- Uga Bandung : dari daerah Bandung, berbunyi, “Sunda nanjung, lamun nu pundung ti Bandung ka Cikapundug geus balik deui” (Orang Sunda akan tinggi derajatnya, jikalau orang yang merajuk dari Bandung ke Sungai Cikapundung kembali lagi).
- Uga Kawasen : dari tempat Kawasen (Ciamis), berbunyi, “Ari anu bakal jadi ratu, baju butut babadong batok, anu, jolna ti Gunung Surandil, banderana karakas cau” (Orang yang bakal menjadi ratu, berbaju rombeng, menggunakan topi tempurung, yang datang dari Gunung Surandil, berbendera daun pisang kering).
- Selain itu, ada uga-uga lain yang lebih ringkas dan lebih terkenal di kalangan masyarakat hingga sekarang. Misalnya, “Bandung heurin ku tangtung (Bandung sarat sesak dengan bangunan), Cikatalanjuran (Ciganjur terlewatkan), Sumedang ngarangrangan (Sumedang kian meranggas). Sumber artikel: Tradisi & Tranformasi Sejarah Sunda – 2000 hal: 151-152 Oleh Dr. Hj. Nina H. Lubis, M.S.