Qadariyyah Dan Jabariyyah

A.   Pendahuluan 
Allah yakni pencipta alam semesta ini, tergolong juga semua yang ada di dalamnya, mulai dari berkembang-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah bersifat Mahakuasa, maha mengendalikan dan memiliki hasratyang bersifat mutlaq. Maka muncul pertanyaan, hingga dimanakah insan selaku ciptaan Allah, apakah insan bergantung 100% kepada taqdir Allah Swt dalam menjalani hidupnya? ataukah manusia memiliki kemerdekaan dalammengatur hidupnya tanpa bergantung pada taqdir?
 
Iman kepada taqdir  ialah doktrin yang harus dipegang teguh oleh setiap muslim. Iman kepada taqdir yakni bab dari rukun keyakinan, dan juga ialah salah satu tanda dogma. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw. ditanya oleh Malaikat Jibril perihal kepercayaan, Beliau menjawab bahwa salah satu tanda dogma ialah percaya pada taqdir baik dan taqdir buruk yang telah ditentukan Allah Ta’ala. Pemahaman seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama salaf.  Orang yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah mewujudkan tauhid terhadap Allah Swt. dan berlangsung di atas isyarat   Rabb-nya.

 Dalam persoalan taqdir (qadha dah qadar) ini ada beberapa kalangan besar yang pemahamannya sungguh ekstrim (berlebihan) dan saling bertolak belakang. Kelompok ini timbul di simpulan kala para sahabat. Di antara kalangan tersebut adalah Qadariyah dan Jabariyah. Pemikiran qadariyah ini bercorak liberal, sedangkan jabariyah mempunyai corak pemikiran tradisional.
Munculnya corak anutan yang beragam dalam Islam disebabkan sebab kian luasnya kawasan Islam ke Timur dan ke Barat. Umat Islam mulai bersentuhan dengan akidah dan pemikiran dari anutan-pemikiran lain, terutama filsafat Yunani. Seperti dikenali kawasan-wilayah yang bergabung dengan Islam, terutama di bab Barat adalah wilayah-wilayah yang pernah diduduki oleh bangsa Romawi(Yunani).
 B. Qadariyah
1. Pengertian dan asal ajakan qadariyah
Kata Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara yang berarti kemampuan dan kekuatan. Nama Qadariyah juga berasal dari pemahaman bahwa insan mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya sendiri, bukan berasal dari pengertian bahwa insan terpaksa tunduk pada qadar atau ketentuan Allah.[1] Dalam ungkapan Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will  dan  free act.[2]
Tidak ada informasi pasti kapan paham ini muncul dalam sejarah pertumbuhan teologi Islam. Tetapi menurut informasi para jago teologi Islam, paham qadariyah pertama kali dibawa oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani yang berasal dari Bashrah dan temannya bernama Ghailan al-Dimasyqi. Menurut Ibnu Nabatah dalam bukunya syarh al-‘uyun, Ma’bad al-Juhani dan Ghailan mengambil paham ini dari seorang Katolik yang masuk Islam di Iraq.[3] Dan berdasarkan al-Zahabi, Ma’bad yakni seorang tabi’I yang bagus, namun beliau memasuki tempat politik dan memihak ‘Abd al-Rahman Ibn Asy’as dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H.[4] Ia mati dibunuh oleh al-Hajjaj, seorang gubernur dari Bani Umayyah yang populer kejam dan berdarah dingin.
Setelah akhir hayat Ma’bad, Ghailan terus menyebarkan paham qadariyah di Damaskus, tetapi ini tidak berjalan tanpa hambatan sebab menerima tantangan dari khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Baru sehabis ajal ‘Umar ia melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti pada abad itu. Tapi risikonya dia mati dieksekusi bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik.Sebelum dikerjakan hukuman tersebut diadakanlah debat antara Ghailan dan Awza’i yang eksklusif dihadiri oleh Hisyam perihal paham yang dibawa Ghailan[5].
Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah kepada tindakan hambaNya dan mereka berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan terhadap makhlukNya.Mereka berpendapat bahwa tidak ada takdir, mereka mengingkari kepercayaan dengan qadha dan qadar. Mereka juga mengatakan bahwa Allah tidak memilih dan tidak mengetahui suatu masalah sebelum terjadi, bahkan Allah baru mengenali suatu perkara setelah terjadi. Dalam kitab Al-Milal wa Al-Nihal, pembahasan problem Qadariyah disatukan dengan pembahasan wacana kepercayaan-dogma Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua ajaran ini kurang begitu terperinci. Ahmad Amin juga menerangkan bahwa keyakinan qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah, alasannya adalah faham ini juga dijadikan salah satu keyakinan Mu’tazilah. Akibatnya, sebahagian orang juga menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah alasannya kedua ajaran ini sama-sama yakin bahwa insan memiliki kemampuan untuk mewujudkan langkah-langkah tanpa campur tangan Tuhan.[6]
2. Paham dan dogma qadariyah
          Hampir semua paham-paham qadariyah berlawanan dengan apa yang dimengerti ahlu al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum qadariyah diantaranya yakni:
1. Meletakkan posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laris dan semua perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah Swt. Makara manusia menerima nirwana dan neraka karena keinginanmereka sendiri bukan alasannya adalah taqdir. Paham ini merupakan pedoman terpenting dalam doktrin qadariyah.[7]
2. Kaum qadariyah menyampaikan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka Allah mengenali semuanya dengan zatNya, dan Allah berkuasa dengan zatNya, serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-sifat qadimNya tersebut. Mereka juga mengatakan, jika Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama dengan menyampaikan bahwa Allah lebih dari satu.[8]
3. Takdir merupakan ketentuan Allah SWT kepada aturan alam semesta semenjak zaman azali, ialah hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah,[9] mirip matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak tergolong tindakan dan tingkah laris insan.
4. Kaum qadariyah berpendapat bahwa logika insan  mampu mengenali mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Agama tidak menjadikan sesuatu menjadi baik alasannya adalah diperintahkannya, dan tidak pula menjadi jelek alasannya adalah dilarangnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru menyesuaikan diri segala sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu sebaliknya.[10]
Sebenarnya dalam kalangan qadariyah sendiri ada perbedaan usulan dan pengertian seputar duduk perkara taqdir. Ada golongan qadariyah yang berpendapat bahwa kebaikan berasal dari Allah Ta’ala, sedangkan kejelekan berasal dari manusia itu sendiri. Pemahaman ini sama dengan menilai ada dua pencipta. Ada yang beropini bahwa semua kebaikan dan kejelekan penciptanya yakni pelakunya sendiri. Sebagian golngan qadariyah lainnya menyebutkan bahwa sehabis Allah membuat makhluk, lalu Allah menciptakan kesanggupan pada makhluk tersebut untuk berbuat sesuai kemauannya tanpa ada pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman ini memiliki arti sehabis Allah membuat alam semesta Allah menganggur, cuma menonton insiden yang terjadi di alam.
Karena usulan dan pemahaman-pengertian mirip inilah muncul celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, dia berkata, “Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah yaitu majusi ummat ini. Jika mereka sakti jangan kalian jenguk dan jikalau mereka mati jangan kalian saksikan jenazahnya,” (Hasan, Silsilah Jaami’ ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi ‘Izz al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah ath-Thahaawiyah (hal.524) berkata, “Akan namun penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah konkret. Bahkan doktrin mereka lebih jelek dari majusi. Karena Majusi meyakini adanya dua pencipta sedangkan qadariyah meyakini adanya banyak pencipta.”
Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha,  disebutkan bahwa Imam Al- Au’zai mengatakan :
 القدرية خصماء الله عز وجل في الأرض 
 “Qadariyyah yakni lawan Allah di dunia”
Yang dimaksud lawan Allah di sini yaitu musuh perihal taqdir Allah, alasannya adalah taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan kejelekan. Demikian pula perbuatan insan terdiri dari dua macam yakni baik dan jelek.    
Dalam kitab As-Sunnah,  Ibn Abi ‘Ashim meriwayatkan dari Sa’ad bin Abd al-Jabbar, katanya: “Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya ihwal kalangan Qadariyyah yakni, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak mau, mereka mesti dihukum mati”.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian mirip kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah berhati-hati kepada orang atau kalangan yang memiliki usulan seperti mereka. Allah yang Maha Suci,  mustahil kekuasaan-Nya ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba memiliki impian dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut keinginandan cita-cita Allah. Manusia mempunyai keleluasaan untuk berbuat, tetapi keleluasaan yang mengikuti keinginandan cita-cita yang memberi keleluasaan adalah Allah.  
3. Dalil-dalil  yang menjadi dasar paham Qadariyah
          Ada beberapa dalil al-Alquran yang dijadikan landasan untuk mendukung paham-paham Qadariyah. Dalil-dalil tersebut diantaranya:
QS al-Kahfi ayat 18
Artinya: dan Katakanlah!! Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah beliau beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
1)    QS Fussilat ayat 40
Artinya:   perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha menyaksikan apa yang kau kerjakan.
2)    QS Ali Imran ayat 164
Artinya: dan mengapa ketika kamu ditimpa bencana alam (pada peperangan Uhud), Padahal kamu sudah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
3)    QS al-Ra’d ayat 11
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan mereka sendiri.
 C. Jabariyah
1. Pengertian dan asal-seruan Jabariyah
          Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang bermakna memaksa. Dalam perumpamaan Inggrisnya paham ini disebut fatalism atau predestination[11]. Dalam kontek anutan kalam, perumpamaan jabariyah diartikan bahwa manusia makhluk yang terpaksa di hadapan Tuhan.
          Menurut Syahrastani, Jabariyah yaitu paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
          Paham Jabariyah ini dalam sejarah teologi Islam ditonjolkan  pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang mengembangkannya kemudian adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm Ibn Safwan  ialah pendiri kalangan Jahmiyah dalam golongan Murji’ah. Ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm mampu ditangkap dan kemudian dieksekusi mati di tahun 131 H[12]. Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di kelompok Jabariyah, ialah al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari kalangan Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
2. Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
          Menurut al-Syahrastani, Jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bab, golongan ekstrim dan moderat. Di antara tokoh-tokoh Jabariyah ekstrim adalah Jahm Ibn Safwan dan Ja’ad Ibn Dirham. Tokoh dari golongan moderat nama al-Hasan Ibn Muhammad al-Najjar. Dari tokoh-tokoh ini lahir beberapa kalangan dalam anutan Jabariyah, diantaranya adalah[13]:
1)    Kelompok  Jahmiyah
          Mereka ialah para pengikut Jahm Ibn Safwan, yang kebid’ahan dan ajarannya muncul di Khurasan. Kelompok ini termasuk dalam kalangan ekstrim Jabariyah.Pada tamat kekuasaan Bani Umayyah, Jahm kesudahannya dibunuh oleh Salam Ibn Ahwaz al-Mazini di kota Moru, salah satu kota paling populer di Khurasan. Diantara keyakinan golongan Jahmiyah ini yaitu:
a)     Allah tidak mempunyai sifat-sifat azaly, alasannya hal ini akan mengakibatkan Allah serupa dengan makhluk. Pendapat ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah.
b)    Bid’ah jabr. adalah pernyataan bahwa manusia tidak memiliki kesanggupan dan daya upaya sama sekali, bahkan semua kehendaknya timbul alasannya dipaksa oleh Allah Swt.
c)     Bid’ah irja’, yakni bahwa doktrin cukup cuma dengan ma’rifat. barang siapa yang inkar di ekspresi maka hal tersebut tidak membuatnya kafir karena ilmu dan ma’rifat tidak bisa lenyap alasannya adalah ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam keimanannya serta dogma dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan. [14]    
d)    Mereka berpendapat bahwa nirwana dan neraka, serta masyarakatyang ada di dalamnya tidak abadi.
e)     Kaum Jahmiyah juga menyampaikan bahwa al_Quran ialah makhluk Allah. Pendapat itu ialah imbas dari tidak mengakui sifat Allah. Karena Allah tidak bersifat kalam , maka al-Alquran itu bukanlah kalamullah yang qadim.
2)     Kelompok Najjariyah
          Mereka yaitu pengikut Husein Ibn Muhammad an-Najjar. Kelompok ini tergolong golongan moderat. Najjariyyah juga terbagi menjadi beberapa kelompok kecil (Barghutsiyah, Za’faraniyah dan Mustadrikah), namun mereka tidak berlainan dalam prinsip-prinsip pokok dalam ajaran Jabariyah[15]. Diantara keyakinan-keyakinan Najjariyah ialah:
a)     Mereka berpendapat bahwa Tuhanlah yang membuat tindakan-perbuatan insan, baik dan buruknya, namun insan memiliki andil atau peran dalam perwujudan tindakan-tindakan itu.[16]
b)    Tuhan tidak dapat(tidak mungkin) dilihat di alam baka. Akan namun, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan peluanghati (ma’rifat) pada mata sehingga insan dapat menyaksikan Allah.
3)    Kelompok Dhirariyah
Aliran al-Dhirariyah juga merupakan salah satu ketimbang ajaran al-Jabariyyah yang dipelopori oleh Dirar bin ‘Amru al-Kufi di akhir pemerintahan Bani Umayyah. Pemikiran yang dibawa oleh Dhirar ini juga dibilang pedoman yang moderat sebagaimana aliran al-Najjariyah perihal konsep kasb. Menurut pehaman ini Tuhan dan insan berhubungan dalam merealisasikan tindakan-perbuatan insan. Manusia tidak semata-mata dipaksa melaksanakan tindakan mereka, tidak cuma ialah wayang yang digerakkan dalang. Walaupun pada hakikatnya setiap perbuatan insan itu ialah diciptakan oleh Allah Swt.
     Mengenai ru’yat Tuhan di alam baka, Dhirar menyampaikan bahwa Tuhan mampu dilihat di alam baka lewat indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima sesudah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak mampu dijadikan sumber dalam menetapkan aturan.[17]
3. Dalil-dalil yang menjadi dasar paham Jabariyah
          Paham-paham yang dikembangkan Jabariyah tetap didasarkan terhadap ayat-ayat al-Alquran. Ayat-ayat tersebut diantaranya adalah:
1)    QS al-An’am ayat 112
Artinya: niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah  menghendaki, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.
2)    QS al-Shaffat ayat 96
Artinya: Padahal Allah yang membuat kau dan apa yang kamu perbuat itu”.
3)    QS al-Hadid ayat 22
Artinya:  tiada sebuah bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan sudah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu ialah gampang bagi Allah.
4)    QS al-Anfal ayat 17
Artinya:  Maka (yang bahwasanya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kau yang melempar dikala kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
5)    QS al-Insan ayat 30
Artinya: dan kau tidak bisa (menempuh jalan itu), kecuali bila diinginkan Allah.Sesungguhnya Allah Maha mengenali lagi Maha Bijaksana.
          Setelah melihat ayat-ayat yang menjadi sandaran bagi kaum Qadariyah dan Jabariyah di atas, maka tak aneh kalau dua paham ini masih tetap meningkat dalam golongan umat Islam, meskipun aktivis-penggerak paham ini telah tiada. Dalam sejarah teologi Islam,  berikutnya paham Qadariyah dianut oleh kaum Mu’tazilah, sedangkan paham jabariyah, dilanjutkan oleh Asy’ariyah.[18]
D. Penutup
          Berdasarkan uraian dan klarifikasi di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.     Qadariyah yaitu sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan kepada makhlukNya.
2.     Jabariyah ialah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan tindakan tersebut terhadap Allah Swt. Artinya, manusia tidak memiliki andil sama sekali dalam melaksanakan perbuatannya, Tuhanlah yang memilih segala-galanya.
3.     Takdir yakni sesuatu yang mesti kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun dari enam rukun doktrin.
4.     Agama kita ialah agama rasional, sesuai dengan sabda Rasulullahi Saw: “Laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang mampu kita terima dengan akal, ada beberapa hal yang harus kita terima dengan akidah. Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya semua hal dalam agama ini mampu diakali, pastilah telapak khuf lebih utama untuk disapu.”
Praktis-mudahan makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat kita, terutama dalam mengetahui paham-paham qadariyah dan jabariyah. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari tepat, baik dari sisi bahasa, sistematika penulisan, dll. Oleh sebab itu penulis menghendaki kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Penulis mohon maaf atas semua kekurangan dan kekurangan . Terima kasih atas koordinasi dan usulan dari pembaca semua. Wassalam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Quran dan terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2007
Alkhendra, Pemikiran Kalam, Bandung: Alfabeta, 2000
Al-Syahrastani, Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim, Muhammad Ibn Fath Allah al-Badran, al-milal wa al-nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiah, t.th
Amin, Ahmad, Fajr Islam,Kairo: al-Nahdhah, 1965
Dusar, Bakri, Pemikiran Teologi Agus Salim, Padang: Hayfa Press, 2007
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 2002
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Citra, 1996

  Filsafat Ilmu Ontologi

[1] Alkhendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 43

[2] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), h. 33

[3] Ahmad Amin, Fajr Islam, (Kairo: al-Nahdhah,1965), h. 255

[4] Ibid.

[5] Harun Nasution, Teologi Islam, op.cit., h. 34

[6] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal ,(Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah), h. 38

[7] Alkhendra, op.cit., h. 44

[8] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h.38

[9] Alkhendra,  loc cit.

[10] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 47

[11] Harun Nasution, op.cit., h, 33

[12] Ibid, h. 35

[13]Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h. 35

[14] Ibid, h. 74

[15] Ibid, h. 75

[16] Harun Nasution, op.cit., h.  37

[17] Muhammad  ibn  Abd  al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h.78

[18] Harun Nasution, op. cit., h. 39