Berbagai hal terkait insan, massa, publik dan pertentangan sosial terjadi berada pada kondisi agama dan budaya mereka di kurun kemudian. Pada tahun juga tepatnya 1998 pertentangan sosial terjadi yang menimbulkan unjuk rasa yang direncanakan sejumlah oknum, terhadap aneka macam krisis ekonomi di Jakarta dan Pontianak.
Hal ini tidak lepas dari masalah ekonomi, budaya dan agama mereka yang hidup di masyarakat. Tanpa menyadari mereka hidup di tengah masyarakat, dan tidak memiliki aib terhadap problem sosial, budaya dan agama mereka selama di Indonesia.
Tepatnya di Sumatera tahun itu juga, bagaimana kehidupan budaya dan hasil kolektifitas dan konflik dilakukan, dan hendak bersembunyi dibalik tembok agama, dan menumpang di kota dan pendidikan Katolik – Protestan – Islam di Indonesia, sehabis planning konflik yang dilaksanakan.
Hal ini menerangkan bagaimana prilaku dan karakteristik mereka hidup di masyarakat dengan budaya dan agama Tionghoa – Batak – Dayak, kepada kepentingan politik ekonomi di Jakarta. Sesungguhnya, mereka hidup dengan keadaan sosial, ketidasenangan, dan budaya malu mereka di Jakarta – Pontianak.
Menjelaskan bagaimana kehidupan budaya dan agama mereka selama di Pontianak, dalam hal di jelaskan dengan sangat apik. Tidak diketahui baik, bagaimana mereka hidup berbudaya dan agama utamanya HKBP di Jakarta dan Keuskupan Agung Pontianak.
Pada tahun 1998 kemajuaan agama dan budaya tidak lepas dari sejumlah oknum yang mencoba – coba masuk dalam metode agama budaya yang berlawanan, mirip Kristen – Protestan. Hal ini diketahui bagaimana Protestan – Nasrani, menjadi aspek kehidupan seksualitas dan ekonomi politik perkotaan.
Dan Hidup dengan pertentangan sosial yang dijadwalkan oleh sejumlah oknum (PDI Perjuangan – Golkar) di kota Pontianak 2008 – 2011. Hal ini dikenali bagaimana mereka hidup pada agama dan budaya mereka pada metode yang berada pada dinamika politik, pertentangan di Indonesia.
Mereka mengakses ekonomi politik, pajak, dan hidup dengan seksualitas yang diciptakan di Pontianak – Jakarta. Beragama dan budaya, tetapi tidak mempunyai kesan moralitas dan budpekerti kerja di Pontianak – Jakarta.
Budaya menjelaskan bagaimana mereka hidup secara kolektif, Tionghoa – Dayak – Batak (Protestan – Nasrani – Islam – Budha di Indonesia), yang ialah sampah dari hasil seksualitas menjijikan itu. Hal ini diketahui dengan adanya metode dinamika sosial budaya, dan tenaga medis Pontianak 1930an – 98.
Tidak bisa secara ekonomi, dan spritualitas HKBP di Pontianak – Jakarta, Sumatera menerangkan hasil dari budaya massa mereka di sini. Berpindah kota dan hidup dalam suatu kawasan pedesaan dan perkotaan.
Budaya malu (papua) selaku orang Indonesia, menjelaskan keadaan dan keadaan mereka juga tidak ada pada era pemerintahan Cornelis M.H, petugas partai politik. Hingga oknum pada bisnis masyarakat Tionghoa sampai masuk pada tata cara pendidikan dan kesehatan menjadi sebuah kesadaran lazim, bagaimana mereka tinggal dan hidup sebelumnya.
Memang menjadi brutal Tionghoa – Dayak – Ambon – Batak numpang hidup di Pontianak dan merecanakan konflik seksualitas, dan pertentangan sosial di masyarakat umum dan di pendidikan, siapa itu Sihombing – Siregar – Malau 2011, guna mengundang simpati di Kalimatan Barat.
Hasil asimilasi dan drama politik kelas sosial budaya Jawa, dan Dayak, Tionghoa guna menerima pengesahan di khalayak umum, sosial media dan kelas sosial, menjadi catatan terhadap tata cara sosial dan politik di Kalimantan.