Dalam kemajuan peradaban manusia terutama dalam hal bangunan, pasti kerap mendengar dongeng ihwal kemampuan nenek moyang merekatkan watu-watu raksasa hanya dengan mengandalkan zat putih telur, ketan atau yang lain. Alhasil, berdirilah bangunan fenomenal, mirip Candi Borobudur atau Candi Prambanan di Indonesia ataupun jembatan di Cina yang berdasarkan legenda menggunakan ketan selaku perekat. Ataupun menggunakan aspal alam sebagaimana peradaban di Mahenjo Daro dan Harappa di India ataupun bangunan kuno yang dijumpai di Pulau Buton
Video alat-alat kimia dapat di lihat di link berikut : https://www.youtube.com/watch?v=vhOpIrUjdw0
Video alat-alat kimia dapat di lihat di link berikut : https://www.youtube.com/watch?v=vhOpIrUjdw0
Benar atau tidak, kisah, legenda tadi memberikan dikenalnya fungsi semen semenjak zaman dulu. Sebelum meraih bentuk mirip sekarang, perekat dan penguat bangunan ini awalnya merupakan hasil percampuran batu kapur dan bubuk vulkanis. Pertama kali ditemukan pada zaman Kerajaan Romawi, tepatnya di Pozzuoli, erat teluk Napoli, Italia. Bubuk itu lantas dinamai pozzuolana.
Baru pada era ke-18 (ada juga sumber yang menyebut sekitar tahun 1700-an M), John Smeaton – insinyur asal Inggris – menemukan kembali ramuan antik berguna hebat ini. Dia menciptakan adonan dengan mempergunakan gabungan kerikil kapur dan tanah liat dikala membangun menara suar Eddystone di lepas pantai Cornwall, Inggris.
Ironisnya, bukan Smeaton yang akibatnya mematenkan proses pembuatan cikal bakal semen ini. Adalah Joseph Aspdin, juga insinyur berkebangsaan Inggris, pada 1824 mengorganisir hak paten ramuan yang lalu dia sebut semen portland. Dinamai begitu sebab warna hasil final olahannya mirip tanah liat Pulau Portland, Inggris. Hasil rekayasa Aspdin inilah yang kini banyak dipajang di toko-toko bangunan.
Sebenarnya, adonan Aspdin tak beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan dua materi utama, kerikil kapur (kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang banyak mengandung silika (sejenis mineral berupa pasir), aluminium oksida (alumina) serta oksida besi. Bahan-bahan itu lalu dihaluskan dan dipanaskan pada suhu tinggi sampai terbentuk adonan gres.
Selama proses pemanasan, terbentuklah adonan padat yang mengandung zat besi. Nah, biar tak mengeras seperti batu, ramuan diberi debu gips dan dihaluskan sampai berbentuk partikel-partikel kecil seperti bedak.
Pengaduk semen sederhana.
Lazimnya, untuk mencapai kekuatan tertentu, semen portland berkolaborasi dengan materi lain. Jika bertemu air (minus bahan-bahan lain), misalnya, memunculkan reaksi kimia yang sanggup mengubah ramuan jadi sekeras batu. Jika ditambah pasir, terciptalah perekat tembok nan kuat. Namun untuk membuat pondasi bangunan, gabungan tadi lazimnya masih ditambah dengan bongkahan batu atau watu, lazimdisebut concrete atau beton.
Beton bisa disebut selaku mahakarya semen yang tiada duanya di dunia. Nama asingnya, concrete – dicomot dari gabungan prefiks bahasa Latin com, yang artinya bantu-membantu, dan crescere (tumbuh). Maksudnya kira-kira, kekuatan yang berkembang alasannya adalah adanya campuran zat tertentu. Dewasa ini, hampir tak ada gedung pencakar langit bangun tanpa derma beton.
Meski bahan bakunya sama, “takaran” semen sesungguhnya mampu diubahsuaikan dengan beragam keperluan. Misalnya, kalau kadar aluminanya diperbanyak, kolaborasi dengan materi bangunan yang lain bisa menciptakan materi tahan api. Ini sebab sifat alumina yang tahan terhadap suhu tinggi. Ada juga semen yang cocok buat mengecor karena campurannya bisa mengisi pori-pori bagian yang hendak diperkuat.
Proses Pembuatan Semen
1. Penggalian/Quarrying:Terdapat dua jenis material yang penting bagi buatan semen: yang pertama yaitu yang kaya akan kapur atau material yang mengandung kapur (calcareous materials) seperti watu gamping, kapur, dll., dan yang kedua yaitu yang kaya akan silika atau material mengandung tanah liat (argillaceous materials) mirip tanah liat. Batu gamping dan tanah liat dikeruk atau diledakkan dari penggalian dan lalu diangkut ke alat penghancur.
2. Penghancuran: Penghancur bertanggung jawab kepada pengecilan ukuran primer bagi material yang digali.
3. Pencampuran Awal: Material yang dihancurkan melalui alat analisis on-line untuk memilih komposisi tumpukan materi.
4. Penghalusan dan Pencampuran Bahan Baku: Sebuah belt conveyor memuat tumpukan yang telah dicampur pada tahap awal ke penampung, dimana perbandingan berat umpan disesuaikan dengan jenis klinker yang dibuat . Material kemudian digiling sampai kehalusan yang diharapkan.
5. Pembakaran dan Pendinginan Klinker: Campuran bahan baku yang sudah tercampur rata diumpankan ke pre-heater, yang merupakan alat penukar panas yang berisikan serangkaian siklon saat terjadi perpindahan panas antara umpan adonan bahan baku dengan gas panas dari kiln yang berlawanan arah. Kalsinasi parsial terjadi pada pre‐heater ini dan berlanjut dalam kiln, saat materi baku berubah menjadi agak cair dengan sifat mirip semen. Pada kiln yang bersuhu 1350-1400 °C, materi berubah menjadi bongkahan padat berskala kecil yang diketahui dengan sebutan klinker, lalu dialirkan ke pendingin klinker, daerah udara pendingin akan menurunkan suhu klinker sampai mencapai 100 °C.
6. Penghalusan Akhir: Dari silo klinker, klinker dipindahkan ke penampung klinker dengan dilewatkan timbangan pengumpan, yang hendak mengontrol perbandingan pemikiran bahan terhadap bahan-materi aditif. Pada tahap ini, disertakan gipsum ke klinker dan diumpankan ke mesin penggiling tamat. Campuran klinker dan gipsum untuk semen jenis 1 dan adonan klinker, gipsum dan posolan untuk semen jenis P dihancurkan dalam sistem tertutup dalam penggiling simpulan untuk mendapatkan kehalusan yang diinginkan. Semen kemudian dialirkan dengan pipa menuju silo semen.