Masalah Lingkungan dalam Kajian Etika dan Moral : Pertanyaan “Pedulikah saya pada lingkungan hidup kita?” ialah sebuah pertanyaan reflektif yang mengajak kita untuk sejenak merenungkan kehidupan di sekitar kita. Lingkungan hidup yaitu “konteks” di mana kita hidup dan bertempat tinggal. Apabila lingkungan hidup tersebut terusik dan mengalami kerusakan, maka kehidupan dan tempat tinggal kita pun akan terganggu.
Tulisan di bawah ini dihidangkan untuk mengajak kita semua merenung dan mencerminkan sejenak kondisi serta status lingkungan hidup kita. Semoga goresan pena ini dapat menjadi “cambuk” yang kian menyadarkan kita atas kerusakan lingkungan hidup yang telah, sedang dan akan terjadi. Pertama-tama kita akan menjajal menjawab pertanyaan paling dasar ialah mengapa kita perlu peduli kepada lingkungan hidup? Apakah ada alasan-argumentasi tertentu yang mengharuskan kita melakukan hal tersebut? Kita juga akan melihat sejauh mana cakupan persoalan lingkungan hidup dalam konteks kehidupan manusia dan interaksinya dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Bagaimana hal tersebut terkait dengan duduk perkara akhlak dan susila. Apakah ada kaitan antara sikap etis dan tindakan adab insan dengan persoalan-masalah yang dialami oleh lingkungan hidup? Pada bagian tamat kita akan melihat gumpalan refleski yang juga merupakan catatan tamat dan konfirmasi bahwa kita semua memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk memelihara dan merawat lingkungan hidup.
Mengapa kita harus peduli kepada lingkungan hidup?
Masalah kerusakan lingkungan hidup dan balasan-akibat yang ditimbulkan bukanlah sebuah hal yang abnormal lagi di indera pendengaran kita. Dengan mudah dan sistematis kita mampu menunjuk dan mengenali apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup itu dan apa saja akhir yang ditimbulkanya. Misalnya; dengan segera dan sistematis kita dapat mengetahui bahwa eksploitasi alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan mampu menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang limbah industri ke sungai dapat mengakibatkan maut ikan dan menghancurkan habitatnya; penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut dan masih banyak lagi daftar sebab balasan yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup kita. Yang menjadi problem ialah, bahwa wawasan yang sama atas pengenalan kerusakan lingkungan hidup dan akhir yang ditimbulkan tersebut tidak terjadi dalam pemeliharaan dan perawatan lingkungan hidup. Pertanyaanya kini adalah benarkah kita sudah tidak mampu berpikir secara logis dan sistematis lagi sehingga tindakan kita untuk mengeksploitasi lingkungan hidup hanya berhenti pada tahap pengeksploitasian semata tanpa disertai proses berikutnya yakni tanggungjawab untuk merawat dan memilihara?
Jika saja memang terjadi bahwa ada banyak orang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang begitu rendah dan lamban mirip yang telah kita gambarkan di atas, betapa akan lebih cepat kerusakan lingkungan hidup kita. Hal tersebut pastinya dilarang terjadi, alasannya kita semua tidak dapat hidup jikalau tidak ada lingkungan hidup yang menopang dan menjamin kehidupan kita. Dalam kerangka yang lebih luas, kita tentunya tahu bahwa cuma ada satu bumi—daerah dimana kita hidup dan tinggal. Jika kerusakan lingkungan hidup berarti sama dengan kerusakan bumi, maka sama artinya dengan ancaman terhadap hidup dan tempat tinggal kita. Dengan kata lain, peran untuk merawat dan memelihara lingkungan hidup, bumi serta segala isinya yakni tanggung jawab kita semua. Lingkungan hidup bumi serta segala isinya ialah “milik” kita.
Masalah Etika dan Moral
Masalah kerusakan lingkungan hidup memiliki cakupan yang cukup luas. Ia tidak hanya dibatasi di dalam bentuk kerusakan pada dirinya sendiri. Namun, beliau juga terkait dengan dilema lain. Masalah yang dimaksud yaitu persoalan etika dan budbahasa.
Sebelum kita masuk pada uraian lebih lanjut, kiranya kita perlu memperjelas lebih dulu apa itu arti budpekerti dan susila. Etika dapat diketahui sebagai filsafat atau aliran kritis dan fundamental perihal anutan-anutan dan pandangan-pandangan sopan santun. Etika menawarkan orientasi pada insan supaya insan tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja kepada pelbagai fihak yang akan memutuskan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita mampu memahami sendiri mengapa kita mesti bersikap begini atau begitu. Etika mau membantu, biar kita lebih bisa untuk mempertanggungjawabkan kehidupan kita. Sedangkan watak ialah fatwa-pedoman, wejangan-wejangan, kotbah-kotbah, tolok ukur-persyaratan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah verbal atau tertulis ihwal bagaimana manusia mesti hidup dan bertindak semoga beliau menjadi manusia yang baik. Kata budpekerti selalu mengacu pada baik-buruknya insan sebagai insan.
1. Masalah Etika
Masalah lingkungan hidup menjadi dilema budbahasa sebab insan kadang-kadang “lupa” dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam. Karena “lupa” dan kehilangan orientasi itulah, manusia lantas memperlakukan alam secara tidak bertanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, mereka juga tidak lagi menjadi kritis. Oleh alasannya adalah itulah pendekatan etis dalam menanggapi masalah lingkungan hidup sangat sungguh dibutuhkan. Pendekatan tersebut pertama-tama dimaksudkan untuk menentukan sikap, langkah-langkah dan perspektif etis serta manejemen perawatan lingkungan hidup dan seluruh anggota ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, telah sewajarnyalah kalau saat ini dikembangkan akhlak lingkungan hidup dengan pilihan “ramah” terhadap lingkungan hidup.
Teori adab lingkungan hidup sendiri secara singkat mampu diartikan sebagai suatu usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi suatu sistem prinsip-prinsip budbahasa yang dapat digunakan sebagai panduan bagi upaya insan untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. Paling tidak pendekatan budbahasa lingkungan hidup dapat dikategorikan dalam dua tipe yaitu tipe pendekatan human-centered (berpusat pada manusia atau antroposentris) dan tipe pendekatan life-centered (berpusat pada kehidupan atau biosentris). Teori adab human-centered mendukung kewajiban moral insan untuk menghargai alam sebab didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai insan. Sedangkan teori etika life-centered adalah teori akhlak yang beropini bahwa kewajiban insan kepada alam tidak berasal dari kewajiban yang dimiliki kepada insan. Dengan kata lain, budbahasa lingkungan hidup bukanlah subdivisi dari budpekerti human-centered.
Pada lazimnya , paling tidak semenjak jaman terbaru, orang lebih suka menggunakan pendekatan adab human-centered dalam memperlakukan lingkungan hidup. Melalui pendekatan budpekerti ini, terjadilah ketidakseimbangan hubungan antara insan dan lingkungan hidup. Dalam kegiatan mudah, alam kemudian dijadikan “obyek” yang mampu dieksploitasi sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan kebutuhan insan. Sangat disayangkan bahwa pendekatan akhlak tersebut tidak diimbangi dengan perjuangan-usaha yang mencukupi untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup dan makhluk-makhluk lain yang ada di dalamnya. Dengan latar belakang mirip itulah kerusakan lingkungan hidup terus-menerus terjadi sampai saat ini. Pertanyaanya kini yaitu apakah pendekatan budbahasa human-centered tersebut tetap masih berhubungan dipraktekkan untuk jaman ini?
Menghadapi realitas kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya pendekatan adat human-centered tidak lagi memadai untuk terus dipraktekkan. Artinya, kita perlu memilih pendekatan etis lain yang lebih sesuai dan lebih “ramah” terhadap lingkungan hidup. Jenis pendekatan etika yang kiranya memungkinkan yakni pendekatan budbahasa life-centered yang tadi telah kita sebutkan. Pendekatan adab ini dianggap lebih memadai alasannya dalam praksisnya tidak mengakibatkan lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya sebagai obyek yang begitu saja mampu dieksploitasi. Sebaliknya, pendekatan etika ini justru sangat menghargai mereka selaku “subyek” yang mempunyai nilai pada dirinya. Mereka mempunyai nilai tersendiri selaku anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai mereka tidak diputuskan dari sejauh mana mereka memiliki kegunaan bagi insan. Mereka mempunyai nilai kebaikan tersendiri mirip insan juga memilikinya, oleh alasannya adalah itu mereka juga layak diperlakukan dengan respect mirip kita melakukanya kepada insan.
2. Masalah Moral
Dalam kehidupan sehari-hari langkah-langkah sopan santun yaitu langkah-langkah yang paling memilih kualitas baik buruknya hidup seseorang. Agar tindakan sopan santun seseorang menyanggupi persyaratan moral yang baik, ia perlu mendasarkan tindakanya pada prinsip-prinsip susila secara tepat. Prinsip-prinsip moral yang dimaksud di sini ialah prinsip perilaku baik, keadilan dan hormat terhadap diri sendiri. Prinsip-prinsip tabiat tersebut disebutkan rasanya juga perlu untuk dikembangkan lebih jauh. Artinya, prinsip sopan santun semcam itu diandaikan hanyalah berlaku bagi sesama insan. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak cuma berjumpa dan berinteraksi dengan sesamanya. Bisa saja terjadi bahwa seseorang lebih sering berinteraksi dan berafiliasi dengan makhluk non-human atau lingkungan hidup di mana dia tinggal, melakukan pekerjaan dan hidup. Maka rasanya kurang mencukupi bila dalam konteks tersebut tidak terdapat prinsip-prinsip adab yang terperinci mirip dikala seseorang menghadapi sesamanya. Dengan kata lain, rasanya akan lebih baik bila terdapat prinsip-prinsip susila yang menjadi penentu baik buruknya langkah-langkah seseorang dengan lingkungan hidup dan komponen-bagian kehidupan lain di dalamnya.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kalau kita kembali pada pengertian ihwal teori adat life-centered. Kita kembali pada konsep akhlak tersebut sebab lewat pendekatan adab tersebut, kita dapat memperoleh rancangan budbahasa yang lebih memadai bagi manusia dalam memilih sikap, langkah-langkah dan perspektifnya kepada lingkungan hidup dan makhluk non-human. Life-centered atau biosentris posisi mungkin kelihatan selaku sebuah pendirian yang gila. Bagi beberapa orang, hal itu mungkin dianggap keliru, khususnya dikala semua bintang dan tanaman dimasukkan selaku kelompok subyek watak. Bagaimana mungkin kita selaku insan punya kewajiban dan tanggung jawab kepada nyamuk, cacing, semut dan lebah? Alasan apa yang dapat membenarkan pandangan semacam itu? Apakah ada artinya membahas ihwal bagaimana memperlakukan tanaman atau jamur dengan benar atau salah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut rasanya perlu lebih dulu dijawab untuk memilih apakah mereka yang kita bicarakan pantas disebut selaku biro moral.
Sebelum kita menjawab beberapa pertanyaan di atas, rasanya apalagi dulu perlu kita pahami apa saja yang menjadi patokan “sesuatu” mampu disebut sebagai agen akhlak. Yang dapat disebut sebagai biro tabiat yaitu bahu-membahu apa saja yang hidup, yang memiliki kapasitas kebaikan atau kebajikan sehingga dapat bertindak secara adab, mempunyai keharusan dan tanggungjawab, dan dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakanya. Yang lebih penting lagi ialah; agen moral dapat menawarkan penilaian yang benar dan salah; dapat diajak dalam proses delibrasi moral; dan dapat memilih keputusan berdasarkan semua argumentasi yang telah disebutkan. Dengan melihat definisi tersebut, mingkin kita akan berpendapat bahwa semua itu yakni kapasitas yang hanya dimiliki oleh insan. Sekarang yang menjadi pertanyaan yakni apakah pertimbangan semacam itu benar seluruhnya?
Dugaan bahwa seluruh kapasitas selaku biro watak di atas hanya dimiliki oleh manusia tidaklah seluruhnya benar. Dalam realita ada juga pengecualian-pengecualian yang mampu menjadi halangan bagi insan untuk menjadi agen-biro etika, misalnya ialah anak-anak yang masih berada di belum dewasa dan mereka yang mengalami cacat mental. Anak-anak dan mereka yang mengalami cacat mental terperinci-terperinci yakni insan. Akan tetapi, mereka tidak dapat disebut selaku agen tabiat karena mereka mempunyai keterbatasan baik yang tidak permanen maupun yang permanen. Oleh alasannya itu, bila mereka melakukan langkah-langkah yang melanggar nilai-nilai susila tidak mampu dikenakan hukuman.
Apabila kita kembali menyaksikan patokan distributor moral, mampu ditarik kesimpulan bahwa ada makhluk hidup lain bukan insan yang memiliki kapasitas selaku distributor moral. Bukan tidak mungkin bahwa makhluk non-human mempunyai kapasitas-kapasitas yang telah disebutkan di atas selaku patokan untuk menjadi agen susila. Semut dan lebah pekerja yang bekerja dengan giat dengan penuh rasa tanggungjawab untuk mengumpulkan makanan dan madu demi kebaikan bersama komunitas mereka tidak mampu diabaikan sebagai biro watak jikalau kita diukur dengan memakai kepemilikan kapasitas dapat bertbuat baik dan bertanggungjawab. Begitu juga halnya dengan tanaman; pohon pisang yang rela menciptakan buah bukan demi untuk dirinya sendiri tetapi demi kebaikan entah bagi insan atau makhluk yang lain pun juga tidak dapat diingkari keberadaanya sebagai biro adab. Dengan kata lain, pohon pisang juga memiliki kapasitas kebaikan yang patut menyebabkan dirinya sebagai agen etika.
Ekspresi susila
Dalam bidang kehidupan insan, altruisme dan self-sucrifice secara lazim diartikan sebagai ekspresi tertinggi dari moralitas. Altruisme dan self-sucrifice yaitu langkah-langkah yang terang mencerminkan bagaimana sebuah aksi tidak hanya dimaksudkan demi kebaikan pribadi. Hal tersebut terang menjadi representasi dari kriteria diri selaku distributor moral. Jika kita menggunakan kacamata yang lebih luas, ekspresi tertinggi moralitas mampu jadi bukan hanya sekedar monopoli bidang kehidupan insan. Artinya, dengan menggunakan patokan yang serupa ialah altruisme dan self-sucrifice sebagai mulut tertinggi dari moralitas, makhluk non-human pun bergotong-royong juga dapat melakukanya. Di atas telah disebutkan bahwa semut, lebah, serta flora dapat merepresentasikan langkah-langkah altruis dan self-sucrifice. Oleh alasannya adalah itu, rasanya tidaklah terlalu berlebihan jikalau kita menyebut mereka sebagai makhluk yang juga memiliki lisan etika.
Sampai sejauh ini, rasanya tidak ada argumentasi yang cukup berpengaruh untuk mengecualikan makhluk non-human sebagai makhluk yang tidak pantas disebut sebagi distributor budpekerti. Jika memang benar demikian sesungguhnya tidak juga ada argumentasi yang memiliki arti untuk melakukan eksploitasi kepada mereka. Hanya saja, perlu di sadari bahwa sering kali yang menjadi masalah bukan sebab insan tidak tahu bagimana cara menghargai makhluk non-human dan memandangnya sebagai makhluk yang tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya, tetapi sebab sebagain manusia terlalu sering menggunakan ukuran kemanusiaannya untuk dikenakan kepada makhluk hidup di luar dirinya. Standar yang mereka berlakukan kadangkala tidak tepat sehingga merugikan peran dan eksistensi makhluk non-human. Jika kita ingin mencari pendekatan yang lebih baik, standarisasi tersebut tentunya perlu juga berorientasi terhadap kelebihan dan kelemahan makhluk non-human itu sendiri. Dengan demikian, tidak perlulah terjadi pembedaan yang berat sebelah antara insan dan makhluk non-human dalam penentuannya sebagai biro sopan santun dalam komunitas kehidupan di bumi.
Pengembangan Prinsip Moral
Pendekatan akhlak life-centered sepertinya yaitu salah satu pendekatan adab yang paling sesuai untuk lingkungan hidup jaman ini. Pendekatan tersebut kiranya juga memperlihatkan keadaan yang sangat mendukung untuk makhluk non-human yang kerapkali diabaikan oleh manusia. Dengan pendekatan yang serupa terbuka juga kemungkinan untuk membangun prinsip-prinsip dasar budpekerti lingkungan hidup.
Dalam pembicaraan kita sebelumnya disebutkan bahwa prinsip-prinsip adab berupa sikap baik, keadilan dan hormat kepada diri sendiri yaitu prinsip-prinsip yang rasanya kurang memadai untuk mengontrol kekerabatan insan dengan makhluk non-human. Oleh sebab itu, mungkin ada baiknya kalau prinsip-prinsip dasar tersebut dikembangkan lebih luas. Artinya, prinsip sikap baik dan rasa tanggungjawab tidak cuma dibatasi dan diberlakukan antar sesama insan namun diperluas hingga meliputi makluk non-human dan seluruh unsur yang terdapat di alam semesta. Begitu juga dengan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Kiranya prinsip tersebut mampu diperluas jangkauanya menjadi prinsip yang bukan cuma dimaksudkan untuk menghormati diri sendiri semata tetapi juga untuk sesama, makhluk hidup non-human dan seluruh ansur yang terdapat di dalam alam semesta mirip yang sebaiknya terjadi untuk prinsip perilaku baik dan tanggungjawab.
Pilihan untuk memperluas cakupan prinsip-prinsip watak tidak dimaksudkan untuk menambah kerepotan insan dalam bersikap baik, bertanggug jawab dan berlaku hormat. Dalam penjelasan sebelumnya sudah dikatan bahwa makhluk selain insan pun dalam arti terterntu mempunyai hak dan kewajiban yang serupa sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Kalau pun terjadi bahwa makhluk selain manusia terbukti tidak mampu dituntut untuk bertanggung jawab, ialah keharusan kita sebagai insan untuk paling tidak memberikan hak semestinya bagi mereka.
Perluasan prinsip watak yang telah kita sebutkan di atas pada risikonya mampu disebut sebagai kajian bidang adab tersendiri. Bidang yang dimaksud di sini yaitu bidang sopan santun lingkungan hidup. Moral lingkungan hidup terkadang dilukiskan sebagai ‘evolusi alamiah dunia sopan santun’. Maksudnya, dunia budbahasa lambat laun kian memperhatikan jagat rasa dan dilema-problem ekologis. Sebelumnya dunia tabiat cuma memperhatikan relasi sosial antarpribadi dan lalu kekerabatan atara perseorangan dengan seluruh penduduk . Namun ternyata dalam perjalanan waktu pendekatan adab semacam itu tidak mencukupi dan perlu diperluas.