Priangan Jatuh Ke Tangan Mataram


Bupati Garut Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII beserta istri RA Lasminingrat (duduk) dan keluarga.

Sejarah
Sebelum jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, daerah Priangan meliputi kawasan antara sungai Cipamali di sebelah timur dan sungai Cisadane di sebelah barat, kecuali wilayah Pakuan Pajajaran dan Cirebon. Setelah kekuasaan Kerajaan Sunda di Pakuan diruntuhkan oleh Kesultanan Banten (1579/1580), daerah peninggalannya terbagi ke dalam dua kekuasaan: Kerajaan Sumedang Larang dan Kerajaan Galuh. Sumedang Larang yang sentra pemerintahannya di Kutamaya (kawasan barat Kota Sumedang saat ini) dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun (1580-1608).
Takluk ke Mataram
Sepeninggal Prabu Geusan Ulun, kekuasaan Sumedang Larang diwariskan kepada anak tirinya, Raden Aria Suriadiwangsa (1608-1624). Tahun 1620, alasannya terjepit oleh tiga kekuasaan (Mataram di timur, Banten dan Kompeni di barat), Aria Suriadiwangsa memilih menyerahkan diri ke Mataram (ibunya, Ratu Harisbaya, yakni kerabat Sutawijaya). sejak ketika itu, Sumedang Larang diubah menjadi Kabupaten Sumedang di bawah kekuasaan Mataram, demikian pula kawasan yang lain yang lalu menjadi bawahan Mataram yang diawasi oleh Wedana Bupati Priangan. Untuk jabatan Wedana Bupati Priangan, Sultan Agung memilih Aria Suriadiwangsa dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I, 1620-1624).
Ketika kekuasaan Priangan dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (mewakili Rangga Gempol yang diperintahkan untuk menaklukkan daerah Sampang, Madura), Sumedang diserang Banten. Karena tidak mampu menangani serangan Banten, Rangga Gede kemudian ditahan di Mataram, sedangkan Priangan diserahkan terhadap Dipati Ukur, dengan syarat harus merebut Batavia dari VOC. Dipati Ukur saat itu menjabat Wedana Bupati Priangan di daerah Bandung dikala ini, yang membawahi daerah Sumedang, Sukapura, Bandung, Limbangan, serta sebagian Cianjur, Karawang, Pamanukan, dan Ciasem. tetapi, alasannya gagal menyanggupi syarat merebut Batavia (1628), dan sadar bahwa dirinya akan dieksekusi oleh Sultan Agung, Dipati Ukur berontak. Pemberontakan Dipati Ukur gres bisa dilumpuhkan pada tahun 1632, setelah Mataram dibantu oleh beberapa pemimpin Priangan. Jabatan Wedana Bupati Priangan berikutnya diserahkan kembali kepada Rangga Gede.
Akibat pemberontakan Dipati Ukur, dalam Piagam Sultan Agung bertanggal 9 Muharam tahun Alip (berdasarkan F. de Haan, tahun Alip sama dengan tahun 1641 Masehi, tetapi ada beberapa informasi lain yang menyebutkan bahwa tahun Alip identik dengan tahun 1633), kawasan Priangan di luar Galuh dibagi lagi menjadi empat kabupaten:
Sumedang (Rangga Gempol II, sekaligus Wedana Bupati Priangan), Sukapura (Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, bergelar Tumenggung Wiradadaha), Bandung (Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, bergelar Tumenggung Wiraangun-angun), Parakan Muncang (Ki Somahita Umbul Sindangkasih, bergelar Tumenggung Tanubaya).
Wilayah Priangan kemudian dimekarkan dengan diubahnya Karawang menjadi kabupaten mandiri, sedangkan wilayah Galuh (Priangan Timur) dibagi empat kabupaten: Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.
Sepeninggal Sultan Agung (1645), Mataram dipimpin oleh anaknya, Sunan Amangkurat I (Sunan Tegalwangi, 1645-1677). Antara tahun 1656-1657, daerah Mataram Barat (Mancanegara Kilen) dibagi menjadi dua belas ajeg sekaligus menghapus wedana bupati di Priangan: Sumedang, Parakan Muncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), Sekacé (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer). Sumber: wikiwand

  Dongeng Pelacur Indo Belanda Fientje De Feniks