Mahasiswa merupakan sosok intelektual yang inovatif sehingga menarik untuk dibicarakan. Daya inovatif inilah yang menciptakan mahasiswa memiliki tugas dan posisi strategis dalam struktur sosial dan gerak sejarah suatu bangsa. Hal ini dibuktikan dengan eksistensi mahasiswa dalam setiap pergeseran dan kehadirannya dalam setiap momentum penting sebuah bangsa.
Di satu segi mahasiswa mampu dilihat selaku sosok cowok. Sebagai cowok, mahasiswa memiliki aksara yang dinamis dan mempunyai fisik yang relatif besar lengan berkuasa. Selain itu, pemuda juga menjadi impian periode depan suatu bangsa alasannya pemudalah yang mau menggantikan generasi tua di periode depan. Di segi lain mahasiswa yaitu bagian dari kaum cendekian/intelektual. Kelompok ini menjadi tulang punggung suatu bangsa, karena menjadi sumber wangsit sekaligus kreator dan inovator peradaban yang memilih keberadaan dan martabat sebuah bangsa.
Makara diri mahasiswa sebagai perjaka dan sekaligus cendekiawan/intelektual ini memiliki arti mahasiswa itu berada di posisi elit dalam strata sosial sehingga mempunyai privilege yang tinggi dibanding golongan lain. Namun dengan posisi dan privilege itu mahasiswa juga mempunyai tanggung jawab dan tugas ganda yang harus dilakukan; selaku motor dan dinamisator pergeseran (peran perjaka) dan tugas sebagai kreator dan inovator peradaban (peran cendekiawan).
Apabila melihat paradigm di atas, terasa begitu besar dan berat gerak dan posisi mahasiswa. Tapi, itulah kenyataannya, hal ini dapat dilacak dan dilihat dari gerak sejarah Indonesia semenjak kala Kerajaan kurun Nusantara hingga perjuangan para mahasiswa dan cowok funding father NKRI. Begitu juga runtuhnya orde baru dan hadirnya kurun reformasi hingga dikala ini.Lalu bagaimana peraturan perundang-permintaan di Indonesia merumuskan gerak dan posisi mahasiswa?
Dalam PP no. 60 tahun 1999 dijelaskan wacana mahasiswa sebagai berikut: Mahasiswa ialah penerima didik yang terdaftar dan mencar ilmu pada sekolah tinggi tinggi tertentu. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun. 2012 Tentang Pendidikan Tinggi Pasal 13 ayat 1 menjelaskan bahwa mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika ditempatkan sebagai insan dewasa yang mempunyai kesadaran sendiri dalam berbagi potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.
Pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa mahasiswa mesti secara aktif menyebarkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang ilmu wawasan dan/atau teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya. Mahasiswa memiliki keleluasaan akademik dengan mengutamakan daypikir dan adab mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik. Mahasiswa juga berkewajiban mempertahankan akhlak dan menaati norma Perguruan Tinggi untuk menjamin terlaksananya Tridharma dan Pengembangan budaya akademik.
Budaya akademik ialah seluruh sistem nilai, pemikiran , norma, langkah-langkah, dan karya yang bersumber dari Ilmu Pengetahuan dan teknologi sesuai dengan asas Pendidikan Tinggi. Mahasiswa mampu menyebarkan bakat, minat, dan kesanggupan dirinya lewat acara kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses pendidikan. kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler tersebut dapat dilaksanakan lewat organisasi kemahasiswaan (Ormawa). Apakah dikala ini mahasiswa telah membuat dan mempunyai peradaban/kebudayaan akademik tersebut? layak didiskusikan lebih lanjut.
Menurut klarifikasi di atas, terperinci bahwa gerak dan posisi mahasiswa sangatlah vital bagi keberlangsungan suatu bangsa dan Negara. Indonesia pada tahun 2025 akan mengalami bonus demografi, dimana penduduk usia muda (mahasiswa dan pemuda) lebih besar, saat ini telah mencapai 34% dari total masyarakatIndonesia dan akan terus meningkat. Apabila mahasiswa saat ini belum mampu memilih gerak dan posisinya? Lalu mau dibawa kemana bangsa ini? Ya, gampang dipertanyakan tetapi sulit untuk dijawab, bukan?