Perumusan Pancasila Dasar Negara

Perumusan Pancasila Dasar Negara
A.     Proses Perumusan Pancasila selaku Dasar dan Ideologi Negara
Dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan dibentuklah BPUPKI pada tanggal 28 Mei 1945, dan menyelenggarakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, membicarakan perihal rumusan dasar negara. Tampil tiga tokoh tersebut selaku berikut:
Pertama : Tanggal 29 Mei 1945 Moh. Yamin mengemukakan 5 dasar negara Indonesia Indonesia merdeka selaku berikut (dalam pidato).
1.      Peri Kebangsaan
2.      Peri Kemanusiaan
3.      Peri Ke-Tuhanan
4.      Peri Kerakyatan
5.      Kesejahteraan rakyat
Pada akhir pidatonya ia menyerahkan rancangan (secara tertulis)
1.      Ke-Tuhanan Yang maha Esa
2.      Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.      Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4.      Kerakyatan yang dipimpin  oleh hikmat kecerdikan dalam
5.      permusyawaratan/ Perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
Kedua: Tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr. Supomo mengemukakan proposal dasar negara Indonesia adalah:
1.      Persatuan
2.      Kekeluargaan
3.      Kesimbangan lahir dan batin
4.      Musyawarah
5.      Keadilan rakyat
Ketiga: Tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno memberikan pidatonya perihal lima hal yang menjadi dasar negara merdeka, yakni:
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme atau kemanusiaan
3.      Mufakat atau demokrasi
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Ke-Tuhanan yang berkebudayaan
  • BPUPKI dan Sidang BPUPKI
  • Proklamasi Kemerdekaan dan Sidang PPKI
·        Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan
B.     Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
            Dalam uraian ini yang dimaksudkan dengan Pancasila yakni Dasar Negara Republik Indonesia. Karena itu dalam uraian ini pokok pembahasannya akan disebutkan dalam satu nafas : “Pancasila Dasar Negara”. Pertanyaannya dalam rangka menegaskan identitas Pancasila ini ialah : Yang manakah rumusan Pancasila Dasar Negara yang sahih itu? Jawabannya ialah : Rumusan  Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Maka segera mampu kita tanyakan pula : apakah dasar hukumnya kita menyampaikan bahwa Pancasila yang asli itu terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945? Jawabannya yakni  menurut pada :
1.      Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996, tanggal 5 Juni 1996.
2.      Ketetapan MPR No. V/MPR/1973, tanggal 22 Maret 1973
3.      Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tanggal 22 maret 1978. 
Penegasan perihal daerah dimana Pancasila Dasar Negara itu dirumuskan serta juga rumusannya itu sendiri, dengan jelas tercantum di dalam Ketetapan MPRS No. XX Tahun 1966 yang diperkuat oleh Ketetapan MPR No. V Tahun 1966 dilengkapi dengan Ketetapan MPR No. II tahun 1978 yang sangat terkenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disebut juga Eka Prasetya Panca Karsa yang lebih dikenal dengan sebutan: “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”.

Daftar Isi

1.      Bung Karno dan Rumusan Pancasila

            Menurut kenyataannya perbincangan tentang Pancasila dalam faktor sejarahnya, khususnnya yang menyangkut “hari lahirnya”, tidak dapat dilepaskan dari kontroversi tentang tokoh Bung Karno. Karena itu kenyataannya itu harus dihadapi dengan terbuka dan transfaransi.Khalayak cenderung secara emosional mengaitkan “hari lahir” Pancasila itu dengan Pro dan Kontra Bung Karno. Sikap mirip itu jelaslah tidak menguntungkan bagi kejernihan duduk perkara.    Kiranya sikap yang sempurna kepada ”tokoh sejarah” yakni perilaku yang sebanding, yang “balanced”. Terlepas ketimbang perilaku lazim pribadi kita masing-masing terhadap seorang tokoh sejarah, apakah senang atau tidak senang (dan hal ini adalah sesuatu hal yang masuk akal), namun kita seyogyanya menganggap segenap prilaku dan peranan tokoh itu secara diskriminatif. Mana-mana yang kita nilai faktual mesti kita akui sedemikian, dan mana-mana yang kita nilai negatif, mesti pula kita akui sedemikian.
            Khususnya perihal Bung Karno, kiranya kita dapat mendapatkan baik perilaku Presiden Soeharto yang terungkap di dalam sambutan beliau pada upacara peresmian makam Bung Karno di Blitar pada tanggal 21 Juni 1997 yang mengatakan : “Karena itu telah selayaknya kita menawarkan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya dan selama -lamanya terhadap Proklamator Kemerdekaan itu.Memang, dengan ketetapan MPRS No. XXXIII Tahun 1967, MPR (S) sebagai penjelmaan Rakyat yang memegang kedaulatan negara sudah mencabut kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno, alasannya dia dinyatakan tidak dapat memenuhi pertanggung tanggapan konstitusional, sebagaimana layaknya seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memperlihatkan mandat, yang dikelola dalam Undang-Undang Dasar 1945.
            Itu ialah kenyataan sejarah dan kita tidak mampu menghapus sejarah. Keputusan yang demikian diambil oleh rakyat yang memegang kedaulatan rakyat, justru harus rakyat yang menegakkan kehidupan Konstitusionil berdasarkan Undang-Undang Dasar 194, yang justru menjadi jaminan bagi kelancaran dan kekokohan Negara Republik Indonesia yang sudah diproklamirkan pada tahun 1945. Dengan mengambil keputusan yang demikian, kita justru ingin menentukan terjaminnya wujud impian Kemerdekaan.Namun yakni juga kenyataan sejarah, bahwa Bung Karno dan Bung Hatta yaitu Proklamator Kemerdekaan Indonesia . Ini ialah realita sejarah . Dan kita tidak dapat meniadakan sejarah. Kaprikornus pada satu pihak kita mesti memberikan penghormatan dan penghargaan yang setinnggi – tingginya dan selama – lamanya kepada Bung Karno (dan Bung Hatta ) sebagai Proklamator Kemerdekaan kita dan juga atas jasa – jasa beliau berdua selaku pemimpin–pemimpin Pergerakan Nasional yang mengantarkan Bangsa Indonesia terhadap pintu gerbang Kemerdekaan dengan penuh pengorbanannya. Dilain pihak, Bung Karno telah pernah menjalankan kebijaksanaan yang dinilai tidak nyata oleh Rakyat, sehingga kekuasaan Pemerintah Negara dicabut dari padanya, wajiblah kita berguru dari sejarah dan menghalangi terulangnya kembali kekeliruan itu. Maka haruslah kita dalami, apa bahwasanya yang dianggap negatif itu ? Jika kita dalami persoalannya, ternyata garis kecerdikan yang digugat itu menyangkut lembaran hitam sejarah bangsa ini ialah peristiwa G-30-S/ PKI .
            Dalam Konsiderans Ketetapan MPRS No XXXIII / MPRS /1967 yang tentang “Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno” itu tercantum antara lain yaitu ; “Bahwa keseluruhan Pidato Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul “Nawaksara” dan Surat Presiden Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tertanggal 10 Januari No. 01/ Pres / 1967 wacana Pelengkap Nawaksara, tidak memenuhi harapan Rakyat pada umumnya, anggota – anggota Majelis Permusya-waratan Rakyat Sementara pada terutama, alasannya tidak menampung secara terang pertanggungan jawab ihwal kecerdikan Presiden tentang Pemberontakan Kontra Revolusi G-30-S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan pemerosotan ahklak”…, dst.
Dalam Pasal 3 Melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan Politik sampai dengan pemilihan umum dan semenjak berlakunya Ketetapan ini menarik kembali Mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan Pemerintah Negara yang dikontrol dalam UUD 1945”. Itu seluruhnya tidak yummy untuk didengar oleh mereka yang mengikuti Bung Karno tanpa reserve, tetapi perlu diketengahkan sebagai aspek yang menjulang tinggi didalam duduk perkara pengamanan Pancasila dari bahaya Ideologi Marxisme – Leninisme sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ketetapan MPRS No. XXV / MPRS / 1996. Dengan demikian peranan Presiden Soekarno pada Jaman Orde Lama itu beliau memberikan kelonggaran bergerak kepada PKI, dengan menyingkirkan kekuatan–kekuatan Pancasilais yang mampu mengimbangi kaum komunis itu dengan predikat “kontra revolusioner”. “Marhaenis gadungan”, dan lain sebagainya,suatu budi yang hasilnya bermuara pada kejadian  Lubang Buaya G-30-S/PKI.

2.      Proses Perumusan Dasar Negara

            Sekarang tiba saatnya kita menelusuri perumusan dasar negara kita Pancasila. Untuk Menghindarkan kesimpang – siuran yang justru ingin kita jernihkan, seyogyanya pada taraf ini nama Pancasila jangan dipersoalkan dahulu.  Seperti kita ketahui bareng , proses perumusan dasar negara itu, berjalan pada bab simpulan jaman pendudukan Jepang. Dalam rangka merangkul bangsa-bangsa Asia yang negerinya mereka duduki, orang jepang telah memberikan “kemerdekaan” kepada bangsa Birma dan Bangsa Fhilipina untuk menghadapi Inggris, sedangkan Fhilipina untuk menghadapi Amerika serikat. Tetapi Indonesia agak lambat akan diberi hadiah “Kemerdekaan” alasannya adalah Indonesia ternyata tidak jadi merupakan front menghadapi Australia.
            Tetapi dalam rangka tahap terakhir strategisnya tatkala kekalahan telah ada diambang pintu, Jepang akhirnya merasa perlu untuk memperlihatkan “Kemerdekaan” terhadap Bangsa Indonesia untuk mendapatkan dukungannya dalam usaha perangnya. Menurut strateginya itu, mereka akan mengadakan pertahanan terakhir di Indonesia dan bertolak dari situ akan berusaha mendapatkan dukungannya dalam usaha perangnya. Menurut strateginya itu, mereka akan mengadakan pertahanan terakhir di Indonesia dan bertolak dari situ akan berupaya mendapatkan perdamaian yang merupakan hasil negosiasi. Segala Rencana itu akhirnya tidak terealisasi sebab penggunaan Bom atom oleh orang Amerika sudah memaksa orang Jepang mengalah tanpa syarat. Dalam pada itu Bangsa Indonesia telah menggenggam nasibnya ditangannya sendiri dan memproklamasikan kemerdekaanya lepas sama sekali dari setiap campur tangan pihak Jepang.Dalam rangka tunjangan “kemerdekaan” itu pemerintah pendudukan Jepang di Jawa membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan penyelidik Persiapan Kemerdekaan. (Disingkat “Badan Penyelidik” ). Sejumlah tokoh-tokoh Indonesia dijadikan anggota badan itu, sedangkan dua orang lagi, yaitu dr.Radjiman Wedyodiningrat dan R.P. Soeroso diangkat masing-masing menjadi Ketua dan Ketua Muda (merangkap Kepala Kantor atau Kepala Sekretariat) dengan seorang Jepang selaku Ketua Muda lainnya.
            Pada tanggal 28 Mei 1945, Panglima Tentara Keenambelas Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Kumakici Harada, melantik para anggota Badan Penyelidik itu dan pada keesokan harinya dimulailah persidangan pertama yang berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni. Dalam kata pembukaan, Ketua dr.Radjiman Wedyodiningrat meminta persepsi para anggota perihal dasar negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk itu. Ternyata ada tiga anggota yang menyanggupi seruan Ketua, adalah secara khusus membicarakan dasar negara, adalah berturut – turut Mr.Muh. Yamin (pada tanggal 29 Mei, adalah pertama dari sidang pertama), Prof.Dr. Supomo (pada tanggal 31 Mei) dan akhirnya Ir. Sukarno (pada tanggal 1 Juni, ialah hari terakhir daripada persidangan Pertama.
Muh. Yamin mengawali pidatonya antara lain dengan kata-kata sebagai berikut: “……Kewajiban yang terpikul diatas kepala dan kedua belah bahu kita, yaitu suatu keharusan yang sungguh teristimewa. Kewajiban untuk ikut adalah memeriksa bahan-materi yang akan menjadi dasar (kursif saya, NN) dan susunan negara yang hendak terbentuk dalam situasi kemerdekaan ….”Makara jelas bahwa pidatonya itu semata-mata adalah tentang dasar negara dan yang bersangkutan dengan dasar negara.
           
Supomo memulai pidatonya dengan kalimat selaku berikut : “Paduka Tuan Ketua, pengunjung yang terhormat Soal yang kita bicarakan yakni, bagaimanakah akan dasar-dasarnya Negara Indonesia Merdeka” Sedangkan kata-kata penutupnya antara lain adalah “…. Sekian saja Paduka Tuan Ketua, perihal dasar-dasar yang hendaknya digunakan untuk mendirikan Indonesia Merdeka”…Dengan Demikian kiranya juga jelas, bahwa Supomopun memusatkan Pembicaraannya kepada dasar negara Indonesia merdeka.
           
Dari uraian di atas  mampu disimpulkan bahwa Bung Karno bukanlah orang pertama dan bukan orang yang satu-satunya yang menetengahkan sebuah konsepsi tentang dasar negara Indonesia merdeka. Keistimewaan pidato dia pada tanggal 1 Juni itu ialah, bahwa kecuali berisi persepsi atau undangan tentang dasar negara Indonesia Merdeka, juga berisi ajakan tentang nama Dasar negara itu, yakni Pancasila, Trisila, atau Ekasila. “Saya namakan ini dengan isyarat seorang teman kita jago bahasa, namanya ialah Pancasila……..”. Dan sehabis menetengahkan kemungkinan diperasnya Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan,mana yang tuan-tuan pilih : Tri sila, Eka sila, atau Pancasila ?”. Makara yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila (disamping nama Trisila dan Ekasila yang terpilih).
            Dengan selesainya rapat tanggal 1 Juni itu selesailah pula seluruh persidangan pertama Badan Penyelidik. Rupa-rupanya telah dibuat suatu panitia kecil dibawah pimpinan Bung Karno dengan anggota-anggota lainnya Bung Hatta, Sutardjo Kartohadi kusumo, Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandarhadinata, Muh. Yamin dan A.A.Maramis, kesemuanya berjumlah delapan orang, panitia kecil itu bertugas menampung rekomendasi-usulan, ajakan-seruan dan konsepsi-konsepsi para anggota yang oleh ketua sudah diminta untuk diserahkan melalui Sekretariat. Pada rapat pertama persidangan kedua Badan Penyelidik pada tanggal 10 Juli 1945 Panitia Kecil itu dimintai laporan oleh Ketua Radjiman yang sudah pula  dipenuhi oleh ketuanya Bung Karno.
            Panitia Kecil, seperti yang dilaporkan oleh ketuanya, pada tanggal 22 Juni mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan dengan 38 anggota Badan Penyelidik, yang sebagian diantaranya sedang menhhadiri sidang Cuo Sangiin (sebuah penasehat yang dibentuk oleh pemerintah Pendudukan Jepang). Pertemuan anatara Panitia Kecil dengan anggota-anggota Dokuritsu Junbi Cosakai”. Pada konferensi itu telah ditampung lebih lanjut usulan-nasehat dan seruan-seruan mulut dari pihak anggota tubuh Penyelidik.Pertemuan itulah yang telah membentuk suatu panitia kecil lain, yang lalu terkenal dengan istilah Panitia Sembilan yang terdiri atas Bung Karno, Bung Hatta, Muh. Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyosodan Haji Agus Salim. Panitia Sembilan dibentuk alasannya kebutuhan untuk mencari modus antara apa yang mencari modus antara apa yang disebut “golongan Islam” dengan apa yang disebut “kalangan kebangsaan” tentang soal agama dan negara. Persoalan ini rupa-rupanya telah timbul selama persidangan pertama, dan mungkin suda sebelumnya  juga. Panitia berhasil meraih modus itu yang diberi bentuk suatu rancangan pembukaan hokum dasar. Inilah yang dikenal dengan nama yang diberikan oleh Muh. Yamin, adalah Piagam Jakarta.
            Rumusan Panitia Sembilan itu diterima baik dan dilaporkan oleh Panitia Kecil dan dilaporkan terhadap sidang pleno Badan Penyelidik. Rapat itu lalu membentuk suatu Panitia Perancang UUD yang juga diketuai oleh Bung Karno dengan anggota-anggota lainnya A.A. Maramis, Oto Iskandardinata, Poeroebojo, Agus Salim, Ahmad Subardjo, Supomo, Maria Ulfah santoso, Wachid Hasjim, Parada harahap, Latuharhary, Susanto Tirtoprodjo, Sartono, Wongsonegoro, Wuryaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Husein Djajadiningrat dan Sukiman, semuanya berjumlah 19 orang. Kepada panitia inilah segala masalah Undang-Undang Dasar diserahkan, termasuk soal pembukaan atau preambulenya.
            Dalam rapatnya tanggal 11 Juli, Panitia Perancang Undang-Undang dasar dengan suara lingkaran menyepakati isi Preambule yang diambil dari Piagam Jakarta. Selanjutnya dibentuk suatu “panitia kecil perancang undang-undang dasar” yang diketuai oleh Prof. Dr. Supomo dengan anggota-anggota lain Wongsonegoro, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Singgih, Agus Salim dan Sukiman, Kesemuanya tujuh orang, diantaranya yang lima orang seluruhnya Sarjana Hukum. Dua hari lalu, pada tanggal 13 Juli, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (yang lengkap) mengadakan sidangnya untuk menerima laporan panitia kecilnya. Kemudian dibentuk suatu panitia penghalus bahasa yang terdiri atas Husein Djayadiningrat, Agus Salim dan Supomo untuk menyempurnakan dan menyusun kembali desain undang-undang dasar yang sudah dibahas itu. Pada tanggal 14 Juli 1945 rapat pleno Badan Penyelidik dalam rangka persidangan keduanya dilanjutkan untuk menerima laporan panitia Perancang UUD. Bung Karno selaku Ketua Panitia melaporkan tiga hasil panitia, yakni :
  1. Pernyataan Indonesia Merdeka
  2. Pembukaan UUD.
  3. Undang-Undang Dasarnya sendiri (batang tubuhnya)
Adapun Konsep pernyataan Indonesia Merdeka disusun dengan mengambil Tiga alinea pertama Piagam Jakarta dengan sisipan yang panjang sekali, khususnya diantara alinea pertama dan alinea kedua. Sedangkan desain pembukaan Undang-Undang dasar nyaris semuanya diambil dari alenia ke empat (dan terakhir) Piagam Jakarta. Setelah didiskusikan kurang lebih satu jam lamanya, rancangan pernyataan kemerdekaan dan desain pembukaan Undang-Undang dasar itu diterima oleh sidang. Pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Soekarno Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersidang untuk secara resmi menyusun undang-undang dasar Indonesia Merdeka. Pada hari itu juga Panitia antisipasi itu berhasil menetapkan secara sah Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mencakup, baik Pembukaan maupun Batang Tubuhnya . UUD itulah yang kita  kenal dengan istilah UUD 1945 dan yang sekarang tetap berlaku dan yang telah kita ikrarkan untuk kita pertahankan sepanjang kurun.
Adapun pembukaan UUD 1945 yang disahkan itu yaitu desain yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang lalu kita kenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Konsep itu diterima dengan suatu perubahan penting, yakni sila pertama dari pada dasar negara yang tercantum didalam Pembukaan itu, yang semula berbunyi : “Ke – Tuhanan, dengan keharusan melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya” diganti dengan : “Ketuhanan Yang Maha Esa”.Demikianlah keseluruhan proses perumusan Dasar Negara yang kini untuk selama-lamanya terpatri didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Marilah kini kita teliti tokoh-tokoh mana yang berperanan didalam proses perumusan.

C.     Penggali Utama Dasar Negara Indonesia Merdeka

Bung Karno bukanlah orang pertama dan satu-satunya yang mengajukan ide – gagasan tentang dasar negara sesuai dengan seruan Ketua Badan Penyelidik, Dr Radjiamn Wedyodiningrat. Sekurang – kurangnya ada dua orang lain yang juga mengajukan gagasan – gagasan tentang dasar Negara, lagi pula pengajuannya lebih dahulu dari Bung Karno yang menyampaikannya baru pada tanggal 1Juni 1945. Mereka itu ialah Mr. Muh Yamin yang mengajukan pemikiran – gagasannya  pada tanggal 29 Mei dan Prof.Dr.Supomo yang mengajukan konsepsinya pada tanggal 31 Mei 1945

Bahwa Mr Muh.Yamin mengucapkan Pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945 pada rapat pertama  dalam rangka Persidangan Pertama Badan Penyelidik, Tidak ada seorang pun yang menyanggkal.Yang menjadi duduk perkara hanyalah apa yang dipidatokannya itu .Menurut pembacaan yang  cermat kepada laporan notulistis sebagaimana yang termuat didalam buku Prof .Mr. H. Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang – undang dasar 1945, edisi 1, 1959, Muh. Yamin memberikan konsepsimya perihal dasar negara itu secara ekspresi dan lalu menyusulinya denagan sebuah “ Rancangan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia” ‘ yang mencakup pula suatu pembukaan . Dapat kita lihat , bahwa rumusan dasar negara didalam pidato mulut dengan rumusan  dalam desain tertulis Rancangan Undang – Undang Dasar itu berlainan. Ada pula yang mempertanyakan salah satu kalimat pada bagian simpulan pidato Yamin pada tanggal 29 Mei itu. Yakni kalimat yang berbunyi : “Tuan Ketua ! Habislah pembitjaraan perihal asas kemanusiaan , kebangsaaan , kesejahteraan dan dasar jang tiga  ( kursif aku,NN) jang diberkati keracmatan Tuhan, yang akan dibuat. Yang dimaksud Kn oleh Yamin dengan “dasar yang tiga” kiranya ialah permusyawaratan, perwakilan dan budi, yang serupa – sama menjadi asa “Peri Kerakyatan”. Dengan demikian 5 asas yang ditarik kesimpulan oleh Yamin pada akhir pidato lisannya yaitu : 1.Kemanusiaan, 2. Kebangsaaan, 3. Kesejahteraaan, 4. Peri kerakyatan, dan  5. Kerakhmatan Tuhan.

Adanya dua desain dasar negara dari Muh. Yamin ini rupa-rupanya tidak dikenali secara luas dikalangan penduduk . Juga tidak dimengerti secara luas, bahwa yang seperti dengan rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta adalah rumusan M.Yamin yang tertulis. Rumusan yang verbal tidak terlampau seperti. Dalam Notulen Panitia Lima (Dr. Moh. Hatta, Prof. Mr. Ahmad Subardjo Djojoadisury, Mr. Alex Andrias Maramis, Prof. Mr. Abdul Gaffar Pringgodigdo, dan Prof. Mr. Sunario) atas pertanyaan Prof. Mr. Subardjo : “Pidato M.Yamin itu diucapkan tidak tanggal 29 Mei 1945?” Bung Hatta menjawab : “Diucapkan, namun bukan itu, ada pula pokok – pokoknya tetapi lain. Kalau inikan mengikuti Pancasila saja !” Tuduhan Bung Hatta kepada Muh. Yamin sebagaimana yang disampaikannya juga terhadap aku, adalah bahwa rumusan Yamin yang seperti dengan rumusan yang autentik kini ini (yang termuat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) yaitu rancangan yang diucapkan didepan sidang panitia kecil. Konsep itu yang lalu diakukan selaku rancangan yang disampaikan pada tanggal 29 Mei 1945. Ini menurut Bung Hatta. Nampaknya Bung Hatta tidak membedakan antara Konsepsi Yamin yang verbal dengan yang tulisan.
            Dengan mengakui Kredibilitas buku Muh. Yamin dan dengan mengamati interpretasi Bung Hatta, aku beropini, bahwa belum tentu Muh. Yamin telah beritikat begitu buruk. Yang terjadi menurut interpretasi aku adalah, bahwa pidato ekspresi Yamin itu ada dan memang juga ada dan isinya sama dengan yang tercantum dalam buku Yamin, serta juga diedarkan dalam bentuk tertulis terhadap para anggota Badan Penyelidik. Ketika duduk dalam panitia kecil yang diketuai Bung Karno dan bertugas menampung rekomendasi, undangan, konsepsi dan catatan segenap anggota yang telah diajukan,  Yamin juga membacakan rumusannya yang tertulis itu, karena ketua panitia memintanya untuk menyusun sebuah preambule. Naskah Yamin itu rupa-rupanya yang menjadi kertas –kerja Panitia Sebilan untuk menyusun dokumen yang kemudian diketahui dengan nama Piagam Jakarta. Dengan demikian terbukti, bahwa konsepsi Yamin ialah (setidak-tidaknya salah satu) bahan bagi perumusan Piagam Jakarta yang dengan pergeseran pada sila pertamanya karenanya menjadi Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan autentik. Saya anggap terbukti pula, bahwa Yamin adalah orang pertama yang mengetengahkan konsepsi mengenai dasar negara dalam rapat badan Penyelidik (walaupun tanpa nama pancasila). Kiranya sulit untuk menyangkal, bahwa antara konsepsi lisan Yamin dengan konsepsi tulisannya tentulah ada korelasinya, bagaimanapun sifat kekerabatan itu.
            Demikian pula saya anggap terbukti, bahwa Prof. Dr. Supomo ada mengucapkan pidato perihal dasar negara pada tanggal 31 Mei 1945. Tidak ada seorangpun yang pernah membantah hal itu. Saya juga yakin, bahwa isi pidatonya ialah seperti yang tertulis dalam buku Yamin . Kecuali kalau ada anggapan yang dicari-cari, bahwa Yamin sudah memalsukan seluruh pidato Supomo itu dengan tujuan tertentu. Supomo yakni ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar . Prof. Ahmad Subardjo , salah seorang anggota Panitia Kecil itu, menyatakan terhadap aku, bahwa arsitek dari pada batang badan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Prof. Dr. Supomo, berdasarkan lampiran buku Yamin ternyata pada tanggal 4 April 1942 Prof. Supomo bareng dengan Mr. Ahmad Subardjo dan Mr. A. A. Maramis telah pernah mempersiapkan sebuah naskah kerangka Undang-Undang Dasar untuk Indonesia. Dalam pada itu uraian Prof. Supomo selaku ketua Panitia Kecil Perancang UUD didepan Sidang Badan Penyelidik begitu meyakinkan, sehingga tidak ada yang mewaspadai kepemimpinan intelektualnya di dalam Panitia itu. Lagipula penjelasan resmi Undang-Undang Dasar 1945 yaitu buah tangan Prof. Supomo. Kalau kita lihat bahwa dasar-dasar yang diajukan Prof. Supomo untuk Indonesia Merdeka adalah “persatuan”, “kekeluargaan”, “keseimbangan lahir dan batin”, “Musyawarah” dan “keadilan Rakyat”, maka kiranya dapat kita simpulkan, bahwa konsepsinya sudah pula memperoleh daerah didalam Pembukaan UUD 1945.
            Dari kesemuanya itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa penggali utama dasar negara Republik Indonesia ialah Muhammad Yamin, Supomo, dan Bung Karno (menurut urutan Kronologisnya). Dengan demikian bearti bahwa Bung Karno yakni salah seorang penggali Pancasila Dasar Negara.Kesimpulan itu dapat pula ditarik dari laporan Panitia Lima  khususnya yang menyangkut jawaban yang diberikan atas pertanyaan dr. Radjiman Wedyodiningrat selaku Ketua Badan Penyelidik. “Terutama (kursif dari aku, NN) Bung Karno menawarkan Jawabannya yang terdiri dari satu uraian perihal lima sila”. Kata “khususnya” menawarkan bahwa Bung Karno menawarkan balasan perihal dasar negara (lampiran 10). Dalam pada itu Bung Hatta didalam “surat wasiat” kepada Guntur Soekarno putera menulis tentang tanggapan atas pertanyaan dr. Radjiman selaku berikut: “Salah seorang dibandingkan dengan anggota Panitia penyelidik Usaha-perjuangan Kemerdekaan Indonesia itu, yang menjawab pertanyaan itu yakni Bung Karno ………..”
“Salah seorang” berarti bukan  satu-satunya ! bahwa nama Pancasila dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945, kiranya tidak ada seorangpun yang mempersoalkan. Buktinya begitu menonjol, sehingga hal itu ialah sesuatu “notoir feit”. Bahwa Bung Karno lah yang pertama dan satu-satunya yang mengucapkan sebuah pidato pidato mengenai dasar negara Indonesia Merdeka sekaligus dengan usul nama Pancasila, kiranya juga tidak ada yang menyangsikan. Yang merupakan kontroversal yakni, bahwa ada orang yang menyampaikan, bahwa pidato Bung Karno 1 Juni 1945, kiranya tidak ada seorangpun yang mempersoalkan. Buktinya begitu menonjol, sehingga hal itu ialah sesuatu “notoir feit” Bahwa Bung Karnolah yang pertama dan satu-satunya yang mengucapkan sebuah pidato mengenai dasar negara Indonesia Merdeka sekaligus dengan undangan nama Pancasila, kiranya juga tidak ada yang menyangsikan. Yang merupakan kontroversial adalah, bahwa ada orang yang menyampaikan, bahwa pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu yaitu konsepsi yang pertama dan satu-satunya perihal dasar negara yang akibatnya menjelma Pancasila Dasar Negara yang sah dan autentik sebagaimana yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) selaku bagian ketimbang pembukaan UUD 1945. Itulah yang tidak terbukti. Kecuali bila kita mau menggelapkan pidato Muh. Yamin dan Supomo. Dalam pada itu Bung Karno sendiri dalam Pidato pada peringatan “lahirnya Pancasila” di Istana Negara pada tanggal 5 Juni 1958 berkata antara lain “ …….. saya buka pembentuk dan pentjipta Pantja sila, melainkan sekadar salah seorang penggali dari pada Panca – Sila itu.”
Jadi jikalau ada orang yang mengatakan, bahwa tanggal 1 Juni 1945 ialah hari lahir Pancasila, maka kita harus menanyakan terlebih dahulu : Pancasila yang mana ?  Kalau jawabannya ialah Pancasila Bung Karno, maka hal itu dapat dibenarkan. Tetapi bila yang dimaksud dengan Pancasila ialah Pancasila Dasar Negara yang sah dan autentik (sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945), maka hal itu tidak benar. Karena Pancasila Dasar Negara itu tidak cuma bersumber kepada konsepsi-konsepsi lain, dalam hal ini konsepsi Yamin dan konsepsi Supomo, yang lalu diolah oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehingga menemukan bentuknya yang autentik sekarang ini.
Sebagai sejarawan ada sesuatu hal yang tercatat dalam rangka meneliti peranan pelbagai tokoh didalam sesuatu episode sejarah. Karena sejarah itu ialah sebuah ilmu yang sungguh manusiawi dalam pendekatannya, sebab baik obyek maupun subyeknya ialah insan lagipula sumbernyapun ialah insan, baik insan selaku penghasil sumber mulut maupun tulisan, maka aspek manusia dalam observasi amat mencolokperanannya. Mengenai perjuangan memeriksa penggali Pancasila Dasar Negara ini terasa betapa subyektifnya manusia, baik selaku pelaku dan saksi, maupun manusia selaku peneliti. Karena begitu menonjol dan menjulangnya tokoh Bung Karno, maka dikalangan pemujanya, seakan-akan tak ada tempat buat orang lain untuk berperanan disampingnya. Meskipun bukti-bukti sudah menumpuk, masih saja dicari dalih dan alasan untuk menyisihkan orang lain dari sisinya yang dikhawatirkan akan meminimalkan kebesarannya. Seolah-olah Bung Karno akan berkurang kebesarannya hanya sebab ada orang lain yang juga berperan disampingnya. Demikianlah peranan Muh. Yamin dan Supomo seperti tidak ditolelir disamping peranan Bung Karno dan semua bukti kearah itu digilas.
Nampak pula betapa besar peranan suka –tidak-suka langsung atau personal likes and dislikes dikalangan sesama pelaku sendiri. Nampak bahwa pribadi Yamin disoroti dengan sinar yang negatif, yang memberinya warna yang jelek dan menimbulkan kecurigaan kepada intergritas wataknya. Dari sekian banyaknya wawancara , saya menemukan kesan, bahwa Muh. Yamin memang mempunyai budbahasa yang sulit. Ia rupa-rupanya tidak terlalu soepel dalam pergaulan. Ada yang menyampaikan dia licik , pembohong, ada yang menyampaikan dia yaitu een vervelende vent dan lain-lain. Ada yang menyatakan, bahwa parasnya itu saja telah tidak menyenangkan.Sudah barang pasti personal equation (evaluasi pribadi) terhadap sumber atau pengarang sumber ialah penting bagi sejarawan. Tetapi taraf popularitas pelaku sebagai sumber dikalangan orang-orang sejamannya tidaklah terlalu berkaitan bagi kredibilitasnya. Sejarawan wajib meneliti setiap masalah yang menyangkut seorang pelaku sebagai sumber hanya menurut reputasinya (yang negatif) dikalangan orang-orang sejamannya.
Konkritnya, meskipun Muh. Yamin tidak disukai oleh Bung Hatta (yang terbukti dari pendapat dia pada aneka macam kesempatan tergolong dalam sidang-sidang Panitia Lima), dan juga tidak disenangi oleh Dr. Rajiman Wedyodiningrat (yang terbukti dari sikapnya selama memimpin sidang-sidang Badan penyelidik khususnya dikala timbul duduk perkara perihal permintaan keanggotaan Yamin didalam Panitia Perancang Undang-Undang Dasar), dan meskipun Yamin memiliki karier politik yang berliku-liku, kesemuanya itu tidak mengurangi nilainya sebagai sumber atas dasar pengujian kita terhadap kredibilitasnya, khusus mengenai duduk perkara siapa saja penggali Pancasila Dasar Negara. Dan kesemuanya itu bukanlah alasannya secara langsung menggemari Muh.Yamin ataupun menyukai Supomo dan sebaliknya secara pribadi tidak menyukai Bung Karno, melainkan semata-mata sebab keharusan professional selaku sejarawan yang harus dipenuhi.
Dapat pula dikonstatasikan bahwa ada sejarawan yang telah lupa pada ketentuan-ketentuan sistem sejarah dan mencampuradukkan opini pelaku dengan fakta. Rupa-rupanya tidak dimengerti beda antara point of fact dan point of opinion. Demikianlah ada yang menjejerkan sederetan nama-nama tokoh yang menyampaikan, bahwa Bung Karnolah yang merumuskan Pancasila. Padahal tokoh-tokoh itu tidak menyaksikan jalannya sidang Badan Penyelidik. Artinya, mereka itu bukan saksi, sehingga keterangannya yakni opini, bukan fakta. Sejarawan wajib menguji setiap sumber atas kebijakannya sendiri.