Persepsi Kepada Pergeseran Hukum

 Para jago hukum setuju bahwa hukum itu mesti dinamis, dihentikan statis dan mesti mampu mengayomi penduduk . Hukum harus mampu dijadikan penjaga ketertiban, kenyamanan, dan pedoman tingkah laris dalam kehidupan masyrakat. Hukum mesti mampu menimbulkan pembaharuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mesti dibentuk dengan berorientasi kepada masa depan ( for word looking ) , dilarang hukum itu dibangun dengan beroreantasi terhadap abad lampau ( back word looking ). Oleh sebab itu, hukum mesti dapat dijadikan pendorong dan pencetus untuk mengganti kehidupan masyarakat kepada yang lebih baik dan berfaedah untuk semua pihak.

Ada dua pandangan yang sungguh mayoritas dalam rangka perubahan hukum yang berlaku dalam kehidupan penduduk dalam suatu negara. kedua persepsi ini saling tarik mempesona antara keduanya dan masing-masing memiliki argumentasi pembenarnya. Kedua persepsi tersebut dikenal dengan persepsi tradisional dan persepsi modern.
a. Pandangan Tradisional 
Pandangan tradisional dalam rangka pergeseran aturan mengatakan bahwa masyarakat perlu berganti dahulu, gres hukum datang untuk mengaturnya. Biasanya teknologi masuk dalam kehidupan penduduk itu, kemudian disusul dengan  timbulnya aktivitas ekonomi dan sehabis kedua acara itu berlangsung, gres aturan masuk untuk mengesahkan kondisi yang sudah ada. Di sini kedudukan hukum sebagai pembenar apa yang sudah terjadi, fungsi aturan disini ialah sebagai fungsi pengabdian ( dienende funtie ) . Hukum berkembang mengikuti insiden-insiden yang terjadi dalam sebuah kawasan dan senantiasa berada di belakang insiden yang terjadi itu ( het recht hinkt achter de feiten aan ) . Meskipun aturan itu datang lalu, dibutuhkan aturan yang datang itu mampu memuat segala kemajuan yang gres terjadi. Di sini aturan pasif dan berupaya semoga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan penduduk dan pergantian masyarakat mesti menerima adaptasi oleh aturan.
b. Pandangan Modern
Pandangan Modern mengatakan bahwa hukum diusahakan agar mampu menampung segala pertumbuhan baru, oleh sebab itu harus selalu berada bersama-sama dengan insiden yang terjadi. Hukum tidak berfungsi cuma sebagai pembenar atau mengesahkan segala hal-hal yang terjadi sehabis penduduk berganti, namun aturan harus tampil secara bersama-sama dengan insiden yang terjadi, bahkan jikalau perlu aturan harus tampil dahulu baru peristiwa mengikutinya. Hukum mesti berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju perubahan yang terjadwal. Di sini hukum berperan aktif selaku alat untuk alat rekaya sosial ( law a lot of social engineering ) . Sehubungan dengan tersebut, perubahan aturan dalam bidang yang netral mesti ditujuakan untuk melahirkan sebuah kepastian hukum, sedangkan dalam bidang kehidupan eksklusif mesti lebih berfungsi selaku sarana sosial kendali dalam kehidupan penduduk .
Dalam rangka fatwa legal reform yang terjadi di Indonesia, Solly Lubis menyebutkn ada dua persepsi yang saling memengaruhi satu sama lain, ialah pertama :  perubahan yang dilakukan secara dogmatis adalah perubahan yang dilaksanakan secara menyeluruh dan pelaksanaanya dilaksanakan dengan sungguh hati-hati dengan observasi yang sungguh mendalam dengan melibatkan semua komponen terkait dan penduduk yang mendapatkan pergeseran. Kelompok ini condong mrmpertahankan nilai-nilai adab dan kultural dalam rangka training hukum Nasional, kedua :  perubahan yang bersifat empiris yakni perubahakan yang dikerjakan dengan menciptakan dahulu undang-undang atau pergeseran lainya yang dianggap penting dan mendesak sesuai dengan keperluan. Apabila undang-undang yang sudah dibentuk itu tidak cocok dengan kesadaran hukum penduduk , maka undang-undang itu secepatnya direvisi dan diubahsuaikan dengan kesadaran aturan masyarakat. Aliran ini condong mengutamakan training dan membuat sistem aturan yang menjawab segala duduk perkara dan permintaan modernisasi.
Sejalan dengan hal-hal tersebut diatas, dalam kaitannya dengan perubahan yang dilakukan di Indonesia , Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa aplikasi pergeseran hukum itu hendaknya mesti dibedakan antara pembinaan hukum dengan acara sekadar mengganti sebuah aturan yang sedang berlaku. Apabila kegiatan training hukum itu disebut sebagai langkah-langkah merencanakan suatu tata hukum baru, maka acara mengubah suatu aturan adalah mengubah sebuah aturan yang sedang dilaksanakan di Indonesia mempunyai karakteristik  tersendiri  dan bersifat mandiri ( bangkit sendiri ). Perubahan itu tidak semata-mata dilakukan oleh alasannya hukum dicicipi kurang memadai lagi untuk mengendalikan kehidupan masyarakat, melainkan penduduk Indonesia sendiri dikala ini sudah mengalami pergeseran dan pergantian ini sudah bersifat mendasar  yang mempunyai tujuan untuk yang hidup dalam penduduk .
Meskipun pergantian yang dilaksanakn di Indonesia itu memiliki karakteristik tersendiri dan bersifat mandiri, namun haruslah memerhatikan komponen-bagian yang domninan dalam perubahan itu. Lawrence M Friedman mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan perubahan aturan maka pergeseran itu dapat terjadi pada tiga bagian yang sangat mayoritas dalam aturan tersebut adalah pertama : struktur hukum yakni contoh yang menunjukkan wacana bagaimana hukum itu dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuat aturan dan lain-lain badan proses aturan itu berlangsung dan dilakukan, kedua :  substani hukukm yakni peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku aturan pada waktu melaksanakan tindakan-perbuatan serta hubungan-relasi aturan, ketiga :  kultur hukum. Tentang hal ini hadirnya dari rakyat atau para pemakai jasa aturan seperti pengadilan dan bila masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang terjadi menentukan Pengadilan untuk menyelesaikannya, maka masyarakat itu memiliki pandangan aktual perihal Pengadilan. Kultur masyarakat ialah hal yang sangat penting dalam rangka pembaharuan hukum dan pembaharuan masyarakat.
Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa pembaharuan aturan itu selalu berjalan melalui proses dialektika dan berangkat dari masalah-dilema kasatmata di dalam rakyat. Di samping itu perubahan hukum itu seharusnya diarahkan pada terciptanya metode hukum yang memungkinkan dihormati, dipenuhi, dan dilindunginya hak-hak dasar rakyat. Pembaruan hukum itu pada hakikatnya adalah proses politik yang keberhasilannya tergantung pada perimbangan kekuatan antar-pemain drama yang terlibat didalamnya. serta momentum yang tersedia dan yang mampu dibangun oleh para aktornya. Biasanya rezim-rezim yang represif condong tidak menawarkan ruang lingkup , dan ruang gerak bagi pembaharuan aturan. Ide dan kerja pembaharuan hukum, dianggap selaku langkah-langkah yang mengancam keberlangsungan kekuasaan pemerintah dan oleh sebab itu dihalangi.
Sumber bacaan : Aspek-Aspek Pengubah Hukum halaman 6-10
Oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum.